WASIAT PERPISAHAN NABI : IKUTI MANHAJ SALAF
(Syarah Hadits Arbain Nawawi Ke 28)
عَنِ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ رَضِيَ اللّٰـهُ عَنْهُ قَالَ :صَلَّـىٰ بِنَا رَسُوْلُ اللّٰـهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ ، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا ، فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيْغَةً ؛ ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ ، وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ ، قَالَ قَائِلٌ : يَا رَسُوْلَ اللّٰـهِ ! كَـأَنَّ هٰذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ ، فَـمَـاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا ؟ فَقَالَ : «أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللّٰـهِ ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِيْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِـيْرًا ، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْـخُلَفَاءِ الْـمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ ، تَـمَسَّكُوْا بِـهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ ، وَإِيَّاكُمْ وَمُـحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ ، فَإِنَّ كُلَّ مُـحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Diriwayatkan dari al-‘Irbâdh bin Sâriyah Radhiyallahu anhu bahwa ia berkata, “Suatu hari Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami, kemudian beliau menghadap kepada kami, lalu memberikan nasehat kepada kami dengan nasehat yang membekas pada jiwa, yang menjadikan air mata berlinang dan membuat hati menjadi takut, maka seseorang berkata, ‘Wahai Rasulullâh! Seolah-olah ini adalah nasehat dari orang yang akan berpisah, maka apakah yang engkau wasiatkan kepada kami?’ Maka Rasulullâh bersabda, ‘Aku wasiatkan kepada kalian agar tetap bertakwa kepada Allah, tetaplah mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian sepeninggalku, niscaya ia akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafâr Râsyidîn yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah oleh kalian setiap perkara yang baru (dalam agama), karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah itu adalah sesat.”
KEUTAMAAN SALAFUSH SHALIH
Perkataan al-‘Irbâdh bin Sâriyah Radhiyallahu anhu,
فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيْغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ…
“Lalu memberikan nasehat kepada kami dengan nasehat yang membekas pada jiwa, yang menjadikan air mata berlinang dan membuat hati menjadi takut…”
Di dalamnya terdapat isyarat tentang baiknya keadaan para Sahabat, bersihnya jiwa-jiwa mereka, dan selamatnya hati-hati mereka. Mereka mengambil pelajaran dari sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, merasa takut tatkala mendengar firman Allah Azza wa Jalla , dan ini merupakan tanda keimanan dan kebaikan. Menangis dan rasa takut hati ketika mendengar peringatan dari firman Allah ta'ala dan sabda Rasul-Nya adalah dua sifat kaum Mukminin yang dipuji oleh Allah Azza wa Jalla. Seperti firman Allah Azza wa Jalla
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَاناً وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut Nama Allah gemetar (takutlah) hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah kuat imannya dan hanya kepada Rabb mereka bertawakkal.” [al-Anfâl/8:2]
Sesungguhnya orang yang menangis karena takut kepada Allah Azza wa Jalla, matanya itu tidak akan disentuh api neraka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَيْنَانِ لاَتَـمَسُّهُمَـا النَّارُ : عَيْنٌ بَكَتْ مِنْ خَشْيَةِ اللّٰـهِ ، وَعَيْنٌ بَاتَتْ تَـحْرُسُ فِـيْ سَبِيْلِ اللّٰـهِ
Ada dua mata yang tidak akan disentuh oleh api Neraka, mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang begadang untuk berjaga di jalan Allah.[Shahîh: HR. at-Tirmidzi no. 1639 dari Sahabat ‘Abdullâh bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhu]
Maksud dari dua mata yang begadang untuk berjaga di jalan Allah ialah ketika berjuang di jalan Allah Azza wa Jalla melawan musuh, ia senantiasa berjaga-jaga di perbatasan karena khawatir kaum Muslimin diserang oleh musuh. Oleh karena itu, wajib mencintai para Sahabat Radhiyallahu anhum, memuliakan mereka, memohonkan ampunan dan keridhaan Allah Azza wa Jalla untuk mereka, dan mengikuti contoh teladan mereka. Mereka adalah pendahulu ummat ini yang telah menyampaikan al-Qur`ân dan Sunnah Nabi-Nya kepada kita.
Para Ulama menjelaskan bahwa siapapun tidak boleh mencela dan mencaci-maki para Sahabat karena baiknya hati mereka. ‘Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu mengatakan tentang para Sahabat Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُتَأَسِّـيًا فَلْيَتَأَسَّ بِأَصْحَابِ رَسُوْلِ اللّٰـهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَإِنَّـهُمْ كَانُوْا أَبَرَّ هٰذِهِ اْلأُمَّةِ قُلُوْبًا ، وَأَعْمَقَهَا عِلْمًـا ، وَأَقَلَّهَا تَكَلُّفًا ، وَأَقْوَمَهَا هَدْيًا ، وَأَحْسَنَهَا حَالاً ، قَوْمًا اِخْتَارَهُمُ اللّٰـهُ لِصُحْبَةِ نَبِيِّهِ ، وَِلإِقَامَةِ دِيْنِهِ فَاعْرِفُوْا لَـهُمْ فَضْلَهُمْ ، وَاتَّبِعُوْهُمْ فِـيْ آثَارِهِمْ ، فَإِنَّـهُمْ كَانُوْا عَلَى الْـهُدَى الْـمُسْتَقِيْمِ
Barangsiapa di antara kalian yang ingin mengambil teladan, hendaklah mengambil teladan dari para Sahabat Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Karena sesungguhnya mereka adalah ummat yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit bebannya, paling lurus petunjuknya, dan paling baik keadaannya. Suatu kaum yang Allah Azza wa Jalla telah pilih untuk menemani Nabi-Nya dan untuk menegakkan agama-Nya, maka kenalilah keutamaan mereka serta ikutilah atsar-atsarnya karena mereka berada di atas jalan yang lurus.[Atsar Shahîh: Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Bar dalam kitabnya Jâmi’ Bayânil ‘Ilmi wa Fadhlih 2/947 no. 1810, tahqîq Abul Asybal Samir az-Zuhairi]
Para Salafush Shalih memiliki sekian banyak keutamaan, maka kewajiban kita adalah mencintai, menghormati dan mengikuti jejak mereka, serta memohonkan ampunan, rahmat, dan keridhaan Allah Azza wa Jalla untuk mereka. Maka dianjurkan untuk mengucapkan radhiyallâhu ‘anhum ketika kita menyebut para Sahabat, sebagai realisasi dari firman Allah Azza wa Jalla yang artinya,
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha terhadap mereka dan mereka ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” [at-Taubah/9:100]
Tidak boleh ada seorang pun yang mencela dan menjelekkan para Sahabat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَتَسُبُّوْا أَصْحَابِـيْ ، فَوَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ ! لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا ، مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ
Janganlah kalian mencaci para Sahabatku! Demi Dzat Yang diriku berada di tangan-Nya, sungguh, jika seandainya salah seorang dari kalian berinfak sebesar Gunung Uhud berupa emas, maka belum mencapai nilai infak mereka meskipun (mereka infak hanya) satu mud (yaitu sepenuh dua telapak tangan) dan tidak juga separuhnya.[HR. al-Bukhâri no. 3673, Muslim no. 2541 dari Sahabat Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu]
TERJADINYA PERPECAHAN DAN PERSELISIHAN DI TENGAH KAUM MUSLIMIN
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كَثِيْرًا
Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian sepeninggalku, maka ia akan melihat perselisihan yang banyak.
Sesungguhnya perpecahan dan perselisihan dalam Islam itu tercela. Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya,
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنۢ بَعْدِ مَا جَآءَهُمُ الْبَيِّنٰتُ ۚ وَأُولٰٓئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
"Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang berat,"
(QS. Ali 'Imran 3: Ayat 105)
Allah Azza wa Jalla berfirman
إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَّسْتَ مِنْهُمْ فِى شَىْءٍ ۚ إِنَّمَآ أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ
"Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka menjadi (terpecah) dalam golongan-golongan, sedikit pun bukan tanggung jawabmu (Muhammad) atas mereka. Sesungguhnya urusan mereka (terserah) kepada Allah. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat."
(QS. Al-An'am 6: Ayat 159)
Syaikh ‘Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Ayat ini menjelaskan bahwa agama Islam memerintahkan untuk berjama’ah dan bersatu serta melarang perpecahan dan perselisihan dalam prinsip agama, bahkan dalam setiap permasalahan agama, baik yang pokok maupun cabangnya.”[Taisîr Karîmir Rahmân fî Tafsîri Kalâmil Mannân hlm. 276-277]
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ اِفْتَرَقُوْا عَلَىٰ اِثْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّـةً ، وَإِنَّ هٰذِهِ اْلأُمَّةَ سَتَـفْـتَـرِقُ عَلَـىٰ ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْـنَ : ثِـنْـتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِـي النَّارِ، وَوَاحِدَةٌ فِـي الْـجَنَّةِ ، وَهِيَ الْـجَـمَـاعَةُ
Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang Ahlul Kitab sebelum kalian telah berpecah-belah menjadi 72 golongan. Sesungguhnya umat Islam akan berpecah-belah menjadi 73 golongan, 72 golongan tempatnya di neraka dan hanya satu golongan di Surga, yaitu al-Jama’âh.[Hasan: HR. Abu Dâwud no. 4597, Ahmad 4/102, al-Hâkim 1/128, ad-Dârimi 2/24]
Dalam riwayat lain disebutkan:
كُلُّهُمْ فِـي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً : مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِـيْ
Semua golongan tersebut tempatnya di Neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan para Sahabatku berjalan di atasnya.[Shahîh: HR. at-Tirmidzi no. 2641 dan al-Hâkim 1/129 dari Sahabat ‘Abdullâh bin ‘Amr]
JALAN SELAMAT DARI PERPECAHAN DAN PERSELISIHAN ADALAH DENGAN BERPEGANG TEGUH KEPADA AL-QUR-AN DAN AS-SUNNAH MENURUT PEMAHAMAN SALAFUSH SHALIH
Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِـيْ ، وَسُنَّةِ الْخُـلَفَاءِ الْـمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ
Maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafâur Râsyidin yang mendapat petunjuk.
Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas terdapat perintah untuk berpegang teguh dengan Sunnah Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah Khulafâur Râsyidin sepeninggal beliau. Sunnah adalah jalan yang dilalui, termasuk di dalamnya berpegang teguh kepada keyakinan-keyakinan, perkataan-perkataan, dan perbuatan-perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Khulafâur Râsyidin. Itulah Sunnah yang paripurna. Oleh karena itu, generasi Salaf dahulu tidak menamakan Sunnah, kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari al-Hasan, al-Auzâ’i, dan Fudhail bin ‘Iyâdh.[Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/120]
Perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengikuti Sunnah beliau dan Sunnah Khulafâ Râsyidin setelah perintah mendengar dan taat kepada ulil amri adalah bukti bahwa Sunnah para Khulafâur Râsyidin harus diikuti seperti halnya mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ini tidak berlaku bagi Sunnah para pemimpin selain Khulafâ Râsyidin.[Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/121]
Ini menunjukkan bahwa kita wajib berpegang kepada al-Qur`ân dan Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih. Selain itu, kita diwajibkan mengikuti manhaj para Salafush Shalih karena Allah Azza wa Jalla menyebutkan dalam al-Qur`ân tentang wajibnya kita mengikuti mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman
فَإِنْ ءَامَنُوا بِمِثْلِ مَآ ءَامَنْتُمْ بِهِۦ فَقَدِ اهْتَدَوا ۖ وَّإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِى شِقَاقٍ ۖ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ ۚ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
"Maka jika mereka telah beriman sebagaimana yang kamu imani, sungguh, mereka telah mendapat petunjuk. Tetapi jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (denganmu) maka Allah mencukupkan engkau (Muhammad) terhadap mereka (dengan pertolongan-Nya). Dan Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui."
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 137)
Allah Azza wa Jalla berfirman
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدٰى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلّٰى وَنُصْلِهِۦ جَهَنَّمَ ۖ وَسَآءَتْ مَصِيرًا
"Dan barang siapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam Neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali."
(QS. An-Nisa' 4: Ayat 115)
Kita berpegang dengan pemahaman Salaf, mengikuti jejak Salafus Shalih, dengan tujuan ingin selamat dunia akhirat dan ingin masuk Surga, bukan untuk mencari kedudukan, harta, dan ketenaran. Kita mengikuti jejak mereka supaya selamat di dunia dan di akhirat dan agar Allah Azza wa Jalla memasukkan kita ke dalam Surga-Nya, bukan untuk memperoleh kesenangan dunia, harta, jabatan, maupun kekuasaan.
Kita wajib mengikuti jejak Salafush Shalih karena mereka adalah khairun nâs (sebaik-baik manusia), dan khairu hâdzhihil ummah (dan sebaik-baik ummat ini).
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِـيْ ، ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَـهُمْ ، ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَـهُمْ
Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Sahabat), kemudian yang sesudahnya (masa Tâbi’in), kemudian yang sesudahnya (masa Tâbi’ut Tâbi’în).[Muttafaq ‘alaih. HR. al-Bukhâri no. 2652 dan Muslim no. 2533 (212), dari Sahabat ‘Abdullâh bin Mas‘ûd Radhiyallahu anhu.]
Mengenai berpegang kepada al-Qur`ân dan Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya menyuruh berpegang saja. Tetapi menyuruh kita agar memegangnya dengan sangat kuat dan erat sehingga beliau mengungkapkannya melalui sabda beliau,
عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian
Sabda beliau merupakan kiasan tentang kuatnya berpegang teguh kepada Sunnah. Hal itu karena sudah begitu banyaknya fitnah dan syubhat yang ada.
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menggabungkan Sunnah Sahabatnya dengan Sunnahnya, dan memerintahkan untuk mengikutinya seperti memerintahkan untuk mengikuti Sunnahnya, sampai-sampai beliau memerintahkan agar menggigitnya dengan gigi geraham. Dan ini meliputi apa yang mereka fatwakan dan apa yang mereka contohkan walaupun sebelumnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka tidak melakukannya. Karena jika tidak, maka itu juga termasuk Sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Hal ini juga meliputi apa yang mereka fatwakan secara keseluruhan atau sebagian besar dari mereka atau sebagian mereka saja karena Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkannya dengan apa yang disunnahkan (dicontohkan) oleh Khulafâ Râsyidin. Dan sudah dimaklumi, jika mereka mencontohkan hal itu pada saat yang bersamaan, maka bisa diketahui bahwa Sunnah tiap orang dari mereka (Sahabat) pada masa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah termasuk Sunnah Khulafâur Râsyidin.”[I’lâmul Muwaqqi’în 5/581]
Hadits ini sebagai pukulan keras yang menghujam di kepala para ahlul bid’ah yang menyelisihi manhaj Salaf, karena hal ini ditunjukkan oleh beberapa hal:
Pertama: Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan Sunnah Khulafâur Râsyidin, yaitu pemahaman Salaf, dengan Sunnah beliau. Ini menunjukkan bahwa Islam tidak bisa dipahami kecuali dengan manhaj Salaf.
Kedua: Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan Sunnah Khulafâur Râsyidin sebagai Sunnah beliau, beliau mengatakan, “Gigitlah ia dengan gigi geraham.” Dan tidak mengatakan, “Gigitlah keduanya dengan gigi geraham.” Dengan demikian jelaslah bahwa Sunnah Khulafâ`ur Râsyidin termasuk Sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Ketiga: Beliau menghadapkan (menjadikan berlawanan) semua itu dengan peringatan terhadap bid’ah, maka hal ini menunjukkan setiap yang menyelisihi manhaj Salaf berarti ia terjerumus dalam bid’ah tanpa ia sadari.
Keempat: Beliau menjadikan hal itu (manhaj Salaf) sebagai solusi dari perselisihan dan kebid’ahan, barangsiapa yang berpegang teguh kepada Sunnah Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah Khulafâ`ur Râsyidin maka ia termasuk dalam golongan yang selamat kelak di hari Kiamat.
Kelima: Beliau tidak menjadikan Sunnahnya dan Sunnah Khulafâ Râsyidin dalam perselisihan yang banyak itu. Hal ini menunjukkan bahwa semuanya itu berasal dari Allah Azza wa Jalla , karena terjadinya perselisihan yang banyak tidak mungkin dari Allah Azza wa Jalla , sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya,
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلٰفًا كَثِيرًا
"Maka tidakkah mereka menghayati (mendalami) Al-Qur'an? sekiranya (Al-Qur'an) itu bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya."
(QS. An-Nisa' 4: Ayat 82)
JAUHILAH PERBUATAN BID’AH !
Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَإِيّـَاكُمْ وَمُـحْدَثَاتِ اْلأُمُـوْرِ فَـإِنَّ كُـلَّ مُـحْدَثَةٍ بِدْعَـةٌ
Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru (dalam agama), karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid‘ah
Yang dimaksud di sini adalah perkara-perkara baru yang diada-adakan dalam urusan agama, bukan dalam urusan dunia. Sebab, perkara-perkara baru yang diada-adakan dalam urusan dunia ada yang bermanfaat dan itu merupakan kebaikan dan ada pula yang berbahaya dan itu merupakan keburukan. Sedangkan perkara-perkara baru yang diada-adakan dalam agama adalah buruk. Allah Azza wa Jalla berfirman
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلٰمَ دِينًا ۚ
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” [al-Mâ`idah/5:3]
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا بَـقِيَ شَيْءٌ يُـقَرِّبُ مِنَ الْجَـنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
Tidak tertinggal sesuatu pun yang mendekatkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka, kecuali telah dijelaskan semuanya kepada kalian.[Shahîh: HR. ath-Thabrâni dalam Al-Mu’jamul Kabîr 2/155-156, no. 1647 dari Sahabat Abu Dzar al-Ghifâri]
Dalam hadits di atas disebutkan, “Setiap perkara yang baru adalah bid’ah” maka apakah yang dimaksud dengan bid’ah?
DEFINISI BID’AH
Imam asy-Syâthibi rahimahullah (wafat th. 790 H) mengatakan,
اَلْبِدْعَةُ: طَرِيْقَةٌ فِـي الدِّيْنِ مُـخْتَرَعَةٌ ، تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا الْـمُبَالَغَةُ فِـي التَّعَبُّدِ لِلّٰـهِ سُبْحَانَهُ
Bid’ah adalah cara baru dalam agama yang dibuat menyerupai syari’at dengan maksud untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Azza wa Jalla.[Al-I’tishâm hlm. 43, Abu Ishâq Ibrâhîm bin Mûsa bin Muhammad al-Gharnathi asy-Syathibi]
Artinya, bid’ah adalah cara baru yang dibuat tanpa ada contoh dari syari’at. Sebab, bid’ah adalah sesuatu yang keluar dari apa yang telah ditetapkan dalam syari’at.
Ungkapan “menyerupai syari’at” sebagai penegasan bahwa sesuatu yang diada-adakan dalam agama itu pada hakekatnya tidak ada dalam syari’at, bahkan bertentangan dengan syari’at dari beberapa sisi, seperti mengharuskan cara dan bentuk tertentu yang tidak ada dalam syari’at. Juga mengharuskan ibadah-ibadah tertentu yang dalam syari’at tidak ada ketentuannya.
Ungkapan “untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Azza wa Jalla ”, adalah pelengkap makna bid’ah. Sebab, demikian itulah tujuan para pelaku bid’ah, yaitu menganjurkan untuk tekun beribadah, karena manusia diciptakan Allah Azza wa Jalla hanya untuk beribadah kepada-Nya sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” [adz-Dzâriyât/51:56]
Seakan-akan orang yang membuat bid’ah melihat bahwa maksud dalam membuat bid’ah adalah untuk beribadah sebagaimana maksud ayat tersebut. Dia merasa bahwa apa yang telah ditetapkan dalam syari’at tentang undang-undang dan hukum-hukum belum mencukupi sehingga dia berlebih-lebihan dan menambahkan serta mengulang-ulanginya.[‘Ilmu Ushûlil Bida’ hlm. 24-25 oleh Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hâmid]
Imam al-Hâfizh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah (wafat th. 795 H) mengatakan, “Yang dimaksud dengan bid’ah adalah apa yang tidak memiliki dasar hukum dalam ajaran syari’at yang menunjukkan keabsahannya. Adapun yang memiliki dasar dalam syari’at yang menunjukkan kebenarannya, maka secara syari’at tidaklah dikatakan sebagai bid’ah, meskipun secara bahasa dikatakan bid’ah. Maka setiap orang yang membuat-buat sesuatu lalu menisbatkannya kepada ajaran agama, namun tidak memiliki landasan dari ajaran agama yang bisa dijadikan sandaran, berarti itu adalah kesesatan. Ajaran Islam tidak ada hubungannya dengan bid’ah semacam itu. Tak ada bedanya antara perkara yang berkaitan dengan keyakinan, amalan ataupun ucapan, lahir maupun bathin.
Terdapat beberapa riwayat dari sebagian Ulama Salaf yang menganggap baik sebagian perbuatan bid’ah, padahal yang dimaksud tidak lain adalah bid’ah secara bahasa, bukan menurut syari’at.
Contohnya adalah ucapan ‘Umar bin al-Khaththâb Radhiyallahu anhu ketika beliau mengumpulkan kaum Muslimin untuk melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan (shalat Tarawih) dengan mengikuti satu imam di masjid. Ketika beliau Radhiyallahu anhu keluar, dan melihat mereka shalat berjamaah. Maka, beliau Radhiyallahu anhu berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah yang semacam ini.”[Shahîhul Bukhâri no. 2010. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/128]
Tidak diragukan lagi bahwa setiap bid’ah dalam agama adalah sesat dan haram, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
وإياكم ومحدثات الأمور، فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
“Jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru. Karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.”[Hadits Irbadh bin sariyah]
Juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya,
مَنْ أَحْدَثَ فِـيْ أَمْرِنَا هٰذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini, sesuatu yang bukan bagian darinya, maka ia tertolak.[HR. al-Bukhâri no. 2697 dan Muslim no. 1718, dari ‘Aisyah]
Kedua hadits di atas menunjukkan bahwa perkara baru yang dibuat-buat dalam agama ini adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat dan tertolak. Bid’ah dalam agama itu diharamkan. Namun tingkat keharamannya berbeda-beda tergantung jenis bid’ah itu sendiri.
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak didasari atas perintah kami maka amalannya tertolak.[HR. Muslim no. 1718 (18)]
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang mengatakan amalan bid’ah itu tertolak karena tidak terpenuhinya salah satu syarat dari dua syarat diterimanya ibadah, yaitu mutâba’ah (mengikuti contoh Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ). Syarat diterimanya ibadah ada dua: Pertama, niat ikhlas karena Allah Azza wa Jalla dan kedua, sesuai dengan Sunnah; yakni sesuai dengan Kitab-Nya atau yang dijelaskan Rasul-Nya dan Sunnahnya, jika salah satunya tidak dipenuhi, maka amalnya tersebut tidak bernilai shalih dan tertolak, hal ini ditunjukkan dalam firman-Nya
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صٰلِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah dia mengerjakan amal shalih dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabb-nya. [al-Kahfi/18:110]
Dalam ayat ini, Allah Azza wa Jalla memerintahkan agar menjadikan amal itu bernilai shalih, yaitu sesuai dengan Sunnah Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kemudian memerintahkan agar orang yang mengerjakan amal shalih itu mengikhlaskan niatnya karena Allah Azza wa Jalla semata, tidak menghendaki selain-Nya.[at-Tawassul Anwâ’uhu wa Ahkâmuhu oleh Fadhîlatus Syaikh Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni]
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata dalam tafsirnya, “Inilah dua landasan amalan yang diterima: Pertama, ikhlas karena Allah Azza wa Jalla dan Kedua, sesuai dengan Sunnah Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”[Tafsîr Ibnu Katsîr 5/205, tahqîq Sami Salamah]
Menjelaskan tentang bahaya bid’ah dan ahlul bid’ah kepada umat tidaklah termasuk memecah belah persatuan kaum Muslimin, bahkan menjelaskan bahaya bid’ah dan membantah ahlul bid’ah termasuk dalam kategori jihad. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Orang yang membantah ahlul bid’ah adalah mujahid, sampai Yahya bin Yahya berkata, ‘Membela Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih utama daripada jihad (fî sabîlillâh).’”[Majmû’ Fatâwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah 4/13]
SETIAP BID’AH ADALAH SESAT
Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Dan setiap bid’ah adalah sesat
Sabda beliau di atas termasuk dari jawami’ul kalim beliau di mana tidak ada sesuatu pun yang keluar darinya, dan merupakan kaidah agung dalam prinsip-prinsip agama. Sabda beliau tersebut mirip dengan sabda beliau,
مَنْ أَحْدَثَ فِـيْ أَمْرِنَا هٰذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini, sesuatu yang bukan bagian darinya, maka ia tertolak.[HR. al-Bukhâri no. 2697 dan Muslim no. 1718, dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhum]
Jadi, siapa saja yang mengada-ada perkara-perkara baru dan menisbatkannya kepada agama padahal tidak memiliki landasan hukum di agama, maka itu merupakan kesesatan dan agama berlepas diri darinya, baik dalam masalah keyakinan, perbuatan, atau perkataan yang tampak maupun perkataan yang tersembunyi.[Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/128]
Imam Mâlik bin Anas Radhiyallahu anhu mengatakan:
مَنِ ابْتَدَعَ فِـي اْلإِسْلاَمِ بِدْعَةً يَرَاهَا حَسَنَةً ، فَقَدْ زَعَمَ أَنَّ مُـحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَـانَ الرِّسَالَـةَ ، ِلأَنَّ اللّٰـهَ يَـقُولُ : ۚ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا, فَـمَـا لَـمْ يَـكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا ، فَـلاَ يَكُوْنُ الْيَوْمَ دِيْنًا.
Barangsiapa yang mengadakan suatu bid’ah dalam Islam yang ia pandang hal itu baik (bid’ah hasanah), maka sungguh dia telah menuduh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhianati risalah agama ini. Karena sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah berfirman: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu…” (al-Mâ`idah/5:3) Maka, sesuatu yang pada hari itu (pada masa beliau masih hidup) bukanlah ajaran agama, maka hari ini pun sesuatu itu bukanlah ajaran agama.[Al-I’tishâm 1/62]
Maksud dari كُلُّ بِدْعَةٍ adalah semua bid’ah. Tidak ada kataكُلُّ بِدْعَةٍ yang bermakna sebagian bid’ah. Apakah Sebagian sesat dan sebagian tidak??!!. Apabila kita bawakan hadits yang lain, yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasâ`i, dari Sahabat Jâbir Radhiyallahu anhu :
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
Setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.[HR. an-Nasâ`i 3/189 dari Jâbir Radhiyallahu anhu]
Maka akankah mereka mengatakan bahwa ada kesesatan yang tempatnya di Surga?? Semua kesesatan tempatnya adalah Neraka. Kullu dhalâlah fin naar, artinya setiap kesesatan tempatnya di Neraka. Kullu bid’atin dhalâlah, artinya setiap bidah adalah sesat. Sama-sama menggunakan kata kullu. Ada sebagian orang yang memahami kata kullu dalam “كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ” itu sebagian bid’ah, tetapi ketika mereka mengartikan “كُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ” tidak diartikan sebagian kesesatan tempatnya di Neraka, tetapi semua kesesatan tempatnya di Neraka. Inilah cara berfikir mereka yang kontradiksi. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga difahami Sahabat demikian, yaitu semua perbuatan bid’ah dalam agama adalah sesat. ‘Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata,
اِتَّبِعُوْا وَلاَ تَبْتَدِعُوْا فَقَدْ كُفِيْتُمْ ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Hendaklah kalian mengikuti dan janganlah kalian berbuat bid’ah. Sungguh kalian telah dicukupi (dengan Islam ini), dan setiap bid’ah adalah sesat. [Diriwayatkan oleh ad-Dârimi 1/69, al-Lâlikâ`i dalam Syarah Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah 1/96, no. 104, ath-Thabrâni dalam Mu’jamul Kabîr no. 8770, dan Ibnu Baththah dalam al-Ibânah no. 175]
‘Abdullâh bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma berkata,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
Setiap bid’ah itu sesat, meskipun manusia memandang baik.[Riwayat al-Lâlikâ`i dalam Syarah Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah 1/104, no. 126, Ibnu Baththah al-‘Ukbari dalam al-Ibânah no. 205. Lihat ‘Ilmu Ushûlil Bida’ hlm. 92]
Imam Abu Muhammad al-Hasan bin ‘Ali bin Khalaf al-Barbahâri rahimahullah (beliau adalah Imam Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah pada zamannya, wafat th. 329 H) berkata: “Jauhilah setiap perkara bid’ah sekecil apa pun, karena bid’ah yang kecil lambat laun akan menjadi besar. Demikian pula kebid’ahan yang terjadi pada umat ini berasal dari perkara kecil dan remeh yang mirip kebenaran sehingga banyak orang terpedaya dan terkecoh, lalu mengikat hati mereka sehingga susah untuk keluar dari jeratannya dan akhirnya mendarah daging lalu diyakini sebagai agama. Tanpa disadari, pelan-pelan mereka menyelisihi jalan lurus dan keluar dari Islam.”[Syarhus Sunnah lil Imâm al-Barbahary no. 7]
Imam Sufyân ats-Tsauri rohimahullah (wafat th. 161 H) berkata,
اَلْبِدْعَةُ أَحَبُّ إِلَـى إِبْلِيْسَ مِنَ الْـمَعْصِيَةِ، وَالْـمَعْصِيَةُ يُتَابُ مِنْهَا وَالْبِدْعَةُ لاَ يُتَابُ مِنْهَا
Perbuatan bid’ah lebih dicintai oleh Iblis daripada kemaksiyatan. Pelaku kemaksiyatan masih mungkin ia untuk bertaubat dari kemaksiyatannya sedangkan pelaku kebid’ahan sulit untuk bertaubat dari kebid’ahannya.[Riwayat al-Lâlikâ`i dalam Syarah Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah no. 238]
SETIAP KESESATAN TEMPATNYA DI NERAKA
Dalam riwayat an-Nasâ`i dari Jâbir bin ‘Abdillâh Radhiyallahu anhu , Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
Dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka [HR. an-Nasâ`i 3/189 dengan sanad shahîh]
Yang harus diperhatikan mengenai hadits ini bahwa kita tidak boleh memastikan orang yang berbuat bid’ah dan maksiyat itu tempatnya di Neraka. Kita tidak punya hak sama sekali. Sebagaimana kita juga tidak boleh memastikan orang yang berbuat ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla , tempatnya di Surga. Kecuali orang-orang yang telah ditentukan oleh Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sabda beliau di atas merupakan ancaman yang terdapat di dalam banyak hadits dan ayat al-Qur`ân sebagaimana yang disebutkan oleh para Ulama. Artinya orang yang melakukan perbuatan bid’ah diancam masuk Neraka. Adapun memastikan dia masuk Neraka, maka tidak boleh dilakukan dan sangat berbahaya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahullah mengatakan, “Seseorang yang berilmu terkadang menyebutkan ancaman terhadap sesuatu yang dipandangnya sebagai perbuatan dosa, padahal dia mengetahui bahwa orang yang menakwilnya diampuni dan tidak terkena ancaman. Tetapi dia menyebutkan hal itu untuk menjelaskan bahwa perbuatan dosa mengakibatkan mendapatkan siksa. Dia hanya mengingatkan untuk menghalangi manusia dari perbuatan yang dipandangnya sebagai dosa.”[Majmû’ Fatâwâ 23 /305]
Beliau rahimahullah juga berkata, “Karena nash-nash ancaman bentuknya umum, maka kita tidak menyatakan dengannya kepada orang tertentu bahwa dia termasuk penghuni Neraka. Sebab memungkinkan tidak berlakunya hukum yang ditetapkan pada orang yang melakukannya karena adanya penghalang yang kuat seperti taubat, atau kebaikan-kebaikan yang menghapuskan keburukan, atau musibah-musibah yang menghapuskan dosa, atau syafa’at yang diterima, dan lain-lain.”[Ibid 4/484]
Maka sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Setiap kesesatan tempatnya di Neraka,” adalah sifat bagi amal yang dilakukan seseorang dan sifat bagi buah amal yang dilakukannya, jika tidak disusuli dengan taubat dan meninggalkannya.
Kemudian sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “…di Neraka.” Tidak mengharuskan kekal di dalam Neraka atau berada lama di dalamnya. Tetapi seseorang masuk Neraka sesuai maksiat yang dilakukannya, baik bentuknya bid’ah maupun selainnya.
Berdasarkan hal ini, berlaku hukum lain, yaitu menghalalkan sesuatu yang diharamkan agama. Barangsiapa menghalalkan suatu bid’ah atau selainnya dari perbuatan maksiat dengan menghalalkan dalam hatinya padahal dia mengetahui dan mengakui bahwa sesuatu yang dilakukan tidak memiliki dasar dalam Sunnah, bahkan dia mengetahui bahwa tindakannya itu merupakan bentuk “mengoreksi” syariat maka ketika itu ia berada di dalam Neraka karena dia kufur.
Imam ath-Thahawi rahimahullah dalam kitab ‘akidahnya (hlm. 316-disertai syarah Ibnu Abil ‘Izz) mengatakan, “Kita tidak mengkafirkan seorang pun dari Ahlul Kiblat (kaum Muslimin) karena perbuatan dosa selama ia tidak menghalalkannya.”
Dan tidak diragukan lagi bahwa bid’ah adalah dosa yang sangat jelas dan maksiat yang sangat nyata. Dan dalil-dalil yang mengecamnya dan memerintahkan untuk menjauhinya sangat banyak sekali.[‘Ilmu Ushûl Bida’ hlm. 103-105]
(Disarikan dari almanhaj.or.id)