17. SYARAH ARBAIN NAWAWI HADITS KE 17
WAJIB BERLAKU BAIK DALAM SEGALA HAL
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
عَنْ أَبِيْ يَعْلَى شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ، عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : «إِنَّ اللهَ كَتَبَ اْلإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ. فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ، وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوْا الذِّبْحَةَ، وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ، وَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ». رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Dari Abu Ya’la Syaddad bin Aus Radhiyallahu anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah mewajibkan berlaku baik terhadap segala sesuatu. Maka jika kalian membunuh, hendaklah membunuh dengan cara yang baik. Jika kalian menyembelih, hendaklah menyembelih dengan cara yang baik. Hendaklah seorang dari kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan hewan sembelihannya”. (HR Muslim).
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh: Muslim (no. 1955), Ahmad (IV/123, 124, 125), Abu Dâwud (no. 2815), at-Tirmidzi (no. 1409), an-Nasâ`i (VII/227), Ibnu Mâjah (no. 3170), ath-Thayalisi (no. 1215), al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (no. 2783), ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (no. 8604), Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (no. 28386, 28388), Ibnul-Jarud dalam al-Muntaqa (no. 839, 899), ath-Thahawi dalam Syarh Ma’ânil-Âtsâr (III/184-185), al-Baihaqi dalam as-Sunanul-Kubra (VIII/60), ad-Darimi (II/82), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (VII/no. 7114-7123).
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh: Muslim (no. 1955), Ahmad (IV/123, 124, 125), Abu Dâwud (no. 2815), at-Tirmidzi (no. 1409), an-Nasâ`i (VII/227), Ibnu Mâjah (no. 3170), ath-Thayalisi (no. 1215), al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (no. 2783), ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (no. 8604), Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (no. 28386, 28388), Ibnul-Jarud dalam al-Muntaqa (no. 839, 899), ath-Thahawi dalam Syarh Ma’ânil-Âtsâr (III/184-185), al-Baihaqi dalam as-Sunanul-Kubra (VIII/60), ad-Darimi (II/82), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (VII/no. 7114-7123).
Semuanya dari jalan Abu Qilabah, dari Abul Asy’ats ash-Shan’ani, dari Syaddad bin Aus Radhiyallahu anhu.
Dalam riwayat lain dari Sahabat Anas bin Mâlik rahimahullah , Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا حَكَمْتُمْ فَاعْدِلُوْا ، وَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوْا ، فَإِنَّ اللهَ مُـحْسِنٌ يُـحِبُّ الْـمُحْسِنِيْنَ.
Apabila kalian menghukum (memutuskan suatu perkara), maka putuskanlah dengan adil dan apabila kalian membunuh, maka hendaklah membunuh dengan cara yang baik, karena sesungguhnya Allah itu Muhsin (selalu berbuat baik) dan Dia mencintai orang-orang yang berbuat baik.[1]
KEDUDUKAN HADITS
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini termasuk dari hadits-hadits yang mencakup kaidah-kaidah Islam.”[2] Karena, hadits ini menunjukkan keumuman berbuat baik dalam segala hal. Beliau menyuruh berbuat baik dalam membunuh dan berbuat baik dalam menyembelih hanyalah sebagai contoh atau perlunya menjelaskan hal itu. Oleh karena itu, Imam an-Nawawi rahimahullah telah benar dan tepat dalam memilih hadits ini dan memasukkannya ke dalam kitab al-Arba’în yang beliau susun. Hal itu karena hadits ini menyeru kepada kaidah yang umum, yang mencakup setiap perkataan dan perbuatan, dan ini merupakan maksud beliau dalam mengumpulkan empat puluh hadits.[3]
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini termasuk dari hadits-hadits yang mencakup kaidah-kaidah Islam.”[2] Karena, hadits ini menunjukkan keumuman berbuat baik dalam segala hal. Beliau menyuruh berbuat baik dalam membunuh dan berbuat baik dalam menyembelih hanyalah sebagai contoh atau perlunya menjelaskan hal itu. Oleh karena itu, Imam an-Nawawi rahimahullah telah benar dan tepat dalam memilih hadits ini dan memasukkannya ke dalam kitab al-Arba’în yang beliau susun. Hal itu karena hadits ini menyeru kepada kaidah yang umum, yang mencakup setiap perkataan dan perbuatan, dan ini merupakan maksud beliau dalam mengumpulkan empat puluh hadits.[3]
SYARAH HADITS (PENJELASAN HADITS)
1. Hukum Berbuat Baik.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allah mewajibkan berlaku baik terhadap segala sesuatu”.
1. Hukum Berbuat Baik.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allah mewajibkan berlaku baik terhadap segala sesuatu”.
Tekstual hadits menghendaki Allah mewajibkan berbuat baik kepada seluruh makhluk. Jadi, diwajibkan berbuat baik dalam segala hal dan kepada seluruh makhluk, baik manusia maupun binatang.
Kata al-Kitâbah berarti wajib menurut sebagian besar ahli fiqih dan ulama ushul fiqih. Kata “kitâbah” dalam Al-Qur`ân digunakan pada sesuatu yang bersifat wajib, seperti firman Allah Ta’ala:
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
… Sungguh, shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” [an-Nisâ`/4:103].
Dan firman Allah:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
… Diwajibkan atas kamu berpuasa… [al-Baqarah/2:183].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang shalat malam di bulan Ramadhan (shalat Tarawih):
إِنِّـيْ خَشِيْتُ أَنْ تُكْتَبَ عَلَيْكُمْ.
Aku khawatir (shalat itu) diwajibkan atas kalian.[4]
Jadi, hadits di atas menegaskan tentang kewajiban berbuat baik, karena Allah Ta’ala sendiri memerintahkannya. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan… . [an-Nahl/16: 90]
Dan firman-Nya Ta’ala:
ۛ وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
… Dan berbuat baiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang yang berbuat baik. [al-Baqarah/2:195].
2. Pengertian Ihsan
Ihsan adalah bentuk mashdar dari kata أَحْسَنَ – يُـحْسِنُ – إِحْسَانًا (ahsana, yuhsinu, ihsânan), maknanya ialah memberikan manfaat kepada orang lain.[5] Perintah berbuat baik ini terkadang bermakna wajib, seperti berbuat baik kepada kedua orang tua dan sanak kerabat, sesuai dengan kadar yang bisa menghasilkan bakti dan silaturahmi. Atau berbuat baik kepada tamu sesuai dengan kadar yang bisa menghasilkan jamuan untuknya. Dan terkadang perintah berbuat baik ini bermakna sunnah (dianjurkan), seperti shadaqah sunnah dan yang sepertinya.
Ihsan adalah bentuk mashdar dari kata أَحْسَنَ – يُـحْسِنُ – إِحْسَانًا (ahsana, yuhsinu, ihsânan), maknanya ialah memberikan manfaat kepada orang lain.[5] Perintah berbuat baik ini terkadang bermakna wajib, seperti berbuat baik kepada kedua orang tua dan sanak kerabat, sesuai dengan kadar yang bisa menghasilkan bakti dan silaturahmi. Atau berbuat baik kepada tamu sesuai dengan kadar yang bisa menghasilkan jamuan untuknya. Dan terkadang perintah berbuat baik ini bermakna sunnah (dianjurkan), seperti shadaqah sunnah dan yang sepertinya.
Hadits ini menunjukkan kewajiban berbuat baik kepada segala sesuatu, namun berbuat baik kepada sesuatu itu sesuai dengan kadarnya. Berbuat baik dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban yang terlihat dan tersembunyi ialah melaksanakannya dengan sempurna. Kadar berbuat baik dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban yang terlihat dan tersembunyi seperti itu wajib, sedang berbuat baik dengan cara menyempurnakan sunnah-sunnahnya adalah tidak wajib.
Berbuat baik dalam meninggalkan hal-hal yang diharamkan ialah dengan cara berhenti darinya dan meninggalkannya, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
وَذَرُوا ظَاهِرَ الْإِثْمِ وَبَاطِنَهُ
Dan tinggalkanlah dosa yang terlihat ataupun yang tersembunyi… [al-An’âm/6:120]
Kadar berbuat baik di dalamnya seperti itu adalah wajib.
Sedang berbuat baik dalam sabar terhadap takdir ialah bersabar terhadapnya sebagaimana mestinya tanpa menggerutu dan berkeluh-kesah.
Berbuat baik yang diwajibkan dalam berinteraksi dengan manusia dan makhluk ialah dengan menunaikan hak-hak mereka sebagaimana yang diwajibkan oleh Allah. Berbuat baik yang diwajibkan dalam memimpin manusia ialah melaksanakan semua kewajiban kepemimpinan, sedang kadar selebihnya yang tidak termasuk diwajibkan maka itu disebut ihsan.[6]
3. Berbuat Baik Dalam Membunuh
Berbuat baik dalam membunuh manusia dan hewan yang boleh dibunuh maksudnya ialah membunuhnya dengan secepat mungkin dan dengan cara yang paling mudah dan tidak boleh bertindak berlebihan seperti dengan menyiksanya karena itu perbuatan tercela dan tidak diperlukan.
Berbuat baik dalam membunuh manusia dan hewan yang boleh dibunuh maksudnya ialah membunuhnya dengan secepat mungkin dan dengan cara yang paling mudah dan tidak boleh bertindak berlebihan seperti dengan menyiksanya karena itu perbuatan tercela dan tidak diperlukan.
Itulah yang diperintahkan Nabi dalam hadits ini. Bisa jadi, beliau menyebutkan pembunuhan tersebut sebagai contoh, atau beliau perlu menjelaskannya. Oleh karena itu, berliau bersabda:
فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ، وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوْا الذِّبْحَةَ.
Maka jika kalian membunuh, hendaklah membunuh dengan cara yang baik. Dan jika kalian menyembelih, hendaklah menyembelih dengan cara yang baik.
Maksudnya, hendaklah kalian berbuat baik dalam tata cara menyembelih dan membunuh. Ini menunjukkan wajibnya mempercepat pembunuhan jiwa yang boleh dibunuh dengan cara yang paling mudah.
Ibnu Hazm rahimahullah menyebutkan adalah Ijma’ (kesepakatan) tentang wajibnya berbuat baik dalam membunuh.
Cara membunuh orang yang paling mudah ialah memenggal lehernya. Allah Ta’ala berfirman:
فَإِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا فَضَرْبَ الرِّقَابِ
Maka apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang), maka pukullah batang leher mereka… [Muhammad/47 : 4].
Allah Ta’ala berfirman:
سَأُلْقِي فِي قُلُوبِ الَّذِينَ كَفَرُوا الرُّعْبَ فَاضْرِبُوا فَوْقَ الْأَعْنَاقِ وَاضْرِبُوا مِنْهُمْ كُلَّ بَنَانٍ
…Kelak akan Aku berikan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka pukullah di atas leher mereka, dan pukullah tiap-tiap ujung jari mereka. [al-Anfâl/8:12].[7]
4. Larangan Mencincang-Cincang (Mutilasi) Dalam Pembunuhan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila mengutus pasukan untuk jihad di jalan Allah beliau bersabda:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila mengutus pasukan untuk jihad di jalan Allah beliau bersabda:
اغْزُوا بِاسْمِ اللهِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ. قَاتِلُوْا مَنْ كَفَرَ بِاللهِ. اغْزُوْا وَلَا تَغُلُّوْا وَلَا تَغْدِرُوْا وَلَا تـَمْثُلُوْا وَلَا تَقْتُلُوْا وَلِيْدًا …
Berperanglah dengan menyebut nama Allah di jalan Allah, perangilah orang-orang yang kafir kepada Allah. Berperanglah kalian dan jangan berlebihan, jangan berkhianat, jangan mencincang-cincang (musuh), dan jangan membunuh anak-anak…[8]
Al-Bukhâri rahimahullah meriwayatkan hadits ‘Abdullah bin Yazid Radhiyallahu anhu, ia berkata:
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ النُّهْبَى وَالْـمُثْلَةِ.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari perampasan dan mencincang-cincang (musuh).[9]
5. Bentuk Pembunuhan Yang Diperbolehkan
Ketahuilah bahwa pembunuhan yang diperbolehkan itu terjadi karena dua sebab.
Ketahuilah bahwa pembunuhan yang diperbolehkan itu terjadi karena dua sebab.
Pertama : Qishash. Jadi, penyincangan tidak boleh dilakukan terhadap orang yang diqishash, namun orang itu dibunuh sebagaimana ia membunuh korbannya. Jika orang yang diqishash itu mencincang-cincang korban apakah ia juga dicincang-cincang ataukah ia dibunuh dengan pedang? Ada dua pendapat ulama dalam masalah ini.
a). Orang yang diqishash tersebut ditindak seperti ia membunuh korban. Ini pendapat Imam Mâlik, asy-Syafi’i, dan Ahmad dalam pendapat yang terkenal darinya.
Dalam Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim disebutkan hadits dari Anas bin Mâlik Radhiyalahu anhu, ia berkata: “Seorang gadis keluar dengan mengenakan perhiasan dari perak kemudian dilempar orang Yahudi dengan batu. Gadis itu dibawa ke hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan hendak sekarat. Beliau berkata kepada gadis itu, ‘Apakah seseorang telah membunuhmu?’ Gadis itu mengangkat kepalanya. Rasulullah bertanya kepada gadis itu untuk ketiga kalinya, ‘Apakah seseorang telah membunuhmu?’ Gadis itu menganggukkan kepalanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil pembunuh gadis itu kemudian memecahkan kepalanya dengan dua batu.”
Dalam riwayat lain: “Kemudian pembunuh itu ditangkap dan ia mengakui perbuatannya.”
Dalam riwayat Muslim disebutkan: “Seorang Yahudi membunuh seorang gadis kaum Anshar yang mengenakan perhiasan perak, kemudian melemparkannya di sumur dan memecahkan kepalanya dengan batu. Orang Yahudi itu ditangkap, dibawa ke hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kemudian beliau memerintahkan agar orang Yahudi itu dirajam hingga meninggal dunia. Orang Yahudi itu pun dirajam hingga meninggal dunia”.[10]
b). Tidak ada qishash kecuali dengan pedang. Ini pendapat Imam Sufyan ats-Tsauri, Abu Hanifah, dan satu riwayat dari Imam Ahmad.
Ada riwayat ketiga dari Imam Ahmad bahwa pembunuh ditindak seperti ia membunuh korban, kecuali jika pembunuh itu membunuh korban dengan membakar atau mencincang-cincangnya. Jadi, ia dibunuh dengan pedang karena ada larangan mencincang-cincang dan membakar orang. Riwayat ini dinukil dari Imam Ahmad oleh al-Atsram.
Ada riwayat ketiga dari Imam Ahmad bahwa pembunuh ditindak seperti ia membunuh korban, kecuali jika pembunuh itu membunuh korban dengan membakar atau mencincang-cincangnya. Jadi, ia dibunuh dengan pedang karena ada larangan mencincang-cincang dan membakar orang. Riwayat ini dinukil dari Imam Ahmad oleh al-Atsram.
Kedua : Pembunuhan karena kekafiran. Baik kekafiran hakiki maupun kekafiran dalam bentuk murtad (keluar) dari Islam. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa penyincangan di dalamnya adalah makruh dan orang kafir tersebut cukup dibunuh dengan pedang.
Telah diriwayatkan dari sejumlah ulama Salaf yang membolehkan penyincangan orang kafir, misalnya dengan membakarnya dan lain sebagainya, seperti yang dilakukan Khalid bin al-Walid Radhiyallahu anhu dan selainnya.
Orang-orang yang membolehkan mencincang orang kafir berhujjah dengan hadits tentang orang-orang Urainah. Al-Bukhâri dan Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahîh, keduanya[11] dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu : “Bahwa orang-orang Urainah datang kepada Rasulullah di Madinah kemudian mereka menderita sakit perut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka, ‘Jika kalian mau, silakan pergi ke unta zakat kemudian minum susu dan air kencingnya.’ Mereka melaksanakan saran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka pun sehat kembali. Tetapi kemudian mereka menoleh kepada para penggembala unta tersebut, membunuh mereka, murtad dari Islam, dan mengambil unta-unta milik Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Hal tersebut didengar Nabi kemudian beliau mengutus seorang sahabat untuk menyelusuri jejak-jejak mereka. Sahabat tersebut berhasil mendatangkan mereka, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memotong tangan dan kaki mereka, mencungkil mata mereka, dan membiarkan mereka di bawah terik matahari hingga mereka meninggal dunia”.
Dalam riwayat lain disebutkan: “Mata mereka dicelaki dengan paku yang telah dipanaskan dengan api dan diletakkan di bawah terik matahari. Mereka minta air namun tidak diberi air”.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukuman bagi orang-orang seperti mereka. Ada ulama yang mengatakan: “Barang siapa berbuat seperti mereka kemudian murtad, memerangi kaum Muslimin, dan merampas harta, ia diperlakukan seperti mereka.” Ini diriwayatkan dari sejumlah ulama, seperti Abu Qilabah, dan ini satu riwayat dari pendapat Imam Ahmad.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencungkil mata orang-orang Urainah karena mereka mencungkil mata penggembala. Itu yang diriwayatkan Muslim dari hadits Anas.
6. Larangan Membunuh Dengan Cara Membakar
Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau pernah mengizinkan pembakaran orang kafir dengan api, kemudian beliau melarangnya, seperti yang disebutkan dalam Shahîh al-Bukhâri dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengirim kami dalam salah satu detasemen (pasukan) kemudian beliau bersabda, ‘Jika kalian menemukan si Fulan dan Fulan, keduanya orang Quraisy, bakarlah keduanya’. Ketika kami hendak berangkat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Aku telah memerintahkan kalian untuk membakar si Fulan dan si Fulan, dan sesungguhnya tidak boleh menyiksa dengan api kecuali Allah. Oleh karena itu, jika kalian menemukan kedua orang tersebut, bunuhlah keduanya’.”[12]
Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau pernah mengizinkan pembakaran orang kafir dengan api, kemudian beliau melarangnya, seperti yang disebutkan dalam Shahîh al-Bukhâri dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengirim kami dalam salah satu detasemen (pasukan) kemudian beliau bersabda, ‘Jika kalian menemukan si Fulan dan Fulan, keduanya orang Quraisy, bakarlah keduanya’. Ketika kami hendak berangkat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Aku telah memerintahkan kalian untuk membakar si Fulan dan si Fulan, dan sesungguhnya tidak boleh menyiksa dengan api kecuali Allah. Oleh karena itu, jika kalian menemukan kedua orang tersebut, bunuhlah keduanya’.”[12]
Diriwayatkan pula dalam Shahîh al-Bukhâri dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تُعَذِّبُوْا بِعَذَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ.
Janganlah kalian menyiksa dengan siksaan Allah ‘Azza wa Jalla.[13]
Sebagian besar ulama memandang makruh membakar manusia bahkan terhadap singa sekalipun.
Diriwayatkan dengan shahîh dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melarang penahanan hewan ternak, maksudnya hewan ternak ditahan kemudian dipukuli dengan panah atau lain-lain hingga mati. Anas bin Mâlik berkata bahwa:
نَهَى النَّبِيُّ أَنْ تُصْبَرَ الْبَهَائِمُ.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang penahanan hewan ternak, kemudian disiksa.[14]
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma bahwa ia berjalan melewati salah satu kaum yang memancangkan seekor ayam kemudian melemparinya. Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma berkata: “Siapakah yang melakukan ini? Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat siapa saja yang melakukan seperti ini”.[15]
Ibnu ‘Abbas c berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَتَّخِذُوْا شَيْئًا فِيْهِ الرُّوْحُ غَرَضًا.
Janganlah kalian jadikan sesuatu yang di dalamnya terdapat ruh (makhluk bernyawa) sebagai sasaran.[16]
Yang dimaksud dengan sasaran ialah sesuatu yang dilempari dengan panah. Banyak sekali hadits yang semakna dengan ini.
7. Berlaku Baik Saat Menyembelih Hewan
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Jika kalian menyembelih, hendaklah menyembelih dengan cara yang baik. Hendaklah seorang dari kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan hewan sembelihannya”.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Jika kalian menyembelih, hendaklah menyembelih dengan cara yang baik. Hendaklah seorang dari kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan hewan sembelihannya”.
Dan termasuk berbuat baik dalam proses menyembelih ialah memperhatikan syarat-syarat wajib dan anjuran yang terdapat dalam syari’at, di antaranya ialah:
1. Alat yang dipakai harus tajam dan dapat mengalirkan darah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللهِ فَكُلْ ، لَيْسَ الظُّفُرَ وَالسِّنَّ …
Apa saja yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan nama Allah (waktu menyembelihnya), maka makanlah. Selain kuku dan gigi….[17]
Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ…
Hendaklah seorang dari kalian menajamkan pisaunya….
2. Memotong tenggorokan, kerongkongan, dan dua urat leher sekaligus dengan cepat.
Boleh menyembelih hewan dengan cara melukai bagian mana saja hingga mati apabila hewan tersebut sulit untuk disembelih secara syar’i, misalnya hewan yang terjatuh ke dalam sumur atau liar dan sulit untuk ditangkap. Hal ini berdasarkan sabda beliau mengenai unta yang kabur dan sulit untuk menangkapnya lalu seorang sahabat memanahnya: “Sesungguhnya di antara unta-unta ini ada yang liar seperti liarnya binatang buas. Maka jika di antara unta itu ada yang sempat membuat kalian kerepotan, maka lakukanlah hal itu terhadapnya”.[18] Maksudnya panahlah di lehernya atau bunuhlah, kemudian makanlah.
Boleh menyembelih hewan dengan cara melukai bagian mana saja hingga mati apabila hewan tersebut sulit untuk disembelih secara syar’i, misalnya hewan yang terjatuh ke dalam sumur atau liar dan sulit untuk ditangkap. Hal ini berdasarkan sabda beliau mengenai unta yang kabur dan sulit untuk menangkapnya lalu seorang sahabat memanahnya: “Sesungguhnya di antara unta-unta ini ada yang liar seperti liarnya binatang buas. Maka jika di antara unta itu ada yang sempat membuat kalian kerepotan, maka lakukanlah hal itu terhadapnya”.[18] Maksudnya panahlah di lehernya atau bunuhlah, kemudian makanlah.
3. Membaca basmalah (bismillâh).
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ
Dan janganlah kamu memakan dari apa (daging hewan) yang (ketika disembelih) tidak disebut nama Allah… [al-An’âm/6:121].
Juga berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللهِ فَكُلْ ، لَيْسَ الظُّفُرَ وَالسِّنَّ …
Apa saja yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan nama Allah (waktu menyembelihnya), maka makanlah. Selain kuku dan gigi…[19]
Apabila tidak diketahui, apakah hewan tersebut disembelih dengan membaca basmalah atau tidak, atau lupa ketika menyembelihnya, maka membaca basmalah dilakukan ketika hendak makan hewan sembelihan tersebut. Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwa suatu kaum yang baru saja masuk Islam berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
يَا رَسُوْلَ اللهِ ، إِنَّ قَوْمًا يَأْتُوْنَنَا بِاللَّحْمِ لَا نَدْرِيْ أَذَكَرُوا اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ ، أَمْ لَا ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : «سَمُّوا اللهَ عَلَيْهِ وَكُلُوْهُ ».
“Wahai Rasululllah, sesungguhnya ada suatu kaum yang datang kepada kami dengan membawa daging yang kami tidak mengetahui apakah disebutkan nama Allah atau tidak?” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka, “Sebutlah oleh kalian nama Allah padanya (baca: bismillâh), kemudian makanlah.” [20]
4. Sifat orang yang menyembelih.
Yaitu orang Islam, berakal, baligh, atau anak kecil yang telah tamyiz, atau Ahlul Kitab (Yahudi dan Nashrani), dengan syarat sembelihan mereka bukan untuk dipersembahkan untuk gereja atau hari raya mereka. Tentang makanan (sembelihan) Ahlul Kitab dihalalkan dalam surat al-Mâ`idah, ayat 5. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah makan paha kambing yang dihadiahkan oleh seorang perempuan Yahudi di Khaibar.[21]
Yaitu orang Islam, berakal, baligh, atau anak kecil yang telah tamyiz, atau Ahlul Kitab (Yahudi dan Nashrani), dengan syarat sembelihan mereka bukan untuk dipersembahkan untuk gereja atau hari raya mereka. Tentang makanan (sembelihan) Ahlul Kitab dihalalkan dalam surat al-Mâ`idah, ayat 5. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah makan paha kambing yang dihadiahkan oleh seorang perempuan Yahudi di Khaibar.[21]
5. Tidak mengasah pisau di hadapan hewan sembelihan.
Diriwayatkan Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati seorang yang meletakkan kakinya di atas perut seekor kambing sambil mengasah pisau, sedang kambing itu melihatnya dengan mata kepalanya, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mengapa engkau tidak melakukannya sebelum ini? Atau apakah engkau hendak membuatnya mati dengan dua kematian?” [22]
Diriwayatkan Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati seorang yang meletakkan kakinya di atas perut seekor kambing sambil mengasah pisau, sedang kambing itu melihatnya dengan mata kepalanya, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mengapa engkau tidak melakukannya sebelum ini? Atau apakah engkau hendak membuatnya mati dengan dua kematian?” [22]
6. Tidak memotong sesuatu dari tubuh hewan sembelihan hingga menyembelih benar-benar selesai dan tidak berlebihan dalam memotongnya.[23]
Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk berbuat baik dalam pembunuhan dan penyembelihan. Beliau memerintahkan penajaman pisau dan menyenangkan hewan sembelihan. Ini menunjukkan bahwa penyembelihan dengan senjata tajam itu menyenangkan hewan sembelihan karena pisau tajam mempercepat kematiannya.
Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk berbuat baik dalam pembunuhan dan penyembelihan. Beliau memerintahkan penajaman pisau dan menyenangkan hewan sembelihan. Ini menunjukkan bahwa penyembelihan dengan senjata tajam itu menyenangkan hewan sembelihan karena pisau tajam mempercepat kematiannya.
FAWÂ`ID (MANFAAT) HADITS
1. Kasih sayang dan rahmat Allah Ta’ala kepada seluruh makhluk.
2. Perintah berlaku baik dalam segala hal. Termasuk berbuat baik ialah menunjukkan jalan kepada seseorang, memberikan makanan, amar ma’ruf nahi mungkar, dan lain sebagainya.
3. Wajib berlaku baik dalam segala hal karena Allah mewajibkan hal itu, maksudnya mensyari’atkannya secara tegas.
4. Sesungguhnya perintah dan hukum itu milik Allah semata berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allah mewajibkan berlaku baik terhadap segala sesuatu”.
5. Ketetapan Allah itu ada dua: ketetapan takdir dan ketetapan syari’at. Ketetapan takdir pasti terjadi, sedang ketetapan syari’at (kewajiban) terkadang terjadi pada seseorang terkadang juga tidak.
6. Kebaikan itu mencakup segala hal dan seseorang bisa melakukan kebaikan dalam segala hal berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allah mewajibkan berlaku baik terhadap segala sesuatu.”
7. Al-Muhsin termasuk dari Asma`ul-Husna (nama-nama Allah yang indah).[24]
8. Di antara sifat Allah Azza wa Jalla adalah al-Ihsân, yaitu menyampaikan kebaikan dan nikmat serta mengatur segala sesuatu dengan rapi. [25]
9. Baiknya pengajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara memberikan permisalan karena pengajaran dengan cara memberi permisalan lebih dapat mendekatkan kepada maksud yang diinginkan.
10. Wajibnya berbuat baik dalam cara membunuh.
11. Dilarang membunuh dengan cara membakar dan mencincang seseorang setelah dia meninggal tanpa alasan yang dibenarkan.
12. Wajibnya berlaku baik dalam menyembelih, yaitu menyembelih dengan cara yang disyari’atkan.
13. Wajibnya menajamkan pisau untuk menyembelih, yaitu dengan mengasahnya, karena hal itu lebih memudahkan dalam penyembelihan.
14. Tidak boleh mengasah pisau di depan hewan yang akan disembelih.
15. Wajibnya menyenangkan hewan sembelihan, yaitu dengan menyembelih secepat mungkin.
16. Wajib membaca bismillâh ketika menyembelih.
17. Tidak boleh makan sembelihan yang tidak dibaca bismillâh ketika menyembelihnya.
18. Jika seseorang tidak tahu apakah sembelihan itu dibacakan bismillâh atau tidak, hendaklah ia membaca bismillâh ketika memakannya.
Wallâhu a’lam.
1. Kasih sayang dan rahmat Allah Ta’ala kepada seluruh makhluk.
2. Perintah berlaku baik dalam segala hal. Termasuk berbuat baik ialah menunjukkan jalan kepada seseorang, memberikan makanan, amar ma’ruf nahi mungkar, dan lain sebagainya.
3. Wajib berlaku baik dalam segala hal karena Allah mewajibkan hal itu, maksudnya mensyari’atkannya secara tegas.
4. Sesungguhnya perintah dan hukum itu milik Allah semata berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allah mewajibkan berlaku baik terhadap segala sesuatu”.
5. Ketetapan Allah itu ada dua: ketetapan takdir dan ketetapan syari’at. Ketetapan takdir pasti terjadi, sedang ketetapan syari’at (kewajiban) terkadang terjadi pada seseorang terkadang juga tidak.
6. Kebaikan itu mencakup segala hal dan seseorang bisa melakukan kebaikan dalam segala hal berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allah mewajibkan berlaku baik terhadap segala sesuatu.”
7. Al-Muhsin termasuk dari Asma`ul-Husna (nama-nama Allah yang indah).[24]
8. Di antara sifat Allah Azza wa Jalla adalah al-Ihsân, yaitu menyampaikan kebaikan dan nikmat serta mengatur segala sesuatu dengan rapi. [25]
9. Baiknya pengajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara memberikan permisalan karena pengajaran dengan cara memberi permisalan lebih dapat mendekatkan kepada maksud yang diinginkan.
10. Wajibnya berbuat baik dalam cara membunuh.
11. Dilarang membunuh dengan cara membakar dan mencincang seseorang setelah dia meninggal tanpa alasan yang dibenarkan.
12. Wajibnya berlaku baik dalam menyembelih, yaitu menyembelih dengan cara yang disyari’atkan.
13. Wajibnya menajamkan pisau untuk menyembelih, yaitu dengan mengasahnya, karena hal itu lebih memudahkan dalam penyembelihan.
14. Tidak boleh mengasah pisau di depan hewan yang akan disembelih.
15. Wajibnya menyenangkan hewan sembelihan, yaitu dengan menyembelih secepat mungkin.
16. Wajib membaca bismillâh ketika menyembelih.
17. Tidak boleh makan sembelihan yang tidak dibaca bismillâh ketika menyembelihnya.
18. Jika seseorang tidak tahu apakah sembelihan itu dibacakan bismillâh atau tidak, hendaklah ia membaca bismillâh ketika memakannya.
Wallâhu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Hasan. HR ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Ausath (VI/342-343, no. 5731). Imam al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath, dan perawinya tsiqât.” Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 469).
[2]. Syarh Shahîh Muslim (XIII/107).
[3]. Qawâ`id wa Fawâid minal-Arba’în an-Nawawiyyah, hlm. 153.
[4]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 729) dari ‘Aisyah x . Diriwayatkan juga oleh al-Bukhâri (no. 7290), Ahmad (V/182, 184, 187), dan an-Nasâ`i (III/198) dari Zaid bin Tsabit .
[5]. Lihat Qawâ’id wa Fawâ`id, hlm. 154.
[6]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/381-382).
[7]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/382).
[8]. Shahîh. HR Muslim (no. 1731) dari Buraidah Radhiyallahu anhu.
[9].Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 2474, 5516).
[10]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6877) dan Muslim (no. 1672).
[11]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 233, 3018, 4610, 6899) dan Muslim (no. 1671).
[12]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 3016).
[13]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 3017).
[14]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 5513) dan Muslim (no. 1956).
[15]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 5514) dan Muslim (no. 1958).
[16]. Shahîh. HR Muslim (no. 1957).
[17]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 5503), Muslim (no. 1968), Abu Dâwud (no. 2821), at-Tirmidzi (no. 1491), an-Nasâ`i (VII/226), dan Ibnu Mâjah (no. 3178) dari ‘Abayah bin Rifa’ah Radhiyallahu anhuma .
[18]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no.5543) dan Muslim (no. 1968) dari Râfi’ bin Khadîj Radhiyallahu anhu.
[19]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 5503), Muslim (no. 1986), Abu Dâwud (no. 2804), at-Tirmidzi (no. 1522), an-Nasâ`i (VII/226), dan Ibnu Mâjah (no. 3178) dari ‘Abayah bin Rifa’ah .[19]
[20]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 2057) dan selainnya.
[21]. Tentang bahasan ini lihat at-Ta’lîqâtur-Radhiyyah ‘alâ ar-Raudhatun-Nadiyyah (III/66-71).
[22]. Hasan. HR ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (no. 11916). Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 24)
[23]. Lihat Qawâ’id wa Fawâ`id minal Arba’în an-Nawawiyyah (hlm. 156-157) dengan sedikit perubahan dan tambahan.
[24]. Lihat Shifatullah ‘Azza wa Jalla al-Wâridah fil-Kitâbi was-Sunnah (hlm. 42-43) karya ‘Alawi bin ‘Abdul Qadir as-Saqqaf.
[25]. Lihat Shifatullah ‘Azza wa Jalla al-Wâridah fil-Kitâbi was-Sunnah (hlm. 42-43) karya ‘Alawi bin ‘Abdul Qadir as-Saqqaf.
_______
Footnote
[1]. Hasan. HR ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Ausath (VI/342-343, no. 5731). Imam al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath, dan perawinya tsiqât.” Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 469).
[2]. Syarh Shahîh Muslim (XIII/107).
[3]. Qawâ`id wa Fawâid minal-Arba’în an-Nawawiyyah, hlm. 153.
[4]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 729) dari ‘Aisyah x . Diriwayatkan juga oleh al-Bukhâri (no. 7290), Ahmad (V/182, 184, 187), dan an-Nasâ`i (III/198) dari Zaid bin Tsabit .
[5]. Lihat Qawâ’id wa Fawâ`id, hlm. 154.
[6]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/381-382).
[7]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/382).
[8]. Shahîh. HR Muslim (no. 1731) dari Buraidah Radhiyallahu anhu.
[9].Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 2474, 5516).
[10]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6877) dan Muslim (no. 1672).
[11]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 233, 3018, 4610, 6899) dan Muslim (no. 1671).
[12]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 3016).
[13]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 3017).
[14]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 5513) dan Muslim (no. 1956).
[15]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 5514) dan Muslim (no. 1958).
[16]. Shahîh. HR Muslim (no. 1957).
[17]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 5503), Muslim (no. 1968), Abu Dâwud (no. 2821), at-Tirmidzi (no. 1491), an-Nasâ`i (VII/226), dan Ibnu Mâjah (no. 3178) dari ‘Abayah bin Rifa’ah Radhiyallahu anhuma .
[18]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no.5543) dan Muslim (no. 1968) dari Râfi’ bin Khadîj Radhiyallahu anhu.
[19]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 5503), Muslim (no. 1986), Abu Dâwud (no. 2804), at-Tirmidzi (no. 1522), an-Nasâ`i (VII/226), dan Ibnu Mâjah (no. 3178) dari ‘Abayah bin Rifa’ah .[19]
[20]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 2057) dan selainnya.
[21]. Tentang bahasan ini lihat at-Ta’lîqâtur-Radhiyyah ‘alâ ar-Raudhatun-Nadiyyah (III/66-71).
[22]. Hasan. HR ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (no. 11916). Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 24)
[23]. Lihat Qawâ’id wa Fawâ`id minal Arba’în an-Nawawiyyah (hlm. 156-157) dengan sedikit perubahan dan tambahan.
[24]. Lihat Shifatullah ‘Azza wa Jalla al-Wâridah fil-Kitâbi was-Sunnah (hlm. 42-43) karya ‘Alawi bin ‘Abdul Qadir as-Saqqaf.
[25]. Lihat Shifatullah ‘Azza wa Jalla al-Wâridah fil-Kitâbi was-Sunnah (hlm. 42-43) karya ‘Alawi bin ‘Abdul Qadir as-Saqqaf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar