8. Syarah Hadits Arbain Imam An Nawawi Kedelapan: Kehormatan Seorang Muslim (2)
KEHORMATAN DARAH DAN HARTA SEORANG MUSLIM
SYARAH HADITS ARBAIN NAWAWI KE 8
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
عَنِ ابْنِ عُمَرَ ضِيَ اللهُ عَنْهُمَـا ، أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ قَالَ : أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ، فَإِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ عَصَمُوْا مِنِّيْ دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ اْلإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ تَعَالَى.
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Aku diperintahkan memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, dan membayar zakat. Jika mereka melakukan hal tersebut, maka darah dan harta mereka terlindungi dariku, kecuali dengan hak Islam dan hisab (pehitungan) mereka pada Allah Ta’ala.
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh, diriwayatkan dari jalan Waqid bin Muhammad bin Zaid bin ‘Umar, dari ayahnya, dari kakeknya, ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma.
Hadits ini diriwayatkan oleh:
1. Imam al-Bukhari (no. 25).
2. Imam Muslim (no. 22).
3. Imam Ibnu Mandah dalam Kitâbul-Îmân (no. 25).
4. Imam Ibnu Hibban (no. 175, 219 dalam at-Ta’lîqâtul-Hisân).
5. Imam ad-Daraquthni (I/512, no. 886).
6. Imam al-Baihaqi dalam as-Sunanul-Kubra (III/92, 367, VIII/177).
7. Imam al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (no. 33).
Hadits ini shahîh, diriwayatkan dari jalan Waqid bin Muhammad bin Zaid bin ‘Umar, dari ayahnya, dari kakeknya, ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma.
Hadits ini diriwayatkan oleh:
1. Imam al-Bukhari (no. 25).
2. Imam Muslim (no. 22).
3. Imam Ibnu Mandah dalam Kitâbul-Îmân (no. 25).
4. Imam Ibnu Hibban (no. 175, 219 dalam at-Ta’lîqâtul-Hisân).
5. Imam ad-Daraquthni (I/512, no. 886).
6. Imam al-Baihaqi dalam as-Sunanul-Kubra (III/92, 367, VIII/177).
7. Imam al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (no. 33).
Hadits ini diriwayatkan juga dari sahabat yang lainnya, di antaranya:
1. Dari Sahabat Abu Hurairah. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1399, 1456, 6924, 7284, 7285), ‘Abdur-Razzaq dalam al-Mushannaf (no. 18718), Ahmad (I/19, 35, 37-38, II/423, 528), Muslim (no. 20, 21), Abu Dawud (no. 1556), at-Tirmidzi (no. 2607), an-Nasâ`i (V/14, VII/77), Ibnu Majah (no. 71, 3927), Ibnu Mandah dalam al-Îmân (no. 215, 216), Ibnu Hibban (no. 216, 217, 218, 220 dalam at-Ta’lîqâtul Hisân), al-Baihaqi (III/92, IV/104, VIII/177), al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (no. 32), al-Hakim (I/387), dan selainnya.
1. Dari Sahabat Abu Hurairah. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1399, 1456, 6924, 7284, 7285), ‘Abdur-Razzaq dalam al-Mushannaf (no. 18718), Ahmad (I/19, 35, 37-38, II/423, 528), Muslim (no. 20, 21), Abu Dawud (no. 1556), at-Tirmidzi (no. 2607), an-Nasâ`i (V/14, VII/77), Ibnu Majah (no. 71, 3927), Ibnu Mandah dalam al-Îmân (no. 215, 216), Ibnu Hibban (no. 216, 217, 218, 220 dalam at-Ta’lîqâtul Hisân), al-Baihaqi (III/92, IV/104, VIII/177), al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (no. 32), al-Hakim (I/387), dan selainnya.
2. Dari Sahabat Jabir. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 21 (35), at-Tirmidzi (no. 3341), Ibnu Majah (no. 72, 3928), al-Hakim (II/522), dan selainnya.
3. Dari Sahabat Anas bin Malik. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 391, 392, 393), Ahmad (III/199, 225), Ibnu Nashr al-Marwazi dalam Ta’zhîm Qadrish-Shalâh (no. 9), Abu Dawud (no. 2641), at-Tirmidzi (no. 2608), an-Nasaa`i (VII/75-77, VIII/109), Ibnu Hibban (no. 5865 dalam at-Ta’lîqâtul- Hisân), al-Baihaqi (III/92, VIII/177), al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (no. 34), dan selainnya.
4. Dan dari Sahabat yang lainnya. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah menilai hadits ini shahih mutawatir dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 407, 408, 409, dan 410).
BIOGRAFI PERAWI HADITS
Beliau adalah ‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khaththab bin Nufail al-Qurasyi al-Adawi Radhiyallahu anhuma. Kunyahnya adalah Abu ‘Abdir-Rahman dan sering pula dipanggil Ibnu ‘Umar. Beliau Radhiyallahu anhuma lahir pada tahun ketiga Kenabian. Dia masuk Islam bersama ayahnya (‘Umar bin al-Khaththab) dan dia ikut hijrah juga bersama ayahnya. Pada Perang Badar dan Perang Uhud dia ingin ikut tetapi ditolak, karena masih kecil. Kemudian dalam Perang Khandaq dia ikut, waktu itu umurnya sudah mencapai 15 tahun. Dia termasuk orang yang ikut serta dalam Bai’atur-Ridwan.
Beliau adalah ‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khaththab bin Nufail al-Qurasyi al-Adawi Radhiyallahu anhuma. Kunyahnya adalah Abu ‘Abdir-Rahman dan sering pula dipanggil Ibnu ‘Umar. Beliau Radhiyallahu anhuma lahir pada tahun ketiga Kenabian. Dia masuk Islam bersama ayahnya (‘Umar bin al-Khaththab) dan dia ikut hijrah juga bersama ayahnya. Pada Perang Badar dan Perang Uhud dia ingin ikut tetapi ditolak, karena masih kecil. Kemudian dalam Perang Khandaq dia ikut, waktu itu umurnya sudah mencapai 15 tahun. Dia termasuk orang yang ikut serta dalam Bai’atur-Ridwan.
Ia pernah bermimpi seolah-olah ada dua Malaikat membawanya, lalu ia ceritakan kepada saudara perempuannya, Hafshah (isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) dan Hafshah menceritakannya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
نِعْمَ الرَّجُلُ عَبْدُ اللهِ لَوْ كَانَ يُصَلِّى مِنَ اللَّيْلِ.
Sebaik-baik orang adalah ‘Abdullah, seandainya ia shalat malam.[1]
Sesudah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian, ia tidak banyak tidur di waktu malam, sebagian besar waktu malamnya digunakan untuk shalat, istighfar kepada Allah, dan terkadang ia melakukannya hingga menjelang sahur. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Hafshah, “Sesungguhnya saudaramu (Ibnu ‘Umar) seorang yang shalih.”[1]
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata, “Sesungguhnya pemuda Quraisy yang paling zuhud terhadap dunia adalah Ibnu ‘Umar.”[3]
Apabila membaca ayat 16 dari surat al-Hadid, ia selalu menangis.[4]
Keistimewaan-keistimewaan Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma ialah, ilmunya banyak tetapi tidak kibr (sombong), apabila ditanyakan tentang sesuatu yang tidak dia ketahui, ia berkata: “Aku tidak tahu.” Ia rendah hati, rajin shalat malam, tekun dalam beribadah, teguh pendirian dan dermawan. Ia tidak ikut campur dalam perselisihan yang terjadi antara ‘Ali dan Mu’awiyah (keduanya adalah Sahabat yang dipuji oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Ibnu ‘Umar termasuk di antara tujuh sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits, dan dia menempati urutan kedua setelah Abu Hurairah. Ia meriwayatkan 2630 hadits.[5]
Ibnu ‘Umar termasuk di antara tujuh sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits, dan dia menempati urutan kedua setelah Abu Hurairah. Ia meriwayatkan 2630 hadits.[5]
Haditsnya yang disepakati oleh Imam al-Bukhari dan Muslim sebanyak 168 hadits. Yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari 81 hadits, dan yang diriwayatkan oleh Imam Muslim 31 hadits. Ada beberapa sahabat yang meriwayatkan hadits darinya.
Beliau wafat di Makkah tahun 73 H pada usia 83 tahun dan dimakamkan di sana. Ada pendapat dari Imam Malik bahwa beliau wafat pada usia 87 tahun.[6]
KEDUDUKAN HADITS
Hadits ini sangat agung karena menjelaskan kaidah-kaidah agama dan pokoknya berupa mentauhidkan Allah Ta’ala, mendirikan shalat, membayar zakat, melaksanakan jihad fî sabîlillâh, dan pelaksanaan berbagai kewajiban lainnya dalam syariat Islam. Hadits ini pun menerangkan bahwasanya darah dan harta seorang muslim adalah haram (tidak boleh ditumpahkan dan dirampas).
Hadits ini sangat agung karena menjelaskan kaidah-kaidah agama dan pokoknya berupa mentauhidkan Allah Ta’ala, mendirikan shalat, membayar zakat, melaksanakan jihad fî sabîlillâh, dan pelaksanaan berbagai kewajiban lainnya dalam syariat Islam. Hadits ini pun menerangkan bahwasanya darah dan harta seorang muslim adalah haram (tidak boleh ditumpahkan dan dirampas).
PENJELASAN HADITS
1. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
1. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ…
Aku diperintah untuk memerangi manusia.
Yang menyuruh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memerangi manusia adalah Allah Ta’ala. Sebab, tidak ada yang memerintah beliau selain Allah Ta’ala. Apabila seorang sahabat berkata, “Kami diperintah dengan ini, atau kami dilarang dari ini,” maka orang yang memerintah dan melarang mereka adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[7]
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah menjelaskan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Aku diperintah untuk memerangi manusia”. Manusia yang dimaksud di sini adalah kaum musyrikin penyembah berhala, bukan Ahlul-Kitab. Hal ini berdasarkan hadits riwayat an-Nasâ`i, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ الْمُشْرِكِيْنَ…
Aku diperintahkan untuk memerangi kaum musyrikin.[8]
Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
…إِلاَّ بِحَقِّ اْلإِسْلاَمِ…
(kecuali dengan hak Islam), ini hanya diriwayatkan al-Bukhari, sedangkan Muslim tidak meriwayatkannya.
Ada hadits semakna yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari berbagai jalur. Di dalam Shahîh al-Bukhari disebutkan hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله، فَإِذَا شَهِدُوْا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله، وَصَلَّوْا صَلاَتَنَا، وَاسْتَقْبَلُوْا قِبْلَتَنَا، وَأَكَلُوْا ذَبِيْحَتَنَا؛ فَقَدْ حَرُمَتْ عَلَيْنَا دِمَاؤُهُمْ وَ أَمْوَالُهُمْ إِلاَّ بِحَقِّهَا. لَهُمْ مَا لِلْمُسْلِمِيْنَ وَعَلَيْهِمْ مَا عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ.
Aku diperintahkan memerangi manusia (yakni kaum musyrikin) hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Jika mereka telah bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, kemudian shalat seperti shalat kami, menghadap kiblat kami, dan memakan hewan sembelihan kami, sungguh darah dan harta mereka diharamkan terhadap kami, kecuali dengan haknya. Mereka memiliki hak yang sama seperti kaum Muslimin, dan mereka memiliki kewajiban yang sama seperti kaum Muslimin.[9]
Hadits yang sama diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Namun hadits Abu Hurairah yang terkenal tidak ada penyebutan tentang mendirikan shalat dan membayar zakat. Di dalam Shahîh al-Bukhari dan Shahîh Muslim disebutkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhubahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُوْلُوْا: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، فَمَنْ قَالَهَا عَصَمَ مِنِّيْ مَالَهُ وَنَفْسَهُ إِلاَّ بِحَقِّهِ. وَحِسَابُهُ عَلَى اللهِ.
Aku diperintahkan memerangi manusia hingga mereka mengatakan Lâ ilâha illallâh. Barangsiapa yang mengucapkannya, maka darah dan jiwanya terlindungi dariku, kecuali dengan haknya dan hisab dirinya ada pada Allah Subhanahu wa Ta’ala.[10]
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
…حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَيُؤْمِنُوْا بِيْ وَبِمَا جِئْتُ بِهِ…
Hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan beriman kepadaku dan kepada yang aku bawa.[11]
Hadits di atas juga diriwayatkan Muslim dari Jabir Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan redaksi,
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُوْلُوْا: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، فَإِذَا قَالُوْا: لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله عَصَمُوْا مِنِّيْ دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّهَا. وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ. ثُمَّ قَرَأَ ((فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ﴿٢١﴾لَسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُصَيْطِرٍ))
“Aku diperintahkan memerangi manusia hingga mereka mengatakan lâ ilâha illallâh. Apabila mereka mengatakan lâ ilâha illallâh, maka mereka telah melindungi darah dan harta mereka dariku, kecuali dengan haknya, dan hisab mereka ada pada Allah,” kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala “Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya engkau hanyalah orang yang memberi peringatan. Engkau bukanlah orang yang berkuasa atas mereka. [al-Ghâsyiyah/88:21-22]”.[12]
Muslim juga meriwayatkan hadits di atas dari Abu Malik al-Asyja’i Radhiyallahu anhu dari ayahnya, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَكَفَرَ بِمَا يُعْبَدُ مِنْ دُوْنِ اللهِ، حَرُمَ مَالُهُ وَدَمُهُ، وَحِسَابُهُ عَلَى اللهِ.
Barangsiapa berkata “Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah” dan kafir dengan apa saja yang disembah selain Allah, maka harta dan darahnya diharamkan, sedangkan hisabnya ada pada Allah Azza wa Jalla.[13]
2. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
عَصَمُوْا مِنِّيْ دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ.
Mereka telah melindungi darah dan harta mereka dariku.
Menunjukkan bahwa ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda seperti itu, beliau telah diperintahkan berperang dan membunuh siapa saja yang menolak masuk Islam. Itu semua terjadi pasca hijrahnya beliau ke Madinah. Sebagaimana diketahui dengan pasti bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima siapa saja yang datang kepada beliau untuk masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat saja, kemudian beliau melindungi darahnya dan menamakannya sebagai orang muslim. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengecam keras pembunuhan yang dilakukan Usamah bin Zaid Radhiyallahu anhuma terhadap orang yang berkata lâ ilâha ilallâh, yaitu ketika Usamah bin Zaid Radhiyallahu anhuma mengangkat pedang kepadanya. Orang itu mengucapkan kalimat lâ ilâha ilallâh, namun Usamah tetap membunuhnya.[14]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memberi syarat kepada orang yang datang kepada beliau guna masuk Islam agar orang tersebut mengerjakan shalat dan membayar zakat. Bahkan diriwayatkan bahwa beliau menerima keislaman salah satu kaum dan mereka mensyaratkan tidak membayar zakat. Di dalam Musnad Imam Ahmad disebutkan hadits dari Jabir Radhiyallahu anhu ia berkata, “Orang-orang Tsaqif membuat syarat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mereka tidak dikenakan kewajiban sedekah (zakat) dan jihad, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Mereka akan bersedekah dan berjihad’”[15]
• Hal-hal Yang Dapat Melindungi Darah Dan Harta
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan hal-hal yang dapat melindungi darah dan harta dari kesia-siaan, di antaranya ialah:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan hal-hal yang dapat melindungi darah dan harta dari kesia-siaan, di antaranya ialah:
1. Mengucapkan dua kalimat syahadat. Hal ini berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ.
Hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah.
2. Mendirikan shalat. Hal ini berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَيُقِيْمُوْا الصَّلاَةَ.
Dan mendirikan shalat.
3. Membayar zakat. Hal ini berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَيُؤْتُوْا الزَّكَاةَ.
Dan membayar zakat.
4. Berpegang teguh dengan hak-hak Islam yang lainnya.
Barangsiapa yang mengucapkan dua kalimat syahadat, melaksanakan shalat, mengeluarkan zakat, dan melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam agama yang lainnya, maka harta dan darahnya haram. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah:
فَإِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ عَصَمُوْا مِنِّيْ دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ.
Jika mereka melakukan hal tersebut, maka darah dan harta mereka terlindungi dariku.
Dengan keterangan di atas, maka menjadi jelaslah penyatuan hadits-hadits bab ini, dan bahwa semuanya benar. Sesungguhnya dengan dua kalimat syahadat saja sudah bisa melindungi orang yang mengucapkannya dan ia menjadi muslim dengannya. Jika setelah masuk Islam, ia mendirikan shalat, membayar zakat, dan mengerjakan syariat-syariat Islam, ia berhak atas hak dan kewajiban kaum Muslimin. Jika ia tidak mengerjakan salah satu dari rukun Islam tersebut dan mereka dalam satu kelompok yang mempunyai kekuatan, maka mereka diperangi.[16]
Sebagian orang menduga bahwa makna hadits di atas, ialah bahwa orang kafir diperangi hingga mengucapkan dua kalimat syahadat, mendirikan shalat, dan membayar zakat. Kemudian mereka menjadikan hadits tersebut sebagai alasan untuk menjadikan orang-orang kafir mengerjakan cabang-cabang ajaran Islam. Pemahaman seperti itu tidak benar, karena sirah (perjalanan hidup) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memerangi orang-orang kafir menunjukkan hal yang menyalahi perkara tersebut.
Dalam Shahîh Muslim disebutkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhubahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu pada Perang Khaibar lalu memberinya bendera perang dan bersabda: “Berjalanlah dan jangan menoleh hingga Allah memberi kemenangan kepadamu.”
‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu pun berjalan beberapa langkah kemudian berhenti dan berteriak: “Wahai Rasulullah, untuk apa aku memerangi manusia?”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perangilah mereka hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Jika mereka melakukan hal tersebut, mereka telah menjaga darah dan harta mereka darimu, kecuali dengan haknya, dan hisab mereka ada pada Allah Azza wa Jalla ”.[17]
Pada hadits di atas, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan sekedar mengucapkan dua kalimat syahadat itu dapat melindungi jiwa dan harta, kecuali dengan haknya. Di antara haknya, ialah menolak shalat dan zakat setelah masuk Islam seperti dipahami para sahabat.[18]
Di antara dalil dari Al-Qur`ân yang menunjukkan kewajiban memerangi kelompok yang menolak mendirikan shalat dan membayar zakat, ialah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ
Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan… [at-Taubah/9:5].
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ
Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat maka (mereka itu) saudara-saudara kalian seagama. [at-Taubah/9:11].
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam agama dengan lurus supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. [al-Bayyinah/98:5].
Disebutkan dalam hadits Anas bin Malik Radhiyallahu anhu bahwa jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak menyerang salah satu kaum, beliau tidak menyerang mereka hingga pagi hari. Jika beliau mendengar adzan, beliau tidak menyerang mereka. Jika beliau tidak mendengarnya, beliau menyerang mereka.[19]
Ini semua menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakui keadaan orang-orang yang masuk Islam. Jika mereka mengerjakan shalat dan membayar zakat, maka mereka tidak diperangi. Jika mereka tidak mengerjakannya, maka tidak ada yang menghalangi untuk tidak memerangi mereka.
Ada perdebatan dalam masalah ini antara Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu dengan ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu , seperti yang terdapat dalam Shahîh al-Bukhari dan Shahîh Muslim. Yaitu hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Abu Bakar ash-Shiddiq menjadi khalifah sepeninggal beliau, dan di antara orang-orang Arab menjadi kafir.
‘Umar berkata kepada Abu Bakar: “Bagaimana engkau memerangi manusia, padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Aku diperintahkan memerangi manusia hingga mereka berkata bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah. Barangsiapa berkata bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah, maka ia telah melindungi darah dan hartanya dariku, kecuali dengan haknya, dan hisabnya ada pada Allah Azza wa Jalla ’.”
Abu Bakar menjawab: “Demi Allah, aku pasti memerangi orang-orang yang memisahkan antara shalat dan zakat, karena zakat adalah hak harta. Demi Allah, seandainya mereka menolak membayar zakat unta dan kambing yang dulu mereka bayarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku pasti memerangi mereka karena penolakan mereka tersebut”.
‘Umar berkata: “Demi Allah, ucapan itu saya pandang bahwa Allah telah melapangkan dada Abu Bakar untuk memerangi (mereka), kemudian aku tahu bahwa ia pihak yang benar”.[20]
Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu memerangi mereka dengan berhujjah kepada sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “kecuali dengan haknya.” Itu menunjukkan bahwa memerangi orang-orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat dengan haknya itu diperbolehkan.
Di antara haknya, ialah membayar hak harta yang wajib. Sedangkan ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu menduga bahwa sekedar mengucapkan dua kalimat syahadat itu sudah melindungi darah di dunia, karena berpatokan kepada keumuman hadits pertama, sebagaimana anggapan sejumlah orang, bahwa orang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat itu terlindungi dari masuk neraka karena berpatokan kepada keumuman redaksi hadits yang ada. Padahal yang semestinya tidak seperti itu. Setelah itu, ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu rujuk kepada pendapat Abu Bakar Radhiyallahu anhu.
An-Nasâ`i[21] meriwayatkan perdebatan Abu Bakar dengan ‘Umar bin al-Khaththab dengan adanya tambahan, bahwa Abu Bakar berkata kepada ‘Umar bin al-Khaththab: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah, dan bahwa aku adalah utusan Allah, mendirikan shalat, dan membayar zakat’.”
Perkataan Abu Bakar Radhiyallahu anhu , “Demi Allah, aku pasti memerangi orang-orang yang memisahkan antara shalat dengan zakat karena zakat adalah hak harta.” Menunjukkan bahwa barangsiapa meninggalkan shalat, ia diperangi karena shalat adalah hak badan. Begitu juga orang yang meninggalkan zakat, karena zakat adalah hak harta.
Di sini terdapat dalil bahwa memerangi orang yang meninggalkan shalat itu menjadi konsensus bersama, karena Abu Bakar Radhiyallahu anhu menjadikannya sebagai prinsip dari sebuah analogi, dan itu tidak disebutkan secara tersurat dalam hadits yang dijadikan dasar oleh ‘Umar Radhiyallahu anhu , namun Abu Bakar Radhiyallahu anhu mengambilnya dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “kecuali dengan hak Islam”. Begitu juga zakat, karena zakat termasuk hak harta. Itu semua termasuk hak-hak Islam.
Dalil lain tentang dibolehkannya memerangi orang-orang yang meninggalkan shalat ialah hadits yang terdapat dalam Shahîh Muslim dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda:
إِنَّهُ يُسْتَعْمَلُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ، فَتَعْرِفُوْنَ وَتُنْكِرُوْنَ، فَمَنْ كَرِهَ فَقَدْ بَرِئَ. وَمَنْ أَنْكَرَ فَقَدْ سَلِمَ. وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَلاَ نُقَاتِلُهُمْ ؟ قَالَ: لاَ، مَا صَلَّوْا.
“Sesungguhnya akan diangkat para pemimpin atas kalian. Tindakan mereka ada yang kalian anggap benar dan ada pula yang kalian pandang mungkar. Siapa saja membenci tindakan mungkar mereka, niscaya ia bebas dari dosa. Siapa saja yang mengingkarinya, niscaya ia akan selamat. Namun siapa saja yang ridha dan mengikuti (maka ia telah berdosa),” para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, kenapa kita tidak memerangi mereka?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak (tidak boleh memerangi mereka), selama mereka mengerjakan shalat.” [22]
Perawi hadits mengatakan bahwa maksud dari membenci dan mengingkari kemungkaran para pemimpin tersebut dalam hadits ini, yaitu membenci dan mengingkari kemungkaran mereka dengan hati.[23]
Hukum orang-orang yang meninggalkan seluruh rukun-rukun Islam ialah diperangi sebagaimana diperangi karena meninggalkan shalat dan zakat.[24]
Itulah pembahasan tentang memerangi kelompok yang menolak mengerjakan salah satu kewajiban-kewajiban Islam.
Adapun memerangi satu orang yang menolak mengerjakan salah satu rukun Islam, sebagian ulama berpendapat bahwa orang yang menolak melakukan shalat dibunuh. Ini adalah pendapat Imam Malik, asy-Syafi’i, Ahmad, Abu Ubaid, dan selain mereka.
Pendapat tersebut didukung oleh hadits yang terdapat dalam Shahîh al-Bukhari dan Shahîh Muslim, dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu , bahwa Khalid bin al-Walid meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membunuh seseorang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jangan, barangkali ia masih mengerjakan shalat,” Khalid bin al-Walid Radhiyallahu anhu berkata, “Betapa banyak orang yang shalat mengatakan sesuatu yang tidak ada di hatinya.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
إِنِّيْ لَمْ أُوْمَرْ أَنْ أَنْقُبَ قُلُوْبَ النَّاسِ وَلاَ أَشُقَّ بُطُوْنَهُمْ.
“Sungguh aku tidak diperintah untuk mengorek isi hati manusia dan membelah perut mereka”.[25]
Dalam Musnad Imam Ahmad disebutkan hadits dari ‘Ubaidillah bin Afi bin al-Khiyar, bahwa salah seorang dari kaum Anshar mengatakan kepadanya, bahwa ia pernah datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam guna meminta izin kepada beliau untuk membunuh salah seorang dari orang-orang munafik.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Bukankah ia bersaksi bahwa tidak ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah?”
Orang Anshar tersebut menjawab: “Ya betul, dan tidak ada syahadat baginya.”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Bukankah ia mengerjakan shalat?”
Orang Anshar tersebut menjawab: “Betul, dan tidak ada shalat baginya.”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mereka itulah orang-orang yang Allah melarangku untuk membunuh mereka”.[26]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Bukankah ia bersaksi bahwa tidak ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah?”
Orang Anshar tersebut menjawab: “Ya betul, dan tidak ada syahadat baginya.”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Bukankah ia mengerjakan shalat?”
Orang Anshar tersebut menjawab: “Betul, dan tidak ada shalat baginya.”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mereka itulah orang-orang yang Allah melarangku untuk membunuh mereka”.[26]
Adapun membunuh seseorang yang menolak membayar zakat, di dalamnya terdapat dua pendapat bagi ulama yang berpendapat dibunuhnya orang yang menolak melakukan shalat.
Pendapat Pertama, orang tersebut dibunuh. Ini adalah pendapat terkenal dari Imam Ahmad, dan ia berhujjah dengan hadits Ibnu ‘Umar di bab ini.
Pendapat Kedua, ia tidak dibunuh. Ini pendapat Imam Malik, asy-Syafi’i, dan Ahmad pada riwayat yang lain.
Pendapat Kedua, ia tidak dibunuh. Ini pendapat Imam Malik, asy-Syafi’i, dan Ahmad pada riwayat yang lain.
Adapun puasa, Imam Malik dan Ahmad pada riwayat lain berkata: “Orang yang meninggalkannya dibunuh.”
Imam asy-Syafi’i dan Ahmad dalam riwayat lain berkata: “Ia tidak dibunuh”.
Imam asy-Syafi’i berhujjah dengan hadits Ibnu ‘Umar dan hadits-hadits lain yang semakna, karena hadits-hadits tersebut sedikit pun tidak menyinggung tentang puasa. Oleh karena itu, Imam Ahmad berkata pada riwayat Abu Thalib, “Tidak ada hadits tentang orang yang meninggalkan puasa”.
Imam asy-Syafi’i berhujjah dengan hadits Ibnu ‘Umar dan hadits-hadits lain yang semakna, karena hadits-hadits tersebut sedikit pun tidak menyinggung tentang puasa. Oleh karena itu, Imam Ahmad berkata pada riwayat Abu Thalib, “Tidak ada hadits tentang orang yang meninggalkan puasa”.
3. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِلاَّ بِحَقِّ اْلإِسْلاَمِ.
Kecuali dengan hak Islam.
Itstistna (pengecualian) dalam hadits ini terputus. Maksudnya, sesudah terjaga darah dan harta mereka, maka mereka wajib melaksanakan hak Islam. Yaitu melaksanakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan segala apa yang dilarang.[27]
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Abu Bakar memasukkan pelaksanaan shalat dan zakat ke dalam hak Islam ini. Dan sebagian ulama memasukkan pelaksanaan puasa dan haji ke dalam hak Islam ini pula.
Dan termasuk haknya pula, ialah apabila dikerjakan perkara-perkara haram yang menjadikan halal darah seorang Muslim bagi yang melakukannya, seperti zina yang dilakukan orang yang sudah menikah, membunuh seorang muslim dengan sengaja, murtad dari agama, serta memisahkan diri dari jama’ah kaum Muslimin.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَنِّيْ رَسُوْلُ اللهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ: الثَّيِّبُ الزَّانِيْ، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ.
Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan bahwasanya aku adalah utusan Allah, kecuali dengan salah satu dari tiga hal: (1) orang yang sudah menikah yang berzina, (2) jiwa dengan jiwa (qishas), (3) orang yang meninggalkan agamanya sekaligus meninggalkan jama’ah (kaum Muslimin).[28]
4. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ تَعَالَى.
Dan hisab mereka ada pada Allah Ta’ala.
Maksudnya, bahwa dua kalimat syahadat, mendirikan shalat, dan membayar zakat itu melindungi darah dan harta pelakunya di dunia, kecuali jika ia mengerjakan perbuatan yang membuat darahnya halal. Sedang di akhirat, hisabnya ada pada Allah Azza wa Jalla . Jika ia benar, Allah memasukkannya ke surga. Jika ia bohong, ia bersama orang-orang munafik di dasar neraka.
Telah disebutkan sebelum ini bahwa sebagian riwayat dalam Shahîh Muslim disebutkan, bahwa setelah bersabda seperti itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya engkau hanyalah orang yang memberi peringatan. Engkau bukanlah orang yang berkuasa atas mereka. Tetapi orang yang berpaling dan kafir, maka Allah akan menyiksanya dengan siksa yang besar. Sesungguhnya kepada Kamilah mereka kembali. Kemudian sesungguhnya kewajiban Kamilah menghisab mereka.” [al-Ghâsyiyah:21-26].
Maksud ayat tersebut, bahwa sesungguhnya kewajiban kamu (Muhammad) hanyalah mengingatkan mereka kepada Allah dan mengajak mereka kepada-Nya. Engkau tidak berkuasa memasukkan iman ke hati mereka secara paksa, dan tidak dibebani hal seperti itu. Setelah itu, Allah menjelaskan bahwa tempat kembali seluruh manusia ialah kepada-Nya, dan hisab mereka ada pada-Nya.
FAWÂ`ID HADITS
1. Hendaknya ulil-amri memerangi orang-orang kafir kaum Musyrikin, hingga mereka mengucapkan dua kalimat syahadat, mendirikan shalat, dan mengeluarkan zakat.
2. Orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat wajib meyakini, bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali hanya Allah Ta’ala.[29]
3. Orang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat wajib melaksanakan amal-amal dalam Islam.
4. Dimutlakkannya kalimat perbuatan atas perkataan. Maksudnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan فَإِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ (apabila mereka melakukan yang demikian itu), padahal di dalamnya terdapat “perkataan” syahadat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ .
5. Hadits ini sebagai bantahan terhadap Murji`ah, yang berpendapat bahwa iman tidak membutuhkan amal. Oleh karena itu, Imam al-Bukhari memuat hadits ini dalam Kitâbul Imân dalam Shahîh-nya sebagai bantahan terhadap Murji`ah.[30]
6. Orang yang menampakkan Islam, maka pengakuan keislamannya itu diterima darinya. Adapun apa yang ada dalam batinnya diserahkan kepada Allah Ta’ala.
7. Orang yang menolak membayar zakat, maka ulil-amri berhak untuk memerangi mereka.
8. Hadits ini menunjukkan tidak bolehnya mengkafirkan ahlu bid’ah, selama mereka mengikrarkan tauhid kepada Allah dan melaksanakan syariat Islam.[31]
9. Hadits ini menetapkan benarnya keberadaan hisab atas amal pada hari Kiamat.
10. Besarnya urusan shalat dan zakat. Shalat adalah hak badan, sedangkan zakat adalah hak harta.
11. Dalam hadits ini terdapat dalil, bahwa taubatnya orang zindiq (munafik) diterima. Adapun yang tersimpan di dalam hatinya diserahkan kepada Allah Ta’ala. Ini adalah perdapat jumhur ulama.[32]
_______
Footnote
[1]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1122, 1157), Muslim (no. 2479), Ahmad (II/146), dan ad-Darimi (II/127).
[2]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2478) dan at-Tirmidzi (no. 3825).
[3]. Atsar ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyâ` (Cet. Darul-Kutub ‘Ilmiyyah, I/366, no. 1008).
[4]. Atsar ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyaa’ (Cet. Darul-Kutub ‘Ilmiyyah, I/378, no. 1064).
[5]. Lihat as-Sunnah Qablat-Tadwin (hlm. 469-471), ‘Ushulul-Hadits (hlm. 268) oleh ‘Ajjaj al-Khatib, Taisirul- Mushthalahil-Hadits (hlm. 199) oleh Dr. Mahmud Thahhan.
[6]. Lihat al-Ishâbah fî Tamyîzish Shahâbah, al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani (II/347-350), dan Siyar A’lâmin Nubalâ`, Imam adz-Dzahabi (III/203-239).
[7]. Lihat Fat-hil-Qawiyyil-Matîn fî Syarhil Arba’în wa Tatimmatul Khamsîn, Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamd al-‘Abbad al-Badr.
[8]. Lihat Fat-hul Bâri (I/77).
[9]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 391, 392, 393), Ahmad (III/199, 225), Ibnu Hibban (no. 5865-at-Ta’lîqâtul-Hisân ‘lâ Shahîh Ibni Hibban), Abu Dawud (no. 2641), at-Tirmidzi (no. 2608), an-Nasâ`i (VII/76, VIII/109), Muhammad bin Nashr al-Marwazi (no. 9), al-Baihaqi (III/92, VIII/177), al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (no. 34), dan selainnya.
[10]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1399, 1456, 6924, 7284, 7285) dan Ibnu Hibban (no. 174, 216, 217, 218- at-Ta’lîqâtul-Hisân).
[11]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 20, 21).
[12]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 21 (35)) dan Ahmad (III/300).
[13]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Ahmad (III/472).
[14]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 97 (159) (160)).
[15]. Diriwayatkan oleh Ahmad (III/341). Di dalam sanadnya terdapat ‘Abdullah bin Lahi’ah seorang perawi dhaif (lemah).
[16]. Lihat Jâmi’ul-‘Ulûm wal-Hikam (I/230).
[17]. Hadits shahîh: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 3701) dan Muslim (no. 2406) dari Sahabat Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu anhu.
[18]. Lihat Jâmi’ul-‘Ulûm wal-Hikam (I/230).
[19]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 610) dan Ahmad (III/159).
[20]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1399-1400, 1456-1457, 6924-6925, 7284, 7285), Muslim (no. 20), dan an-Nasâ`i (V/14).
[21]. Sunan an-Nasâ`i (V/14).
[22]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1854 (63)) dan Abu Dawud (no. 4760).
[23]. Lihat Syarah Shahîh Muslim, Imam an-Nawawi (XII/242-243).
[24]. Lihat Jâmi’ul-‘Ulûm wal-Hikam (I/232-233).
[25]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 4351) dan Muslim (no. (1064 (144)).
[26]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Ahmad (V/432-433).
[27]. Lihat Bahjatun-Nâzhirîn (I/460).
[28]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6878), Muslim (no. 1676), Abu Dawud (no. 4352), at-Tirmidzi (no. 1402), dan selainnya dari Sahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu.
[29]. Lihat Syarah al-Arba’în an-Nawawiyyah, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin rahimahullah, hlm. 1500.
[30]. Lihat al-Qawa’id wal Fawâ`id, hlm. 103.
[31]. Lihat Fat-hul Bâri (I/77).
[32]. Lihat Syarhus-Sunnah (I/69) karya Imam al-Baghawi rahimahullah
1. Hendaknya ulil-amri memerangi orang-orang kafir kaum Musyrikin, hingga mereka mengucapkan dua kalimat syahadat, mendirikan shalat, dan mengeluarkan zakat.
2. Orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat wajib meyakini, bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali hanya Allah Ta’ala.[29]
3. Orang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat wajib melaksanakan amal-amal dalam Islam.
4. Dimutlakkannya kalimat perbuatan atas perkataan. Maksudnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan فَإِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ (apabila mereka melakukan yang demikian itu), padahal di dalamnya terdapat “perkataan” syahadat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ .
5. Hadits ini sebagai bantahan terhadap Murji`ah, yang berpendapat bahwa iman tidak membutuhkan amal. Oleh karena itu, Imam al-Bukhari memuat hadits ini dalam Kitâbul Imân dalam Shahîh-nya sebagai bantahan terhadap Murji`ah.[30]
6. Orang yang menampakkan Islam, maka pengakuan keislamannya itu diterima darinya. Adapun apa yang ada dalam batinnya diserahkan kepada Allah Ta’ala.
7. Orang yang menolak membayar zakat, maka ulil-amri berhak untuk memerangi mereka.
8. Hadits ini menunjukkan tidak bolehnya mengkafirkan ahlu bid’ah, selama mereka mengikrarkan tauhid kepada Allah dan melaksanakan syariat Islam.[31]
9. Hadits ini menetapkan benarnya keberadaan hisab atas amal pada hari Kiamat.
10. Besarnya urusan shalat dan zakat. Shalat adalah hak badan, sedangkan zakat adalah hak harta.
11. Dalam hadits ini terdapat dalil, bahwa taubatnya orang zindiq (munafik) diterima. Adapun yang tersimpan di dalam hatinya diserahkan kepada Allah Ta’ala. Ini adalah perdapat jumhur ulama.[32]
_______
Footnote
[1]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1122, 1157), Muslim (no. 2479), Ahmad (II/146), dan ad-Darimi (II/127).
[2]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2478) dan at-Tirmidzi (no. 3825).
[3]. Atsar ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyâ` (Cet. Darul-Kutub ‘Ilmiyyah, I/366, no. 1008).
[4]. Atsar ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyaa’ (Cet. Darul-Kutub ‘Ilmiyyah, I/378, no. 1064).
[5]. Lihat as-Sunnah Qablat-Tadwin (hlm. 469-471), ‘Ushulul-Hadits (hlm. 268) oleh ‘Ajjaj al-Khatib, Taisirul- Mushthalahil-Hadits (hlm. 199) oleh Dr. Mahmud Thahhan.
[6]. Lihat al-Ishâbah fî Tamyîzish Shahâbah, al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani (II/347-350), dan Siyar A’lâmin Nubalâ`, Imam adz-Dzahabi (III/203-239).
[7]. Lihat Fat-hil-Qawiyyil-Matîn fî Syarhil Arba’în wa Tatimmatul Khamsîn, Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamd al-‘Abbad al-Badr.
[8]. Lihat Fat-hul Bâri (I/77).
[9]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 391, 392, 393), Ahmad (III/199, 225), Ibnu Hibban (no. 5865-at-Ta’lîqâtul-Hisân ‘lâ Shahîh Ibni Hibban), Abu Dawud (no. 2641), at-Tirmidzi (no. 2608), an-Nasâ`i (VII/76, VIII/109), Muhammad bin Nashr al-Marwazi (no. 9), al-Baihaqi (III/92, VIII/177), al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (no. 34), dan selainnya.
[10]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1399, 1456, 6924, 7284, 7285) dan Ibnu Hibban (no. 174, 216, 217, 218- at-Ta’lîqâtul-Hisân).
[11]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 20, 21).
[12]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 21 (35)) dan Ahmad (III/300).
[13]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Ahmad (III/472).
[14]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 97 (159) (160)).
[15]. Diriwayatkan oleh Ahmad (III/341). Di dalam sanadnya terdapat ‘Abdullah bin Lahi’ah seorang perawi dhaif (lemah).
[16]. Lihat Jâmi’ul-‘Ulûm wal-Hikam (I/230).
[17]. Hadits shahîh: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 3701) dan Muslim (no. 2406) dari Sahabat Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu anhu.
[18]. Lihat Jâmi’ul-‘Ulûm wal-Hikam (I/230).
[19]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 610) dan Ahmad (III/159).
[20]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1399-1400, 1456-1457, 6924-6925, 7284, 7285), Muslim (no. 20), dan an-Nasâ`i (V/14).
[21]. Sunan an-Nasâ`i (V/14).
[22]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1854 (63)) dan Abu Dawud (no. 4760).
[23]. Lihat Syarah Shahîh Muslim, Imam an-Nawawi (XII/242-243).
[24]. Lihat Jâmi’ul-‘Ulûm wal-Hikam (I/232-233).
[25]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 4351) dan Muslim (no. (1064 (144)).
[26]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Ahmad (V/432-433).
[27]. Lihat Bahjatun-Nâzhirîn (I/460).
[28]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6878), Muslim (no. 1676), Abu Dawud (no. 4352), at-Tirmidzi (no. 1402), dan selainnya dari Sahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu.
[29]. Lihat Syarah al-Arba’în an-Nawawiyyah, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin rahimahullah, hlm. 1500.
[30]. Lihat al-Qawa’id wal Fawâ`id, hlm. 103.
[31]. Lihat Fat-hul Bâri (I/77).
[32]. Lihat Syarhus-Sunnah (I/69) karya Imam al-Baghawi rahimahullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar