Selasa, 20 September 2022

Asya’irah pecah menjadi 2, Mutaakhirin vs Mutaqodimin

 Asya’irah pecah menjadi 2, Mutaakhirin vs Mutaqodimin


Ini semua terjadi dalam perbedaan memahami sifat sifat ketuhanan yang mereka buat sendiri yang berasal teori filsafat Yunani, lalu berkembang di kalangan ulama mereka sehingga terjadi perbedaan bahkan perbedaan berkonsekuensi kafir. 


Abul Hasan Al-Asya’ri sendiri sebelumnya tokoh Mu"tazilah, pendakwah dan ulama mu'tazilah. Maka secara pemikiran ketika memutuskan hijrah tentunya tidak semua pemikiran lama berganti. Ia berganti dulu dengan pemahaman kullabiyah.


Kullabiyah yang oleh Ibnu Kullab.

Dia adalah Abdullah bin Sa’id bin Kullab Al-Qaththan, Abu Muhammad Al-Bashri. Salah seorang ahli kalam di zaman pemerintahan Al-Ma’mun. Di antara karya tulisnya adalah Ash-Shifat, Khalq al-Af’al, dan Ar-Radd ala al-Muktazilah. Disebutkan pula bahwa di antara murid-murid beliau adalah Al-Harits Al-Muhasibi dan Daud Azh-Zhahiri. Diperkirakan wafatnya sebelum tahun 240H. Sekte Kullabiyah menetapkan sebagian sifat-sifat Allah  yaitu sifat-sifat dzatiyyah. 


Kelompok Kullabiyyah menolak sifat-sifat fi’liyyah, namun menetapkan sifat-sifat dzatiyyah. Di antara yang mereka tetapkan bagi Allah (SWT) adalah sifat wajah, kedua tangan, kedua mata, kemahatinggian dzat Allah, dan yang lainnya.


Kullabiyah inilah kelak menjadi ajaran Asya’irah lama (mutaqodimin) sedangkan Asya’irah generasi baru lahir setelah era generasi lama para tokohnya meninggal. 


1) Asya’irah Mutakadimin

Yakni kalangan Asya’irah terdahulu. Di antara yang termasuk tergolong ke dalam Asya’irah Mutakadimin adalah Abul Hasan Al-Asya’ri, Abul Hasan Ath-Thabari, Abdul Qadir Al-Baghdadi, Al-Baqillani, Ibnu Faurak, dan yang lainnya. 

Akidah mereka persis seperti akidah kelompok Kullabiyah, yaitu menolak sifat-sifat fi’liyyah, namun menetapkan sifat-sifat dzatiyyah. Jadi mereka juga menetapkan sifat wajah, tangan, mata, dan ketinggian Allah di atas langit.

2) Asya’irah Mutaakhirin

Yakni kalangan Asya’irah belakangan. Di antara yang tergolong sebagai Asya’irah Mutaakhirin adalah Al-Juwaini (wafat 478 H), Ar-Razi (wafat 406 H), Al-Iiji, Al-Amidi, dan yang lainnya.

Akidah mereka jauh berbeda dengan para pendahulu mereka, yaitu kalangan Asya’irah Mutakadimin. Mereka menolak seluruh sifat, baik dzatiyyah maupun fi’liyyah, kecuali tujuh sifat, yaitu qudrah (kuasa), iradat, hayat, pendengaran, penglihatan, ilmu, dan kalam. Ada di antara mereka yang menambahkan sifat kedelapan, yaitu sifat al-idraak.


Menurut muta'akhirin, tidak mengapa untuk menetapkan sifat dzatiyyah, karena sifat-sifat dzatiyyah asalnya statis dan tidak terbaharui ataupun berubah-ubah.

a. Kullabiyyah( ) dan Asya’irah Mutakadimin( ) menetapkan sifat dzatiyyah.

Kullabiyyah dan Asya’irah Mutakadimin menetapkan sifat dengan dalil dan akal.

Ada sifat-sifat yang mereka tetapkan dengan dalil, yang biasa mereka sebut sebagai sifat khabariyyah. Seperti sifat tangan dan sifat mata.

Adapun sifat-sifat lainnya, maka mereka menetapkannya dengan akal, seperti iradat, qudrah (kuasa/kodrat), ilmu, hayat, pendengaran, penglihatan, bicara, dan yang lainnya.

b. Adapun Asya’irah Mutaakhirin lebih ketat, di mana mereka menolak seluruh sifat dzatiyyah kecuali tujuh atau delapan sifat, yang semua itu mereka tetapkan karena sebatas dalil akal.


Jadi, perbedaan antara Asya’irah Mutaakhirin dan Mutakadimin, adalah bahwa Asya’irah Mutaakhirin menetapkan sifat dzatiyyah hanya berdasarkan akal. Adapun dalil, mereka hanya mengambilnya jika menurut mereka sesuai dengan logika mereka.


Masyhur di kalangan mereka tuduhan tuduhan mujassimah bagi siapa saja yang meyakini Allah memiliki sifat jism karena berkonsekuensi Allah seperti makhluk, maka secara tidak langsung kalangan muta'akhirin yang menolak semua sifat mengkafirkan mutaqodimin yang menerima sebagian sifat. 


Sikap muta'akhirin yang menolak seluruh sifat Allah mewarisi sifat Jahmiyah yang juga menolak seluruh sifat, padahal dahulu jahmiyah seluruh ulama salaf Ahlul hadits mengkafirkan kelompok ini. Berkata Imam Bukhori yang tak mau mensholati mayatnya atau menjadi makmum ketika sang imam seorang jahmi


Klaim bahwa mayoritas umat islam adalah Asya’irah bahkan kontradiksi.

 Klaim bahwa mayoritas umat islam adalah Asya’irah bahkan kontradiksi. 


Dalam sebuah keterangan dari kalangan Asya’irah bahwa mereka adalah mayoritas umat islam di dunia, sejak dahulu kala. 


Maka kita dapat kontradiksi dengan pernyataan vonis kafir ulama asy'ariyah diatas yang dengan mudah menjatuhkan vonis kafir bahkan pada kalangan awam. 


Yang terjadi dalam kenyataan mayoritas kaum muslimin beraqidah islam mengikuti fitrohnya sebagai manusia. 


Kita dapati di berbagai tulisan di media, kata kata seperti : Allah diatas, yang diatas sana, tuhan yang diatas, Allah mencintai hamba nya, gusti mboten sare, Allah mengasihi kita 


Itu semua kata kata yang lahir dari manusia bahkan bukan muslim, meyakini Allah diatas langit, Allah mencintai, Allah mengasihi menyayangi dst


Itu semua berlawanan dengan ajaran Asya’irah, bahwa Allah tidak boleh ditunjuk sesuai arah, karena menunjukkan butuh tempat dan itu sifat makhluk. 


Juga Dalam ajaran Asya’irah, Allah tidak boleh disifati dengan sifat sifat makhluk. Seperti mencintai, mengasihi, karena itu semuanya sifat makhluk. 


sifat tuhan menurut Asya’irah tetap, statis, bahkan tidak bergerak, sebuah teori keutuhan yang menginduk filsafat Yunani aristoteles, plato yang diteruskan kalangan mu'tazilah, jahmiyah kemudian diadopsi Asya’irah. 


Mereka sama sama menolak sifat sifat Allah yang Allah tetapkan sendiri dalam ayat ayat kitabullah, mereka membuatnya syarat syarat zat sebagian tuhan, jika tidak sesuai syarat mereka maka itu bukan tuhan versi mereka. 


Bedanya jahmiyah, mu'tazilah menolak seluruh sifat Allah. Ada juga menolak sebagian dan menolak sebagian seperti Asya’irah, Kullabiyyah, Maturidiyyah

Asya’irah mudah mengkafirkan kaum muslimin bahkan Ghuluw dalam mengkafirkan kalangan awam

 ::: Asya’irah mudah mengkafirkan kaum muslimin bahkan Ghuluw dalam mengkafirkan kalangan awam


Diantara prinsip Ahlus Sunnah, hanya menyeru ummat kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bukan kepada orang lain atau pendapat kelompoknya. 


قال شيخ الإسلام كما في مجموع الفتاوى (20/164) :" وليس لأحد أن ينصب للأمة شخصا يدعو الى طريقته ويوالي ويعادي عليها غير النبى ولا ينصب لهم كلاما يوالي عليه يعادي غير كلام الله ورسوله وما اجتمعت عليه الأمة بل هذا من فعل أهل البدع الذين ينصبون لهم شخصا أو كلاما يفرقون به بين الأمة يوالون به على ذلك الكلام أو تلك النسبة ويعادون " 


Berkata Syaikhul-Islaam dalam Majmu fatwanya (20/164) : Tidak boleh bagi seorang pun untuk menanamkan bagi umat individu tertentu selain Nabi untuk menyeru ke jalannya serta berwala’ dan bermusuhan atasnya. Tidak boleh pula menanamkan bagi umat satu perkataan selain perkataan Allah dan Rasul-Nya serta ijma’ umat, yang dengannya berwala’ dan bermusuhan. Bahkan perbuatan tersebut merupakan perbuatan Ahlul-Bid’ah yang telah menanamkan bagi mereka individu tertentu atau perkataan tertentu yang menyebabkan perpecahan umat. Mereka berwala’ dan bermusuhan karenanya berdasarkan perkataan dan individu tersebut. 


Ekstremitas sebagian mereka pada pengkafiran terhadap Ibnu Taimiyah dan vonis zindiq dan kafir yang dijatuhkan atasnya. Al-Hāmidi berkata mengomentari perkataan as-Sanusi, "Ungkapan beliau (as-Sanusi): 'Ibnu Taimiyah,' yang dituju adalah tokoh penganut madzhab Hanbali yang telah sohor, seorang zindiq. Kebenciannya terhadap agama dan penganutnya tidak lagi tersembunyi."


Begitu pula dengan Ibnu Jamaah yang berkata kepada Sang Amir tentang Ibnu Taimiyah, "Ia (Ibnu Taimiyah) harus dipersempit (ruang geraknya) jika tidak dijatuhi hukuman mati lantaran telah jelas kekufurannya."


Juga di antaranya predikat yang diberikan (Taqiyuddin) as-Subki kepada Ibnul Qayyim sebagai mulhid disertai laknat atasnya. As-Subki berkata dalam kitab as-Saif ash-Shaqīl, hl. 53, "Selesai cuplikan dari ungkapan "Si Mulhid". Celakalah dia dan semoga Allah memutus habis (keburukan) ucapannya."


Ghuluw dalam mengkafirkan kalangan awam juga terjadi yang diserukan ulama Asya’irah. 


Ini dilakukan sebagian imam asyairoh dalam mengkafirkan selain pendapat mazhab mereka. Sebagaimana pendapat Syeikh abu ishaq asy-syirozy, salah seorang imam asyairoh di masanya, juga pemilik kitab mazhab, berkata 


فمن اعتقد غير ما أشرنا إليه من اعتقاد أهل الحق المنتسبين إلى الإمام أبي الحسن الاشعري رضي الله عنه فهو كافر . ومن نسب إليهم غير ذلك فقد كفرهم فيكون كافرا بتكفيره لهم لما روي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : (ما كفر رجل رجلا إلا باء به أحدهما . .) . انظر شرح اللمع له (1 / 111)


Siapa saja yang berkeyakinan dengan selain apa yang telah kami utarakan berupa keyakinan Ahli Hak yang berintisab kepada Imam Abul Hasan al-Asy'ari -semoga Allah meridhainya- maka ia adalah kafir. Siapa saja yang menisbatkan pada mereka selain itu maka berarti ia telah mengkafirkan mereka, lantas ia pun menjadi kafir lantaran pengkafirannya terhadap mereka berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, 'Tidaklah seorang mengkafirkan orang lain melainkan akan berbalik kepada salah seorang darinya' 


Juga Al Bajuri dalam Syarah Jauharoh tauhid menyatakan, ada beberapa orang karena sebab kebingungan dan keinginannya sehingga menyelisihi para ulama dalam keimanan mereka, sehat dan rusaknya, sehingga hasil penyelisihan ini, salah satunya : Tidak adanya kesehatan iman pada sang Muqollid, sehingga menjadikan ia kafir, dan untuknya as-Sanusi 


Di antaranya juga apa yang dikutip oleh al-Qurtubi dalam Tafsirnya dari sebagian ulama, "Sekalangan ulama mutakhir dan para pendahulunya dari Ahli Kalam berpandangan bahwasanya siapa saja yang tidak mengenal Allah dengan metoda dan kajian yang telah mereka rancang tidaklah sah imannya dan ia telah kafir. Maka kelaziman darinya berupa pengkafiran mayoritas umat Islam. Pula, yang pertama kali akan dikafirkan adalah ayah, pendahulu dan para tetangganya." Pernyataan ini pernah disampaikan kepada sebagian mereka (ulama), lantas direspons, "Tidak perlu mencibirku lantaran banyaknya calon penghuni Neraka," atau sebagaimana yang diucapkannya.


diungkapkan juga oleh al-Gazali terkait ghuluw sejumlah Ahli Kalam, "Termasuk dari mereka yang sangat ekstrim adalah sekelompok Ahli Kalam yang mengkafirkan kaum muslim awam dengan dalih bahwa siapa saja yang tidak memahami ilmu kalam sebagaimana kami dan siapa yang tidak mengetahui dalil-dalil syara' sesuai dengan metoda pendalilan yang kami rumuskan maka ia adalah kafir." Mereka, dengannya, menyempitkan rahmat Allah yang begitu luas kepada seluruh hamba-Nya serta menjadikan Surga hanya ekslusif dimiliki sejuput makhluk dan juga mereka lalai akan apa yang telah datang secara mutawatir di dalam Sunnah."


*****


Bagaimana dengan isu bahwa kalangan salafi juga gemar mengkafirkan secara umum ? 


Ini tidak dijumpai dalam perkataan para ulamanya atau dalam kitabnya. Yang terjadi adalah seruan nasihat pada ajaran tauhid murni untuk mengesakan Allah Azza wa Jalla dalam beribadah, jangan sampai tercampur dengan kesyirikan. Seruan dalam masalah mengagungkan ajaran tauhid dan menjelaskan kerugian jika terjerumus dalam kegelapan syirik inilah yang diduga kuat oleh mereka yang membenci dakwah tauhid dengan tuduhan palsu, mudah mengkafirkan. 


Juga dalam kasus lain yakni tuduhan mudah membid'ahkan, yang terjadi adalah seruan dakwah sunnah untuk mengikuti jalan rosulullah shalallahu alaihi wasallam. 

******

Klaim bahwa mayoritas umat islam adalah Asya’irah bahkan kontradiksi. 


Dalam sebuah keterangan dari kalangan Asya’irah bahwa mereka adalah mayoritas umat islam di dunia, sejak dahulu kala. 


Maka kita dapat kontradiksi dengan pernyataan vonis kafir ulama asy'ariyah diatas yang dengan mudah menjatuhkan vonis kafir bahkan pada kalangan awam. 


Yang terjadi dalam kenyataan mayoritas kaum muslimin beraqidah islam mengikuti fitrohnya sebagai manusia. 


Kita dapati di berbagai tulisan di media, kata kata seperti : Allah diatas, yang diatas sana, tuhan yang diatas, Allah mencintai hamba nya, gusti mboten sare, Allah mengasihi kita 


Itu semua kata kata yang lahir dari manusia bahkan bukan muslim, meyakini Allah diatas langit, Allah mencintai, Allah mengasihi menyayangi dst


Itu semua berlawanan dengan ajaran Asya’irah, bahwa Allah tidak boleh ditunjuk sesuai arah, karena menunjukkan butuh tempat dan itu sifat makhluk. 


Juga Dalam ajaran Asya’irah, Allah tidak boleh disifati dengan sifat sifat makhluk. Seperti mencintai, mengasihi, karena itu semuanya sifat makhluk. 


sifat tuhan menurut Asya’irah tetap, statis, bahkan tidak bergerak, sebuah teori keutuhan yang menginduk filsafat Yunani aristoteles, plato yang diteruskan kalangan mu'tazilah, jahmiyah kemudian diadopsi Asya’irah. 


Mereka sama sama menolak sifat sifat Allah yang Allah tetapkan sendiri dalam ayat ayat kitabullah, mereka membuatnya syarat syarat zat sebagian tuhan, jika tidak sesuai syarat mereka maka itu bukan tuhan versi mereka. 


Bedanya jahmiyah, mu'tazilah menolak seluruh sifat Allah. Ada juga menolak sebagian dan menolak sebagian seperti Asya’irah, Kullabiyyah, Maturidiyyah