Selasa, 22 September 2020

Kesalahan pembahasan aqidah dalam kitab Fathul Bari

 

AROMA ASYA’IROH DALAM FATHUL BARI

Kitab Fathul Bari adalah kitab monumental karya Imam besar kaum Muslimin, yaitu al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolany -Rahimahullah-. Kitab ini merupakan syarah (penjelasan) dari kitab Shahih Bukhori, yang waktu penyusunannya memakan waktu kurang lebih selama 25 tahun. 
Namun tidak ada gading yang tak retak, sayang penulisnya dalam masalah-masalah akidah tertentu jatuh kepada kesalahan yang menyelisihi akidah salaful ummah. Diantara Kesalahan yang di highlight oleh ulama kita adalah terkaiat takwilan dalam bab sifat-sifat Allah Subhanahu wa ta’ala. Lajnah Daimah pernah berfatwa terkait sikap yang sebaiknya dilakukan oleh kaum muslimin, sehubungan dengan kesalahan yang terjadi pada diri ulama kibarnya. Teks fatwanya sebagai berikut :
ﺭﺍﺑﻌًﺎ : ﻣﻮﻗﻔﻨﺎ ﻣﻦ ﺃﺑﻲ ﺑﻜﺮ ﺍﻟﺒﺎﻗﻼﻧﻲ ﻭﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ ﻭﺃﺑﻲ ﺍﻟﻔﺮﺝ ﺑﻦ ﺍﻟﺠﻮﺯﻱ ﻭﺃﺑﻲ ﺯﻛﺮﻳﺎ ﺍﻟﻨﻮﻭﻱ ﻭﺍﺑﻦ ﺣﺠﺮ ﻭﺃﻣﺜﺎﻟﻬﻢ ﻣﻤﻦ ﺗﺄﻭﻝ ﺑﻌﺾ ﺻﻔﺎﺕ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺃﻭ ﻓﻮﺿﻮﺍ ﻓﻲ ﺃﺻﻞ ﻣﻌﻨﺎﻫﺎ – ﺃﻧﻬﻢ ﻓﻲ ﻧﻈﺮﻧﺎ ﻣﻦ ﻛﺒﺎﺭ ﻋﻠﻤﺎﺀ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻧﻔﻊ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻷﻣﺔ ﺑﻌﻠﻤﻬﻢ ﻓﺮﺣﻤﻬﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﺭﺣﻤﺔ ﻭﺍﺳﻌﺔ ﻭﺟﺰﺍﻫﻢ ﻋﻨﺎ ﺧﻴﺮ ﺍﻟﺠﺰﺍﺀ، ﻭﺃﻧﻬﻢ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻓﻴﻤﺎ ﻭﺍﻓﻘﻮﺍ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻢ ﻭﺃﺋﻤﺔ ﺍﻟﺴﻠﻒ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﺮﻭﻥ ﺍﻟﺜﻼﺛﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﺷﻬﺪ ﻟﻬﺎ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺑﺎﻟﺨﻴﺮ، ﻭﺃﻧﻬﻢ ﺃﺧﻄﺄﻭﺍ ﻓﻴﻤﺎ ﺗﺄﻭﻟﻮﻩ ﻣﻦ ﻧﺼﻮﺹ ﺍﻟﺼﻔﺎﺕ ﻭﺧﺎﻟﻔﻮﺍ ﻓﻴﻪ ﺳﻠﻒ ﺍﻷﻣﺔ ﻭﺃﺋﻤﺔ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺭﺣﻤﻬﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﺳﻮﺍﺀ ﺗﺄﻭﻟﻮﺍ ﺍﻟﺼﻔﺎﺕ ﺍﻟﺬﺍﺗﻴﺔ ﻭﺻﻔﺎﺕ ﺍﻷﻓﻌﺎﻝ ﺃﻡ ﺑﻌﺾ ﺫﻟﻚ .
ﻭﺑﺎﻟﻠﻪ ﺍﻟﺘﻮﻓﻴﻖ . ﻭﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻧﺒﻴﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ، ﻭﺁﻟﻪ ﻭﺻﺤﺒﻪ ﻭﺳﻠﻢ  
“Sikap kita kepada Abu Bakar al-Baqilaaniy, Baihaqi,  Ibnul Jauzi,  Nawawi, Ibnu Hajar dan yang semisalnya dari para ulama yang mentakwil sebagian sifat-sifat Allah atau mentafwidhnya (abstain dalam itsbat) adalah kami melihat mereka sebagai ulama besar kaum muslimin, yangmana Allah memberikan manfaat kepada kaum muslimin berkat ilmu mereka -semoga Allah memberikan Rahmat kepada mereka dengan Rahmat yang luas dan balasan yang sebaik-baiknya- dan mereka adalah ahlu sunah dalam perkara yang bersesuaian dengan para sahabat dan Aimah Salaf 3 generasi pertama, yang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah memberikan testimoni bahwa mereka berada dalam kebaikan. Namun mereka terjatuh pada kekeliruan ketika mentakwil nash-nash sifat, yang menyelisihi salaful umah dan Aimah Sunah, sama saja baik penyelewengannya dalam masalah sifat dzatiyyah, sifat af’aal atau sebagiannya” -selesai-. 
(http://www.alifta.net/Fatawa/fatawaDetails.aspx?BookID=3&View=Page&PageNo=1&PageID=880).
Untuk mengetahui diantara bentuk takwilan yang mirip dengan apa yang dilakukan asya’roh pada kitab fathul bari, tentunya bisa kita langsung baca dan ditelusuri pada beberapa tempat dalam kitab tersebut,  ketika penulisnya,  Al-Hafidz Ibnu Hajar mensyarah nash-nash terkait dengan sifat-sifat Allah. Dan Alhamdulillah, sebagian ulama telah melakukan penitian terhadap Fathul Bari, kemudian memberikan catatan sebagai bentuk koreksi terhadap apa yang disampaikan oleh penulis -Jazakumullah khoiron-. 
Diantara ulama tersebut adalah al-Imam Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz -Rahimahullah-. beberapa cetakan kitab Fathul Bari telah dilengkapi dengan catatan dari beliau. Kemudian Alhamdulillah asy-syaikh Abdullah bin Muhammad ad-Duwaisy telah mengumpulkan catatan-catatan Imam bin Baz terhadap Fathul Bari dalam sebuah buku tersendiri yang berjudul “ﺍﻟﺘﻌﻠﻴﻘﺎﺕ ﻋﻠﻰ ﻓﺘﺢ ﺍﻟﺒﺎﺭﻱ ﻟﻠﻌﻼﻣﺔ ﺍﺑﻦ ﺑﺎﺯ”, bagi yang ingin memilikinya bisa diunduh pada link berikut : http://majles.alukah.net/t101012/
Contohnya Al-Hafidz ibnu Hajar mentakwil sifat Mahabbah Allah dengan “iradah bits Tsawaab” (kehendak untuk memberikan pahala). Maka kemudian asy-syaikh bin Baz memberikan catatan, bahwa takwil ini tidak benar dan yang tepat menurut Ahlus sunnah bahwa Allah disifati dengan Mahabbah sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya, tidak boleh disamakan dengan mahabbah makhluk-Nya. 
Ta’liq Asy-Syaikh bin Baz sebenarnya tidak hanya terkait masalah akidah Asma wa Shifat saja, namun juga masalah Fiqih dan selainnya sebagaimana yang bisa pembaca lihat pada kitab yang kami isyaratkan diatas. Akan tetapi catatan yang dibuat oleh asy-Syaikh bin Baz belum mencakup seluruh kitab fathul bari. Upaya ini kemudian dilanjutkan oleh murid beliau yang bernama asy-syaikh DR. Ali bin Abdul Aziz asy-Syibl, namun fokusnya hanya mengkoreksi beberapa penyelewengan akidah dalam Fathul Bari yang beliau tuangkan dalam buku yang berjudul “ﺍﻟﺘﻨﺒﻴﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺨﺎﻟﻔﺎﺕ ﺍﻟﻌﻘﺪﻳﺔ ﻓﻲ ﻓﺘﺢ ﺍﻟﺒﺎﺭﻱ”. Kitab ini bisa diunduh disini : https://www.almeshkat.net/book/590
Bagi yang ingin lebih luas lagi mengetahui bagaimana manhaj Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam masalah akidah yang dituangkan dalam bukunya “Fathul Bari”, baik yang positif maupun negatifnya ketika dibandingkan dengan akidah salaf, maka dapat mengkaji kitab yang berjudul “ﻣﻨﻬﺞ ﺍﺑﻦ ﺣﺠﺮ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﻘﻴﺪﺓ ﻣﻦ ﺧﻼﻝ ﻛﺘﺎﺑﻪ ﻓﺘﺢ ﺍﻟﺒﺎﺭﻱ” yang asalnya adalah sebuah tesis S2 Muhammad Ishaq. Didalam tesisnya, penulis menetapkan bahwa manhaj Al-Hafidz ibnu Hajar dalam mensyarah Sifat-sifat Allah menempuh metode ahli takwil (hal. 725). Tesis tersebut dapat anda miliki dengan mengunduhnya disini : http://waqfeya.com/book.php?bid=1521.
Point pentingnya adalah bahwa kesalahan atas nama apapun tetaplah sebuah kesalahan yang tidak bisa dibenarkan sekedar hanya itu berasal dari ulama besar, maka kesalahannya tetap kita tinggalkan dan kebenaran yang lebih banyak darinya bisa kita ambil faedahnya. Semoga Allah mengampuni kesalahan para Aimah kita dan juga dosa-dosa kita semuanya. Aamiin ya Robbal ‘Alamiin.

ikhwah media

Kesalahan pembahasan akidah dalam syarah shahih Muslim Imam Nawawi

KESALAHAN PEMBAHASAN AKIDAH DALAM SYARAH SHAHIH MUSLIM IMAM NAWAWI

 

Pada tulisan kami berapa waktu yang lalu, kami menyebutkan beberapa tulisan ulama sebagai bantahan ilmiyyah terhadap kesalahan akidah yang terjadi didalam kitab “Fathul Bari” karya besar al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani. Tentu bantahan ilmiyyah adalah perkara yang biasa terjadi, asal semua itu dilandasi oleh bukti-bukti yang kuat dalam agama kita, terutama dalam masalah akidah salaf yang lurus, dan tentunya kita mendapatkan manfaat yang besar dengan adanya kritikan-kritikan ilmiyyah ketika mempelajari Fathul Bari, karena sebagai “warning” jika ada kesalahan-kesalahan akidah yang terluput pada saat membahasnya.

Pada tulisan kali ini, saya akan membagikan informasi ringkas, terkait kitab yang banyak dijadikan rujukan dalam mempelajari Shahih Muslim, yaitu Syarah yang ditulis oleh Imam Nawawi (w. 676 H) dalam menjelaskan hadits-hadits Shahih Muslim. Kitabnya berjudul “al-Minhaaj Syarah Shahih Muslim ibnu al-Hajjaaj” atau kadang para ulama menyebutnya dengan Syarah Nawawi ‘alaa Shahih Muslim. Sebagaimana kitab “Fathul Bari” yang merupakan Syarah Shahih Bukhori, terdapat didalamnya beberapa kesalahan dalam permasalahan akidah, pun dengan Syarah Shahih Muslim karya Imam Nawawi, didalamnya terdapat beberapa kesalahan akidah. Kemudian bangkitlah ulama untuk menginformasikan kesalahan-kesalahan tersebut sebagai nasehat bagi umat Islam, sehingga tidak lantas mengikutinya dan tentu ini adalah hal biasa dalam rangka nasehat saling menasehati terhadap kesalahan yang terjadi, apalagi jika menyangkut masalah-masalah yang krusial, seperti dalam permasalahan akidah.

 

Salah satu ulama yang mengadakan penelitian kemudian menyajikannya kepada kita terkait pembahasan diatas adalah ulama yang tidak asing lagi dikalangan ahlus sunnah tanah air, yaitu Fadhilatus Syaikh Abu Ubaidah Masyhuur bin Hasan Alu Salman yang menulis sebuah kitab yang berjudul “ar-Ruduud wa at-Ta’qubaat ‘alaa maa waqo’a lil Imaami an-Nawawi fii Syarhi Shahih Muslim min at-Ta`wiil ash-Shifaat wa ghoirihaa min Masaail al-Muhimmaat”. Kitab ini dicetak oleh Daarul Hijrah, Saudi Arabia, sebanyak 368 halaman. Beliau menjelaskan dalam kitabnya bebepa pokok pembahasan terutama takwilan-takwilan yang dilakukan oleh Imam Nawawi terhadap nash-nash sifat, kemudian juga beberapa masalah akidah yang perlu diluruskan seperti “mencari berkah terhadap peninggalan-peninggalan orang-orang sholih”, kemudian asy-Syaikh Masyhur bin Hasan Ali Salman meluruskan kekeliruan ini dengan bukti dari dalil-dalil syar’iyyah dan qoul para ulama ahlus Sunnah.


Namun asy-Syaikh Masyhuur bin Hasan tidak hanya memberikan negative finding terhadap syarah Imam Nawawi terhadap Shahih Muslim, beliau juga mensounding kebaikan-kebaikan Imam Nawawi dalam memberantas bid’ah dan tahdzir keras beliau terhadap berbagai macam bid’ah yang beliau lihat terjadi pada masanya.

 

Ada sebuah kisah menarik yang disebutkan oleh asy-Syaikh Masyhur berkenaan alasan Imam Nawawi terjatuh dalam akidah yang menyelisihi Salaf dalam bab Sifat-Sifat Allah subhanahu wa ta’aalaa, dimana kemungkinannya Imam Nawawi terpengaruh oleh guru-gurunya yang punya pemahaman menyimpang tersebut. Namun menariknya, Imam Nawawi memiliki seorang murid, yang bernama ibnul ‘Athoor. Ibnul ‘Athoor ini bukanlah sembarangan murid, namun beliau bermulazamah dengan Imam Nawawi selama 6 tahun sampai gurunya, Imam Nawawi wafat. Beliau dijuluki sebagai “Mukhtashor Nawawi”, bahkan yang menunjukkan bahwa beliau murid spesialnya adalah Imam Nawawi mengizinkan Ibnul ‘Athoor ini mengoreksi kesalahan yang terjadi pada tulisan-tulisan Imam Nawawi. Dan yang menarik ibnul ‘Athoor dalam masalah Sifat-Sifat Allah malah berpegang dengan akidah salaf, sebagaimana beliau tuangkan dalam karyanya yang berjudul “al-I’tiqood al-Khoolish min asy-Syak wal Intiqood”.

 

Tentunya kitab asy-Syaikh Masyhur bin Salman ini dapat kita jadikan pelengkap dalam mempelajari Syarah Shahih Muslim Imam Nawawi, sehingga faedah yang lengkap bisa kita dapatkan dalam mempelajari Shahih Muslim. Semoga Allah merahmati dan mengampuni Imam Nawawi dan para ulama ahlus sunnah lainnya serta kita semuanya, Aamin ya Robbal ‘Alamiin.

 

Kitabnya dapat didownload di :

Click to access rudud_nawawi2.PDF


Sumber Ikhwah media 

Kamis, 03 September 2020

Allah istiwa diatas arsy tapi tidak butuh tempat

Allah istiwa diatas arsy tapi tidak tempat 


Allah ta'ala ada sebelum ada makhluk, Allah tidak butuh makhluk dan sebaliknya makhluk yang butuh Allah. 


Kemungkinan penciptaan makhluk, kata imam Ahmad tatkala membantah Jahmiyah 


1 Allah menciptakan makhluk dalam dirinya (maka ini tidak mungkin karena Allah tidak menyatu dengan makhluk yang penuh kelemahan) 


2 Allah menciptakan makhluk diluar dirinya lalu dimasukkan Kedalam dirinya (maka ini tidak mungkin) 


3 Allah menciptakan makhluk diluar dirinya dan tetapi diluar dirinya, Allah terpisah dengan makhluknya. (ini yang benar) 


Langit dan bumi yang membutuhkan Allah


أن الله يمسك السماوات ان تزولا


Sesungguhnya allah yang memegang langit dan bumi agar tidak bergeser


Bagaimana mungkin dikatakan Allah butuh tempat? Di atas langit tidak harus dikatakan butuh tempat. Jangan menyangka jika Allah istiwa diatas arsy lantas mengatakan Allah dinangungi makhluk. 


Seperti kata bapak Asya’iroh Ar-rozi, dalam kitabnya asasud Taqdis : Jika mengatakan Allah diatas langit maka Allah dinangungi langit, jika langit runtuh maka Allah ikut runtuh. 


Ini kesalahan. Betapa banyak sesuatu diatas tidak terikat /tidak butuh dengan yang dibawah. 


Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:


وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِۦ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُۥ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ وَالسَّمٰوٰتُ مَطْوِيّٰتٌۢ بِيَمِينِهِۦ  ۚ سُبْحٰنَهُۥ وَتَعٰلٰى عَمَّا يُشْرِكُونَ

"Dan mereka tidak mengagungkan Allah sebagaimana mestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari Kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Dia dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka sekutukan."

(QS. Az-Zumar 39: Ayat 67)


Sama seperti langit dan bumi, langit diatas bumi dan langit tidak butuh bumi, langit juga tidak menyatukan dengan bumi. Contoh diatas makhluk, maka bagaimana mungkin mengatakan dan menuduh Allah butuh tempat, diatas langit betul karena ia dikatakan dalam nash. Tapi bukan berarti menyatu dan butuh dengan makhluk. 


langit juga bukan tempat, bagaimana mungkin langit yang kecil untuk Allah yang Maha besar, maka tidak mungkin.


Maka langit lah yang butuh tempat, Allah terpisah dengan langit dan juga seluruh makhluknya yang lemah.


Kita tahu bahwa syariat islam dibangun antara lain dengan landasan Allah diatas. Kita tahu bahwa 

- Allah menurunkan wahyu (turun dari atas)


- Allah memerintahkan nabi isro dan mikroj (mikroj ke atas)


- Amalan manusia akan naik ke atas (naik ke arah atas menuju Allah)


- ruh manusia tatkala diambil akan diangkat ke atas


- malaikat tatkala lailatul qodar, turun dari atas.


- Allah turun ke langit dunia di sepertiga malam 


- rahmat Allah datang dari atas


- petunjuk allah dari arah atas


- nabi berdoa tangannya menghadap ke atas, juga sahabat


Karenya ayat Qur'an yang menerangkan terkait sifat al uluw dan istiwa jumlahnya ribuan,kata ulama peneliti Qur'an. 

Syarah Atsar Imam Malik rohimahullah

SYARAH ATSAR IMAM MALIK ROHIMAHULLAH 


Asya’iroh : Istiwa Maklum itu telah disebut dalam qur'an. 


Salaf : Istiwa Maklum itu telah diketahui dan dipahami makna dalam bahasa arab. 


Berkata Imam Malik bin Anas rohimahullah, ketika ditanya 

يا أبا عبد الله: {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى} [طه:5] ، كيف استوى؟

Wahai Abu Abdillah, {Arrohmaan istiwa di atas arsy} bagaimana cara istiwanya? 


(الاستواء معلوم، والكيف مجهول) ، وهنا قال: (والكيف غير معقول، والإيمان به واجب، والسؤال عنه بدعة)

Istiwa itu diketahui, caranya tidak diketahui, beriman dengannya wajib, bertanya tentangnya itu bid'ah.


ثم أمر بالرجل فأخرج] .

Lalu beliau memerintahkan agar orang itu dikeluarkan. 


Imam Malik lahir tahun 93 H, wafat tahun 179 H, beliau rohimahullah ta'ala hidup pada zaman muncul sebagian bid'ah pada masanya, maka masuklah suatu hari seseorang ke dalam masjid dalam halaqohnya. Dia berkata : Wahai Abu Abdillah, {Arrohmaan istiwa di atas arsy} bagaimana cara istiwanya? Lalu disisi kami ada 2 perintah, perintah 1 : penanya tahu dia menukil ayat Qur'an tentang penetapan istiwa, Allah berfirman {Arrohmaan istiwa di atas arsy}


Perintah 2: isi soal hanya bertanya caranya? Karena ia bertanya : Bagaimana caranya? Kami katakan bahwa jawaban imam Malik disalah tafsirkan para penentang Ahlusunnah wal jamaah, maka imam Malik menjawab : (istiwa itu maklum caranya tidak diketahui) atau dengan lafal berbeda (istiwa itu maklum caranya tidak ketahui, iman dengannya wajib, bertanya tentangnya itu bid'ah ) 


(الاستواء غير مجهول) 

yakni ISTIWA ITU DIKETAHUI MAKNANYA sebagaimana kita pahami   dan kita berbicara dengan bahasa arab, maka inilah istiwa itu kami ketahui, tapi apa yang tidak diketahui dan tidak dimengerti adalah caranya, karena kami tak tahu bagaimana Allah, karenanya kami tak tahu bagaimana sifatnya Allah ta'ala. 


Sebagian orang yang mengingkari istiwa Allah dan mentakwil dengan istiilaa' (menguasai) mereka menjawab itu maksudnya telah DISEBUTKAN DALAM QUR'AN. maka kami katakan ke mereka : 

Sekiranya maksud imam Malik itu istiwa telah disebut dalam Qur'an MAKA TIDAK CUKUP DENGAN OMONGAN PENANYA, KARENA PENANYA AWALNYA BERTANYA 


يا أبا عبد الله: {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى} [طه:5] ، كيف استوى؟

Wahai Abu Abdillah, {Arrohmaan istiwa di atas arsy} 

oleh karena itu (istiwa itu maklum) omongan ini belum sampai puncak, bahkan seakan penanya terus bertanya selanjutnya : saya tidak bertanya padamu kecuali saya lebih tahu bahwa istiwa itu disebut dalam Qur'an, namun imam Malik ingin menetapkan dan menjelaskan kedudukan manhaj salaf rohimahumullah, bahwa istiwa itu maklum, yakni kami ketahui makna istiwa sebagaimana pembicaraan dalam bahasa arab, yakni bermakna : 

علا، وارتفع، واستقر، وصعد


Ini adalah lafal yang sampai dari salaf, karenanya istiwa itu diketahui maknanya, adapun ia disebut dalam Quran maka itu telah jelas, tidak mungkin imam Malik ingkari, penanya sendiri hanya bertanya caranya, adapun caranya tidak diketahui akal. 



******


[شرح أثر مالك بن أنس: (الاستواء غير مجهول، والكيف غير معقول)]

ثم قال المصنف رحمه الله تعالى أيضاً: [سئل الإمام مالك بن أنس رحمه الله تعالى، فقيل: يا أبا عبد الله: {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى} [طه:5] ، كيف استوى؟ فقال: الاستواء غير مجهول، والكيف غير معقول، والإيمان به واجب، والسؤال عنه بدعة، ثم أمر بالرجل فأخرج] .

الإمام مالك ولد سنة (93 هـ) ، وتوفي سنة (179 هـ) ، والإمام مالك رحمه الله تعالى عاصر بعض البدع التي وجدت في عهده، فدخل عليه في أحد الأيام رجل وهو في المسجد في الحلقة، فقال: يا أبا عبد الله!: {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى} [طه:5] ، كيف استوى؟ إذاً: عندنا أمران: الأمر الأول: أن السائل يعلم بأنه ورد في القرآن إثبات الاستواء، وأنه دل عليه قوله تعالى: {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى} [طه:5] .

الثاني: أن السؤال إنما هو على الكيفية؛ لأنه قال: كيف استوى؟ ونحن نقول هذا الكلام لأن جواب الإمام مالك فسره المخالفون لأهل السنة والجماعة تفسيراً خاطئاً، فالإمام مالك قال: (الاستواء غير مجهول) وفي بعض الروايات أنه قال: (الاستواء معلوم، والكيف مجهول) ، وهنا قال: (والكيف غير معقول، والإيمان به واجب، والسؤال عنه بدعة) .

فالإمام مالك قال: (الاستواء غير مجهول) يعني أن معنى الاستواء كما نفقهه، ونحن خوطبنا باللغة العربية، فهذا الاستواء معلوم لنا غير مجهول، لكن ما هو الشيء الذي نجهله ولا نعقله؟

A هو الكيف، لأننا لا نعلم كيف الله فكذلك لا نعلم كيف صفاته سبحانه وتعالى.

وبعض الذين ينكرون استواء الله ويتأولونه بالاستيلاء يجيبون عن هذا ويقولون: إن قول الإمام مالك: (الاستواء معلوم) يعني أنه مذكور في القرآن، فنقول لهم: لو كان قصد الإمام مالك أن الاستواء مذكور في القرآن لاكتفى بكلام السائل؛ لأن السائل أولاً قال: يا أبا عبد الله {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى} [طه:5] كيف استوى؟ ولكان قوله: (الاستواء معلوم) كلاماً لا قيمة له، ولكن السائل سيقول: أنا ما سألتك إلا وأنا أعلم أن الاستواء مذكور في القرآن، لكن أراد الإمام مالك إثبات وبيان قضية منهج السلف رحمهم الله تعالى، ألا وهي أن الاستواء معلوم، أي: نحن نعلم معنى الاستواء بما خوطبنا به في اللغة العربية؛ فإنه بمعنى: علا، وارتفع، واستقر، وصعد، هذه هي الألفاظ الواردة عن السلف رحمهم الله تعالى، وعلى هذا فإن الاستواء معلوم، وأما كونه مذكوراً في القرآن فهذا أمر بدهي، ولا يمكن أن يغفل عنه الإمام مالك، والسائل نفسه ذكر أن سؤاله إنما هو عن الكيفية، والكيفية غير معقولة.

وهذا هو منهج السلف رحمهم الله تعالى؛ فإنهم يثبتون الصفات لله سبحانه وتعالى إثباتاً حقيقياً، ويثبتون ما دلت عليه من معانٍ، ويقولون: إن الكيفية لا يعلمها إلا الله سبحانه وتعالى.

وقوله: (والإيمان به واجب) ، أي: أن إثبات الاستواء على منهج السلف الصالح رحمهم الله تعالى واجب، ولا يجوز تأويله.

وقوله: (والسؤال عنه بدعة) ، أي أن السؤال عن كيفية الاستواء بدعة، وليس المقصود به السؤال عن إثبات الاستواء؛ لأنه ورد عن النبي صلى الله عليه وسلم حديث قال فيه: (إذا ذكر القدر فأمسكوا، وإذا ذكر أصحابي فأمسكوا) ، فهل معنى ذلك ألا نتكلم عن الإيمان بالقدر، ولا نتكلم عن فضل الصحابة؟ الجواب: لا، وإنما المقصود أنه إذا ذكر القدر وخاض فيه الخائضون بالباطل فلا نتكلم، وإنما نكل الأمر إلى الله سبحانه وتعالى، لكن إثبات الإيمان بالقدر أصل من الأصول؛ بل هو ركن من أركان الإيمان، قال فيه النبي صلى الله عليه وسلم (وتؤمن بالقدر خيره وشره) .

إذاً: قوله هنا: (أمسكوا) أي: عن الخوض فيه بالباطل، وهكذا ذكر الصحابة، هل معنى ذلك أننا لا نذكر الصحابة بشيء أبداً؟ الجواب: لا، وإنما المقصود أنه إذا ذكر الصحابة وتكلم فيما وقع بينهم كما هو ديدن كثير من أهل البدع، فيجب علينا أن نمسك، وألا نخوض في ذلك، وأن نكل ما جرى بينهم إلى الله سبحانه وتعالى، كما سيأتي بيان ذلك إن شاء الله تعالى.

وقوله: (ثم أمر بالرجل فأخرج) ، أي: أن الإمام مالكاً أمر بهذا الرجل فأخرج تأديباً له وتعليماً لأصحابه؛ لأن أهل البدع يجب ألا يمكنوا من نشر بدعهم، وهذا هو منهج السلف الصالح، فبعض الناس يظن أن فتح الحوار يدل على منهج علمي واقعي، وأنه ينبغي أن يفتح الإنسان الحوار لكل من هب ودب، فمن كان من هؤلاء من أهل البدع فإنه حينما يكون هناك قدرة للمتمسكين بمنهج أهل السنة والجماعة فيجب عليهم ألا يتهاونوا، فـ عمر رضي الله عنه وأرضاه ما ترك صبيغ بن عسل يتكلم بالمتشابهات، وإنما أتى له بعراجين النخل وضربه حتى قال: والله يا أمير المؤمنين لقد ذهب عني الذي أجد.

لكن إذا وجدت البدعة وابتلي بها المسلمون، ولم يكن للمسلمين من أهل السنة والجماعة قدرة على منع الخوض فيها، فحينئذ تشرع مناقشتهم لا أن نفتح نحن الحوار ونقول: تعالوا لنشر بدعكم؛ وذلك لأن البدعة قد يصوغها صاحبها ولا يستطيع الجواب عنها، فتثير في النفس شكاً وريبة، فكيف إذا كان هذا يقع عند المتعلمين؟ فكيف بالعوام؟ وكيف بالنساء؟ وكيف بغيرهم؟ فمثلاً: لو أن إحدى البدع تقام في التلفزيون، ويشاهدها الأطفال والنساء وغيرهم، ونقول لصاحبها: نفتح معك الحوار، وهذا يصلح وهذا يرد، فهذا لا شك أنه سيؤدي إلى بلاء قذر.

فمنهج السلف الصالح رحمهم الله تعالى هو بيان الحق وبيان العقيدة بأدلتها؛ حتى تؤمن النفس ويصفو إيمانها، ولا يخوضون في ذلك إلا عند الضرورات وعند الحاجة، وحينما يكون هناك خطر لا يمكن رده إلا بالنقض والبسط، كما فعل أئمة السلف رحمهم الله تعالى في القرن الثالث والرابع وما بعدهما.


Pandangan ulama, sifat Allah itu hakikat bukan majas

Pandangan para ulama bahwa sifat sifat Allah itu hakikat bukan majas


Akan kami kutipkan di sini sejumlah ucapan mereka. Di antaranya;


1- Imam Utsman bin Said Ad-Darimy rahimahullah (280 H) berkata, 


ونحن قد عرفنا بحمد الله تعالى من لغات العرب هذه المجازات التي اتخذتموها دُلسة وأُغلوطة على الجهال ، تنفون بها عن الله حقائق الصفات بعلل المجازات ، غير أنا نقول : لا يُحكم للأغرب من كلام العرب على الأغلب ، ولكن نصرف معانيها إلى الأغلب حتى تأتوا ببرهان أنه عنى بها الأغرب ، وهذا هو المذهب الذي إلى العدل والإنصاف أقرب ، لا أن تعترض صفات الله المعروفة المقبولة عند أهل البصر فنصرف معانيها بعلة المجازات " انتهى من "نقض الرادرمي على بشر المريسي" (2/755).


"Kami telah mengetahui, alhamdulillah, dari bahasa Arab bentuk-bentuk kiasan (majaz) yang mereka jadikan landasan dengan keliru dari orang-orang bodoh yang dengan itu mereka menafikan hakikat sifat-sifat dengan alasan bahwa sifat-sifat itu adalah majaz (kiasan). Maka kami katakana, "Jangan hukumi sebuah kalimat dengan makna lain dalam bahasa Arab sebagai makna asal. Akan tetapi kita pahami dengan makna asal hingga ada dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dari kata tersebut adalah maknanya yang lain. Inilah mazhab yang adil dan lebih dekat pada kebenaran. Jangan sampai menolak sifat-sifat Allah yang telah dikenal dan diterima oleh mereka yang berpandangan lurus, namun kita alihkan maknanya dengan alasan majaz." (Naqdu Ad-Darimi Ala Bisyri Al-Muraisy, 2/755)


2- Imam Abu Ja'far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari rahimahullah (310H) berkata, 


فإن قال لنا قائل : فما الصواب في معاني هذه الصفات التي ذكرت ، وجاء ببعضها كتاب الله عز جل ووحيه، وجاء ببعضها رسول الله صلى الله عليه وسلم ؟ قيل: الصواب من هذا القول عندنا: أن نثبت حقائقها على ما نعرف من جهة الإثبات ونفي التشبيه ، كما نفى عن نفسه جل ثناؤه فقال : ( ليس كمثله شيء وهو السميع البصير ) إلى أن قال : " فنثبت كل هذه المعاني التي ذكرنا أنها جاءت بها الأخبار والكتاب والتنزيل على ما يُعقل من حقيقة الإثبات ، وننفي عنه التشبيه فنقول : يسمع جل ثناؤه الأصوات ، لا بخرق في أذن ، ولا جارحة كجوارح بني آدم . وكذلك يبصر الأشخاص ببصر لا يشبه أبصار بني آدم التي هي جوارح لهم. وله يدان ويمين وأصابع ، وليست جارحة ، ولكن يدان مبسوطتان بالنعم على الخلق ، لا مقبوضتان عن الخير ، ووجه لا كجوارح بني آدم التي من لحم ودم. ونقول : يضحك إلى من شاء من خلقه ، لا تقول: إن ذلك كشر عن أنياب ، ويهبط كل ليلة إلى سماء الدنيا " انتهى من "التبصير في معالم الدين" ص (141-145) .


"Jika ada ada seseorang yang bertanya kepada kami, 'Mana yang benar dalam masalah makna sifat-sifat yang telah disebutkan, sebagian dinyatakan dalam wahyu (Al-Quran) dan sebagian dinyatakan oleh sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam?' Ada yang mengatakan bahwa pendapat yang benar di kalangan kami tentang masalah ini adalah; Kita menetapkannya sebagai hakikat sebagaimana yang kita ketahui, baik dari sisi itsbat (penetapan) ataupun nafy tasybih (tidak menyerupai)  sebagaimana hal itu ditiadakan oleh Allah Ta'ala sendiri, "Tidak ada suatupun yang menyerupainya, Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat)." Hingga beliau berkata, "Maka semua makna yang terkandung dalam sifat-sifat yang telah kami sebutkan bersumber dari khabar (hadits) dan Al-Quran, kami tetapkan sebagaimana dipahami secara akal, yaitu dengan menetapkan hakikatnya dan meniadakan keserupaan. Maka kami katakan: Allah yang maha Agung mendengar suara-suara, bukan dengan gendang telinga, atau dengan anggota tubuh seperti bani Adam. Demikian pula, Dia meihat makhluknya dengan penglihatan yang tidak menyerupai penglihatan bani Adam yang menjadi anggota tubuh mereka. Dia memiliki dua tangan dan jari jemari, akan tetapi dia bukan anggota tubuh. Dia adalah kedua tangan yang selalu terbentang dengan nikmat yang diberikan kepada makhluk-Nya, tidak digenggam untuk menahan kebaikan. Dia memiliki wajah yang tidak seperti anggota tubuh bani Adam yang terdiri dari daging dan darah. Kami katakan, Dia tertawa terhadap makhluknya yang Dia kehendaki. Tidak kita katakan bahwa tawanya seperti makhluk jahat yang bertaring. Dia  turun di setiap malam ke langit dunia." (At-Tabshir fi Ma'alimiddin, hal. 141-145)


3- Imam Abu Ahmad bin Muhamad bin Ali bin Muhammad Al-Karji, lebih dikenal dengan sebutan Al-Qashshab rahimahullah (360H) berkata dalam Al-I'tiqad Al-Qadiri yang ditulis untuk Amirul Mukminin Al-Qadir bi Amrillah, tahun 433H yang direkomendasi oleh para ulama saat itu dan kemudian risalah Al-Qadiriah ini diisi ke penjuru negeri:


" لا يوصف إلا بما وصف به نفسه أو وصفه به نبيه، وكل صفة وصف بها نفسه، أو وصفه بها نبيه، فهي صفة حقيقية لا صفة مجاز ، ولو كانت صفة مجاز لتحتم تأويلها ، ولقيل : معنى البصر كذا ، ومعنى السمع كذا ، ولفسرت بغير السابق إلى الأفهام ، فلما كان مذهب السلف إقرارها بلا تأويل ، علم أنها غير محمولة على المجاز، وإنما هي حق بيّن " انتهى نقلا عن " المنتظم" لابن الجوزي في المنتظم في حوادث سنة 433هـ ، "سير أعلام النبلاء" (16/213).




 "(Allah) tidak disifati kecuali dengan sifat yang telah Dia tetapkan untuk diri-Nya sendiri atau sifat yang telah ditetapkan oleh nabi-Nya. Sifat yang telah Dia tetapkan untuk diri-Nya sendiri atau yang ditetapkan oleh Rasul-Nya adalah hakikat, bukan sifat majaz. Seandainya sifat-sifat itu majaz, maka dia harus ditakwil. Maka harus dikatakan, 'Makna bashar (melihat) adalah begini, makna 'sam'u' (mendengar) adalah begitu... dan harus ditafsirkan dengan sesuatu yang terpikirkan oleh pemahaman sebelumnya. Karena mazhab salaf menetapkan sifat-sifat Allah tanpa takwil, maka dapat disimpulkan bahwa sifat-sifat tersebut tidak dapat dipahami sebagai majaz (kiasan), akan tetapi dia merupakan hakikat yang jelas." (Dikutip dari kitab Al-Muntazam, Ibnu Jauzi dalam Al-Muntazam dalam kejadian tahun 433, Siyar A'lam An-Nubala, 16/213)


4- Imam Al-Hafiz Abu Abdillah Muhamad bin Ishaq bin Mandah (395H) dalam hal menetapkan kedua tangan milik Allah Ta'ala, dia berkata, 




"Bab tentang firman Allah Ta'ala, "Apa yang mencegahmu untuk sujud kepada (Adam) yang Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku" (QS. Shaad: 75), kemudian dia menyebutkan dengan dalil-dalil yang dikemukakan dari sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa Allah Azza wa Jalla menciptakan Adam alaihissalam dengan kedua tangan secara hakikat."

Dia berkata dalam hal menetapkan wajah bagi Allah Ta'ala, "Bab firman Allah Ta'ala, " Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajah Allah." (QS. Al-Qashash: 88) Beliau menyebutkan berdasarkan riwayat shahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa sifat itu adalah hakikat." (Ar-Rad alal-Jahmiyah, 68-94) 


5- Imam Hafiz Al-Maghrib Abu Umar Yusuf bin Abdullah bin Abdul Barr Al-Andalusy Al-Qurthuby Al-Maliky (463 H), "Hak sebuah kalimat adalah dipahami sebagai hakikat hingga umat sepakat bahwa yang dimaksud adalah majaz. Karena tidak ada jalan untuk mengikuti apa yang diturunkan kepada kita dari Tuhan kita kecuali dengan cara seperti itu. Hanya saja, Kalamullah Azza wa Jalla dipahami dengan makna yang sudah dikenal dari berbagai sisi, selama tidak ada halangan dari hal tersebut yang menuntut adanya penyerahan diri. Seandainya pengakuan majaz dibuka kepada siapa saja, maka tidak akan ada satupun kata yang dapat ditetapkan. Allah maha Agung, Dia menyampaikan firman-Nya dengan apa yang dipahami oleh bangsa Arab dalam kebiasaan pembicaraan mereka dan maknanya dianggap benar oleh orang yang mendengarnya. Istiwa dalam sudah diketahui dan dapat dipahami maknanya dari segi bahasa, yaitu tinggi di atas sesuatu serta kokoh serta mantap padanya."

Dia berkata dengan mengutip kesepatakan (ijmak) Ahlussunnah tentang hal itu, "Ahlussunnah sepakat menetapkan seluruh sifat yang dinyatakan dalam Al-Quran dan Sunah serta mengimaninya. Kemudian memahaminya berdasarkan hakikat, bukan berdasarkan majaz. Hanya saja mereka tidak merinci bagaimananya sedikitpun serta tidak menentang sifat-sifat yang sudah tertentu. Adapun ahi bid'ah dan Jahmiyah, mu'tazilah serta khawarij, mereka seluruhnya mengingkarinya dan tidak memahaminya sebagai hakikat. Mereka menuduh bahwa siapa yang menetapkan sifat-sifat bagi Allah berarti dia menyerupai Allah dengan makhluk. Mereka menafikan sifat-sifat yang ditetapkan oleh mereka yang menetapkannya, bahwa itu ada pada dzat yang disembah. Yang benar adalah apa yang dikatakan  dalam Kitabulah dan sunah rasul-Nya. Mereka adalah para imam jamaah (kaum muslimin), alhamdulillah." (Tamhid, 7/131-145)


ومن حق الكلام أن يُحمل على حقيقته ، حتى تتفق الأمة أنه أريد به المجاز؛ إذ لا سبيل إلى اتباع ما أنزل إلينا من ربنا إلا على ذلك ، وإنما يوجه كلام الله عز وجل إلى الأشهر والأظهر من وجوهه ، ما لم يمنع من ذلك ما يجب له التسليم . ولو ساغ ادعاء المجاز لكل مدع ما ثبت شيء من العبارات ، وجل الله عز وجل عن أن يخاطب إلا بما تفهمه العرب في معهود مخاطباتها مما يصح معناه عند السامعين ، والاستواء معلوم في اللغة ومفهوم ، وهو العلو والارتفاع على الشيء والاستقرار والتمكن فيه ".

وقال ناقلاً إجماع أهل السنة على ذلك : " أهل السنة مجمعون على الإقرار بالصفات الواردة كلها في القرآن والسنة والإيمان بها ، وحملها على الحقيقة لا على المجاز ، إلا أنهم لا يكيفون شيئا من ذلك ، ولا يحدون فيه صفة محصورة ، وأما أهل البدع والجهمية والمعتزلة كلها والخوارج فكلهم ينكرها ، ولا يحمل شيئا منها على الحقيقة ، ويزعمون أن من أقر بها مشبه ، وهم عند من أثبتها نافون للمعبود . والحق فيما قاله القائلون بما نطق به كتاب الله وسنة رسوله وهم أئمة الجماعة والحمد لله " انتهى من "التمهيد" (7/ 131، 145).


6. Imam Al-Hafiz Az-Zahabi, seteleh menukil ucapan Al-Qashshab sebelumnya, berkata,


ولو كانت الصفات ترد إلى المجاز ، لبطل أن تكون صفات لله ، وإنما الصفة تابعة للموصوف ، فهو موجود حقيقة لا مجازاً ، وصفاته ليست مجازاً ، فإذا كان لا مثل له ولا نظير : لزم أن تكون لا مثل لها ".

وقال في تعليقه على كلام ابن عبد البر السابق : " صدق والله ، فإن من تأول سائر الصفات ، وحمل ما ورد منها على مجاز الكلام ، أداه ذلك السلب إلى تعطيل الرب ، وأن يشابه المعدوم ، كما نقل عن حماد بن زيد أنه قال : مثل الجهمية كقوم قالوا : في دارنا نخلة . قيل: لها سعف؟ قالوا : لا. قيل: فلها كرب؟ قالوا : لا. قيل : لها رطب وقنو؟ قالوا: لا. قيل: فلها ساق؟ قالوا: لا. قيل: فما في داركم نخلة " انتهى من "العلو" ص 239، 250.


 'Seandainya sifat-sifat tersebut bermakna majaz, niscaya dia akan batal sebagai sifat-sifat Allah. Akan tetapi, sesungguhnya dia adaah sifat bagi yang disifati, dia ada dan bersifat hakikat, bukan majaz. Sifat-sifat-Nya bukan majaz. Seandainya Allah tidak ada yang menyerupainya dan tidak ada yang menandinginya, maka sifat-sifat tersebut harus tidak ada yang menyerupainya dan tidak ada yang menandinginya."

Beliau juga berkata tatkala berkomentar atas ucapan Ibnu Abdul Barr sebelumnya, "Demi Allah, beliau telah benar. Karena siapa yang menta'wil seluruh sifat dan kemudian menggiringnya kepada makna majaz dalam perkataan, maka tindakan tersebut berarti menggugurkan rabb (Tuhan), atau menyerupainya dengan sesuatu yang tidak ada. Sebagaimana dinukil dari Hamad bin Zaid, bahwa dia berkata, 'Seperti Jahmiah. Seperti sebuah kaum mereka berkata, 'Di rumah kami ada pohon kurma' Lalu dikatakan kepadanya, 'Apakah ada pelepahnya?' Mereka berkata, 'Tidak' Lalu ditanyakan lagi, 'Apakah dia memiliki bunga?' Mereka berkata, 'Tidak' Lalu ditanyakan lagi, 'Apakah dia memiliki ruthab (kurma mentah)?' Mereka berkata, 'Tidak' Lalu ditanyakan lagi, 'Apakah dia memiliki batang?' Mereka berkata, 'Tidak'. Maka dikatakan kepadanya, 'Kalau begitu yang ada di rumah kalian bukanlah pohon kurma." (Al-Uluww, hal. 239)



Kutipan dalam masalah ini cukup banyak. Perhatikan kitab 'Al-Asyaa'irah fii Mizan Ahlissunnah, oleh Syekh Faishal bin Quzaz Al-Jasim. Di dalamnya terdapat kutipan yang sangat banyak dari kalangan salaf.


Syeh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan makna ayat, 'Tangan Allah di atas tangan mereka.' (QS. Al-Fath: 10)

Ayat ini juga harus dipahami sesuai zahir dan hakikatnya. Karena tangan Allah di atas seluruh tangan orang-orang yang berbai'at. Karena tangannya termasuk sifat-Nya. Dia berada di atas mereka di Arasy-Nya. Maka tangannya di atas tangan mereka. Ini merupakan zahir dan hakikat lafaz tersebut. Hal itu untuk menguatkan bahwa orang-orang yang berbaiat kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada hakikatnya dia sedang berbaiat kepada Allah Azza wa Jalla. Hal itu tidak harus berarti bahwa tangan Allah yang langsung membai'at mereka. Bukankah anda memahami jika dikatakan 'Langit di atas kami' padahal langit jauh di atas kita. Maka tangan Allah di atas tangan para shahabat yang berbaiat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, sementara kedudukannya berbeda dan lebih tinggi di atas mereka." (Al-Qawa'idul Mutsla, yang terdapat dalam kitab kumpulan fatwa beliau, 3/331)


Adapun firman Allah  (فإنك بأعيينا) sebagian salaf menafsirkan dengan makna 'Sesungguhnya engkau dalam pemantauan kami.' Ini merupakan penafsiran yang telah menjadi kelaziman (tafir billazim). Maka ayat tersebut menetapkan adanya sifat melihat dan mata.

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata dalam kitab Syarh Al-Washitiyah, 'Jika ada yang berkata, 'Dengan apa engkau menafsirkan (بـ) dalam firman-Nya (بأعيننا)?


Kami katakan, 'Kami menafsirkannya (huruf بـ) sebagai mushahabah (mendampingi). Jika anda mengatakan (أنت بعيني) maksudnya adalah bahwa mataku selau mendampingimu dan melihatmu, tidak pernah luput. Maka makna ayat tersebut artinya, 'Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berkata kepada Nabi-Nya, 'Bersabarlah menyampaikan hukum Allah, karena Kami selalu meliputi engkau dengan perhatian dan pengihatan Kami kepadamu dengan mata, agar engkau tidak mendapatkan celaka dari seseorang."


Dan tidak mungkin (بـ) dalam kalimat ini diberi makna 'kata tempat' (ظرفية), karena jika demikian, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berada 'di mata Allah'. Itu mustahil.

Begitu juga, sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, disampaikan demikian tatkala beliau berada di muka bumi. Jika kalian mengatakan bahwa beliau berada di mata Allah, maka berarti petunjuk Al-Quran itu dusta. Sebelum itu beliau berkata, 'Jika ada yang mengatakan, 'Di antara salaf ada yang menafsirkan firman Allah Ta'ala (بأعيننا) dengan ucapan, 'berdasarkan penglihatan kami.' Penafsiran seperti itu dilakukan oleh para imam salaf yang terkenal, sedangkan kalian mengatakan bahwa merubah makna diharamkan dan dilarang. Apa jawabannya?


Jawabnya adalah bahwa mereka menafsirkannya dengan kelaziman dengan tetap mengakui asalnya, yaitu mata. Pihak yang merubah makna berkata, 'Dengan pemeliharaan Kami' tanpa mereka menetapkan mata (bagi Allah). Sedangkan Ahlussunnah wal Jamaah berkata, makna (بأعيننا) adalah 'Dengan pemeliharaan Kami' dengan tetap meyakini sifat 'mata' (bagi Allah)." (Majmu Fatawa Syekh Utsaimin, 8/264)


Syekh Shaleh Al Syekh, hafizahullah berkata, "(فإنك بأعيننا) maknanya adalah 'Sesungguhnya engkau berada dalam pemeliharaan dan pandangan Kami, dipelihara dan dilindungi."

Ini merupakan penafsiran salat tentang ayat tersebut. Hal tersebut karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam bukan berada di mata Allah yang menjadi sifat-Nya, akan tetapi dia berkata dalam pendampingan 'mata-mata' Allah, yang dia akibat dari kedua mata Allah yang menjadi sifat-Nya."


Karena itu, Ahlussunah ketika menafsirkannya dengan makna demikian, mereka menganggapnya sebagai bab 'tadhammun' (maknanya terkandung dalam sebuah kata). Tadhammun merupakan salah satu petunjuk sebuah lafaz. Karena sebuah lafaz memiki beberapa petunjuk; Dengan penyesuaian (muthabaqah), mengambil makna yang terkandung di dalamnya (tadhammun) dan kelaziman (luzuum).

Mereka berkata, 'Maknanya adalah bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam berada dalam pengihatan, penjagaan dan pemeliharaan dari Allah Azza wa Jalla. Hal tersebut karena makna itu yang terkandung dalam firman-Nya (بأعيننا).


Dengan demikian, ini bukan termasuk takwil sebagaimana tuduhan orang yang tidak mengerti. Tapi ini termasuk bab tadhamun. Tadhammun merupakan petunjuk sebuah kata dalam bahasa Arab yang jelas.

Para salaf berkata, 'Hal ini dengan tetap meyakini adanya dua mata (bagi Allah). Karena kalangan salaf, kadang menafsirkannya dengan tadhammun, atau kadang dengan kelaziman, kemudian ada yang mengira bahwa itu adalah bentuk takwil. Pendapat ini keliru. Karena tadhammun ada satu hal, sedangkan kelaziman adalah hal lain. Dan itu semua merupakan petunjuk sebuah lafaz. Adapun takwil, artinya dia menghapus petunjuk dari sebuah lafaz." (Syarh Wasithiyah).


Dari penjelasan sebelumnya, jelaslah bahwa kedua ayat tersebut bersifat hakikat. Di dalamnya terdapat penetapan 'tangan' dan 'mata'. Tidak masalah menafsirkan ayat tersebut dengan makna kelaziman dan keterkandungan (lazim dan tadhammun), tanpa menafikan sifat yang disebutkan dalam masalah tersebut. Inilah yang tampaknya anda rasakan sesuai dengan selera sastra anda, maksudnya adalah makna umum yang tak lain merupakan makna keterkandungan dan kelaziman dari lafaz tersebut. Akan tetapi merupakan kekeliruan kalau hal tersebut dikatakan sebagai majaz yang dapat berakibat menafikan sifat dari Allah Ta'ala atau menafikan petunjuk dari nash tersebut.


Wallahua'lam .


Sumber islamqa

Sifat sifat Allâh adalah hakikat bukan majas (kiasan)

Sifat sifat Allâh adalah hakikat bukan majas (kiasan)



Keyakinan yang benar dibangun di atas ketetapan Al-Quran dan Sunah berdasarkan pemahaman salafushaleh dari kalangan para shahabat, tabiin dan para imam terpercaya. Mereka semua sepakat bahwa sifat milik Allah yang tertera dalam Kitab dan Sunah ditetapkan tanpa takyif (dirinci bagaimananya) tanpa tamtsil (diserupakan dengan makhluk), tanpa ta'thil (digugurkan/tidak diakui)  dan tanpa ta'wil (dicarikan makna lainnya di luar makna bahasanya). Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara sifat dzat, sifat maknawiyah, sifat khabar dan logika. Maka, seluruh berita yang shahih tentang-Nya, wajib ditetapkan milik Allah Ta'ala.


Al-Quran dan Sunah diturunkan untuk mengenalkan kepada para hamba tentang sifat-sifat dzat yang mereka sembah. Hal ini tidak dapat terwujud kecuali memahami perkataan berdasarkan hakikatnya, sebagaimana halnya tersebut merupakan landasan dalam pembicaraan. Al-Quranul Adzim telah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan lafaz dan maknanya. Tidak ada satu huruf pun yang dikutip dari beliau bawah ada sifat-sifat yang selayaknya atau seharusnya ditakwil, atau bahwa yang dimaksud bukanlah zahirnya, atau bahwa sifat tersebut boleh diserupakan dengan makhluk, atau ungkapan semacam itu yang sering dilontarkan oleh pendukung ta'thil dan ta'wil. Ini merupakan sikap yang mencederai Al-Quran, juga mencederai Rasulullah yang diperintahkan untuk menyampaikan dan menjelaskannya. Karena, jika apa yang mereka sebutkan benar-benar ada, niscaya beliau wajib menjelaskannya dan tidak boleh menyembunyikannya. Bagaimana hal itu dapat terjadi, padahal terdapat sejumlah hadits shahih yang disepakati keshahihannya yang menetapkan sifat-sifat tersebut, ditambah lagi dengan sifat-sifat yang lain, seperti 'turun' 'kaki', 'tertawa', 'gembira', tanpa disertai satu kalimat pun yang mengalihkan makna kalimat tersebut dari makna zahirnya dan tanpa ada seorang shahabat pun yang merasa aneh dari maknanya yang zahir dan logis. Seandainya zahir kalimat tersebut mengandung makna cacat atau menyerupai (Allah dengan makhluk), dan hal itu tidak mungkin terjadi pada Al-Quran dan Sunah, niscaya beliau (Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam) sudah memperingatkannya, dan niscaya para shahabat sudah merasa aneh dengannya, sementara mereka dikenal orang yang sangat kuat berpegang pada kebaikan dan sangat menggemari serta komitmen padanya. 


Ketika berbagai bid'ah bermuncuan, lalu ada yang mengatakan, "Sesungguhnya sifat-sifat tersebut bukan hakikat, akan tetapi majaz (kiasan), sebagaimana ucapan Jahmiah, Mu'tazilah dan siapa yang setuju dengan mereka, maka para tokoh ulama salaf menjelaskan bahwa sifat-sifat Allah adalah hakikat, bukan majaz. Pandangan mereka seperti itu sangat banyak dan masyhur. 

Kisah ulama Asya’iroh tokoh ilmu kalam di akhir hidup mereka

 Kisah Ulama Asya’iroh Tokoh ilmu kalam di akhir hidup mereka. Yang ada hanya penyesalan, 


Asy Syahristani rohimahullah (telah bertaubat di akhir hidup nya) mengatakan, sungguh aku telah mengelilingi ma'had ma'had, aku menjelaskan pandangan ku, lalu tidak kudapati kecuali menghasilkan orang orang bingung dan menggertak gigi karena menyesal (telah mempelajari ilmu kalam) 


Fakhrudin ar Rozi rohimahullah (telah bertaubat di akhir hidup nya) berkata, ujung dari mendahulukan akal, hidayah terhalang, kebanyakan usaha orang adalah kesesatan, ruh kami asing dari jasad kami, ujung dari dunia kami adalah kesengsaraan dan kesulitan. Dan kaki tidak mendapat faedah, seumur hidup kami merasa mencari kebenaran, kami hanya kumpulkan kata si anu kata si anu. (Dia bingung di akhir hidup nya) 


Rozi juga berkata, sungguh aku telah perhatikan cara filsafat dan aku ikuti manhaj falsafah, lalu aku dapati manhaj mereka tidak bisa menyembuhkan penyakit dan menghilangkan dahaga, telah aku dapati tempat kembali jalan terbaik adalah jalan nya al Qur'an. Aku baca dalam itsbat 

الرحمن علي الارشى استوى

Dan selesai. Kepada Nya naik kalimat kalimat yang baik, adapun masalah nafi (pengingkaran) 

ليس كمثله شيء وهو السميع البصير 

Barang siapa mencoba apa yang aku coba, dia akan mengetahui apa aku ketahui. (percuma mempelajarinya ilmu filsafat) 


Berkata Imam haromain juwaini rohimahullah (telah bertaubat akhirnya hidup nya), sungguh aku telah masuk lautan yang luas yakni ilmu filsafat, dan aku meninggalkan orang islam dengan ilmu mereka, dan aku masukkan kedalam ilmu yang telah aku larang memasukinya, kalau sekarang allah tidak memberi rohmat aku, maka celaka si fulan, sekarang aku ingin meninggal diatas aqidah ibuku. 


Ada pula yang berkata, orang yang paling banyak terkena keraguan tatkala akan meninggal adalah ahlul filsafat, 


Berkata murid al rozi, syamsudin al qohtusyahi, ketika dia bertanya ke orang awam, Apa yang kau yakini aqidah? Orang ini jawab, aqidah ku seperti aqidah orang orang awam kebanyakan. 

Dia berkata, engkau meyakini apa yang diyakini orang orang, bersyukurlah terhadap nikmat ini. 

sedangkan aku demi allah dalam keraguan, aku tidak tahu apa yang aku yakini. 


Seorang juga berkata, aku duduk diatas tempat dudukku, menutup selimut diatas mukaku, aku bandingkan pendapat si anu dengannya si anu, sampaikan akhir malam aku tidak tidur dan aku tidak tahu mana yang benar diantara mereka. 



Syair antara boleh dan tidak

 Bismillah wassholatu wassalamu ala rosulillah. 


Sebuah Syair yang dinisbahkan ke abu nawas, yang termaktub dalam syair bajuri lalu dinukil asy-sya'roni, tanpa sanad yang jelas. Keduanya juga tidak dikenal sebagai ulama mujtahid, sehingga qoul mereka bukan hujjah sama sekali. 


Penggalan Syair itu berisi 


إِلهِي لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلاً # وَلاَ أَقْوَى عَلىَ النَّارِ الجَحِيْمِ


Wahai Tuhanku ! Aku bukanlah ahli surga, tapi aku tidak kuat dalam neraka jahim. 


Jika dilihat bait syair diatas berisi doa permintaan kepada Allah, sedangkan doa adalah ibadah, 


الدعاء هو العبادة

Doa itu adalah ibadah. 


Hadits lain mengatakan 

الدعاء مخ العبادة 

Doa Itu sumsumnya (inti) ibadah. 


maka sepatutnya ibadah itu mengikuti syariat rosulullah shollallohu'alaihiwasallam. 


Allah ta'ala berfirman 


قل انكنتم تحبون الله فاتبعوني يجيبكم الله ويغفرلكم ذبوبكم

Katakanlah wahai nabi, jika kamu mencintai Allah maka ikutilah aku, maka kamu akan dicintai Allah dan akan diampuni dosa dosamu. 


Di sisi lain, nabi shollallohu'alaihiwasallam memerintahkan bila berdoa kepada Allah berdoalah dengan surga firdaus. Lafaz اسألوا menunjukkan perintah itu. 


Maksudnya atas perintah Allah ta'ala sendiri agar minta surga firdaus, karena ia surga yang paling tinggi, paling dekat dengan arsy Allah. 


Hukum asal perintah adalah wajib, dan perintah itu mengatakan berdoalah minta firdaus. 


Nabi shollallohu'alaihiwasallam berkata

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( إِنَّ فِي الْجَنَّةِ مِائَةَ دَرَجَةٍ أَعَدَّهَا اللَّهُ لِلْمُجَاهِدِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ مَا بَيْنَ الدَّرَجَتَيْنِ كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ ، فَإِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ فَاسْأَلُوهُ الْفِرْدَوْسَ فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الْجَنَّةِ وَأَعْلَى الْجَنَّةِ أُرَاهُ فَوْقَهُ عَرْشُ الرَّحْمَنِ ، وَمِنْهُ تَفَجَّرُ أَنْهَارُ الْجَنَّةِ ) روى البخاري (2790)


Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Di surga itu terdapat seratus tingkatan, Allah menyediakannya untuk para mujahid di jalan Allah, jarak antara keduanya seperti antara langit dan bumi. Karena itu, jika kalian meminta kepada Allah, mintalah Firdaus, karena sungguh dia adalah surga yang paling tengah dan paling tinggi. Di atasnya ada Arsy Sang Maha Pengasih, dan darinya sumber sungai-sungai surga.” (HR. Bukhari 2790 & Ibnu Hibban 4611)


Maka jika ada seruan (walaupun dalam bentuk syair) agar tidak meminta firdaus, hakikatnya menentang perintah Allah dan Rasul-Nya. 


Bagaimana jika orang tua yang meminta, maka kembali ke kaedah perintah, dimana nabi shollallohu'alaihiwasallam bersabda 


إنما الطاعة في المعروف لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق (الحديث الصحيح) 

Sesungguhnya ketaatan itu pada hal yang maruf, maka tidak ada ketaatan dalam bermaksiat pada sang kholiq. 


Andai syair diatas itu baik, tentu nabi juga pada sahabat telah lebih dahulu mempraktikan isi bait syair tersebut. 


Jika dikatakan, toh ini hanya perkara bait syair, berisi makna puitis. Maka kita katakan, hukum syair itu boleh asalkan tetap berisi perkara yang tidak bertentangan dengan nash dalil. 


Padahal dalam hal ini, jelas mengingkari perintah Agar minta surga firdaus, dengan ungkapan penolakan agar enggan dimasukkan firdaus. Maka jelas ini menyelisihi syariat.


Bahkan kenyataan di tengah manusia timbul keyakinan jika membaca syair ini 5x maka akan mati secara mukmin. 


Jika abu nawas diidentikkan dengan kecerdasan, lalu fanatik mengikutinya sedang nabi dan para sahabat tidak melakukannya, maka seakan mengatakan abu nawas lebih pintar dari nabi dan sahabat. 


Konsekwensinya, Allah  salah memuji karena Allah memerintahkan agar dalam beragama mengikuti pemahaman nabi dan para sahabat. 


Na'udzu billah min dzalik 


Rabu, 02 September 2020

Lebih alim siapa, ulama ahlul Hadits murid tabi'in atau abul hasan Asy'ari atau ulama Asya’iroh ?

 Lebih alim siapa, ulama ahlul Hadits murid tabi'in atau abul hasan Asy'ari atau ulama Asya’iroh ?


Jika kau mengatakan ulama Asy'ariyah lebih alim masalah agama, maka ketahuilah engkau sama saja mengatakan Allâh dan rosul Nya telah dusta, sebab Allâh dan rosul Nya telah menetapkan para sahabat yang hidup sezaman adalah seutama generasi dan orang paling bersih hatinya di kalangan manusia.


Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:


وَالسّٰبِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهٰجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسٰنٍ رَّضِىَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِى تَحْتَهَا الْأَنْهٰرُ خٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدًا  ۚ ذٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

"Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung."

(QS. At-Taubah 9: Ayat 100)


Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:


قُلْ هٰذِهِۦ سَبِيلِىٓ أَدْعُوٓا إِلَى اللَّهِ  ۚ عَلٰى بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ اتَّبَعَنِى  ۖ وَسُبْحٰنَ اللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

"Katakanlah (Muhammad), Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan yakin, Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik."

(QS. Yusuf 12: Ayat 108) 


Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam bersabda :


((خير الناس قرنى ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم ثم يجىء أقوام تسبق شهادة أحدهم يمينه ويمينه شهادته))


Artinya : “Sebaik baik manusia ialah orang yang sezaman dengan saya (para shahabat) kemudian generasi yang mengikuti mereka (para Taabi`iin) kemudian generasi yang mengikuti mereka dengan baik (Atbaa`ut Taabi`iin), kemudian datang satu kaum dimana persaksian mereka mendahului sumpahnya dan sumpah mereka mendahului persaksiannya.” Hadits ini diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad dalam Musnadnya, Al Bukhariy dan Muslim


Dari Muawiyah bin Abu Sufyan berdiri di tengah-tengah kami dan berkata: “Ketahuilah sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di tengah-tengah kami dan beliau bersabda:


أَلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ


Ketahuilah sesungguhnya orang-orang sebelum kalian, yaitu ahli kitab, telah terpecah menjadi 72 millah ( ajaran ). Dan sesungguhnya (umat) millah ini (Islam) akan terpecah menjadi 73, 72 di dalam neraka dan satu di dalam surga. Dia itu adalah Jama’ah. [Hadits shahih riwayat Abu Dawud dan lainnya]


lafadz lain yang datang dalam hadits ini dari riwayat Al-Hakim dan lainnya, yaitu sabda beliau dalam menyifati al-firqatun najiyah: مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَ أَصْحَابِي Apa-apa yang pada hari ini aku dan sahabat-sahabatku berada di atasnya.


Berkata sahabat Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata: “Barang siapa di antara kalian ingin mengikuti sunnah, maka ikutilah sunnah orang-orang yang sudah wafat. Karena orang yang masih hidup, tidak ada jaminan selamat dari fitnah (kesesatan). Mereka ialah sahabat-sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka merupakan generasi terbaik umat ini, generasi yang paling baik hatinya, yang paling dalam ilmunya, yang tidak banyak mengada-ada, kaum yang telah dipilih Allah menjadi sahabat Nabi-Nya dalam menegakkan agama-Nya. Kenalilah keutamaan mereka, ikutilah jejak mereka, berpegang teguhlah dengan akhlak dan agama mereka semampu kalian, karena mereka merupakan generasi yang berada di atas Shirâthal- Mustaqîm.”[Ibnu ‘Abdil-Bar dalam Jâmi’ al-Bayân (II/97)] 


Jika kau mengatakan para sahabat lebih utama, lalu kenapa engkau masih memegang pemahaman Asy'ariyah yang menyelisihi pemahaman sahabat dalam perkara prinsip aqidah dan tauhid tentang sifat sifat Allâh, dimana Asya’iroh :


- menetapkan sebagian saja dan menolak sebagian sifat sifat Allâh, padahal siapa yang ingkar pada ayat Allâh bisa kufur


- mentakwil sebagian sifat Allâh, dengan mengganti makna sifat, yang berarti membuang, merubah sifat asal yang ditetapkan Allâh sendiri.


- sebagian pengikut Asya’iroh mengolok olok sebagian sifat Allâh dengan mengolok olok, juga mengolok olok manusia pengikut pemahaman sahabat yang menetapkan semua sifat tanpa tahrif ta'thil takyif tamsil. Mereka terjangkit Jahmiyah yang dikafirkan ulama dahulu. 

Tajsim versi ulama salaf versus Asya’iroh

Tajsim versi ulama salaf versus Asya’iroh

Ulama salaf menetapkan semua sifat allah, memahami apa adanya, dipahami secara dzohir maknanya.

Karenanya ketika menghukumi seseorang terjatuh pada paham tajsim (menyamakan bentuk Allah dengan makhluk), para ulama salaf MERINCI, mereka mengatakan ;

Berkata ishaq bin Rahawaih (Guru imam Bukhori)

إنما يكون التشبيه إذا قال : يد مثل يدي أو سمع كسمعي، فهذا تشبيه. وأما إذا قال كما قال الله : يد وسمع وبصر، فلا يقول : كيف، ولايقول : مثل، فهذا لا يكون تشبيهاً، قال تعالى : (لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
”Tasybih itu hanya terjadi ketika seseorang itu mengatakan : ”Tangan (Allah) seperti tanganku, pendengaran (Allah) seperti pendengaranku”. Inilah yang dinamakan tasybih (penyerupaan). Adapun jika seseorang mengatakan seperti firman Allah : ’Tangan, pendengaran, penglihatan’ , kemudian ia tidak menyatakan : ’bagaimana’ dan ’seperti’; maka itu tidak termasuk tasybih. Allah berfirman : ”Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.[Mukhtashar Al-‘Ulluw lidz-Dzahabiy oleh Al-Albaniy (hal. 62)]

Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :

ومُحالٌ أن يكون مَن قال عن اللهِ ما هو في كتابه منصوصٌ مُشبهًا إذا لم يُكيّف شيئا، وأقرّ أنه ليس كمثله شيء

"Dan tidaklah mungkin terjadi pada orang yang berbicara tentang Allah sesuatu yang ternashkan dalam kitab-Nya disebut sebagai musyabbih, ketika ia tidak men-takyif-nya sedikitpun dan mengatakan tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya” [Al-Istidzkaar, 8/150].

Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata :

ليس يلزم من إثبات صفاته شيء من إثبات التشبيه والتجسيم، فإن التشبيه إنما يقال: يدٌ كيدنا ... وأما إذا قيل: يد لا تشبه الأيدي، كما أنّ ذاته لا تشبه الذوات، وسمعه لا يشبه الأسماع، وبصره لا يشبه الأبصار ولا فرق بين الجمع، فإن ذلك تنزيه

"Tidaklah penetapan sifat-sifat-Nya mengkonsekuensikan adanya penetapan tasybiih dan tajsiim, karena tasybiih itu hanyalah jika dikatakan : ‘tangan seperti tanganku’...... Adapun jika dikatakan : ‘tangan namun tidak menyerupai tanganku’, sebagaimana Dzaat-Nya tidak menyerupai dzat-dzat makhluk, pendengaran-Nya tidak menyerupai pendengaran-pendengaran makhluk, dan penglihatan tidak menyerupai penglihatan-penglihatan makhluk, maka itulah yang disebut tanziih” [Al-Arba’iin min Shifaati Rabbil-‘Aalamiin, hal. 104].

Ibnul-Jauziy rahimahullah berkata:
والمشبهة يقولون: لله بصر كبصري ويد كيدي،
“Dan orang Musyabbihah berkata : Allah memiliki penglihatan seperti penglihatanku dan (memilik) tangan seperti tanganku…” [Talbiis Ibliis, hal. 31].

وقد مضت السنة من رسول الله صلى الله عليه و سلم بأن أهل الجنة يرون ربهم وهو من أعظم نِعم أهل الجنة
“Sungguh telah berlalu/tetap sunnah dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwasannya penduduk surga akan melihat Rabbnya, dan hal itu merupakan kenikmatan yang paling besar bagi penduduk surga”.[Musnad Ishaq bin Rahawaih, 3/672; tahqiq & takhrij : Dr. ‘Abdul-Ghafuur bin ‘Abdil-Haqq Al-Balusyiy; Maktabah Al-Aimaan, Cet. 1/1410]

Abu Hatim ar-Raazi berkata: “Tanda ahli bid’ah adalah mencela Ahlul Atsar.” [Lihat Aqidah Abi Hatim Ar-Raazi, hal. 69]

Abu Utsman ash-Shabuni (wafat tahun 449 H) berkata: “Tanda yang paling jelas dari ahli bid’ah adalah kerasnya permusuhan mereka kepada pembawa sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka melecehkan dan menghina Ahli Sunnah dan menamakan Ahli Sunnah dengan Hasyawiyyah, Jahalah, Dhahiriyyah, dan Musyabbihah. Mereka meyakini bahwa hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh dari ilmu, dan ilmu itu adalah apa-apa yang dilontarkan setan kepada mereka seperti hasil akal pikiran mereka yang rusak, bisikan-bisikan hati mereka yang jahat dan gelap, hal-hal yang terlintas dalam hati mereka yang kosong dari kebaikan dan hujjah-hujjah mereka yang tidak berguna. Mereka adalah orang-orang yang dilaknat oleh Allah Ta’ala.” [Lihat Aqidah Ashhabil Hadits, hal. 102]

Ishaaq bin Rahawaih rahimahumallah berkata:

عَلامَةُ جَهْمٍ وَأَصْحَابِهِ دَعْوَاهُمْ عَلَى أَهْلِ الْجَمَاعَةِ، وَمَا أُولِعُوا بِهِ مِنَ الْكَذِبِ، إِنَّهُمْ مُشَبِّهَةٌ، بَلْ هُمُ الْمُعَطِّلَةُ

“Tanda-tanda Jahm dan pengikut-pengikutnya (orang-orang Jahmiyyah) adalah tuduhan mereka terhadap Ahlul-Jamaa’ah, dan betapa senang mereka untuk berdusta, bahwa mereka (Ahlus-Sunnah) adalah Musyabbihah, namun mereka (Jahmiyyah)-lah yang justru Mu’aththilah (orang-orang yang meniadakan sifat-sifat Allah)….” [Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 937].

Abul-Qaasim Al-Ashbahaaniy rahimahullah berkata:

فصل فِي الرد عَلَى الجهمية الَّذِي أنكروا صفات اللَّه عَزَّ وَجَلَّ وسموا أهل السنة مشبهة

“Pasal tentang Bantahan terhadap Jahmiyyah yang mengingkari sifat-sifat Allah ‘azza wa jalla dan menamai Ahlus-Sunnah sebagai Musyabbihah” [Al-Hujjah fii Bayaanil-Mahajjah].

وإذا رأيت الرجل يسمي أهل الحديث حشوية، أو مشبهة، أو ناصبة فأعلم أنه مبتدع

“Apabila engkau melihat seseorang yang menamakan Ahlul-Hadiits sebagai Hasyawiyyah, Musyabbihah, atau Naashibah, maka ketahuilah ia seorang mubtadi’” [idem].

فهؤلاء أهل السنة والمتمسكون بالصواب والحق وليس هم بالمشبهة من شبهوا هؤلاء إِنما آمنوا بما جاء به الحديث، هؤلاء مؤمنون مصدقون بما جاء به النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ والكتاب والسنة .

“Mereka, yaitu Ahlus-Sunnah yang berpegang teguh kepada kebenaran dan al-haq, bukanlah Musyabbihah yang melakukan tasybiih. Mereka hanyalah beriman kepada kandungan hadits. Mereka beriman dan membenarkan apa yang dibawa oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Al-Kitaab, dan As-Sunnah” [idem].

Qutaibah bin Sa’iid rahimahullah berkata:

إِذَا قَالَ الرَّجُلُ: الْمشبهة فَاحْذَرُوهُ، فَإِنَّهُ يَرَى رَأْيَ جَهْمٍ

“Apabila seseorang berkata (kepada Ahlus-Sunnah) : ‘Musyabbihah', maka waspadalah, karena ia menganut pendapat Jahm (Jahmiyyah)” [Diriwayatkan oleh Abu Ahmad Al-Haakim dalam Syi’aar Ashhaabil-Hadiits no. 12 dan Ibnu ‘Asaakir dalam Jam’ul-Juyuusy no. 85].

Abu Haatim Ar-Raaziy rahimahullah berkata:

وَعَلامَةُ أَهْلِ الْبِدَعِ الْوَقِيعَةُ فِي أَهْلِ الأَثَرِ، وَعَلامَةُ الزَّنَادِقَةِ تَسْمِيَتُهُمْ أَهْلَ السُّنَّةِ حَشْوِيَّةً يُرِيدُونَ إِبْطَالَ الآثَارِ. وَعَلامَةُ الْجَهْمِيَّةِ تَسْمِيَتُهُمْ أَهْلَ السُّنَّةِ مُشَبِّهَةً......

“Tanda Ahlul-Bida’ adalah mencela Ahlul-Atsar. Tanda orang-orang Zanaadiqah adalah penamaan mereka terhadap Ahlus-Sunnah sebagai Hasyawiyyah karena mereka ingin membatalkan atsar-atsar. Tanda orang-orang Jahmiyyah adalah penamaan mereka terhadap Ahlus-Sunnah dengan Musyabbihah.....” [Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 321].

Abu ‘Utsmaan Ash-Shaabuuniy rahimahullah berkata:

وعلامات البدع على أهلها بادية ظاهرة، وأظهر آياتهم وعلاماتهم شدة معاداتهم لحملة أخبار الني صلى الله عليه وسلم، واحتقارهم لهم وتسميتهم إياهم حشوية وجهلة وظاهرية ومشبهة.....

“Tanda-tanda bid’ah yang ada pada ahlul-bid’ah adalah sangat jelas. Dan tanda-tanda yang paling jelas adalah permusuhan mereka terhadap pembawa khabar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (yaitu para ahlul-hadits), memandang rendah mereka, serta menamai mereka sebagai hasyawiyyah, orang-orang bodoh, dhahiriyyah, dan musyabbihah.....” [‘Aqiidatu Ashhaabil-Hadiits, hal. 102]

*****

Sedangkan Asya’iroh enggan menetapkan semua sifat, hanya sebagian saja yakni Fi'liyah yang ditetapkan (Asya’iroh mutqoddimin), sedangkan Asya’iroh mutaakhirin sama sekali tidak mau menetapkan sifat Fi'liyah. Mereka memang sudah terpecah (antar Asya’iroh) dalam beberapa perkara sejak dahulu, Asya’iroh sendiri banyak perbedaan dengan paham ulama salaf ahlul Hadits yang mengikuti pemahaman para sahabat.

Dalam tajsim, Asya’iroh mengatakan kalau mengatakan Allah diatas maka OTOMATIS TAJSIM sehingga dihukumi mujassimah/musyabbihah. Ini mudah sekali dijumoai di ceramah ceramah dai dai Asya’iroh zaman now di Internet.

Ini menjadi bukti untuk sekian kali, bahwa Asya’iroh dan pemahaman sahabat saling berbeda :

- menetapkan sebagian saja dan menolak sebagian sifat sifat Allâh, padahal siapa yang ingkar pada ayat Allâh bisa kufur

- mentakwil sebagian sifat Allâh, dengan mengganti makna sifat, yang berarti membuang, merubah sifat asal yang ditetapkan Allâh sendiri.

- sebagian pengikut Asya’iroh mengolok olok sebagian sifat Allâh dengan mengolok olok, juga mengolok olok manusia pengikut pemahaman sahabat yang menetapkan semua sifat tanpa tahrif ta'thil takyif tamsil. Mereka terjangkit Jahmiyah yang dikafirkan ulama dahulu.

- Asya’iroh gemar memvonis tajsim setiap orang yang menetapkan sifat allah tanpa menyamakan dengan makhluk. Sedangkan manhaj salaf tidak, mereka merinci jika tangan sama dengan tangan makhluk maka ia mujassimah, tapi jika menetapkan tanpa menyerupakan maka tidak, justru ini yang syar'i.

*****

Ahlusunnah itu berada di tengah tengah antara mereka yang berlebihan dan bermudahan.

Para ulama menyesatkan mujassimah yang sebenarnya, mereka yang benar benar menyamakan bentuk Allah dan makhluk.

Para ulama juga menyesatkan Mu'athilah, yakni mereka yang menolak sifat sifat Allah padahal Allah tetapkan sendiri lewat wahyu/dalil.