Kamis, 26 November 2020

WASIAT PERPISAHAN NABI : IKUTI MANHAJ SALAF

 WASIAT PERPISAHAN NABI : IKUTI MANHAJ SALAF  


(Syarah Hadits Arbain Nawawi Ke 28) 


عَنِ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ رَضِيَ اللّٰـهُ عَنْهُ قَالَ :صَلَّـىٰ بِنَا رَسُوْلُ اللّٰـهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ ، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا ، فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيْغَةً ؛ ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ ، وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ ، قَالَ قَائِلٌ : يَا رَسُوْلَ اللّٰـهِ ! كَـأَنَّ هٰذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ ، فَـمَـاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا ؟ فَقَالَ : «أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللّٰـهِ ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِيْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِـيْرًا ، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْـخُلَفَاءِ الْـمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ ، تَـمَسَّكُوْا بِـهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ ، وَإِيَّاكُمْ وَمُـحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ ، فَإِنَّ كُلَّ مُـحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ


Diriwayatkan dari al-‘Irbâdh bin Sâriyah Radhiyallahu anhu bahwa ia berkata, “Suatu hari Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami, kemudian beliau menghadap kepada kami, lalu memberikan nasehat kepada kami dengan nasehat yang membekas pada jiwa, yang menjadikan air mata berlinang dan membuat hati menjadi takut, maka seseorang berkata, ‘Wahai Rasulullâh! Seolah-olah ini adalah nasehat dari orang yang akan berpisah, maka apakah yang engkau wasiatkan kepada kami?’ Maka Rasulullâh bersabda, ‘Aku wasiatkan kepada kalian agar tetap bertakwa kepada Allah, tetaplah mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian sepeninggalku, niscaya ia akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafâr Râsyidîn yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah oleh kalian setiap perkara yang baru (dalam agama), karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah itu adalah sesat.”


KEUTAMAAN SALAFUSH SHALIH

Perkataan al-‘Irbâdh bin Sâriyah Radhiyallahu anhu,


فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيْغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ…


“Lalu memberikan nasehat kepada kami dengan nasehat yang membekas pada jiwa, yang menjadikan air mata berlinang dan membuat hati menjadi takut…”


Di dalamnya terdapat isyarat tentang baiknya keadaan para Sahabat, bersihnya jiwa-jiwa mereka, dan selamatnya hati-hati mereka. Mereka mengambil pelajaran dari sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, merasa takut tatkala mendengar firman Allah Azza wa Jalla , dan ini merupakan tanda keimanan dan kebaikan. Menangis dan rasa takut hati ketika mendengar peringatan dari firman Allah ta'ala dan sabda Rasul-Nya adalah dua sifat kaum Mukminin yang dipuji oleh Allah Azza wa Jalla. Seperti firman Allah Azza wa Jalla

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَاناً وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

 “Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut Nama Allah gemetar (takutlah) hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah kuat imannya dan hanya kepada Rabb mereka bertawakkal.” [al-Anfâl/8:2]


Sesungguhnya orang yang menangis karena takut kepada Allah Azza wa Jalla, matanya itu tidak akan disentuh api neraka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


عَيْنَانِ لاَتَـمَسُّهُمَـا النَّارُ : عَيْنٌ بَكَتْ مِنْ خَشْيَةِ اللّٰـهِ ، وَعَيْنٌ بَاتَتْ تَـحْرُسُ فِـيْ سَبِيْلِ اللّٰـهِ


Ada dua mata yang tidak akan disentuh oleh api Neraka, mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang begadang untuk berjaga di jalan Allah.[Shahîh: HR. at-Tirmidzi no. 1639 dari Sahabat ‘Abdullâh bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhu] 


Maksud dari dua mata yang begadang untuk berjaga di jalan Allah ialah ketika berjuang di jalan Allah Azza wa Jalla melawan musuh, ia senantiasa berjaga-jaga di perbatasan karena khawatir kaum Muslimin diserang oleh musuh. Oleh karena itu, wajib mencintai para Sahabat Radhiyallahu anhum, memuliakan mereka, memohonkan ampunan dan keridhaan Allah Azza wa Jalla untuk mereka, dan mengikuti contoh teladan mereka. Mereka adalah pendahulu ummat ini yang telah menyampaikan al-Qur`ân dan Sunnah Nabi-Nya kepada kita.


Para Ulama menjelaskan bahwa siapapun tidak boleh mencela dan mencaci-maki para Sahabat karena baiknya hati mereka. ‘Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu mengatakan tentang para Sahabat Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam,


مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُتَأَسِّـيًا فَلْيَتَأَسَّ بِأَصْحَابِ رَسُوْلِ اللّٰـهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَإِنَّـهُمْ كَانُوْا أَبَرَّ هٰذِهِ اْلأُمَّةِ قُلُوْبًا ، وَأَعْمَقَهَا عِلْمًـا ، وَأَقَلَّهَا تَكَلُّفًا ، وَأَقْوَمَهَا هَدْيًا ، وَأَحْسَنَهَا حَالاً ، قَوْمًا اِخْتَارَهُمُ اللّٰـهُ لِصُحْبَةِ نَبِيِّهِ ، وَِلإِقَامَةِ دِيْنِهِ فَاعْرِفُوْا لَـهُمْ فَضْلَهُمْ ، وَاتَّبِعُوْهُمْ فِـيْ آثَارِهِمْ ، فَإِنَّـهُمْ كَانُوْا عَلَى الْـهُدَى الْـمُسْتَقِيْمِ


Barangsiapa di antara kalian yang ingin mengambil teladan, hendaklah mengambil teladan dari para Sahabat Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Karena sesungguhnya mereka adalah ummat yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit bebannya, paling lurus petunjuknya, dan paling baik keadaannya. Suatu kaum yang Allah Azza wa Jalla telah pilih untuk menemani Nabi-Nya dan untuk menegakkan agama-Nya, maka kenalilah keutamaan mereka serta ikutilah atsar-atsarnya karena mereka berada di atas jalan yang lurus.[Atsar Shahîh: Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Bar dalam kitabnya Jâmi’ Bayânil ‘Ilmi wa Fadhlih 2/947 no. 1810, tahqîq Abul Asybal Samir az-Zuhairi] 


Para Salafush Shalih memiliki sekian banyak keutamaan, maka kewajiban kita adalah mencintai, menghormati dan mengikuti jejak mereka, serta memohonkan ampunan, rahmat, dan keridhaan Allah Azza wa Jalla untuk mereka. Maka dianjurkan untuk mengucapkan radhiyallâhu ‘anhum ketika kita menyebut para Sahabat, sebagai realisasi dari firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, 

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ 

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha terhadap mereka dan mereka ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” [at-Taubah/9:100]


Tidak boleh ada seorang pun yang mencela dan menjelekkan para Sahabat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


لاَتَسُبُّوْا أَصْحَابِـيْ ، فَوَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ ! لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا ، مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ


Janganlah kalian mencaci para Sahabatku! Demi Dzat Yang diriku berada di tangan-Nya, sungguh, jika seandainya salah seorang dari kalian berinfak sebesar Gunung Uhud berupa emas, maka belum mencapai nilai infak mereka meskipun (mereka infak hanya) satu mud (yaitu sepenuh dua telapak tangan) dan tidak juga separuhnya.[HR. al-Bukhâri no. 3673, Muslim no. 2541 dari Sahabat Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu] 


TERJADINYA PERPECAHAN DAN PERSELISIHAN DI TENGAH KAUM MUSLIMIN

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,


فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كَثِيْرًا


Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian sepeninggalku, maka ia akan melihat perselisihan yang banyak.


Sesungguhnya perpecahan dan perselisihan dalam Islam itu tercela. Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya, 


وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنۢ بَعْدِ مَا جَآءَهُمُ الْبَيِّنٰتُ  ۚ  وَأُولٰٓئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

"Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang berat,"

(QS. Ali 'Imran 3: Ayat 105)


Allah Azza wa Jalla berfirman 


إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَّسْتَ مِنْهُمْ فِى شَىْءٍ  ۚ  إِنَّمَآ أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ

"Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka menjadi (terpecah) dalam golongan-golongan, sedikit pun bukan tanggung jawabmu (Muhammad) atas mereka. Sesungguhnya urusan mereka (terserah) kepada Allah. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat."

(QS. Al-An'am 6: Ayat 159)


Syaikh ‘Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Ayat ini menjelaskan bahwa agama Islam memerintahkan untuk berjama’ah dan bersatu serta melarang perpecahan dan perselisihan dalam prinsip agama, bahkan dalam setiap permasalahan agama, baik yang pokok maupun cabangnya.”[Taisîr Karîmir Rahmân fî Tafsîri Kalâmil Mannân hlm. 276-277] 


Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


أَلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ اِفْتَرَقُوْا عَلَىٰ اِثْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّـةً ، وَإِنَّ هٰذِهِ اْلأُمَّةَ سَتَـفْـتَـرِقُ عَلَـىٰ ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْـنَ : ثِـنْـتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِـي النَّارِ، وَوَاحِدَةٌ فِـي الْـجَنَّةِ ، وَهِيَ الْـجَـمَـاعَةُ


Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang Ahlul Kitab sebelum kalian telah berpecah-belah menjadi 72 golongan. Sesungguhnya umat Islam akan berpecah-belah menjadi 73 golongan, 72 golongan tempatnya di neraka dan hanya satu golongan di Surga, yaitu al-Jama’âh.[Hasan: HR. Abu Dâwud no. 4597, Ahmad 4/102, al-Hâkim 1/128, ad-Dârimi 2/24] 


Dalam riwayat lain disebutkan:


كُلُّهُمْ فِـي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً : مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِـيْ


Semua golongan tersebut tempatnya di Neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan para Sahabatku berjalan di atasnya.[Shahîh: HR. at-Tirmidzi no. 2641 dan al-Hâkim 1/129 dari Sahabat ‘Abdullâh bin ‘Amr] 


JALAN SELAMAT DARI PERPECAHAN DAN PERSELISIHAN ADALAH DENGAN BERPEGANG TEGUH KEPADA AL-QUR-AN DAN AS-SUNNAH MENURUT PEMAHAMAN SALAFUSH SHALIH

Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam,


فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِـيْ ، وَسُنَّةِ الْخُـلَفَاءِ الْـمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ


Maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafâur Râsyidin yang mendapat petunjuk.


Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas terdapat perintah untuk berpegang teguh dengan Sunnah Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah Khulafâur Râsyidin sepeninggal beliau. Sunnah adalah jalan yang dilalui, termasuk di dalamnya berpegang teguh kepada keyakinan-keyakinan, perkataan-perkataan, dan perbuatan-perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Khulafâur Râsyidin. Itulah Sunnah yang paripurna. Oleh karena itu, generasi Salaf dahulu tidak menamakan Sunnah, kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari al-Hasan, al-Auzâ’i, dan Fudhail bin ‘Iyâdh.[Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/120] 


Perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengikuti Sunnah beliau dan Sunnah Khulafâ Râsyidin setelah perintah mendengar dan taat kepada ulil amri adalah bukti bahwa Sunnah para Khulafâur Râsyidin harus diikuti seperti halnya mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ini tidak berlaku bagi Sunnah para pemimpin selain Khulafâ Râsyidin.[Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/121] 


Ini menunjukkan bahwa kita wajib berpegang kepada al-Qur`ân dan Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih. Selain itu, kita diwajibkan mengikuti manhaj para Salafush Shalih karena Allah Azza wa Jalla menyebutkan dalam al-Qur`ân tentang wajibnya kita mengikuti mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman 


فَإِنْ ءَامَنُوا بِمِثْلِ مَآ ءَامَنْتُمْ بِهِۦ فَقَدِ اهْتَدَوا  ۖ  وَّإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِى شِقَاقٍ  ۖ  فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ  ۚ  وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

"Maka jika mereka telah beriman sebagaimana yang kamu imani, sungguh, mereka telah mendapat petunjuk. Tetapi jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (denganmu) maka Allah mencukupkan engkau (Muhammad) terhadap mereka (dengan pertolongan-Nya). Dan Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui."

(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 137)


Allah Azza wa Jalla berfirman 


وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدٰى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلّٰى وَنُصْلِهِۦ جَهَنَّمَ  ۖ  وَسَآءَتْ مَصِيرًا

"Dan barang siapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam Neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali."

(QS. An-Nisa' 4: Ayat 115)


Kita berpegang dengan pemahaman Salaf, mengikuti jejak Salafus Shalih, dengan tujuan ingin selamat dunia akhirat dan ingin masuk Surga, bukan untuk mencari kedudukan, harta, dan ketenaran. Kita mengikuti jejak mereka supaya selamat di dunia dan di akhirat dan agar Allah Azza wa Jalla memasukkan kita ke dalam Surga-Nya, bukan untuk memperoleh kesenangan dunia, harta, jabatan, maupun kekuasaan.


Kita wajib mengikuti jejak Salafush Shalih karena mereka adalah khairun nâs (sebaik-baik manusia), dan khairu hâdzhihil ummah (dan sebaik-baik ummat ini).


Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِـيْ ، ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَـهُمْ ، ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَـهُمْ


Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Sahabat), kemudian yang sesudahnya (masa Tâbi’in), kemudian yang sesudahnya (masa Tâbi’ut Tâbi’în).[Muttafaq ‘alaih. HR. al-Bukhâri no. 2652 dan Muslim no. 2533 (212), dari Sahabat ‘Abdullâh bin Mas‘ûd Radhiyallahu anhu.] 


Mengenai berpegang kepada al-Qur`ân dan Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya menyuruh berpegang saja. Tetapi menyuruh kita agar memegangnya dengan sangat kuat dan erat sehingga beliau mengungkapkannya melalui sabda beliau,


عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ


Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian


Sabda beliau merupakan kiasan tentang kuatnya berpegang teguh kepada Sunnah. Hal itu karena sudah begitu banyaknya fitnah dan syubhat yang ada. 


Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menggabungkan Sunnah Sahabatnya dengan Sunnahnya, dan memerintahkan untuk mengikutinya seperti memerintahkan untuk mengikuti Sunnahnya, sampai-sampai beliau memerintahkan agar menggigitnya dengan gigi geraham. Dan ini meliputi apa yang mereka fatwakan dan apa yang mereka contohkan walaupun sebelumnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka tidak melakukannya. Karena jika tidak, maka itu juga termasuk Sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Hal ini juga meliputi apa yang mereka fatwakan secara keseluruhan atau sebagian besar dari mereka atau sebagian mereka saja karena Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkannya dengan apa yang disunnahkan (dicontohkan) oleh Khulafâ Râsyidin. Dan sudah dimaklumi, jika mereka mencontohkan hal itu pada saat yang bersamaan, maka bisa diketahui bahwa Sunnah tiap orang dari mereka (Sahabat) pada masa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah termasuk Sunnah Khulafâur Râsyidin.”[I’lâmul Muwaqqi’în 5/581] 


Hadits ini sebagai pukulan keras yang menghujam di kepala para ahlul bid’ah yang menyelisihi manhaj Salaf, karena hal ini ditunjukkan oleh beberapa hal:


Pertama: Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan Sunnah Khulafâur Râsyidin, yaitu pemahaman Salaf, dengan Sunnah beliau. Ini menunjukkan bahwa Islam tidak bisa dipahami kecuali dengan manhaj Salaf.


Kedua: Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan Sunnah Khulafâur Râsyidin sebagai Sunnah beliau, beliau mengatakan, “Gigitlah ia dengan gigi geraham.” Dan tidak mengatakan, “Gigitlah keduanya dengan gigi geraham.” Dengan demikian jelaslah bahwa Sunnah Khulafâ`ur Râsyidin termasuk Sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .


Ketiga: Beliau menghadapkan (menjadikan berlawanan) semua itu dengan peringatan terhadap bid’ah, maka hal ini menunjukkan setiap yang menyelisihi manhaj Salaf berarti ia terjerumus dalam bid’ah tanpa ia sadari.


Keempat: Beliau menjadikan hal itu (manhaj Salaf) sebagai solusi dari perselisihan dan kebid’ahan, barangsiapa yang berpegang teguh kepada Sunnah Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah Khulafâ`ur Râsyidin maka ia termasuk dalam golongan yang selamat kelak di hari Kiamat.


Kelima: Beliau tidak menjadikan Sunnahnya dan Sunnah Khulafâ Râsyidin dalam perselisihan yang banyak itu. Hal ini menunjukkan bahwa semuanya itu berasal dari Allah Azza wa Jalla , karena terjadinya perselisihan yang banyak tidak mungkin dari Allah Azza wa Jalla , sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya,


أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ  ۚ  وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلٰفًا كَثِيرًا

"Maka tidakkah mereka menghayati (mendalami) Al-Qur'an? sekiranya (Al-Qur'an) itu bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya."

(QS. An-Nisa' 4: Ayat 82)


JAUHILAH PERBUATAN BID’AH !

Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam,


وَإِيّـَاكُمْ وَمُـحْدَثَاتِ اْلأُمُـوْرِ فَـإِنَّ كُـلَّ مُـحْدَثَةٍ بِدْعَـةٌ


Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru (dalam agama), karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid‘ah


Yang dimaksud di sini adalah perkara-perkara baru yang diada-adakan dalam urusan agama, bukan dalam urusan dunia. Sebab, perkara-perkara baru yang diada-adakan dalam urusan dunia ada yang bermanfaat dan itu merupakan kebaikan dan ada pula yang berbahaya dan itu merupakan keburukan. Sedangkan perkara-perkara baru yang diada-adakan dalam agama adalah buruk. Allah Azza wa Jalla berfirman 


 الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلٰمَ دِينًا  ۚ  

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” [al-Mâ`idah/5:3]


Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


مَا بَـقِيَ شَيْءٌ يُـقَرِّبُ مِنَ الْجَـنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ


Tidak tertinggal sesuatu pun yang mendekatkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka, kecuali telah dijelaskan semuanya kepada kalian.[Shahîh: HR. ath-Thabrâni dalam Al-Mu’jamul Kabîr 2/155-156, no. 1647 dari Sahabat Abu Dzar al-Ghifâri] 


Dalam hadits di atas disebutkan, “Setiap perkara yang baru adalah bid’ah” maka apakah yang dimaksud dengan bid’ah?


DEFINISI BID’AH

Imam asy-Syâthibi rahimahullah (wafat th. 790 H) mengatakan,


اَلْبِدْعَةُ: طَرِيْقَةٌ فِـي الدِّيْنِ مُـخْتَرَعَةٌ ، تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا الْـمُبَالَغَةُ فِـي التَّعَبُّدِ لِلّٰـهِ سُبْحَانَهُ


Bid’ah adalah cara baru dalam agama yang dibuat menyerupai syari’at dengan maksud untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Azza wa Jalla.[Al-I’tishâm hlm. 43, Abu Ishâq Ibrâhîm bin Mûsa bin Muhammad al-Gharnathi asy-Syathibi]


Artinya, bid’ah adalah cara baru yang dibuat tanpa ada contoh dari syari’at. Sebab, bid’ah adalah sesuatu yang keluar dari apa yang telah ditetapkan dalam syari’at.


Ungkapan “menyerupai syari’at” sebagai penegasan bahwa sesuatu yang diada-adakan dalam agama itu pada hakekatnya tidak ada dalam syari’at, bahkan bertentangan dengan syari’at dari beberapa sisi, seperti mengharuskan cara dan bentuk tertentu yang tidak ada dalam syari’at. Juga mengharuskan ibadah-ibadah tertentu yang dalam syari’at tidak ada ketentuannya.


Ungkapan “untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Azza wa Jalla ”, adalah pelengkap makna bid’ah. Sebab, demikian itulah tujuan para pelaku bid’ah, yaitu menganjurkan untuk tekun beribadah, karena manusia diciptakan Allah Azza wa Jalla hanya untuk beribadah kepada-Nya sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” [adz-Dzâriyât/51:56]


Seakan-akan orang yang membuat bid’ah melihat bahwa maksud dalam membuat bid’ah adalah untuk beribadah sebagaimana maksud ayat tersebut. Dia merasa bahwa apa yang telah ditetapkan dalam syari’at tentang undang-undang dan hukum-hukum belum mencukupi sehingga dia berlebih-lebihan dan menambahkan serta mengulang-ulanginya.[‘Ilmu Ushûlil Bida’ hlm. 24-25 oleh Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hâmid] 


Imam al-Hâfizh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah (wafat th. 795 H) mengatakan, “Yang dimaksud dengan bid’ah adalah apa yang tidak memiliki dasar hukum dalam ajaran syari’at yang menunjukkan keabsahannya. Adapun yang memiliki dasar dalam syari’at yang menunjukkan kebenarannya, maka secara syari’at tidaklah dikatakan sebagai bid’ah, meskipun secara bahasa dikatakan bid’ah. Maka setiap orang yang membuat-buat sesuatu lalu menisbatkannya kepada ajaran agama, namun tidak memiliki landasan dari ajaran agama yang bisa dijadikan sandaran, berarti itu adalah kesesatan. Ajaran Islam tidak ada hubungannya dengan bid’ah semacam itu. Tak ada bedanya antara perkara yang berkaitan dengan keyakinan, amalan ataupun ucapan, lahir maupun bathin.


Terdapat beberapa riwayat dari sebagian Ulama Salaf yang menganggap baik sebagian perbuatan bid’ah, padahal yang dimaksud tidak lain adalah bid’ah secara bahasa, bukan menurut syari’at.


Contohnya adalah ucapan ‘Umar bin al-Khaththâb Radhiyallahu anhu ketika beliau mengumpulkan kaum Muslimin untuk melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan (shalat Tarawih) dengan mengikuti satu imam di masjid. Ketika beliau Radhiyallahu anhu keluar, dan melihat mereka shalat berjamaah. Maka, beliau Radhiyallahu anhu berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah yang semacam ini.”[Shahîhul Bukhâri no. 2010. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/128] 


Tidak diragukan lagi bahwa setiap bid’ah dalam agama adalah sesat dan haram, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam 

وإياكم ومحدثات الأمور، فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة 

“Jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru. Karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.”[Hadits Irbadh bin sariyah] 


Juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, 

مَنْ أَحْدَثَ فِـيْ أَمْرِنَا هٰذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini, sesuatu yang bukan bagian darinya, maka ia tertolak.[HR. al-Bukhâri no. 2697 dan Muslim no. 1718, dari ‘Aisyah] 


Kedua hadits di atas menunjukkan bahwa perkara baru yang dibuat-buat dalam agama ini adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat dan tertolak. Bid’ah dalam agama itu diharamkan. Namun tingkat keharamannya berbeda-beda tergantung jenis bid’ah itu sendiri.


Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,


مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ


Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak didasari atas perintah kami maka amalannya tertolak.[HR. Muslim no. 1718 (18)] 


Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang mengatakan amalan bid’ah itu tertolak karena tidak terpenuhinya salah satu syarat dari dua syarat diterimanya ibadah, yaitu mutâba’ah (mengikuti contoh Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ). Syarat diterimanya ibadah ada dua: Pertama, niat ikhlas karena Allah Azza wa Jalla dan kedua, sesuai dengan Sunnah; yakni sesuai dengan Kitab-Nya atau yang dijelaskan Rasul-Nya dan Sunnahnya, jika salah satunya tidak dipenuhi, maka amalnya tersebut tidak bernilai shalih dan tertolak, hal ini ditunjukkan dalam firman-Nya 


فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صٰلِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah dia mengerjakan amal shalih dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabb-nya. [al-Kahfi/18:110]


Dalam ayat ini, Allah Azza wa Jalla memerintahkan agar menjadikan amal itu bernilai shalih, yaitu sesuai dengan Sunnah Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kemudian memerintahkan agar orang yang mengerjakan amal shalih itu mengikhlaskan niatnya karena Allah Azza wa Jalla semata, tidak menghendaki selain-Nya.[at-Tawassul Anwâ’uhu wa Ahkâmuhu oleh Fadhîlatus Syaikh Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni] 


Al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata dalam tafsirnya, “Inilah dua landasan amalan yang diterima: Pertama, ikhlas karena Allah Azza wa Jalla dan Kedua, sesuai dengan Sunnah Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”[Tafsîr Ibnu Katsîr 5/205, tahqîq Sami Salamah] 


Menjelaskan tentang bahaya bid’ah dan ahlul bid’ah kepada umat tidaklah termasuk memecah belah persatuan kaum Muslimin, bahkan menjelaskan bahaya bid’ah dan membantah ahlul bid’ah termasuk dalam kategori jihad. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Orang yang membantah ahlul bid’ah adalah mujahid, sampai Yahya bin Yahya berkata, ‘Membela Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih utama daripada jihad (fî sabîlillâh).’”[Majmû’ Fatâwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah 4/13]


SETIAP BID’AH ADALAH SESAT

Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam,


وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ


Dan setiap bid’ah adalah sesat


Sabda beliau di atas termasuk dari jawami’ul kalim beliau di mana tidak ada sesuatu pun yang keluar darinya, dan merupakan kaidah agung dalam prinsip-prinsip agama. Sabda beliau tersebut mirip dengan sabda beliau,


مَنْ أَحْدَثَ فِـيْ أَمْرِنَا هٰذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ


Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini, sesuatu yang bukan bagian darinya, maka ia tertolak.[HR. al-Bukhâri no. 2697 dan Muslim no. 1718, dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhum] 


Jadi, siapa saja yang mengada-ada perkara-perkara baru dan menisbatkannya kepada agama padahal tidak memiliki landasan hukum di agama, maka itu merupakan kesesatan dan agama berlepas diri darinya, baik dalam masalah keyakinan, perbuatan, atau perkataan yang tampak maupun perkataan yang tersembunyi.[Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/128] 


Imam Mâlik bin Anas Radhiyallahu anhu mengatakan:


مَنِ ابْتَدَعَ فِـي اْلإِسْلاَمِ بِدْعَةً يَرَاهَا حَسَنَةً ، فَقَدْ زَعَمَ أَنَّ مُـحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَـانَ الرِّسَالَـةَ ، ِلأَنَّ اللّٰـهَ يَـقُولُ : ۚ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا, فَـمَـا لَـمْ يَـكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا ، فَـلاَ يَكُوْنُ الْيَوْمَ دِيْنًا.


Barangsiapa yang mengadakan suatu bid’ah dalam Islam yang ia pandang hal itu baik (bid’ah hasanah), maka sungguh dia telah menuduh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhianati risalah agama ini. Karena sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah berfirman: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu…” (al-Mâ`idah/5:3) Maka, sesuatu yang pada hari itu (pada masa beliau masih hidup) bukanlah ajaran agama, maka hari ini pun sesuatu itu bukanlah ajaran agama.[Al-I’tishâm 1/62] 


Maksud dari كُلُّ بِدْعَةٍ adalah semua bid’ah. Tidak ada kataكُلُّ بِدْعَةٍ yang bermakna sebagian bid’ah. Apakah Sebagian sesat dan sebagian tidak??!!. Apabila kita bawakan hadits yang lain, yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasâ`i, dari Sahabat Jâbir Radhiyallahu anhu :


كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ


Setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.[HR. an-Nasâ`i 3/189 dari Jâbir Radhiyallahu anhu] 


Maka akankah mereka mengatakan bahwa ada kesesatan yang tempatnya di Surga?? Semua kesesatan tempatnya adalah Neraka. Kullu dhalâlah fin naar, artinya setiap kesesatan tempatnya di Neraka. Kullu bid’atin dhalâlah, artinya setiap bidah adalah sesat. Sama-sama menggunakan kata kullu. Ada sebagian orang yang memahami kata kullu dalam “كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ” itu sebagian bid’ah, tetapi ketika mereka mengartikan “كُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ” tidak diartikan sebagian kesesatan tempatnya di Neraka, tetapi semua kesesatan tempatnya di Neraka. Inilah cara berfikir mereka yang kontradiksi. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga difahami Sahabat demikian, yaitu semua perbuatan bid’ah dalam agama adalah sesat. ‘Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata,


اِتَّبِعُوْا وَلاَ تَبْتَدِعُوْا فَقَدْ كُفِيْتُمْ ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ


Hendaklah kalian mengikuti dan janganlah kalian berbuat bid’ah. Sungguh kalian telah dicukupi (dengan Islam ini), dan setiap bid’ah adalah sesat. [Diriwayatkan oleh ad-Dârimi 1/69, al-Lâlikâ`i dalam Syarah Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah 1/96, no. 104, ath-Thabrâni dalam Mu’jamul Kabîr no. 8770, dan Ibnu Baththah dalam al-Ibânah no. 175]


‘Abdullâh bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma berkata,


كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً


Setiap bid’ah itu sesat, meskipun manusia memandang baik.[Riwayat al-Lâlikâ`i dalam Syarah Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah 1/104, no. 126, Ibnu Baththah al-‘Ukbari dalam al-Ibânah no. 205. Lihat ‘Ilmu Ushûlil Bida’ hlm. 92] 


Imam Abu Muhammad al-Hasan bin ‘Ali bin Khalaf al-Barbahâri rahimahullah (beliau adalah Imam Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah pada zamannya, wafat th. 329 H) berkata: “Jauhilah setiap perkara bid’ah sekecil apa pun, karena bid’ah yang kecil lambat laun akan menjadi besar. Demikian pula kebid’ahan yang terjadi pada umat ini berasal dari perkara kecil dan remeh yang mirip kebenaran sehingga banyak orang terpedaya dan terkecoh, lalu mengikat hati mereka sehingga susah untuk keluar dari jeratannya dan akhirnya mendarah daging lalu diyakini sebagai agama. Tanpa disadari, pelan-pelan mereka menyelisihi jalan lurus dan keluar dari Islam.”[Syarhus Sunnah lil Imâm al-Barbahary no. 7] 


Imam Sufyân ats-Tsauri rohimahullah (wafat th. 161 H) berkata,


اَلْبِدْعَةُ أَحَبُّ إِلَـى إِبْلِيْسَ مِنَ الْـمَعْصِيَةِ، وَالْـمَعْصِيَةُ يُتَابُ مِنْهَا وَالْبِدْعَةُ لاَ يُتَابُ مِنْهَا


Perbuatan bid’ah lebih dicintai oleh Iblis daripada kemaksiyatan. Pelaku kemaksiyatan masih mungkin ia untuk bertaubat dari kemaksiyatannya sedangkan pelaku kebid’ahan sulit untuk bertaubat dari kebid’ahannya.[Riwayat al-Lâlikâ`i dalam Syarah Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah no. 238] 


SETIAP KESESATAN TEMPATNYA DI NERAKA

Dalam riwayat an-Nasâ`i dari Jâbir bin ‘Abdillâh Radhiyallahu anhu , Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ


Dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka [HR. an-Nasâ`i 3/189 dengan sanad shahîh]


Yang harus diperhatikan mengenai hadits ini bahwa kita tidak boleh memastikan orang yang berbuat bid’ah dan maksiyat itu tempatnya di Neraka. Kita tidak punya hak sama sekali. Sebagaimana kita juga tidak boleh memastikan orang yang berbuat ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla , tempatnya di Surga. Kecuali orang-orang yang telah ditentukan oleh Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.


Sabda beliau di atas merupakan ancaman yang terdapat di dalam banyak hadits dan ayat al-Qur`ân sebagaimana yang disebutkan oleh para Ulama. Artinya orang yang melakukan perbuatan bid’ah diancam masuk Neraka. Adapun memastikan dia masuk Neraka, maka tidak boleh dilakukan dan sangat berbahaya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahullah mengatakan, “Seseorang yang berilmu terkadang menyebutkan ancaman terhadap sesuatu yang dipandangnya sebagai perbuatan dosa, padahal dia mengetahui bahwa orang yang menakwilnya diampuni dan tidak terkena ancaman. Tetapi dia menyebutkan hal itu untuk menjelaskan bahwa perbuatan dosa mengakibatkan mendapatkan siksa. Dia hanya mengingatkan untuk menghalangi manusia dari perbuatan yang dipandangnya sebagai dosa.”[Majmû’ Fatâwâ 23 /305] 


Beliau rahimahullah juga berkata, “Karena nash-nash ancaman bentuknya umum, maka kita tidak menyatakan dengannya kepada orang tertentu bahwa dia termasuk penghuni Neraka. Sebab memungkinkan tidak berlakunya hukum yang ditetapkan pada orang yang melakukannya karena adanya penghalang yang kuat seperti taubat, atau kebaikan-kebaikan yang menghapuskan keburukan, atau musibah-musibah yang menghapuskan dosa, atau syafa’at yang diterima, dan lain-lain.”[Ibid 4/484] 


Maka sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Setiap kesesatan tempatnya di Neraka,” adalah sifat bagi amal yang dilakukan seseorang dan sifat bagi buah amal yang dilakukannya, jika tidak disusuli dengan taubat dan meninggalkannya.


Kemudian sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “…di Neraka.” Tidak mengharuskan kekal di dalam Neraka atau berada lama di dalamnya. Tetapi seseorang masuk Neraka sesuai maksiat yang dilakukannya, baik bentuknya bid’ah maupun selainnya.


Berdasarkan hal ini, berlaku hukum lain, yaitu menghalalkan sesuatu yang diharamkan agama. Barangsiapa menghalalkan suatu bid’ah atau selainnya dari perbuatan maksiat dengan menghalalkan dalam hatinya padahal dia mengetahui dan mengakui bahwa sesuatu yang dilakukan tidak memiliki dasar dalam Sunnah, bahkan dia mengetahui bahwa tindakannya itu merupakan bentuk “mengoreksi” syariat maka ketika itu ia berada di dalam Neraka karena dia kufur.


Imam ath-Thahawi rahimahullah dalam kitab ‘akidahnya (hlm. 316-disertai syarah Ibnu Abil ‘Izz) mengatakan, “Kita tidak mengkafirkan seorang pun dari Ahlul Kiblat (kaum Muslimin) karena perbuatan dosa selama ia tidak menghalalkannya.”


Dan tidak diragukan lagi bahwa bid’ah adalah dosa yang sangat jelas dan maksiat yang sangat nyata. Dan dalil-dalil yang mengecamnya dan memerintahkan untuk menjauhinya sangat banyak sekali.[‘Ilmu Ushûl Bida’ hlm. 103-105] 


(Disarikan dari almanhaj.or.id) 

Rabu, 25 November 2020

Asy'ariyah dimasa awal Abbasiyah mazhab yang dibenci Kaum muslimin

 

Asy'ariyah dimasa awal Abbasiyah mazhab yang dibenci Kaum muslimin 


Sebelum Abbasiyah runtuh, Asy'ariyah adalah mazhab yang dibenci Kaum Muslimin, Ulama di masa itu yang ditakuti Imam Abu Hamid Isfarayni Asy Syafi'i

Masa generasi salaf sampai khilafah Abbasiyah kaum muslimin dalam satu aqidah dalam asma wassifat, aqidah yang diajarkan nabi pada para sahabat, itulah aqidah salaf yang diwariskan dari generasi selanjutnya, tabiin, ke generasi selanjutnya tabi'ut tabi'in.

Kaum muslimin menganut aqidah salaf ini secara umum,  dilanjutkan pada Khilafah umawiyah lalu Abbasiyah selama 750 tahun.

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan:
قال البيهقي: ولم يكن في الخلفاء قبله من بني أمية وبني العباس خليفة إلا على مذهب السلف ومنهاجهم
“Al-Baihaqi berkata: “Tidak ada satu khalifah pun sebelum al-Makmun dari kalangan Daulah Umayyah dan Daulah Abbasiyah kecuali berada di atas Madzhab dan Manhaj Salaf.” (Al-Bidayah wan Nihayah: 10/365)..

Ajaran Asy’ariyah (baca: Kullabiyah) kemudian diteruskan oleh murid Abul Hasan al-Asy’ari yang bernama Muhammad bin Mujahid ath-Tha’i al-Maliki (wafat tahun 370 H). Al-Khathib al-Baghdadi asy-Syafi’i rahimahullah berkata tentangnya:
محمد بن أحمد بن محمد بن يعقوب بن مجاهد أبو عبد الله الطائي المتكلم صاحب أبي الحسن الأشعري وهو من أهل البصرة سكن بغداد وعليه درس القاضي أبو بكر محمد بن الطيب الكلام…الخ
“Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ya’qub bin Mujahid, Abu Abdillah ath-Tha’i, Ahli Kalam, murid Abul Hasan al-Asy’ari. Beliau termasuk penduduk Basrah. Dan al-Qadhi Abu Bakar Muhammad bin ath-Thayyib (al-Baqilani al-Maliki) (wafat tahun 403 H) belajar kepadanya tentang ilmu Kalam..dst.” (Tarikh Baghdad: 1/343, ad-Dibaj al-Muhadzdzab fi Ma’rifati Ulama’il Madzhab li Ibni Farkhun: 138, Siyar A’lamin Nubala’: 16/305).

Keterangan di atas menunjukkan bahwa setelah Ibnu Mujahid, Madzhab Asy’ariyah kemudian diteruskan oleh al-Qadhi Abu Bakar al-Baqilani al-Maliki. Kemudian ajaran Asy’ariyah diteruskan oleh murid al-Baqilani yaitu Abu Dzar al-Harawi al-Maliki (wafat tahun 434 H).

Al-Imam Ibnu Katsir asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
أبو ذر الهروي عبد الله بن أحمد بن محمد الحافظ المالكي، سمع الكثير ورحل إلى الاقاليم، وسكن مكة، ثم تزوج في العرب، وكان يحج كل سنة ويقيم بمكة أيام الموسم ويسمع الناس، ومنه أخذ المغاربة مذهب الاشعري عنه، وكان يقول إنه أخذ مذهب مالك عن الباقلاني
“Abu Dzar al-Harawi Abdullah bin Ahmad bin Muhammad al-Maliki, mendengar periwayatan dari banyak ulama, mengadakan rihlah ke berbagai negara, berdiam di Makkah, kemudian menikah di Arab. Ia naik haji setiap tahun dan bermukim di Makkah ketika musim haji dan mendengar periwayatan dari banyak orang. Ulama-ulama negeri Maghrib mengambil Madzhab Asy’ariyah dari Abu Dzar ini. Abu Dzar sendiri menyatakan bahwa ia mengambil Madzhab Maliki dari al-Baqilani.” (Al-Bidayah wan Nihayah: 12/64).

Al-Imam al-Hasan bin Abi Usamah al-Makki rahimahullah menyatakan:
أبو ذر أول من أدخل مذهب الأشعري الحرم
“Abu Dzar al-Harawi adalah orang yang pertama kali memasukkan Madzhab Asy’ari ke negeri Haram (yakni Makkah dan Madinah, pen).” (Tarikh Damsyiq: 37/394).

Adapun yang menyebarkan Madzhab Asy’ariyah di Khurasan adalah Abu Bakar bin Faurak al-Asy’ari (wafat tahun 406 H). Ibnu Asakir rahimahullah menyatakan:
ذكر أبو بكر بن فورك إنه ممن إستفاد من أبي الحسن الأشعري من أهل خراسان
“Abu Bakar bin Faurak menyebutkan bahwa ia adalah orang Khurasan yang belajar kepada Abul Hasan al-Asy’ari.” (Tabyin Kadzibil Muftari fi Ma Nusiba ilal Imam Abil Hasan al-Asy’ari: 188).

Masa Tertekannya Ajaran Asy’ariyah

Di masa Daulah Umayyah dan Daulah Abbasiyah. Kaum muslimin dan pemerintahnya berpegang teguh di atas Manhaj Salaf di dalam memahami sifat-sifat Allah.

Demikian pula Khalifah al-Qadir billah (khalifah ke-26 Daulah Abbasiyah, wafat tahun 422 H). Beliau juga berpegang kepada Madzhab Salaf. Al-Imam Abu Bakar al-Khathib al-Baghdadi rahimahullah menyatakan:
وعرف بها عند كل أحد مع حسن المذهب وصحة الاعتقاد وكان صنف كتابا في الأصول ذكر فيه فضائل الصحابة على ترتيب مذهب أصحاب الحديث
“Al-Qadir billah dikenal oleh setiap orang dengan banyaknya amal shalih disertai madzhab yang baik dan kesahihan akidah. Beliau juga menulis sebuah kitab tentang ‘Ushul’. Beliau menerangkan keutamaan para sahabat dalam kitab tersebut menurut urutan Madzhab Ahlul Hadits…dst.” (Tarikh Baghdad: 4/37).

Di antara akidah Khalifah al-Qadir billah yang pernah dibacakan di hadapan para ulama di Baghdad adalah:
وأنه خلق العرش لا لحاجة واستوى عليه كيف شاء لا استواء راحة وكل صفة وصف بها نفسه أو وصفه بها رسوله فهي صفة حقيقة لا صفة مجاز وكلام الله غير مخلوق أنزله على رسوله
“Dan bahwa Allah menciptakan Arsy bukan karena kebutuhan. Allah bersemayam di atasnya dengan tatacara yang dikehendaki-Nya, bukan bersemayam untuk beristirahat. Setiap sifat yang mana Allah menyifati diri-Nya dengan sifat tersebut, atau disifati oleh Rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam, maka itu merupakan sifat yang hakiki bukan sifat majazi. Firman Allah bukanlah makhluk, diturunkan oleh-Nya kepada rasul-Nya.” (Al-Uluw lil Aliyyil Ghaffar: 245).

Di masa Khalifah al-Qadir billah ini, ajaran Asy’ariyah menjadi ajaran yang dibenci oleh kaum muslimin. Al-Qadhi Abu Bakar al-Baqilani -yang menjadi tokoh ajaran Asy’ariyah ini- sangat tidak nyaman dengan sikap al-Imam Abu Hamid al-Isfarayni asy-Syafi’i (wafat tahun 406 H) rahimahullah yang bermanhaj Salaf.

Al-Imam Abu Ishaq asy-Syairazi asy-Syafi’i berkata:
كان أبو بكر الباقلاني يخرج إلى الحمام مبرقعا خوفا من الشيخ أبي حامد الإسفرائيني
“Adalah Abu Bakar al-Baqilani keluar menuju tempat pemandian dengan memakai cadar karena takut terhadap asy-Syaikh Abu Hamid al-Isfarayni.” (Al-Aqidah al-Ishfahaniyah: 59).

Ini juga mengingatkan kami, bahwa masa tertekannya Asy'ariyah di zaman Syeikh Abul Hasan al-Asy’ari masih hidup juga berhadapan dengan ulama Syafi'iyah bermadzhab salaf, Imam Al Barbahari, pengikut aqidah Imam Ahmad bin hambal.

Abu Abdillah al-Hamrani berkata:

لما دخل الأشعري إلى بغداد جاء إلى البربهاري فجعل يقول: رددت على الجبائي وعلى أبي هاشم ونقضت عليهم وعلى اليهود والنصارى والمجوس وقلت لهم وقالوا وأكثر الكلام في ذلك فلما سكت قال البربهاري: ما أدري مما قلت قليلاً ولا كثيراً ولا نعرف إلا ما قاله أبو عبد الله أحمد بن حنبل قال: فخرج من عنده وصنف كتاب ” الإبانة ” فلم يقبله منه ولم يظهر ببغداد إلى أن خرج منها

“Ketika Abul Hasan al-Asy’ari memasuki Baghdad, beliau mendatangi al-Imam al-Barbahari (wafat tahun 328 H). Beliau mengatakan: “Aku telah membantah al-Juba’i dan Abu Hasyim. Aku telah membantah mereka. Aku juga telah membantah Yahudi, Nasrani dan Majusi. Aku berkata kepada mereka demikian dan demikian…dst. Ketika beliau diam, maka giliran al-Imam al-Barbahari berkata: “Aku tidak mengenal pendapatmu sedikit ataupun banyak kecuali pendapat al-Imam Ahmad bin Hanbal.” Al-Hamrani berkata: “Kemudian Abul Hasan al-Asy’ari keluar dari majelis al-Barbahari dan menulis kitab ‘al-Ibanah an Ushulid Diyanah’. Al-Barbahari masih tidak mau menerimanya. Beliau tidak muncul di Baghdad sampai kemudian keluar dari Baghdad.” (Thabaqat al-Hanabilah li Ibni Abi Ya’la: 2/16, al-Maqshadul Arsyad li Ibni Muflih: 1/329, Siyar A’lamin Nubala’: 15/90 dan al-Wafi bil Wafayat lish Shafadi: 4/173).

Di antara pernyataan al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari rahimahullah dalam ‘al-Ibanah’ adalah:

قولنا الذي نقول به وديانتنا التي ندين بها التمسك بكتاب الله ربنا عز و جل وبسنة نبينا محمد صلى الله عليه و سلم وما روى عن السادة الصحابة والتابعين وأئمة الحديث ونحن بذلك معتصمون وبما كان يقول به أبو عبد الله أحمد بن محمد بن حنبل – نضر الله وجهه ورفع درجته وأجزل مثوبته – قائلون…الخ

“Pendapat yang kami pegangi dan agama yang mana kami beragama dengannya adalah: berpegang teguh dengan Kitab Allah Rabb kami azza wajalla, dengan sunnah Nabi kami Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan juga dengan riwayat dari para pembesar sahabat, tabiin dan para imam ahlul hadits. Kami berpegang teguh dengan itu semuanya. Dan kami juga berpendapat dengan pendapat al-Imam Ahmad bin Hanbal –semoga Allah menjadikan wajah beliau berseri, mengangkat derajat beliau dan memperbanyak pahala beliau-…dst.” (Al-Ibanah an Ushulid Diyanah: 20).

Peran Madrasah Nizhamiyah

Keadaan menjadi terbalik pada masa Sultan Alib Arsalan Bani Saljuk (wafat tahun 465 H) dengan menterinya Nizhamul Mulk (wafat tahun 485 H). Pada waktu itu Madzhab Asy’ariyah berada di atas angin sedangkan Madzhab Ahlussunnah atau Madzhab Salaf menjadi tertekan.

Al-Hafizh as-Suyuthi rahimahullah menyatakan:
قال الذهبى وهو أول من ذكر بالسلطان على منابر بغداد وبلغ ما لم يبلغه أحد من الملوك وافتتح بلادا كثيرة من بلاد النصارى واستوزر نظام الملك فأبطل ما كان عليه الوزير قبله عميد الملك من سب الشعرية وانتصر للشافعية واكرم إمام الحرمين وأبا القاسم القشيرى وبنى النظامية قيل وهى اول مدرسة بنيت للفقهاء
“Adz-Dzahabi berkata: “Dia (Alib Arsalan) adalah orang yang pertama kali disebut sebagai sultan di atas mimbar-mimbar Baghdad. Kekuasaan beliau mencapai luas wilayah yang belum pernah dicapai oleh raja-raja selain beliau. Beliau menaklukkan banyak negeri nasrani dan mengangkat Nizhamul Mulk sebagai menteri. Maka Nizhamul Mulk menghapus kebijakan yang dilakukan oleh menteri sebelumnya, Amidul Mulk, seperti mencela Madzhab Asy’ariyah. Ia juga membela ulama Syafi’iyah dan memuliakan Imamul Haramain dan Abul Qasim al-Qusyairi. Ia juga membangun Madrasah Nizhamiyah. Dikatakan bahwa Nizhamiyah merupakan madrasah yang pertama kali dibangun untuk para ahli fikih.” (Tarikhul Khulafa’: 1/416).

Al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata:
وهو أول من بنى المدارس في الإسلام، بنى نظامية بغداد، ونظامية نيسابور، ونظامية طوس، ونظامية إصبهان
Ia (wazir atau menteri Nizhamul Mulk, pen) adalah orang yang pertama kali membangun madrasah di dalam Islam. Ia membangun madrasah Nizhamiyah Baghdad, Nizhamiyah Naisabur, Nizhamiyah Thus dan Nizhamiyah Isbahan.” (Tarikhul Islam lidz Dzahabi: 33/146).
Ali bin Nayef menyatakan:
كان اهتمام المدارس النظامية قد انصرف إلى التركيز على مادتين أساسيتين هما : الفقه على المذهب الشافعي، وأصول العقيدة على مذهب الأشعري
“Madrasah-madrasah Nizhamiyah mempunyai kepentingan untuk berdiri di atas 2 pondasi, yaitu: fikih di atas Madzhab Syafi’i dan dasar-dasar akidah di atas Madzhab Asy’ariyah..dst.” (Mausu’ah al-Buhuts wal Maqalat al-Ilmiyah: Bab al-Madaris an-Nizhamiyah fi Daulatis Salajiqah hal: 6).

Maka madrasah-madrasah masa setelah Nizhamiyah juga kebanyakan mengikuti madzhab Asy’ariyah.

Masa Sultan Shalahuddin al-Ayyubi dan Setelahnya

Demikian pula pada masa Sultan Shalahuddin al-Ayyubi rahimahullah (wafat tahun 589 H), ajaran Asy’ariyah semakin menyebar ke negeri-negeri Islam.

Al-Allamah Taqiyyuddin al-Maqrizi asy-Syafi’i rahimahullah (wafat tahun 845 H) berkata:
وأما العقائد فإن السلطان صلاح الدين حمل الكافة على عقيدة الشيخ أبي الحسن علي بن إسماعيل الأشعري تلميذ أبي علي الجبائيّ وشرط ذلك في أوقافه التي بديار مصر كالمدرسة الناصرية والقمحية وخانقاه سعيد السعداء في القاهرة فاستمر الحال عليها بمصر والشام وارض الحجاز واليمن والمغرب أيضا لإدخال محمد بن تومرت رأي الأشعري إليها حتى أنه صار هذا الإعتقاد بسائر هذه البلاد، بحيث أن من خالفه ضرب عنقه، والأمر على ذلك إلى اليوم
“Adapun dalam masalah akidah, maka Sultan Shalahuddin al-Ayyubi juga mendorong semua masyarakat untuk memeluk akidah Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari, murid Abu Ali al-Juba’i dan mempersyaratkan demikian (untuk dimakmurkan oleh ulama Asy’ariyah, pen) dalam wakaf-wakafnya di negeri Mesir seperti Madrasah Nashiriyah, Madrasah Qamhiyah dan Khanqah (seperti pesantren, pen) Sa’id Su’ada’ di Kairo. Keadaan demikian terus berlangsung di Mesir, Syam, Hijaz, Yaman dan Maghrib juga, karena usaha Muhammad bin Tumur memasukkan pemahaman Asy’ariyah di negeri tersebut. Sehingga keyakinan Asy’ariyah ini menyebar di semua negeri, dengan gambaran bahwa barangsiapa yang menyelisihi keyakinan ini, maka lehernya akan dipenggal. Keadaan ini berlangsung sampai hari ini (masa al-Maqrizi, pen).” (Al-Mawa’izh wal I’tibar: 3/84).

Demikianlah keadaan Madzhab Asy’ariyah yang menguasai semua negeri Islam melalui kekuasaan dan campur tangan pemerintah. Al-Allamah al-Maqrizi asy-Syafi’i rahimahullah menyatakan:
فكان هذا هو السبب في اشتهار مذهب الأشعريّ وانتشاره في أمصار الإسلام، بحيث نُسي غيره من المذاهب، وجهل حتى لم يبق اليوم مذهب يخالفه، إلاّ أن يكون مذهب الحنابلة أتباع الإمام أبي عبد اللّه أحمد بن محمد بن حنبل رضي اللّه عنه، فإنهم كانوا على ماكان عليه السلف، لايرون تأويل ماورد من الصفات، إلى أن كان بعد السبعمائة من سني الهجرة، اشتهر بدمشق وأعمالها تقي الدين أبو العباس أحمد بن عبد الحليم بن عبد السلام بن تيمية الحرّانيّ،فتصدّى للانتصار لمذهب السلف وبالغ في الردّ على مذهب الأشاعرة
“Maka dengan sebab pengaruh kekuasaan inilah, Madzhab Asy’ariyah menjadi terkenal dan tersebar di seluruh negeri kaum muslimin, dengan gambaran terlupakannya dan tidak tersisanya selain madzhab ini, kecuali Madzhab Hanabilah pengikut al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Maka mereka (Hanabilah) tetap memegang teguh Manhaj Salaf. Mereka tidak melakukan takwil terhadap sifat-sifat Allah. Hingga sampailah pada tahun 700-an hijriyah, terkenallah di Damaskus dan sekitarnya Syaikhul Islam Taqiyuddin Abul Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus Salam bin Taimiyah al-Harrani (yakni Ibnu Taimiyah). Beliau tampil untuk membela Madzhab Salaf dan getol membantah Madzhab Asy’ariyah..dst.” (Al-Mawa’izh wal I’tibar: 3/104).

Sehingga akidah Salaf menjadi semakin asing dan tidak dikenal dari kalangan kaum muslimin.

Perkembangan Asy'ariyah juga ditengah tengah peperangan antara kaum muslimin dengan tentara mongol, juga perang sabil dengan Nasrani dalam masa masa itu, sehingga tenaga dan pikiran umat islam mengarahkan menghadapi musuh, sehingga wajar perkembangan Asy'ariyah yang mengklaim sebagai Ahlussunnah belum banyak meneliti secara mendalam, sampai munculnya Ibnu Taimiyah.

Wallahul musta’an.


Bacaan Lainnya 




https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/ulama-syafiiyah-asyariyah-ternyata.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/akhir-kehidupan-pengikut-asyariyah-yang.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/sebelum-abbasiyah-runtuh-asyariyah.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/debat-syafiiyah-wahabi-vs-syafiiyah.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/penilaian-ibnus-subki-rohimahumullah.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/dalil-lemah-asyariyah-dan-tuduhan-salah.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/dahulu-manhaj-salaf-dikenal-dengan.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/tersingkirnya-peran-ulama-syafiiyah.html



Akhir kehidupan pengikut Asy'ariyah yang menyedihkan lalu bertaubat ruju'

 

Akhir kehidupan pengikut Asy'ariyah yang menyedihkan lalu bertaubat ruju' ke manhaj salaf

Ar-Razi

Beliau adalah al-Allamah Fakhruddin Muhammad bin Umar al-Qurasyi al-Bakri (keturunan Abu Bakar ash-Shiddiq radliyallahu anhu, pen) ar-Razi asy-Syafi’i (wafat tahun 606 H) rahimahullah. Beliau dijuluki dengan Sulthanul Mutakallimin (Raja Ahlul Kalam) padahal beliau termasuk salah satu murid al-Imam al-Baghawi rahimahullah yang terkenal gigih membela Madzhab Salaf. (Thabaqat asy-Syafi’iyah li Ibni Qadhi Syuhbah: 2/65).

Di awal waktunya, al-Fakhrur Razi ini bergelut dengan ilmu kalam, filsafat, sihir dan. khurafat  Al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata:
وقد بدت منه في تواليفه بلايا وعظائم وسحر وانحرافات عن السنة، والله يعفو عنه، فإنه توفي على طريقة حميدة، والله يتولى السرائر
“Dan tampak banyak bencana, perkara besar, sihir dan penyimpangan dari as-Sunnah yang ditemukan dalam tulisan-tulisannya. Allah mengampuninya karena ia meninggal dunia di atas jalan yang terpuji. Allahlah yang mengurusi rahasia-rahasia hati.” (Siyar A’lamin Nubala’: 21/501).

Akan tetapi di akhir waktu hidupnya, beliau bertaubat dan kembali ke jalan Salaf. Wallahu a’lam. Beliau juga bertaubat dari ilmu Kalam. Beliau (Fakhruddin ar-Razi) berwasiat sebelum meninggal dunia bahwa beliau rujuk kepada Madzhab Salaf.  Al-Imam Ibnu Katsir asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
وقد ذكرت وصيته عند موته وأنه رجع عن مذهب الكلام فيها إلى طريقة السلف وتسليم ما ورد على وجه المراد اللائق بجلال الله سبحانه
“Aku menyebutkan wasiat beliau sebelum meninggal bahwa beliau kembali dari Madzhab Kalam kepada Madzhab Salaf, dan menerima (beriman kepada, pen) semua sifat Allah yang datang (dari al-Kitab dan as-Sunnah, pen) menurut sifat yang sesuai dengan keagungan-Nya.” (Al-Bidayah wan Nihayah: 13/67).

Beliau (Fakhruddin ar-Razi) mewasiatkan:
لقد تأملت الطرق الكلامية والمناهج الفلسفية فلم أجدها تروي غليلا ولا تشفي عليلا، ورأيت أقرب الطرق طريقة القرآن، اقرأ في الاثبات (الرحمن على العرش استوى) [ طه: 5 ] (إليه يصعد الكلم الطيب) [ فاطر: 10 ] وفي النفي (ليس كمثله شئ) [ الشورى: 11 ] (هل تعلم له سميا) [ مريم: 65 ].
“Sesungguhnya aku telah merenungkan berbagai jalan ilmu kalam dan berbagai metode filsafat, maka aku tidak mendapatkan jalan tersebut dapat menyegarkan orang yang dahaga dan menyembuhkan orang yang sakit. Aku melihat bahwa jalan yang paling dekat dengan kebenaran adalah jalan al-Quran. Maka bacalah firman Allah tentang penetapan sifat; “Ar-Rahman (Allah) bersemayam di atas Arsy.” (QS. Thaha: 5), “Hanya menuju-Nya naiknya kalimat thayyibah.” (QS. Fathir: 15), dan firman-Nya tentang penafian sifat; “Tiada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.” (QS. Asy-Syura: 11), “Apakah kamu mengetahui ada tandingan bagi-Nya?” (QS. Maryam: 65).” (Siyar A’lamin Nubala’: 21/501 dan Thabaqat asy-Syafi’iyah li Ibni Qadhi Syuhbah: 2/65).

*****

Akhir kehidupan pengikut Asy'ariyah yang menyedihkan lalu bertaubat ruju' ke manhaj salaf 2

Ibnus Subki dan Thabaqatnya

Beliau adalah al-Allamah Tajuddin Abdul Wahhab bin Ali bin Abdul Kafi yang terkenal dengan Ibnus Subki asy-Syafi’i (wafat tahun 771 H) rahimahullah. Beliau adalah tokoh ajaran Asy’ariyah yang sangat fanatik membela Asy’ariyah dan memusuhi akidah Salaf.

Ibnus Subki memberikan pengingkaran tanpa ilmu pada Ulama Syafi’iyah salafi -Imam Abul Hasan al-Karaji asy-Syafi’i rahimahullah yang lebih senior dan lebih berilmu dengan celaan tidak sopan dan tanpa ilmu :
وأقول أولا أني ارتبت في أمره هذه القصيدة وصحة نسبتها إلى هذا الرجل وغلب على ظني أنها إما مكذوبة عليه كلها أو بعضها والذي يرجح أنها مكذوبة عليه كلها
“Aku (Ibnus Subki, pen) berkata: “Pertama aku ragu bahwa syair tersebut dinisbatkan kepada orang ini (al-Karaji). Dan menurut persangkaan kuatku adalah bahwa syair tersebut bisa jadi dinisbatkan secara dusta kepada beliau seluruhnya atau sebagiannya. Pendapat yang kuat adalah bahwa semua syair tersebut didustakan atas nama beliau!!!” (Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra: 6/141).

Di dalam syair al karaji itu beliau menetapkan sifat Allah dan mengikuti manhaj salaf serta mengingkari keyakinan Asy'ariyah. Di antara isi syair beliau adalah:

عقائدهم أن الإله بذاته _ على عرشه مع علمه بالغوائب

“Akidah Ahlus Sunnah adalah bahwa Ilah dengan dzat-Nya …. di atas arsy-Nya dengan ilmu-Nya terhadap perkara gaib.” (Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra: 6/141).

Beliau juga berkomentar miring terhadap al-Imam az-Zahid Abdul Qadir al-Jailani al-Hanbali (wafat tahun 561 H) rahimahullah dengan komentar tanpa ilmu dan tidak sopan :
وحكى عن عبد القادر الجيلي أنه قال الله بجهة العلو مستو على عرشه فليت شعري لم احتج بكلامه
“Dan dihikayatkan dari Abdul Qadir al-Jaili (bisa dibaca: al-Jailani atau al-Kailani, pen) bahwa beliau berkata bahwa Allah berada di arah atas, bersemayam di atas Arsy. Aduh kiranya jika ucapan beliau (al-Jailani) tidak dijadikan hujjah.” (Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra: 9/78).

Padahal kita tahu di zaman ini (tahun 2020) Beliau Syeikh Abdul Qodir Jailani dipuja puji sebagai sultan para wali (sultonul auliya) oleh mereka yang pengikut Asy'ariyah sendiri.

Syeikh Abdul Qodir Jailani seorang hambali (secara aqidah mengikuti manhaj salaf, bukan aqidah Asy'ariyah)

Beliau juga tidak memiliki adab terhadap guru beliau sendiri yang berakidah Salaf, yaitu al-Imam adz-Dzahabi asy-Syafi’i rahimahullah.
Ibnus Subki (murid) mengomentari al-Imam adz-Dzahabi (sang guru):
ولقد وقفت فى تاريخ الذهبى رحمه الله على ترجمة الشيخ الموفق بن قدامة الحنبلى والشيخ فخر الدين بن عساكر وقد أطال تلك وقصر هذه وأتى بما لا يشك لبيب أنه لم يحمله على ذلك إلا أن هذا أشعرى وذاك حنبلى وسيقفون بين يدى رب العالمين
“Aku telah melihat kitab ‘Tarikhul Islam’ karya adz-Dzahabi rahimahullah pada biografi asy-Syaikh al-Muwaffaq Ibnu Qudamah al-Hanbali dan asy-Syaikh Fakhruddin Ibnu Asakir. Beliau (adz-Dzahabi) memaparkan biografi Ibnu Qudamah secara panjang lebar sedangkan untuk biografi Ibnu Asakir, beliau hanya memaparkan secara ringkas saja. Dan ini tidak diragukan oleh orang yang berakal bahwa motivasi beliau atas demikian tidak lain karena Ibnu Asakir itu seorang Asy’ari sedangkan Ibnu Qudamah itu seorang Hanbali (Salafi). Dan mereka akan mempertanggungjawabkannya di depan Rabbul Alamin.” (Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra: 2/24).
Ibnus Subki (murid) juga berkomentar miring terhadap al-Imam adz-Dzahabi (guru):
وأما تاريخ شيخنا الذهبى غفر الله له فإنه على حسنه وجمعه مشحون بالتعصب المفرط لا واخذه الله فلقد أكثر الوقيعة فى أهل الدين أعنى الفقراء الذين هم صفوة الخلق واستطال بلسانه على كثير من أئمة الشافعيين والحنفيين ومال فأفرط على الأشاعرة ومدح فزاد فى المجسمة
“Adapun kitab ‘Tarikhul Islam’ karya Syaikh kami adz-Dzahabi –semoga Allah mengampuninya-, maka kitab tersebut meskipun bagus dan menyeluruh, dipenuhi dengan sikap ta’ashub (fanatik) yang berlebihan –semoga Allah membalasnya-. Beliau banyak mencela ahli agama, yakni fuqara’ yang merupakan makhluk pilihan. Beliau juga panjang lidahnya di dalam mencela para imam Syafi’iyah dan Hanafiyah. Beliau juga condong bersikap melampaui batas terhadap ulama Asy’ariyah dan berlebih-lebihan dalam memuji Mujassimah (yaitu: Salafiyah dalam kacamata Asy’ariyah, pen).” (Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra: 2/22).

Akibat Buruknya Lisan

Lidah yang tajam inilah yang menyebabkan Ibnus Subki keluar masuk penjara. Al-Allamah Ibnu Qadhi Syuhbah asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
وولي الخطابة بعد وفاة ابن جملة ثم عزل وحصل له محنة شديدة وسجن بالقلعة نحو ثمانين يوما ثم عاد إلى القضاء..الخ
“Ibnus Subki menjabat sebagai khatib setelah wafatnya Ibnu Jumlah. Kemudian ia dilengserkan dan mendapat banyak ujian yang berat. Ia dipenjarakan di Qal’ah selama 80 hari, kemudian dikembalikan menjadi qadhi lagi..dst.” (Thabaqat asy-Syafi’iyah li Ibni Qadhi Syuhbah: 3/105).

Bahkan lebih parah lagi, Al-Allamah Nu’man al-Alusi (wafat tahun 1317 H) rahimahullah berkisah:
ونقل الشيخ عبد الوهاب الشعرانى في كتابه ((الأجوبة المرضية)) : أن أهل زمانه رموه بالكفر واستحلال شرب الخمر والزنا وأنه كان يلبس الغيار والزنار بالليل ويخلعهما بالنهار ، وتحزبوا عليه وأتوا به مقيداً مغلولاً من الشام إلى مصر ، وجاء معه خلائق من الشام يشهدون عليه ؛ ثم تداركه اللطف على يد الشيخ جمال الدين الإسنوى . اهـ .
“Asy-Syaikh Abdul Wahhab asy-Sya’rani menukilkan dalam kitabnya ‘al-Ajwibah al-Mardhiyah’ bahwa penduduk jaman beliau (yakni Ibnus Subki) menuduhnya dengan tuduhan kafir dan tuduhan menghalalkan minum khamer dan zina. (Mereka menyatakan) bahwa beliau memakai ghiyar (pakaian khas orang kafir dzimmi, pen) dan zinar (sabuk khas orang Majusi, pen) pada malam hari dan melepasnya pada siang hari. Mereka berkumpul dan membawa beliau dalam keadaan tangan diikat rantai dari Syam menuju Mesir. Sebagian orang Syam datang menyaksikan beliau. Kemudian beliau mendapatkan pembebasan dari asy-Syaikh Jamaluddin al-Isnawi asy-Syafi’i. Selesai.” (Jala’ul Ainain fi Muhakamatil Ahmadain: 38).

Dan setelah wafat pun Ibnus Subki mendapat kritikan dan celaan dari ulama Syafi’iyah setelahnya.

Al-Hafizh Syamsuddin as-Sakhawi asy-Syafi’i (murid al-Hafizh Ibnu Hajar, wafat tahun 902 H) rahimahullah mengkritik ketidaksopanan Ibnus Subki terhadap gurunya (yaitu al-Imam adz-Dzahabi):
فالذي نسب الذهبي لذلك هو تلميذه التاج السبكي، وهو على تقدير تسليمه إنما هو في أفراد مما وقع التاج في أقبح منه… وهذا من أعجب العجاب ، وأصحب للتعصب ، بل أبلغ في خطأ الخطاب
“Orang yang menisbatkan adz-Dzahabi demikian adalah muridnya sendiri, yaitu Tajuddin as-Subki. Komentar Ibnus Subki di atas seandainya benar, maka itu menunjukkan sikap pribadi Ibnus Subki yang terjatuh kepada perkara yang lebih jelek daripada itu….. Dan ini (komentar Ibnus Subki) merupakan suatu yang paling aneh, sesuatu yang lebih menunjukkan fanatik, bahkan lebih menunjukkan kesalahan dalam berbicara..dst.” (Al-I’lan bit Taubikh li Man Dzammat Tarikh: 158).


Bacaan Lainnya 




https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/ulama-syafiiyah-asyariyah-ternyata.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/akhir-kehidupan-pengikut-asyariyah-yang.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/sebelum-abbasiyah-runtuh-asyariyah.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/debat-syafiiyah-wahabi-vs-syafiiyah.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/penilaian-ibnus-subki-rohimahumullah.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/dalil-lemah-asyariyah-dan-tuduhan-salah.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/dahulu-manhaj-salaf-dikenal-dengan.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/tersingkirnya-peran-ulama-syafiiyah.html



Bahkan al-Hafizh as-Sakhawi menukilkan penilaian al-Qadhi Izzuddin al-Kinani al-Hanbali (wafat tahun 876 H) rahimahullah tentang buruknya akhlak Ibnus Subki:
هو رجل قليل الأدب عديم الإنصاف جاهل بأهل السنة ورتبهم يدلك على ذلك كلامه انتهى
“Ia (Ibnus Subki) adalah orang yang kurang adab, tidak objektif, bodoh terhadap ahlussunnah dan kedudukan mereka. Itu ditunjukkan oleh ucapannya. Selesai ucapan al-Kinani.” (Al-I’lan bit Taubikh li Man Dzammat Tarikh: 159).

Syafi’i tanpa Qunut Subuh

 Imam Abul Hasan Al Karaji, Syafi’i tanpa Qunut Subuh


Beliau adalah al-Imam Abul Hasan Muhammad bin Abdul Malik Muhammad al-Karaji asy-Syafi’i (wafat tahun 532 H) rahimahullah.


Al-Allamah Ibnu Qadhi Syuhbah asy-Syafi’i rahimahullah berkata:


قال ابن السمعاني وهو إمام ورع فقيه مفت محدث خير أديب شاعر أفنى عمره في جمع العلم ونشره قال وله القصيدة المشهورة في السنة نحو مائتي بيت شرح فيها عقيدة السلف وله تصانيف في المذهب والتفسير


“Ibnus Sam’ani berkata: “Beliau (al-Karaji) adalah seorang imam, bersifat wara’, ahli fikih, mufti, ahli hadits, ahli sastra dan syair. Beliau menghabiskan umur beliau untuk mengumpulkan ilmu dan menyebarkannya. Beliau juga mempunyai syair yang terkenal terdiri dari sekitar 200 bait yang mana beliau menjelaskan akidah Salaf dalam syair tersebut. Beliau juga mempunyai karya tulis dalam Madzhab (Syafi’i) dan tafsir.” (Thabaqat asy-Syafi’iyah li Ibni Qadhi Syuhbah: 1/311).


Di antara isi syair beliau adalah:


عقائدهم أن الإله بذاته _ على عرشه مع علمه بالغوائب


“Akidah Ahlus Sunnah adalah bahwa Ilah dengan dzat-Nya …. di atas arsy-Nya dengan ilmu-Nya terhadap perkara gaib.” (Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra: 6/141).


Tajuddin Ibnus-Subki asy-Syafi’i berkata tentangnya:


وكان شافعي المذهب إلا أنه كان لا يقنت في صلاة الصبح وكان يقول إمامنا الشافعي رحمه الله قال إذا صح الحديث فاتركوا قولى وخذوا بالحديث وقد صح عندي أن النبي ( صلى الله عليه وسلم ) ترك القنوت في صلاة الصبح


“Beliau (al-Karaji) adalah ulama bermadzhab Syafi’i, hanya saja ia tidak melakukan qunut dalam shalat shubuh. Beliau berkata: “Adalah imam kami, asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Jika hadits telah shahih, maka tinggalkanlah pendapatku dan ambillah hadits tersebut. Dan menurutku telah shahih hadits bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam meninggalkan qunut dalam shalat shubuh.” (Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra: 6/138).


Bacaan Lainnya 




https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/ulama-syafiiyah-asyariyah-ternyata.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/akhir-kehidupan-pengikut-asyariyah-yang.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/sebelum-abbasiyah-runtuh-asyariyah.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/debat-syafiiyah-wahabi-vs-syafiiyah.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/penilaian-ibnus-subki-rohimahumullah.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/dalil-lemah-asyariyah-dan-tuduhan-salah.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/dahulu-manhaj-salaf-dikenal-dengan.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/tersingkirnya-peran-ulama-syafiiyah.html



Debat Syafi'iyah Salafi vs Syafi'iyah Asy'ariyah, Al-Baihaqi vs Ibnush Shalah

 

Debat Syafi'iyah Salafi vs Syafi'iyah Asy'ariyah, Al-Baihaqi vs Ibnush Shalah

Kita ketahui aqidah imam sendiri Syafi'i beliau beraqidah salaf. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
وأخرج بن أبي حاتم في مناقب الشافعي عن يونس بن عبد الأعلى سمعت الشافعي يقول لله أسماء وصفات لا يسع أحدا ردها ومن خالف بعد ثبوت الحجة عليه فقد كفر واما قبل قيام الحجة فإنه يعذر بالجهل لأن علم ذلك لا يدرك بالعقل ولا الرؤية والفكر فنثبت هذه الصفات وننفي عنه التشبيه كما نفى عن نفسه فقال ليس كمثله شيء
“Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dalam ‘Manaqibusy Syafi’i’ dari Yunus bin Abdil A’la, ia berkata: “Aku mendengar asy-Syafi’i berkata: “Allah mempunyai nama-nama dan sifat-sifat yang mana tidak boleh seorang pun menolaknya. Barangsiapa menyelisihi setelah datangnya hujah atasnya, maka ia kafir. Adapun jika sebelum tegaknya hujah, maka ia diberikan udzur atas kebodohannya, karena ilmu tentang hal tersebut tidak bisa diperoleh dengan akal, observasi ataupun penalaran. Maka kita menetapkan sifat-sifat Allah ini dan menolak tamtsil (penyerupaan dengan makhluk) terhadap sifat-sifat itu, sebagaimana Allah menolak keserupaan diri-Nya dengan makhluk. Maka Allah berfirman: “Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Allah.” (Fathul Bari bi Syarh Shahihil Bukhari: 13/407).

Disebutkan pula di dalam kitab ‘Aqidatusy Syafi’i’ –karya al-Allamah asy-Syarif Muhammad bin Rasul al-Barzanji al-Husaini asy-Syafi’i (wafat tahun 1103 H) rahimahullah- tentang ucapan al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah:
وأؤمن بجميع ما جاءت به الأنبياء صلوات الله عليهم أجمعين ومن ذلك: أن لله أسماء وصفات جاء بها كتابه وأخبر بها نبيه – صلى الله عليه وسلم –وأن له تعالى وجهاً بقوله ” كل شيء هالك إلا وجهه ” …. وأنه يضحك من عبده المؤمن بقول النبي – صلى الله عليه وسلم – للذي قتل في سبيل الله ” إنه لقي الله وهو يضحك إليه ” وأن له يدين بقوله ” بل يداه مبسوطتان ” وأن له يميناً بقوله ” والسموات مطويات بيمينه “…. وأن له قدماً بقول النبي – صلى الله عليه وسلم -: ” حتى يضع الرب فيها قدمه ” يعني جهنم ..الخ
“Dan aku beriman dengan segala perkara yang dibawa oleh para nabi -semoga shalawat Allah tercurah atas mereka semua-. Di antaranya: bahwa Allah mempunyai nama-nama dan sifat-sifat yang terdapat dalam kitab-Nya dan yang diterangkan oleh Nabi-Nya shallallahu alaihi wasallam, dan bahwa Allah ta’ala mempunyai wajah sebagaimana firman-Nya: “Segala sesuatu akan musnah kecuali Wajah-Nya” (QS. Al-Qashash: 88)…. Dan bahwasanya Allah akan tertawa kepada hamba-Nya yang beriman sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang orang yang terbunuh di jalan Allah: “Sesungguhnya ia akan bertemu dengan Allah dan Allah tertawa kepadanya” (HR. Al-Bukhari: 2614, Muslim: 3504, an-Nasai: 3115), dan bahwa Allah itu mempunyai kedua tangan sebagaimana firman-Nya: “Bahkan kedua tangan-Nya terbentang” (QS. Al-Maidah: 64), dan bahwa Allah mempunyai tengan kanan sebagaimana firman-Nya: “Dan langit akan dilipat dengan tangan kanan-Nya” (QS. Az-Zumar: 67)…. Dan bahwa Allah itu mempunyai telapak kaki sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Sehingga Rabb (Allah) meletakkan telapak kaki-Nya atasnya” yakni atas Jahannam (HR. Al-Bukhari: 4471, Muslim: 5082, Ahmad: 10676)…dst.” (Aqidatusy-Syafi’i: 89-90).
Maka merupakan kesalahan besar jika mengatakan bahwa al-Imam asy-Syafi’i itu bermadzhab Asy’ari. Ini karena al-Imam asy-Syafi’i (wafat tahun 204 H) hidup jauh sebelum kelahiran Abul Hasan al-Asy’ari (wafat tahun 324 H).

Aqidah salaf diwariskan ke murid murid beliau yang dekat dan pengikut sezaman sampai muncul syubhat Asy'ariyah.

Al-Imam Abu Bakar Ahmad bin Husain al-Baihaqi asy-Syafi’i (wafat tahun 458) rahimahullah adalah ulama besar di kalangan Syafi’iyah.
Al-Allamah Abul Ma’ali al-Juwaini (Imamul Haramain) menyatakan:
ما من فقيه شافعي إلا وللشافعي عليه منة إلا أبا بكر البيهقي، فإن المنة له على الشافعي لتصانيفه في نصرة مذهبه
“Tidak ada satu pun seorang ahli fikih yang bermadzhab Syafi’i, kecuali al-Imam asy-Syafi’i memberikan anugerah kepadanya, kecuali Abu Bakar al-Baihaqi, karena al-Baihaqi telah memberikan anugerah kepada al-Imam asy-Syafi’i di dalam karya tulisnya yang membela Madzhab Syafi’i.” (Siyar A’lamin Nubala’: 18/168).

Beliau termasuk ahlul hadits yang terpengaruh dengan ajaran ‘Asy’ariyah’ karena melakukan takwil terhadap sebagian sifat-sifat Allah ta’ala seperti tangan kanan-Nya. Beliau berkata:
فَيَكُونُ الْمَعْنَى فِي ذَلِكَ عَلَى تَأْوِيلِ قَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ : وَالسَّمَوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ أَيْ قَدَّرْتُهُ عَلَى طَيِّهَا ، وَسُهُولَةُ الأَمْرِ فِي جَمْعِهَا
“Maka makna dalam perkara itu pada takwil firman Allah “Dan langit dilipat dengan tangan kanan-Nya”, maksudnya adalah bahwa Allah menguasai langit dengan melipatnya dan juga diartikan dengan mudahnya Allah mengumpulkan langit..dst.” (Al-Asma’ wash Shifat lil Baihaqi: 2/170).

Beliau juga berkata:
وقوله : {لأخذنا منه باليمين} أي بالقوة والقدرة ، أي : أخذنا قدرته وقوته
“Firman-Nya “Aku akan menghukumnya dengan tangan kanan” maksudnya adalah dengan kekuatan dan kekuasaan. Maksudnya adalah bahwa Kami mengambil kekuasaan dan kekuatannya.” (Al-Asma’ wash Shifat lil Baihaqi: 2/160).

Tanggapan:

Takwil yang dilakukan oleh al-Imam al-Baihaqi ini mendapatkan bantahan dari ulama Syafi’iyah lainnya. Di antaranya adalah al-Imam Abu Amr Ibnush Shalah asy-Syafi’i rahimahullah.

Beliau berkata:
وما للبيهقي فيه من تأويل وتخصيص فهو غلفة منه وذهول وفي كلام الشافعي في مواضع عدة ما يوضح بطلان تأويله..الخ
“Takwil dan pengkhususan terhadap sifat Allah yang dilakukan oleh al-Baihaqi adalah suatu kelalaian dan keluputan dari beliau. Di dalam ucapan asy-Syafi’i di beberapa tempat terdapat keterangan yang menunjukkan rusaknya takwil al-Baihaqi ini..dst.” (Adabul Mufti wal Mustafti: 1/116).


Bacaan Lainnya 


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/ulama-syafiiyah-asyariyah-ternyata.html

https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/akhir-kehidupan-pengikut-asyariyah-yang.html

https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/sebelum-abbasiyah-runtuh-asyariyah.html

https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/debat-syafiiyah-wahabi-vs-syafiiyah.html

https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/penilaian-ibnus-subki-rohimahumullah.html

https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/dalil-lemah-asyariyah-dan-tuduhan-salah.html

https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/dahulu-manhaj-salaf-dikenal-dengan.html

https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/tersingkirnya-peran-ulama-syafiiyah.html


Penilaian Ibnus Subki rohimahumullah dalam Thabaqatnya yang tidak sesuai fakta

 Sekilas kisah Syeikh Abdul Qodir Jailani 


Penilaian Ibnus Subki rohimahumullah dalam Thabaqatnya yang tidak sesuai fakta 

(Dialog Syafi'iyah Salafi vs Syafi'iyah Asy'ariyah) 



Beliau adalah al-Allamah Tajuddin Abdul Wahhab bin Ali bin Abdul Kafi yang terkenal dengan Ibnus Subki asy-Syafi’i (wafat tahun 771 H) rahimahullah. Beliau adalah tokoh ajaran Asy’ariyah yang sangat fanatik membela Asy’ariyah dan memusuhi akidah Salaf. 


Di antara bukti sikap beliau yang fanatik terhadap Asy’ariyah adalah ucapan beliau:

ذكر دليل استنبطه علماؤنا من الحديث الصحيح دال على أن أبا الحسن وفئته على السنة وأن سبيلهم سبيل الجنة

“Menyebutkan dalil yang diambil istimbath oleh ulama kami dari hadits shahih yang menunjukkan bahwa Abul Hasan al-Asy’ari dan kelompoknya (yaitu: Asy’ariyah, pen) berada di atas as-Sunnah dan bahwa jalan mereka adalah jalan surga.” (Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra: 3/361).


Ibnus Subki asy-Syafi’i ini menulis kitab ‘Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra’ yang memuat sejarah dan biografi para ulama yang bermadzhab Syafi’i. Ia menyanjung Syafi’iyah yang berakidah Asy’ari dan seringkali bertindak tidak obyektif terhadap Syafi’iyah yang Salafi.


Di antaranya adalah pengingkaran Ibnus Subki terhadap akidah Salafi yang dipegang oleh al-Imam Abul Hasan al-Karaji asy-Syafi’i rahimahullah. 


Kita ketahui al-imam Abul Hasan Al Karaji beraqidah salafi. Al-Allamah Ibnu Qadhi Syuhbah asy-Syafi’i rahimahullah berkata:


قال ابن السمعاني وهو إمام ورع فقيه مفت محدث خير أديب شاعر أفنى عمره في جمع العلم ونشره قال وله القصيدة المشهورة في السنة نحو مائتي بيت شرح فيها عقيدة السلف وله تصانيف في المذهب والتفسير


“Ibnus Sam’ani berkata: “Beliau (al-Karaji) adalah seorang imam, bersifat wara’, ahli fikih, mufti, ahli hadits, ahli sastra dan syair. Beliau menghabiskan umur beliau untuk mengumpulkan ilmu dan menyebarkannya. Beliau juga mempunyai syair yang terkenal terdiri dari sekitar 200 bait yang mana beliau menjelaskan akidah Salaf dalam syair tersebut. Beliau juga mempunyai karya tulis dalam Madzhab (Syafi’i) dan tafsir.” (Thabaqat asy-Syafi’iyah li Ibni Qadhi Syuhbah: 1/311).


Di antara isi syair beliau adalah:


عقائدهم أن الإله بذاته _ على عرشه مع علمه بالغوائب


“Akidah Ahlus Sunnah adalah bahwa Ilah dengan dzat-Nya …. di atas arsy-Nya dengan ilmu-Nya terhadap perkara gaib.” (Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra: 6/141).


Ibnus Subki menukilkan ucapan al-Imam Ibnus Sam’ani tentang akidah Salaf yang dipegang oleh al-Karaji:

وله قصيدة بائية في السنة شرح فيها اعتقاده واعتقاد السلف تزيد على مائتي بيت قرأتها عليه في داره بالكرج

“Beliau (al-Karaji) juga mempunyai syair ba’iyah (berakhiran huruf ba’) yang terdiri dari sekitar 200 bait yang mana beliau menjelaskan akidah Salaf dalam syair tersebut. Aku membaca syair tersebut dinisbatkan kepada beliau di rumah beliau di Karaj.” (Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra: 6/14).


Kemudian Ibnus Subki memberikan pengingkaran tanpa ilmu:

وأقول أولا أني ارتبت في أمره هذه القصيدة وصحة نسبتها إلى هذا الرجل وغلب على ظني أنها إما مكذوبة عليه كلها أو بعضها والذي يرجح أنها مكذوبة عليه كلها

“Aku (Ibnus Subki, pen) berkata: “Pertama aku ragu bahwa syair tersebut dinisbatkan kepada orang ini (al-Karaji). Dan menurut persangkaan kuatku adalah bahwa syair tersebut bisa jadi dinisbatkan secara dusta kepada beliau seluruhnya atau sebagiannya. Pendapat yang kuat adalah bahwa semua syair tersebut didustakan atas nama beliau!!!” (Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra: 6/141).


Ibnus Subki juga mengomentari tanpa ilmu:

ويحتمل أن يكون له بعضها ولكن زيدت الأبيات المقتضية للتجسيم وللكلام في الأشاعرة

“Kemungkinan lain, sebagian syair tersebut benar penisbatannya tetapi sebagiannya ditambah-tambah dengan bait-bait yang men-jisim-kan Allah dan celaan kepada Asy’ariyah.” (Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra: 6/142).

Pengingkaran dari Ibnus Subki ini disebabkan sikap fanatik beliau terhadap akidah Asy’ariyah dan tuduhan dan persangkaan beliau (yang Asy’ari) bahwa akidah Salaf itu mujassimah.


Bahkan tidak hanya Syafi’iyah yang dikomentari, ulama selain Syafi’iyah yang berakidah Salaf pun ikut dikomentari miring oleh Ibnus Subki. Beliau berkomentar miring terhadap al-Imam az-Zahid Abdul Qadir al-Jailani al-Hanbali (wafat tahun 561 H) rahimahullah:

وحكى عن عبد القادر الجيلي أنه قال الله بجهة العلو مستو على عرشه فليت شعري لم احتج بكلامه

“Dan dihikayatkan dari Abdul Qadir al-Jaili (bisa dibaca: al-Jailani atau al-Kailani, pen) bahwa beliau berkata bahwa Allah berada di arah atas, bersemayam di atas Arsy. Aduh kiranya jika ucapan beliau (al-Jailani) tidak dijadikan hujjah.” (Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra: 9/78).


Padahal kita tahu di zaman ini (tahun 2020) Beliau Syeikh Abdul Qodir Jailani dipuja puji sebagai sultan para wali (sultonul auliya) oleh mereka yang pengikut Asy'ariyah sendiri.


Padahal kita ketahui, beliau Syeikh Abdul Qodir Jailani seorang hambali (aecara aqidah mengikuti manhaj salaf)


Bacaan Lainnya 




https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/ulama-syafiiyah-asyariyah-ternyata.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/akhir-kehidupan-pengikut-asyariyah-yang.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/sebelum-abbasiyah-runtuh-asyariyah.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/debat-syafiiyah-wahabi-vs-syafiiyah.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/penilaian-ibnus-subki-rohimahumullah.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/dalil-lemah-asyariyah-dan-tuduhan-salah.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/dahulu-manhaj-salaf-dikenal-dengan.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/tersingkirnya-peran-ulama-syafiiyah.html



Dalil lemah Asy'ariyah dan tuduhan salah sasaran pada Salafiyah

 

Dalil lemah Asy'ariyah dan tuduhan salah sasaran pada Salafiyah

Asy'ariyah menggunakan qoul para ulama yang dikira mendukung pendapat mereka padahal qoul ada berbalik menyerang keyakinan mereka sendiri.

Ada juga qoul ulama tapi tidak bersanad, padahal selama ini ini mereka gembar gembor sanad sanad. Tapi dasar keyakinan malah tidak bersanad atau sanad lemah dan palsu.

Berikut contohnya :

قال الإمام المجتهد أبو حنيفة النعمان بن ثابت رضي الله عنه (150هـ) أحد مشاهير علماء السلف إمام المذهب الحنفي ما نصه (ذكره في الفقه الأكبر، انظر شرح الفقه الأكبر لملا علي القاري ص 136-137) :"والله تعالى يُرى في الآخرة، ويراهالمؤمنون وهم في الجنة بأعين رؤوسهم بلا تشبيه ولا كميّة، ولا يكون بينه وبين خلقهمسافة" اهـ.

وقال أيضًا في كتابه الوصية (ص4 ونقله ملا علي القاريّ في شرح الفقه الأكبر ص 138) :"ولقاء الله تعالى لأهل الجنة بلا كيف ولا تشبيه ولا جهةٍ حقٌّ" اهـ.

وقال أيضًا (الفقه الأبسط ضمن مجموعة رسائل أبي حنيفة بتحقيق الكوثري ص20. ونقل ذلكَ أيضًا المحدّث الفقيه الشيخ عبد الله الهرري المعروف بالحبشي في كتابه الدليل القويم ص 54) :"قلتُ: أرأيتَ لو قيل أين الله تعالى؟   فقال ـ أي أبو حنيفة ـ : يقال له كان الله تعالى ولا مكان قبل أن يخلق الخلق، وكان الله تعالى ولم يكن أين ولا خَلْق ولا شىء، وهو خالق كل شىء" اهـ.

وقال أيضًا (كتاب الوصية، ضمن مجموعة رسائل أبي حنيفة بتحقيق الكوثري ص2، ذكره الشيخ الهرري في كتابه الدليل ص54، وملا علي القاري في شرح الفقه الأكبر ص 70 عند شرح قول الإمام :"ولكن يده صفته بلا كيف".) :"ونقر بأن الله سبحانه وتعالى على العرش استوى من غير أن يكون له حاجة إليه واستقرار عليه، وهو حافظ العرش وغير العرش من غير احتياج، فلو كان محتاجًا لَمَا قدر على إيجاد العالم وتدبيره كالمخلوقين، ولو كان محتاجًا إلى الجلوس والقرار فقبل خلق العرش أين كان الله، تعالى الله عن ذلك علوًّا كبيرًا" اهـ.

Al Imamal Mujtahid Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit (w 150 H) , salah seorang ulama Salaf terkemuka perintis madzhab Hanafi , berkata : “Allah di akhirat kelak akan di lihat ,  orang orang mukmin akan melihatnya ketika mereka di surga dengan mata kepala mereka masing masing dengan tanpa adanya keserupaan baginya , bukan sebagai bentuk yang berukuran , dan tidak ada jarak antara mereka dengan Allah (artinya bahwa Allah ada tanpa tempat, tidak di dalam atau di luar surga , tidak di atas , bawah , belakang , depan , samping kanan ataupun samping kiri)”

Beliau juga berkata dalam kitabnya al-Washiyyah : “Penduduk surga kelak akan melihat Allah dengan tanpa adanya keserupaan dan tanpa adanya arah baginya dan ini adalah suatu yang haq”

Juga berkata : “Aku katakan : Tahukah engkau jika ada orang berkata : Di manakah Allah? Jawab : Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat , Dia ada sebelum segala makhluknya ada ,  Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat , sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu apapun , dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu”

Juga berkata : “Dan kita mengimani adanya ayat “ar Rahman ‘Ala al-Arsy Istawa” (sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an) dengan menyakini bahwa Allah tidak membutuhkan kepada arsy tersebut da tidak bertempat atau bersemayam di atasnya. Dia Allah yang memelihara arsy dan lainnya tanpa membutuhkan kepada itu semua. Karena jika Allah membutuhkan kepada sesuatu maka Allah tidak akan kuasa untuk menciptakan dan mengatur alam ini , dan berarti Dia seperti seluruh makhluknya sendiri , jika membutuhkan kepada duduk dan bertempat , lantas sebelum menciptakan makhluknya (termasuk arsy) di manakah Dia? Allah maha suci dari itu semua dengan kesucian yang agung”

Jawaban :

Saya sepakat qoul diatas dan tidak ada yang bertentangan dengan paham salafi yang saya yakini.

Allah bisa dilihat kelak, sepakat

Tanpa tempat, sepakat tidak butuh tempat, tapi Allah maha berkehendak apa saja yang diinginkan 

Tanpa arah, sanad tentang ini lemah, bertentangan dengan banyak banyak ayat Al Quran, bahwa Allah diatas, amalan akan naik ke atas menghadap Allah, Qur'an diturunkan ke bumi dari atas, nabi isro miroj ke atas menghadap Allah dll banyak

Allah bisa dilihat kelak, sepakat

Tanpa tempat, sepakat tidak butuh tempat, tapi Allah maha berkehendak apa saja yang diinginkan 

Tanpa arah, sanad tentang ini lemah, bertentangan dengan banyak banyak ayat Al Quran, bahwa Allah diatas, amalan akan naik ke atas menghadap Allah, Qur'an diturunkan ke bumi dari atas, nabi isro miroj ke atas menghadap Allah dll banyak

bahkan Asy'ariyah ada yang ga mau beriman Allah bisa dilihat ke arah atas kelak

Lha wong ga meyakini arah atas, kata nya tanpa arah.

Disini jelas kontradiktif,  membawakan qoul abu hanifah tanpa arah

Di qoul lain, abu hanifah meyakini Allah bisa dilihat ke arah atas seperti bulan purnama tanpa berdesakan.

Yang shahih, Allah sendiri yang firman, berada diatas, bahkan punya sifat al uluw, al aliyyu maha diatas segalanya, di asmaul husna juga ada, jika antum ingkari berarti antum kufur terhadap asma wassifat Allah

********

وقال الإمام جعفر الصادق* بن محمد الباقر بن زين العابدين علي بن الحسين رضوان الله عليهم (148هـ) ما نصه :"من زعم أن الله في شىء، أو من شىء، أو على شىء فقد أشرك. إذ لو كان على شىء لكان محمولاً، ولو كان في شىء لكان محصورًا، ولو كان من شىء لكان محدَثًا  ـ أي مخلوقًا ـ" اهـ.
* كان من سادات أهل البيت فقهًا وعلمًا وفضلاً. انظر الثقات لابن حبان 6/ص131.

Al Imam Ja’far as Shadiq ibn Muhammad al Baqir ibn ibn Zainal Abidin Ali ibn al-Husain (w 148 H) berkata : “Barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah berada di dalam sesuatu, atau dari sesuatu , atau di atas sesuatu maka ia adalah seorang yang musyrik. Karena jika Allah berada di atas sesuatu maka berarti Dia diangkat , dan bila berada di dalam sesuatu berarti Dia terbatas , dan bila Dia dari sesuatu maka berarti Dia baharu (makhluk)”

Jawaban :

Sepakat Allah tidak berada dalam sesuatu atau dari sesuatu.

Bahkan sebagian Asy'ariyah sendiri meyakini paham wihdatul wujud, seperti Ibnu arobi, siti jenar, sebagian Asy'ariyah malah membela keyakinan kufur ini. Alasan mereka karena tidak meyakini hal dzahiriyah (makna hakiki), seperti halnya Asy'ariyah menolak sifat Allâh istiwa, tidak mau meyakini dzohir.

Tapi malah menyalahkan salafi.

وقال التابعي الجليل الإمام زين العابدين علي بن الحسين بن علي رضي الله عنهم (94هـ) ما نصه (إتحاف السادة المتقين 4/380) :"أنت الله الذي لا يَحويك مكان"اهـ.

وقال أيضًا (إتحاف السادة المتقين 4/380) :"أنت الله الذي لا تُحَدُّ فتكونَ محدودًا"اهـ.

Seorang tabi’in yang agung , al Imamas Sajjad Zainal ‘Abidin ; Ali ibn al Husain ibn Ali ibn Abi Thalib (w 94 H) berkata : “Engkau wahai Allah yang tidak diliputi oleh tempat”

Juga berkata: “Engkau wahai Allah yang maha suci dari segala bentuk dan ukuran”

قال مصباح التوحيد ومصباح التفريد الصحابي الجليل والخليفة الراشد سيدنا عليٌّ رضي الله عنه (40هـ) ما نصه (الفرق بين الفرق لأبي منصور البغدادي ص 333) :"كان ـ الله ـ ولا مكان، وهو الآن على ما ـ عليه ـ كان" اهـ. أي بلا مكان.

وقال أيضًا (الفرق بين الفرق لأبي منصور البغدادي ص 333) :"إن الله تعالى خلق العرش إظهارًا لقدرته لا مكانًا لذاته" اهـ.

وقال أيضًا (حلية الأولياء: ترجمة علي بن أبي طالب 1/73) :"من زعم أن إلهنا محدود (المحدود: هو ما كان له حجم صغيرًا أو كبيرًا) فقد جهل الخالق المعبود" اهـ.

Seorang sahabat Rasulullah yang sangat agung , al Khalifah ar Rasyid , al Imam Ali ibn Abi Thalib (w 40 H) berkata : “Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat dan dia Allah sekarang (setelah menciptakan tempat) tetap sebagaimana pada sifatnya yang Azaliy ; ada tanpa tempat”

Beliau juga berkata : “Sesungguhnya Allah menciptakan arsy (makhluk Allah yang paling besar bentuknya) untuk menampakan kekuasaannya bukan untuk menjadikan tempat bagi Dzatnya”

Juga berkata : “Barangsiapa berkayakinan bahwa Tuhan kita (Allah) memiliki bentuk dan ukuran maka ia tidak mengetahui Tuhan yang wajib disembah (belum beriman kepadanya)”

Jawaban :

sepakat, Allah tidak butuh tempat, kalian sendiri yang salah tuduh istiwa itu butuh tempat.

Istiwa itu Allah sendiri yang mengabarkan maka wajib diimani, bukan malah ditolak atau ditakwil. Karena takwil itu menolak dan merubah makna asal.

Sifat istiwa Allah jangan dibayangkan seperti makhluk tanpa tahrif ta'thil takyif tamsil.


Bacaan Lainnya 




https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/ulama-syafiiyah-asyariyah-ternyata.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/akhir-kehidupan-pengikut-asyariyah-yang.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/sebelum-abbasiyah-runtuh-asyariyah.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/debat-syafiiyah-wahabi-vs-syafiiyah.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/penilaian-ibnus-subki-rohimahumullah.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/dalil-lemah-asyariyah-dan-tuduhan-salah.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/dahulu-manhaj-salaf-dikenal-dengan.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/tersingkirnya-peran-ulama-syafiiyah.html



Dahulu manhaj salaf dikenal dengan sebutan Aqidah Hambali / Hanabilah

 

Dahulu manhaj salaf dikenal dengan sebutan Aqidah Hambali / Hanabilah (pendapat Imam Ahmad bin Hanbal)

Madzhab Asy’ariyah yang menguasai semua negeri Islam melalui kekuasaan dan campur tangan sejak pemerintah Sultan Alib Arsalan Bani Saljuk (wafat tahun 465 H), diteruskan raja raja setelahnya.

Al-Allamah al-Maqrizi asy-Syafi’i rahimahullah menyatakan:
فكان هذا هو السبب في اشتهار مذهب الأشعريّ وانتشاره في أمصار الإسلام، بحيث نُسي غيره من المذاهب، وجهل حتى لم يبق اليوم مذهب يخالفه، إلاّ أن يكون مذهب الحنابلة أتباع الإمام أبي عبد اللّه أحمد بن محمد بن حنبل رضي اللّه عنه، فإنهم كانوا على ماكان عليه السلف، لايرون تأويل ماورد من الصفات، إلى أن كان بعد السبعمائة من سني الهجرة، اشتهر بدمشق وأعمالها تقي الدين أبو العباس أحمد بن عبد الحليم بن عبد السلام بن تيمية الحرّانيّ،فتصدّى للانتصار لمذهب السلف وبالغ في الردّ على مذهب الأشاعرة
“Maka dengan sebab pengaruh kekuasaan inilah, Madzhab Asy’ariyah menjadi terkenal dan tersebar di seluruh negeri kaum muslimin, dengan gambaran terlupakannya dan tidak tersisanya selain madzhab ini, kecuali Madzhab Hanabilah pengikut al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Maka mereka (Hanabilah) tetap memegang teguh Manhaj Salaf. Mereka tidak melakukan takwil terhadap sifat-sifat Allah. Hingga sampailah pada tahun 700-an hijriyah, terkenallah di Damaskus dan sekitarnya Syaikhul Islam Taqiyuddin Abul Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus Salam bin Taimiyah al-Harrani (yakni Ibnu Taimiyah). Beliau tampil untuk membela Madzhab Salaf dan getol membantah Madzhab Asy’ariyah..dst.” (Al-Mawa’izh wal I’tibar: 3/104).

Sehingga akidah Salaf menjadi semakin asing dan tidak dikenal dari kalangan kaum muslimin.

Telah disebutkan oleh al-Maqrizi di atas bahwa pada “masa kejayaan” ajaran Asy’ariyah, sebagian besar ulama dari berbagai madzhab fikih –baik Hanafi, Maliki ataupun Syafi’i- cenderung kepada akidah Asy’ariyah, kecuali ulama Hanabilah. Mereka masih konsisten dan beristiqamah mengikuti manhaj al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, baik fikih maupun akidah. Ini berarti bahwa Hanabilah masih berakidah Salafi sebagaimana akidah al-Imam Ahmad.
Pada masa itu muncul stigma atau cap dari ulama Asy’ariyah, bahwa setiap ulama dari madzab fikih apa pun jika berakidah Salafi maka akan dianggap sebagai ‘Hanbali dalam akidah’.
Sebagai contohnya adalah al-Imam Abu Abdillah al-Husain bin Thahir al-Karabisi al-Ajmi (wafat tahun 534 H) rahimahullah.

Manhaj salaf yang asing ASelanjutnya dikenal aqidah hambali, ini bisa dilihat nukilan nukilan ulama.

Al-Allamah Ibnul Adim al-Halabi (wafat tahun 660 H) rahimahullah berkata:
وكان أبو عبد الله الحسين من ذوي الزهد والدين والورع وكان يميل إلى عقيدة الحنابلة وترك التأويل في أحاديث الصفات وحملها على ظاهرها ويطعن على أبي الحسن الاشعري
“Abu Abdillah al-Husain termasuk orang yang mempunyai sifat zuhud, memegang teguh agama dan wara’. Beliau condong kepada akidah Hanabilah, tidak melakukan takwil terhadap hadits tentang sifat-sifat Allah dan membawa kepada zhahir lafazhnya serta mencela Abul Hasan al-Asy’ari.” (Bughyatuth Thalab fi Tarikh Halab: 2/479).

Abu Abdillah al-Hamrani berkata:
لما دخل الأشعري إلى بغداد جاء إلى البربهاري فجعل يقول: رددت على الجبائي وعلى أبي هاشم ونقضت عليهم وعلى اليهود والنصارى والمجوس وقلت لهم وقالوا وأكثر الكلام في ذلك فلما سكت قال البربهاري: ما أدري مما قلت قليلاً ولا كثيراً ولا نعرف إلا ما قاله أبو عبد الله أحمد بن حنبل قال: فخرج من عنده وصنف كتاب ” الإبانة ” فلم يقبله منه ولم يظهر ببغداد إلى أن خرج منها
“Ketika Abul Hasan al-Asy’ari memasuki Baghdad, beliau mendatangi al-Imam al-Barbahari (wafat tahun 328 H). Beliau mengatakan: “Aku telah membantah al-Juba’i dan Abu Hasyim. Aku telah membantah mereka. Aku juga telah membantah Yahudi, Nasrani dan Majusi. Aku berkata kepada mereka demikian dan demikian…dst. Ketika beliau diam, maka giliran al-Imam al-Barbahari berkata: “Aku tidak mengenal pendapatmu sedikit ataupun banyak kecuali pendapat al-Imam Ahmad bin Hanbal.” Al-Hamrani berkata: “Kemudian Abul Hasan al-Asy’ari keluar dari majelis al-Barbahari dan menulis kitab ‘al-Ibanah an Ushulid Diyanah’. Al-Barbahari masih tidak mau menerimanya. Beliau tidak muncul di Baghdad sampai kemudian keluar dari Baghdad.” (Thabaqat al-Hanabilah li Ibni Abi Ya’la: 2/16, al-Maqshadul Arsyad li Ibni Muflih: 1/329, Siyar A’lamin Nubala’: 15/90 dan al-Wafi bil Wafayat lish Shafadi: 4/173).

Di antara pernyataan al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari rahimahullah dalam ‘al-Ibanah’ adalah:
قولنا الذي نقول به وديانتنا التي ندين بها التمسك بكتاب الله ربنا عز و جل وبسنة نبينا محمد صلى الله عليه و سلم وما روى عن السادة الصحابة والتابعين وأئمة الحديث ونحن بذلك معتصمون وبما كان يقول به أبو عبد الله أحمد بن محمد بن حنبل – نضر الله وجهه ورفع درجته وأجزل مثوبته – قائلون…الخ
“Pendapat yang kami pegangi dan agama yang mana kami beragama dengannya adalah: berpegang teguh dengan Kitab Allah Rabb kami azza wajalla, dengan sunnah Nabi kami Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan juga dengan riwayat dari para pembesar sahabat, tabiin dan para imam ahlul hadits. Kami berpegang teguh dengan itu semuanya. Dan kami juga berpendapat dengan pendapat al-Imam Ahmad bin Hanbal –semoga Allah menjadikan wajah beliau berseri, mengangkat derajat beliau dan memperbanyak pahala beliau-…dst.” (Al-Ibanah an Ushulid Diyanah: 20).

Al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata tentang Al-Qadhi Syarafuddin an-Nablusi asy-Syafi’i, Khatib Syam :
وكان متين الديانة، حسن الاعتقاد، سلفي النحلة. ذكر لنا الشيخ تقي الدين بن تيمية أنه قال قبل موته بثلاثة أيام: اشهدوا أني على عقيدة أحمد بن حنبل
“Beliau (Syarafuddin) kuat agamanya, bagus akidahnya, Salafi manhajnya. Asy-Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah bercerita kepada kami bahwa beliau berkata 3 hari sebelum kematiannya: “Saksikanlah bahwa aku berada di atas akidah Ahmad bin Hanbal.” (Tarikhul Islam lidz-Dzahabi: 52/206).

Ibnus Subki (murid, pengikut Asy’ariyah) mengomentari al-Imam adz-Dzahabi (sang guru, pengikut manhaj salaf) secara tidak sopan :
ولقد وقفت فى تاريخ الذهبى رحمه الله على ترجمة الشيخ الموفق بن قدامة الحنبلى والشيخ فخر الدين بن عساكر وقد أطال تلك وقصر هذه وأتى بما لا يشك لبيب أنه لم يحمله على ذلك إلا أن هذا أشعرى وذاك حنبلى وسيقفون بين يدى رب العالمين
“Aku telah melihat kitab ‘Tarikhul Islam’ karya adz-Dzahabi rahimahullah pada biografi asy-Syaikh al-Muwaffaq Ibnu Qudamah al-Hanbali dan asy-Syaikh Fakhruddin Ibnu Asakir. Beliau (adz-Dzahabi) memaparkan biografi Ibnu Qudamah secara panjang lebar sedangkan untuk biografi Ibnu Asakir, beliau hanya memaparkan secara ringkas saja. Dan ini tidak diragukan oleh orang yang berakal bahwa motivasi beliau atas demikian tidak lain karena Ibnu Asakir itu seorang Asy’ari sedangkan Ibnu Qudamah itu seorang Hanbali (Salafi). Dan mereka akan mempertanggungjawabkannya di depan Rabbul Alamin.” (Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra: 2/24).


Bacaan Lainnya 


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/ulama-syafiiyah-asyariyah-ternyata.html

https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/akhir-kehidupan-pengikut-asyariyah-yang.html

https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/sebelum-abbasiyah-runtuh-asyariyah.html

https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/debat-syafiiyah-wahabi-vs-syafiiyah.html

https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/penilaian-ibnus-subki-rohimahumullah.html

https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/dalil-lemah-asyariyah-dan-tuduhan-salah.html

https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/dahulu-manhaj-salaf-dikenal-dengan.html

https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/tersingkirnya-peran-ulama-syafiiyah.html


Mengklaim Ulama Syafi’iyah Asy'ariyah ternyata malah Syafi'iyah salafi

 Mengklaim Ulama Syafi’iyah Asy'ariyah ternyata malah Syafi'iyah salafi

(Dialog Syafi'iyah Salafi vs Syafi'iyah Asy'ariyah) 


Al-Hafizh Abul Qasim Ibnu Asakir (penulis Tarikh Damsyiq) rahimahullah (wafat tahun 571 H) adalah ahlul hadits Syafi’iyah yang berakidah Asy’ariyah. Untuk membela Asy’ariyah dan al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari beliau menulis kitab ‘Tabyin Kadzibil Muftari fi Ma Nusiba ilal Imam Abil Hasan al-Asy’ari’. 


Di dalam kitab tersebut beliau memperbanyak ulama Asy’ariyah tanpa bukti ilmiah. Seringkali beliau menyatakan bahwa imam fulan adalah pengikut Asy’ariyah. Padahal yang bersangkutan adalah ulama Syafi’iyah yang Salafi.


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:

وَقَدْ ذَكَرَ أَبُو الْقَاسِمِ بْنُ عَسَاكِرَ فِيمَا ذَكَرَهُ مِنْ أَصْحَابِ الْأَشْعَرِيِّ جَمَاعَةً كَثِيرَةً لَيْسُوا مِنْهُمْ، بَلْ مِنْهُمْ مَنْ هُوَ مَشْهُورٌ بِالْمُنَاقَضَةِ وَالْمُعَارَضَةِ لَهُمْ…الخ

“Dan Abul Qasim Ibnu Asakir –dalam kitab at-Tabyin- banyak menyebutkan ulama-ulama yang menjadi pengikut Abul Hasan al-Asy’ari, padahal yang bersangkutan tidak berakidah Asy’ariyah. Bahkan di antara mereka terdapat ulama yang terkenal dengan penentangan dan perselisihannya terhadap Asy’ariyah..dst.” (Al-Fatawa al-Kubra: 6/602).


Sebagai contoh adalah al-Imam Abu Bakar al-Ismaili al-Jurjani asy-Syafi’i (wafat tahun 371 H) rahimahullah. 


Al-Allamah Ibnu Qadhi Syuhbah asy-Syafi’i menjelaskan biografi beliau:

أحمد بن إبراهيم بن إسماعيل بن العباس أبو بكر الإسماعيلي الفقيه الحافظ أحد كبراء الشافعية فقها وحديثا وتصنيفا

“Ahmad bin Ibrahim bin Ismail bin al-Abbas Abu Bakar al-Ismaili al-Faqih al-Hafizh salah seorang pembesar Syafi’iyah secara fikih, hadits dan karya tulis.” (Thabaqat asy-Syafi’iyah li Ibni Qadhi Syuhbah: 1/136-7).


Ibnu Asakir menyatakan:

ومنهم أبو بكر الجرجاني المعروف بالاسماعيلي رحمه الله

“Di antara mereka (ulama Asy’ariyah) adalah Abu Bakar al-Jurjani yang terkenal dengan al-Ismaili rahimahullah.” (Tabyin Kadzibil Muftari: 192).


Padahal al-Isma’ili menyatakan dalam kitab ‘I’tiqad’ beliau –sebagaimana penukilan al-Imam adz-Dzahabi-:

إعلموا رحمكم الله أن مذاهب أهل الحديث أهل السنة والجماعة الإقرار بالله وملائكته وكتبه ورسله وقبول ما نطق به كتاب الله وما صحت به الرواية عن رسول الله لا معدل عما وردا به ويعتقدون أن الله تعالى مدعو بأسمائه الحسنى موصوف بصفاته التي وصف بها نفسه ووصفه بها نبيه  خلق آدم بيده ويداه مبسوطتان بلا إعتقاد كيف استوى على العرش بلا كيف فإنه إنتهى إلى أنه استوى على العرش ولم يذكر كيف كان استواؤه..الخ

“Ketahuilah –semoga Allah merahmati kalian- bahwa madzhab Ahlussunnah Waljamaah adalah beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, dan menerima perkara yang diucapakan oleh Kitabullah dan perkara yang diriwayatkan secara shahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, tanpa melenceng darinya. Mereka juga meyakini bahwa Allah ta’ala diseru (dalam do’a) dengan nama-nama-Nya yang indah, disifati dengan sifat-sifat yang telah disifatkan oleh Allah sendiri dan disifatkan oleh Nabi-Nya. Allah menciptakan Adam alaihissalam dengan tangan-Nya. Kedua tangan-Nya terbentang tanpa meyakini tatacaranya. Allah bersemayam di atas Arsy tanpa membahas tatacaranya, karena Allah hanya menyebutkan bahwa Ia bersemayam di atas Arsy tanpa menyebutkan tatacara bersemayam-Nya…dst.” (Al-Uluw lil Aliyyil Ghaffar: 229-230, Tadzkiratul Huffazh: 3/107).


Apa yang diklaim oleh Ibnu Asakir bahwa al ismaili seorang Asy'ari, dibantah oleh perkataan al ismaili sendiri yang menyatakan beliau memegang keyakinan salaf.


Contoh ke 2


Al-Imam al-Hakim Abu Abdillah an-Naisaburi (penulis kitab al-Mustadrak alas Shahihain) rahimahullah (wafat tahun 405 H).


Ibnu Asakir menyatakan:

ومنهم الحاكم أبو عبد الله بن البيع النيسابوري الحافظ رحمه الله

“Dan di antara mereka (ulama Asy’ariyah, pen) adalah al-Hakim Abu Abdillah Ibnul Bayyi’ al-Hafizh rahimahullah.” (Tabyin Kadzibil Muftari: 227).


Padahal al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan tentang al-Hakim dan Ibnu Qutaibah yang sama-sama berakidah Salafi, meskipun keduanya berseberangan di dalam menyikapi Ahlul Bait. Al-Hafizh menyatakan:

فإن في ابن قتيبة انحرافا عن أهل البيت والحاكم على ضد من ذلك وإلا فاعتقادهما معا فيما يتعلق بالصفات واحد

“Karena di dalam Ibnu Qutaibah terdapat penyimpangan dari Ahlul Bait (yakni sedikit nashibiyah, pen) sedangkan al-Hakim sebaliknya (yakni sedikit tasyayyu’, pen). Jika tidak, maka akidah keduanya di dalam perkara yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah adalah sama.” (Lisanul Mizan: 3/358).


Al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah -setelah memaparkan ucapan al-Hakim yang melarang periwayatan hadits dari Ibnu Qataibah- menyatakan:

ثم ما رأيت لابي محمد في كتاب ” مشكل الحديث ” ما يخالف طريقة المثبتة والحنابلة، ومن أن أخبار الصفات تمر ولا تتأول، فالله أعلم

“Kemudian aku tidak melihat pada diri Ibnu Qutaibah di dalam kitab ‘Ta’wil Mukhtalifil Hadits’ sesuatu yang menyelisihi jalannya orang yang menetapkan sifat dan Hanabilah (yakni: Salafiyah, pen) dan bahwa berita tentang sifat-sifat Allah itu diimani saja tanpa ditakwil. Wallahu a’lam.” (Siyar A’lamin Nubala’: 13/299).


Dan contoh lainnya masih banyak. Secara khusus al-Imam Yusuf bin Hasan bin Abdil Hadi al-Maqdisi al-Hanbali (wafat tahun 909 H) rahimahullah menulis kitab ‘Jam’ul Juyusy wad Dasakir ala Ibni Asakir’ untuk membantah kitab ‘Tabyin Kadzibil Muftari’ tulisan Ibnu Asakir. Wallahu a’lam.



Bacaan Lainnya 


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/ulama-syafiiyah-asyariyah-ternyata.html

https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/akhir-kehidupan-pengikut-asyariyah-yang.html

https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/sebelum-abbasiyah-runtuh-asyariyah.html

https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/debat-syafiiyah-wahabi-vs-syafiiyah.html

https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/penilaian-ibnus-subki-rohimahumullah.html

https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/dalil-lemah-asyariyah-dan-tuduhan-salah.html

https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/dahulu-manhaj-salaf-dikenal-dengan.html

https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/tersingkirnya-peran-ulama-syafiiyah.html