Jumat, 29 Juli 2022

Keutamaan puasa 9, 10 Muharram dan syarat dosa setahun diampuni

 🍃📕 KEUTAMAAN PUASA ‘ASYURO (10 MUHARROM) 📒🍃


➖➖➖➖


🔵 Berikut ini, di antara keutamaan puasa ‘Asyuro: 


1⃣ MENGHAPUS DOSA SETAHUN YANG LALU

👉🏻 Dari Shahabat Abu Qotadah rodhiyallahu ‘anhu; bahwasanya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:


صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ، أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ


”Puasa pada hari ‘Asyuro , aku berharap kepada Allah penghapusan dosa setahun yang lalu.”

(HR. Muslim no.1162 - 196, Abu Daud no.2425 , At-Tirmidzi no.752, Ibnu Majah no.1738)


2⃣ PUASA YANG PALING UTAMA SETELAH PUASA RAMADHAN

👉🏻 Dari shahabat Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu; bahwasanya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:


أَفْضَلُ الصِّيَامِ، بَعْدَ رَمَضَانَ، شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ، وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ، بَعْدَ الْفَرِيضَةِ، صَلَاةُ اللَّيْلِ


“Puasa yang paling utama setelah puasa di bulan romadhan adalah puasa pada bulan Allah -yang disebut dengan Muharrom, dan sholat yang paling utama setelah sholat fardhu (yang wajib) adalah sholat malam.“ (HR.Muslim no. 1163 - 202)



✅ Semoga Allah –Ta’ala- mudahkan kita untuk melaksanakannya. Aamiin.


Wallahul Muwaffiq



******


🍃📕 DISUNNAHKAN PULA PUASA TASU’AH ( 9 Muharrom) 📒🍃


➖➖➖➖


📝Al-Imam An-Nawawi rohimahullah dalam kitab Al-Majmu’ Syarhul-Muhadzzab (6/382-383) menjelaskan, bahwa Puasa Tasu’ah juga disunnahkan (baca: dianjurkan) dalam Islam, sebagaimana Puasa ‘Asyuro.


👉 Berdasarkan hadits Shahabat Ibnu Abbas rodhiyallahu ‘anhu; bahwasanya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:


لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابِلٍ، لَأَصُومَنَّ الْيَوْمَ التَّاسِعَ


🔹 ”Kalau seandainya aku masih hidup sampai tahun depan, Sungguh aku akan berpuasa (pula) pada hari kesembilannya.” (HR. Muslim no. 1134)


🔵 Namun beliau wafat sebelum datang tahun berikutnya. (HR. Muslim no. 1134 – 133)


@Warisansalaf

—------—


📋 SYARAT MENDAPATKAN AMPUNAN DOSA SETAHUN DENGAN PUASA ASYURO


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ


Rasulullah ﷺ bersabda,


وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاء أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ


“Dan puasa hari ‘Asyuro (10 Muharram), aku harap kepada Allah dapat menghapuskan dosa tahun sebelumnya.” [HR. Muslim dari Abu Qotadah radhiyallahu’anhu]


Syarat untuk mendapatkan ampunan dosa setahun adalah menjauhi dosa-dosa besar atau bertaubat darinya.


Dan Muharram adalah bulan yang Allah muliakan, maka lebih tidak patut bagi seorang hamba melakukan dosa atau menunda-nunda taubat.


Asy-Syaikhul ‘Allaamah Ibnu Baz rahimahullah berkata,


قال جمهور أهل العلم إن أداء الفرائض وترك الكبائر يكفر السيئات الصغائر، أما الكبائر فلا يكفرها إلا التوبة إلى الله سبحانه وتعالى


“Mayoritas ulama berpendapat: Sesungguhnya mengamalkan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan dosa-dosa besar dapat menghapus dosa-dosa kecil. Adapun dosa-dosa besar tidak dapat dihapus kecuali dengan taubat kepada Allah subhanahu wa ta’ala.” [Nur ‘alad Darb, 6/64]


Asy-Syaikhul ‘Allaamah Ibnu Baz rahimahullah juga berkata,


وهكذا قوله في صوم يوم عاشوراء «إنه يكفر السنة التي قبله» يعني عند اجتناب الكبائر لقوله سبحانه وتعالى: {إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ}، ولقوله صلى الله عليه وسلم: «الصلوات الخمس والجمعة إلى الجمعة ورمضان إلى رمضان كفارات لما بينهن مالم تغش الكبائر» إذا اجتنب الكبائر، ما اجتنبت الكبائر كلها ألفاظ جاءت في الحديث عن النبي صلى الله عليه وسلم


“Demikian pula sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tentang puasa ‘Asyuro,


إنه يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ


“Sesungguhnya puasa ‘Asyuro menghapus dosa tahun sebelumnya.” [HR. Muslim dari Abu Qotadah radhiyallahu’ahu]


Maknanya adalah ketika dosa-dosa besar dijauhi.


Berdasarkan firman Allah ta’ala,


إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ


“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosa kecilmu).” (An-Nisa: 31)


Dan berdasarkan sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,


الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ مَا لَمْ تُغْشَ الْكَبَائِرُ


“Sholat yang lima waktu, sholat Jum’at sampai Jum’at berikutnya, dan puasa Ramadhan sampai Ramadhan berikutnya, adalah penghapus-penghapus dosa di antara waktu-waktu tersebut, selama dosa besar tidak dilakukan.”(HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)


Dalam lafaz yang lain,


إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ


“…Apabila ia menjauhi dosa-dosa besar.”


Dalam lafaz yang lain,


مَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ


“…Apabila dosa-dosa besar dijauhi.”


Semua ini adalah lafaz yang datang dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.” [Nur ‘alad Darb, 6/65-66]


Sumber: https://sofyanruray.info/syarat-mendapatkan-ampunan-dosa-setahun-dengan-puasa-asyuro/



Bid'ah perayaan tahun baru hijriyyah

 ⛔ Bid'ah, Perayaan Tahun Baru Hijriyyah


Tidak ada anjuran merayakan perayaan khusus menyambut tahun baru Hijriyyah, baik dalam bentuk pengajian akbar yang diniatkan untuk menyambut tahun baru Islam, apalagi berbentuk pawai, terlebih lagi diiringi musik. Semua ini termasuk bid’ah yang munkar dan tasyabbuh dengan perayaan tahun baru Nashoro walau dikemas dalam label acara Islami.


Berkata Syaikh Shalih Al-Utsaimin rahimahullah: "Bukanlah termasuk sunnah (ajaran Nabi), kita mengadakan hari raya ketika memasuki tahun baru atau membiasakan mengucapkan selamat tahun baru". (Adh-Dhiya Al-Lami 9/702)


Berkata Syaikh khalid ‘Abdul Mun’im Rifa’i hafidzhahullah: "Sepatutnya bagi setiap muslim untuk menjauhkan diri dari mengkhusukan akhir tahun atau awal tahun baru dengan ritual apapun. Karena kebaikan itu ada pada mengikuti Ulama terdahulu". https://ar.islamway.net/fatwa/17778/


Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata: “Perayaan malam isra’ mi’raj, malam nisfu Sya’ban, perayaan tahun baru hijriyyah (peringatan hijrah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam), atau fathu Makkah dan perang Badar, semua itu termasuk bid’ah (mengada-ada dalam agama), karena perkara-perkara ini terjadi di masa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam namun beliau sendiri tidak merayakannya. 


Andaikan perayaan itu termasuk pendekatan diri kepada Allah ta’ala tentunya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah merayakannya, atau memerintahkan para sahabat untuk merayakannya atau para sahabat sendiri yang merayakannya sepeninggal beliau, maka tatkala Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan sahabat tidak merayakannya kita pun mengetahui bahwa itu adalah bid’ah atau tidak disyari’atkan.


Dan perayaan-perayaan ini tidaklah dibenarkan walau tokoh-tokoh tertentu melakukannya, atau negeri tertentu melakukannya, semua itu bukan dalil yang membolehkan, dalil itu hanyalah ucapan Allah dan Rasul-Nya, atau atau ijma’ Salaf umat ini atau amalan Al-Khulafa Ar-Rasyidin radhiyallahu’anhum". (Fatawa Nuur ‘alad Darbi, 3/101)


https://dakwahmanhajsalaf.com/2019/08/amalan-bidah-di-bulan-muharram.html

____



Memuliakan Bulan Haram

MEMULIAKAN BULAN HARAM


Oleh

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin


Segala puji hanya milik Allah pencipta langit dan bumi, yang telah mengatur alam semesta dengan penuh hikmah, mengatur perjalanan siang dan malam sesaui kehendakNya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallamyang telah membawa manusia dari gelapnya kesesatan menuju cahaya hidayah.


Bertaqwalah kepada Allah dengan takwa yang sebenar-benarnya ! Ketahuilah, sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menciptakan semua makhlukNya dengan kekuasaanya dan menjadikan berbagai macam yang akan mendukung kebaikan mahklukNya dengan hikmah dan kasih sayang. Allah menciptakan semua yang ada dibumi untuk kemaslahatan para hambaNya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :


وَسَخَّرَ لَكُمُ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ دَائِبَيْنِ ۖ وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ ﴿٣٣﴾ وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ


Dan Dia telah menundukkan bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan Dia telah menundukkan malam dan siang bagimu. Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadaNya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan dapat menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).[Ibrâhîm/14:33-34]


Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan matahari dan bulan untuk kemaslahatan kita baik dunia ataupun agama. Allah Azza wa Jalla mengatur perjalanan dua makhlukNya dengan penuh kesempurnaan. Keduanya tidak akan keluar dari garis edarnya kecuali dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala , tidak akan naik atau turun atau hilang kercuali dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala . Keduanya akan terus demikian sampai pada saatnya nanti, Allah berkehendak matahari terbit dari arah barat. Saat itu keimanan seseorang tidak bermanfaat kecuali dia telah beriman sebelumnya.


Allah Subhanahu wa Ta’ala menundukkan matahari dan bulan dan menjadikannya sebagai penentu waktu. Perjalanan matahari akan memunculkan siang dan malam serta musim-musim. Kalau kita perhatikan, sejak matahari terbit, ketika matahari semakin tinggi, maka suhu panas pun meningkat; Dan ketika matahari sudah mendekati tempat tengggelam, suhu panas pun mulai menghilang. Perjalanan matahari ini, mulai terbit hingga tenggelam, semua berjalan hanya dengan izin dari Allah Azza wa Jalla


Begitu halnya dengan bulan, Allah telah menentukan tempat-tempatnya. Pada setiap malam, bulan berada disatu tempat yang berbeda dengan sinarnya yang berbeda pula. Pada permulaan bulan, sinarnya masih redup dan bertambah sedikit demi sedikit sampai pada pertengahan bulan yang sangat terang-benderang. Kemudian berkurang sedikit demi sedikit sampai kembali seperti permulaan bulan. subhânallah


Semenjak Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan langit dan bumi, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menentukan jumlah bulan yaitu dua belas bulan; empat diantaranya adalah bulan haram, tiga bulan berurutan yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, lalu Muharram serta satu yang terpisah yaitu bulan Rajab. Ini merupakan bulan-bulan diagungkan, baik pada masa jahiliyyah ataupun pada masa Islam, Allah menghususkan larangan berbuat zhalim dibulan-bulan tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :


إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ


Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah menganiaya diri dalam bulan yang empat itu. [at Taubah/9:36]


Dalam ayat yang mulia ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang untuk berbuat zhalim pada diri kita dengan segala bentuknya, terutama dibulan-bulan haram yang larangannya lebih keras dibanding dengan bulan-bulan yang lain. oleh karena itu, kita wajib meghormati dan mengagungkan bulan-bulan ini. Kita harus menjauhi perbuatan zhalim dengan segala ragamnya, baik zhalim terhadap diri apalagi zhalim terhadap orang lain. Dengan demikian kita akan menjadi orang yang berbahagia.


Diantara bentuk kezhaliman adalah meninggalkan apa yang diwajibkan oleh Allah ataupun melakukan apa yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala . Ketahuilah wahai saudara-saudaraku, jiwa ini merupakan amanah yang wajib kita jaga. Hendaklah kita menjadikanjiwa kita menjadi jiwa yang selalu tunduk dan patuh kepada Khaliqnya. Gapailah kebahagiaan yang dijanjikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan selalu membersihkan jiwa dari noda dan dosa, sehingga jiwa kita menjadi jiwa yang diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala . Jadikanlah pergantian siang dan malam serta perjalanan matahari dan bulan sebagai ibrah.


وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا﴿١﴾وَالْقَمَرِ إِذَا تَلَاهَا﴿٢﴾وَالنَّهَارِ إِذَا جَلَّاهَا﴿٣﴾وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَاهَا﴿٤﴾وَالسَّمَاءِ وَمَا بَنَاهَا﴿٥﴾وَالْأَرْضِ وَمَا طَحَاهَا﴿٦﴾وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا﴿٧﴾فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا﴿٨﴾قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا﴿٩﴾وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا


Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila mengiringinya, dan siang apabila menampakkannya, dan malam apabila menutupinya, dan langit serta pembinaannya, dan bumi serta penghamparannya, dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya [Asy Syams/91:1-10]


Salah satu bulan haram yang dimuliakan dan diagungkan oleh Allah Azza wa Jalla adalah bulan Muharram. Karena keagungan bulan ini, terkadang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menisbatkannya kepada Allah. Pada bulan ini, seorang muslim disyariatkan untuk melakukan berbagai macam ketaatan kepada Allah dan menjauhi segala corak perbuatan zhalim. Pada bulan ini, seorang muslim disunatkan menjalankan puasa Asyûra yaitu pada tanggal sembilan dan sepuluh. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ


Puasa yang paling utama setelah bulan Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah Muharram [HR Muslim]


Juga sebagaimana diriwayatkan dalam hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu, beliau Radhiyallahu anhu mengatakan : “Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat kaum Yahudi melakukan puasa Asyûra. Beliau bertanya kepada mereka : ‘Mengapa mereka melakukan puasa pada hari itu ?’ Mereka menjawab: Ini adalah hari baik, pada hari ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan Nabi Musa Alaihissallam dan Bani Israil, oleh karena itu Musa Alaihissallam melakukan puasa pada hari ini.” Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


نَحْنُ أَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ فَأَمَرَ بِصَوْمِهِ


Sesungguhnya kami lebih berhak terhadap nabi Musa dibandingkan kalian.


Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa pada hari itu. [HR Bukhâri dan Muslim]


Kemudian dikesempatan lain, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ


Insyaallah, tahun yang akan datang kita mulai bepuasa pada hari kesembilan.[HR Muslim]


Akan tetapi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam belum sempat melakukan ini, karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat sebelum bulan Muharram tahun berikutnya tiba. Saat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang keutamaan puasa ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :


يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ


Puasa Asyura menghapuskan dosa satu tahun yang telah lewat.[HR Muslim]


Maka berpuasalah wahai kaum muslimin pada hari yang kesembilan dan kesepuluh agar dosa-dosa kalian dihapuskan. Ikutilah nabi kalian agar kalian mendapatkan kemulyaan serta pahala yang kalian harapkan. Orang yang bertekad dan berazam untuk melakukannya atau sudah terbiasa melaksanakannya tapi kali ini terhalang sesuatu maka Insyaallah akan dituliskan baginya pahala puasanya tanpa terkurangi sedikitpun. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا


Apabila salah seorang hamba sakit atau dalam bepergian akan ditulis pahala amalannya sebagai mana ketika dia meluakukannya ketrika dia sehat dan bermukim.[HR Bukhari]


Bulan Muharram menyimpan peristiwa besar serta tanda kekuasaan Allah, di bulan ini Allah menyelamatkan Nabi Musa beserta kaumnya dari Firaun dan bala tentaranya. Ketika nabi Musa mengajak Fir’aun untuk mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala , dengan penuh kesombongan ia menolak seraya mengatakan : “Saya adalah tuhan kalian yang tinggi” Sejak saat itu, Firaun mulai melakukan penekahan terhadap Bani Israil sampai pada akhirnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Nabi Musa Alaihssallam untuk keluar bersama kaumnya menghindari kejahatan Fir’aun. Mereka terus berlari sampai ketepi laut merah sementara Firaun beserta bala tentaranya berada dibelakang. ketika hampir tertangkap, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan nabi Musa Alaihissallam agar memukulkan tongkatnya kelaut tersebut. Seketika lautan terbelah dan menjadi jalan yang bisa mereka lalui. Firaun terus mengejar dan mengikuti Bani Israil , ketika Musa dan pengikutnya sampai kedaratan, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan nabi Musa untuk memukulkan tongkatnya kembali. Seketika juga, jalan yang baru saja mereka lalui kembali menjadi lautan. Akibatnya, Firaun beserta bala tentaranya tenggelam. Lihatlah ! Bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menolong Nabi Musa Alaihissallam dan kaumnya. Sesungguhnya Allah maha Kuasa untuk menolong siapa saja yang mau menolong agamanya dan berusaha mengikuti ridhaNya. Itulah salah satu peristiwa besar yang terjadi di bulan muharram.


Ada sebagian orang yang mengatakan bahwa bulan Muharram adalah bulan sial. Bulan yang banyak mendatangkan bahaya sehingga sebagian mereka tidak berani melakukan transaksi jual beli atau mengadakan pernikahan dan lain sebagainya. Keyakinan seperti ini adalah keyakinan yang bathil serta kesesatan yang nyata. Ini merupakan tipu daya setan yang menginginkan agar manusia jauh dari ajaran islam yang benar. Ini merupakan propaganda musuh agar kaum muslimin meninggalkan amalan-amalan pada bulan ini.


Kaum muslimin bagaimana mungkin bulan yang diagungkan oleh Allah Azza wa Jalla, bulan yang diagungkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa kesialan atau membawa madharat. Sebaliknya bulan Muharram merupakan bulan kebaikan, maka isilah bulan ini dengan amalan-amalan shalih dengan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga kita menjadi hamba-hambaNya yang mendapatkan keridhaanNya Subhanahu wa Ta’ala.


Maraji’: Dyiaul lami’ min Khutabil Jawami’ Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin jilid 5 hal 397-401


[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIV/1432H/2011M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]


******



Mitos tidak boleh menikah di Muharram

 MITOS TIDAK BOLEH MENIKAH PADA BULAN MUHARRAM


Pertanyaan

Apakah melangsungkan akad nikah pada bulan Muharram dibenci ?, sebagaimana yang saya dengar dari sebagian orang.


Jawaban

Alhamdulillah.


Tidak masalah menikah atau meminang pada bulan Muharram yang menjadi awal tahun hijriyah, hal tersebut bukan termasuk perkara yang makruh atau diharamkan, berdasarkan banyak dalil:


Pertama: Hukum asalnya boleh yang tidak ada dalil yang merubahnya, kaidah syar’i yang disepakati oleh para ulama adalah:


أن الأصل في العادات والأفعال الإباحة


“Hukum asal dalam kebiasaan dan perbuatan adalah boleh”.


selama belum ada dalil yang mengharamkannya. Maka karena tidak penjelasan baik dalam al Qur’an, Hadits, ijma’ dan qiyas ataupun atsar yang menunjukkan bahwa menikah pada bulan Muharram itu adalah dilarang, maka yang menjadi dasar dari amal dan fatwa dalam masalah ini adalah hukum asalnya yaitu; boleh.


Kedua: Adalah merupakan hasil ijma’ dari para ulama adalah boleh, minimal dengan ijma’ sukuti (kesepakatan semua ulama malalui diamnya mereka), karena kami tidak menemukan seorang pun dari para ulama dahulu maupun sekarang, baik dari kalangan para sahabat, tabi’in, para imam yang diridhai, juga pengikut mereka sampai pada masa kita saat ini yang mengharamkan atau menganggap makruh menikah atau melamar pada bulan Muharram.


Dan barang siapa yang melarang akan hal tersebut, maka ucapannya tersebut sudah menjadi bukti akan mungkar dan batilnya perkataannya; karena ia berfatwa tanpa menunjukkan dalil atau perkataan para ulama.


Ketiga: Bulan Muharram adalah termasuk bulan Allah yang diagungkan dan dimuliakan. Telah disebutkan keutamaannya dalam hadits Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:


( أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ ) رواه مسلم (1163)


“Sebaik-baik puasa setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah Muharram”. [HR. Muslim 1163]


Bulan yang Allah menyandarkannya pada diri-Nya dan menjadikan puasa pada bulan tersebut pahalanya lebih agung dari puasa pada bulan lain, maka menjadi layak untuk diharapkan berkah dan keutamaannya bukan malah bersedih dan hawatir untuk menikah pada bulan tersebut, atau bertathayur (menjadikan sesuatu sebagai tanda baik dan buruk tanpa didasari dengan dalil) sebagaimana adat istiadat masyarakat jahiliyah.


Keempat: Jika ada seseorang yang beralasan bahwa yang menjadi dasar dari larangan tersebut adalah syahidnya Husain bin Ali –radhiyallahu ‘anhu- sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang-orang Rafidhah.


Maka jawabannya adalah:

Tidak diragukan bahwa pada hari syahidnya Husain –radhiyallahu ‘anhu- adalah hari yang menyedihkan dalam sejarah Islam, namun hal tersebut tidak mengharuskan untuk berfatwa akan haramnya menikah atau melamar pada bulan tersebut, dan tidak ada di dalam syari’at kita untuk memperbarui kesedihan dan memperingatinya setiap tahun, dan meneruskan hidad (bersedih) sampai melarang untuk menampakkan kebahagiaan.


Kalau tidak maka menjadi hak kita untuk bertanya kepada orang berpendapat demikian: Bukankah hari dimana Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- wafat adalah sebesar-besarnya musibah yang menimpa umat Islam !, maka kenapa tidak dilarang juga menikah pada bulan dimana beliau wafat yaitu bulan Rabi’ul Awal ?!, dan kenapa pengharaman dan hukum makruh tersebut tidak diriwayatkan oleh para sahabat atau keluarga Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan para ulama setelah mereka !!!


Demikian juga kalau seandainya memperbarui kesedihan dibolehkan, maka setiap hari ada ulama besar Islam yang mungkin dibunuh, syahid atau meninggal dunia, baik dari keluarga dekat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- atau yang lainnya. Kalau demikian maka tidak akan ada hari atau bulan bahagia, dan manusia akan mengalami masalah dan kesulitan yang mereka tidak kuat memikulnya. Dan tidak diragukan lagi bahwa mendatangkan hal baru dalam agama adalah awal mula yang menarik para pengikutnya untuk menentang syari’at, dan mempertanyakan akan kesempurnaan yang telah Allah ridhai.


Sebagian ahli sejarah telah menyebutkan bahwa yang pertama kali mengatakan pendapat tersebut, bahkan yang pertama kali berpendapat tentang memperbarui kesedihan pada awal bulan Muharram adalah Asy Syah Ismail ash Shofwi (907-930 H) sebagaimana yang disebutkan oleh DR. Ali Al Wardi dalam “Lamahat Ijtma’iyyah min Tarikh Iraq” 1/59:

“Asy Syah Ismail tidak cukup dengan hanya menyebarkan teror saja untuk menyebarkan paham syi’ah bahkan sengaja juga mengambil sarana lain, yaitu; dengan cara publikasi dan mendatangkan kepuasan diri, ia telah menyuruh untuk mengkoordinir peringatan terbunuhnya Husain seperti yang rayakan sampai saat ini. Perayaan tersebut dilakukan sejak era al Buwaihiyyun di Baghdad pada abad 14 H. Namun setelah era tersebut mulai ditinggalkan. Kemudian datanglah Asy Syah Ismail yang mengembangkannya dan menambahkan majelis takziyah dengan tujuan agar kuat pengaruhnya pada hati pengikutnya. Maka menjadi benar bahwa hal tersebut adalah menjadi sarana terpenting untuk menyebarkan faham syi’ah di Iran; karena menampakkan kesedihan dan ratapan yang diiringi dengan irama gendang dan panji-panji dan lain sebagainya, dengan demikian maka akan menjadi akidah yang menancap pada jiwa”.


Kelima: Kemudian sebagian ahli sejarah menguatkan bahwa pernikahan Ali bin Abi Thalib –radhiyallahu ‘anhu- dengan Fatimah –radhiyallahu ‘anha- terjadi pada awal-awal tahun ke-3 H.


Ibnu Katsir –rahimahullah- berkata: “Al Baihaqi meriwayatkan dari kitab “al Ma’rifah” karangan Abu Abdillah bin Mundihi bahwa Ali menikah dengan Fatimah satu tahun setelah hijrah dan tinggal bersamanya pada satu tahun berikutnya, atas dasar ini maka beliau menggaulinya pada awal tahun ke-3 H. [Al Bidayah wan Nihayah: 3/419]


Meskipun ada beberapa pendapat lain dalam masalah ini, namun yang menjadi dasar ialah tidak satupun di antara para ulama mengingkari pernikahan pada bulan Muharram, bahkan barang siapa yang menikah pada bulan tersebut maka ada contohnya dari Amirull Mukminin Ali bin Abi Thalib dan istrinya Fatimah binti Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.


Wallahu a’lam.


Disalin dari islamqa


Referensi : https://almanhaj.or.id/4783-mitos-tidak-boleh-menikah-pada-bulan-muharram.html


Sabtu, 09 Juli 2022

FATWA TAKBIRAN DENGAN ALAT PENGERAS SUARA

Berikut jawaban Syeikh Utsaimin atas pertanyaan takbir hari id dengan alat pengeras suara 


التكبير ليلة العيدين إلى أن يأتي الإمام للصلاة سنة، وليس بواجب، والجهر به سنة وليس بواجب، فلو تركه الناس بالكلية لم يأثموا، ولو كبروا سرًّا لم يأثموا، ولا ينبغي أن يقع النزاع بين الناس في مثل هذه الأمور التي أكثر ما يقال فيها إنها سنة، ثم تحدث في هذا النزاع عداوات وبغضاء، وتضليل وتفسيق وتبديع وما أشبه ذلك، 

Takbir pada malam dua Idul sampai imam datang untuk sholat adalah sunnah dan tidak wajib, dan berbicara dengan suara keras adalah sunnah dan bukan kewajiban. Jika orang orang meninggalkannya sama sekali, mereka tidak akan berdosa, dan jika mereka bertakbir secara sembunyi-sembunyi, mereka tidak akan berdosa, dan tidak boleh ada perselisihan diantara orang-orang dalam perkara ini yang sering dikatakan bahwa ini sunnah, kemudian terjadi permusuhan, kebencian, penyesatan, pemfasikan, pembid'ahan dan sejenisnya.


فلو أن الناس لم يكبروا، أو لم يرفعوا أصواتهم بالتكبير فإنهم لا يُعدّون آثمين، ولا ينبغي الإصرار على أن يرفع التكبير عبر مكبر الصوت من أجل التذكير بهذه السنة إذا كان هذا يحدث عداوة وبغضاء فإن ذلك خلاف ما تهدف إليه الشريعة، 

Jika orang-orang tidak mengucapkan takbir, atau tidak meninggikan suara mereka dengan mengucapkan takbir, maka mereka tidak dianggap berdosa, dan tidak boleh memaksa agar takbir dinaikkan melalui pengeras suara untuk mengingatkan Sunnah ini, jika ini menimbulkan permusuhan dan kebencian, karena hal itu bertentangan dengan tujuan syariat.


فالنبي صلى الله عليه وسلم ترك بناء الكعبة على قواعد إبراهيم عليه الصلاة والسلام مع أنه كان يرغب ذلك، وقال لعائشة رضي الله عنها: "لولا أن قومك حديثوا عهد بكفر لبنيت الكعبة على قواعد إبراهيم"،

Nabi sholalallahualaihiwasallam meninggalkan membangun Ka'bah di atas fondasi Ibrahim alaihissalam, meskipun beliau ingin melakukannya, dan dia berkata kepada Aisha rodhiallahu 'anha : "kalau bukan karena kaummu yang baru saja lepas dari kekufuran, akan aku bangun kembali pondasi Ka’bah sesuai dengan dibuat oleh Ibrahim”


 فترك هذا من أجل أن لا تحدث فتنة، ولكن إذا لم يكن هناك فتنة في التكبير، وقيل للناس إننا نكل إلى شخص معين -المؤذن أو غيره- أن يكبر التكبير المشروع عبر مكبر الصوت بدون أن يتابعه أحد على وجه جماعي فلا أرى في هذا بأساً؛ لأنه من باب رفع الصوت بالتكبير والجهر به وفيه تذكير للغافلين أو الناسين، 

Jadi meninggalkan ini agar tidak ada fitnah, tetapi jika memang tidak ada fitnah dalam takbir, orang-orang diberitahu supaya mempercayakan kepada orang tertentu - muazin atau orang lain - untuk mengucapkan takbir sesuai syar'i melalui pengeras suara tanpa siapa pun mengikutinya dihadapan jamaah, maka saya tidak melihat ada yang salah dengan ini;  Karena itu termasuk dalam judul meninggikan suara dengan mengucapkan takbir dan keras, dan mengingatkan mereka yang lalai atau pelupa.


ومن المعلوم أنه لو كبر أحد الحاضرين رافعاً صوته بدون مكبر الصوت لم يتوجه الإنكار عليه من أحد، فكذلك إذا كبر عبر مكبر الصوت، لكن بدون أن يتابعه الناس على وجه جماعي كأنما يلقنهم ذلك، ينتظرون تكبيره حتى يكبروا بعده بصوت واحد، فإن هذا لا أصل له في السنة.

Diketahui bahwa jika salah satu hadirin mengucapkan suaranya dengan meninggikan suaranya tanpa pengeras suara, tidak ada yang akan mengingkarinya. Hal yang sama berlaku jika ia berbicara melalui pengeras suara, tetapi tanpa orang-orang yang mengikutinya secara bersama-sama, seolah-olah dia memerintahkan mereka untuk melakukannya, menunggu dia untuk mengatakannya sampai mereka bertakbir setelahnya dengan satu suara, karena ini bukan dasarnya dari Syariat. 


وعلى كل حال، فأهم شيء عندي أن يتفق الناس على ما كان عليه السلف، وأن لا يقع بينهم شيء من العداوة والبغضاء، وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم


Bagaimanapun, yang paling penting bagi saya adalah bahwa orang-orang sepakat tentang apa yang dilakukan para pendahulu, dan tidak ada permusuhan dan kebencian terjadi di antara mereka. semoga shalawat dan salam atas Nabi kita Muhammad beserta keluarga dan para sahabatnya.

. ــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــ

 مجموع فتاوى و رسائل الشيخ محمد صالح العثيمين - المجلد السادس عشر - باب العيدين.


رابط المادة: http://iswy.co/e3ron

WAKTU TAKBIRAN 2 HARI RAYA

WAKTU TAKBIRAN 2 HARI RAYA


IDUL ADHA

Takbiran Idul Adha ada dua:
1. Takbiran hari raya yang tidak terikat waktu adalah takbiran yang dilakukan kapan saja, dimana saja, selama masih dalam rentang waktu yang dibolehkan.
Takbir mutlak menjelang Idul Adha dimulai sejak tanggal 1 Dzulhijjah sampai waktu asar pada tanggal 13 Dzulhijjah. Selama tanggal 1 – 13 Dzulhijjah, kaum muslim disyariatkan memperbanyak ucapan takbir di mana saja, kapan saja, dan dalam kondisi apa saja. Boleh sambil berjalan, di kendaraan, bekerja, berdiri, duduk, ataupun berbaring. demikian pula, takbiran ini bisa dilakukan di rumah, jalan, kantor, sawah, pasar, lapangan, masjid, dst.

Dalilnya:

Pertama, Allah berfirman,

وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ

“…supaya mereka berdzikir (menyebut) nama Allah pada hari yang telah ditentukan…” (QS. Al-Hajj: 28).

Kedua, Allah juga berfirman,

وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ

“….Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang…” (QS. Al Baqarah: 203).
Keterangan:
Ibn Abbas mengatakan,

وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِى أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ أَيَّامُ الْعَشْرِ ، وَالأَيَّامُ الْمَعْدُودَاتُ أَيَّامُ التَّشْرِيقِ

“Yang dimaksud “hari yang telah ditentukan” adalah tanggal 1 – 10 Dzulhijjah, sedangkan maksud ”beberapa hari yang berbilang” adalah hari tasyriq, tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. (Al Bukhari secara Mua’alaq, bab: Keutamaan beramal di hari tasyriq).

Ketiga, hadis dari Abdullah bin Umar , bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ما من أيام أعظم عند الله ولا أحب إليه من العمل فيهن من هذه الأيام العشر فاكثروا فيهن من التهليل والتكبير والتحميد

Tidak ada amal yang dilakukan di hari yang lebih agung dan lebih dicintai Allah melebihi amal yang dilakukan di tanggal 1 – 10 Dzulhijjah. Oleh karena itu, perbanyaklah membaca tahlil, takbir, dan tahmid pada hari itu.” (HR. Ahmad & Sanadnya disahihkan Syekh Ahmad Syakir).

Keempat, Imam Al-Bukhari mengatakan,

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوقِ فِى أَيَّامِ الْعَشْرِ يُكَبِّرَانِ ، وَيُكَبِّرُ النَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا .

“Dulu Ibnu Umar dan Abu Hurairah pergi ke pasar pada tanggal 1 – 10 Dzulhijjah. Mereka berdua mengucapkan takbiran kemudian masyarakat bertakbir disebabkan mendengar takbir mereka berdua.” (HR. Al Bukhari, bab: Keutamaan beramal di hari tasyriq).

2. Takbiran yang terikat waktu (Takbir Muqayyad).
Takbiran yang terikat waktu adalah takbiran yang dilaksanakan setiap selesai melaksanakan salat wajib. Takbiran ini dimulai sejak setelah salat subuh tanggal 9 Dzulhijjah sampai setelah salat Asar tanggal 13 Dzulhijjah. Berikut dalil-dalilnya:

Pertama, dari Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu,

أنه كان يكبر من صلاة الغداة يوم عرفة إلى صلاة الظهر من آخر أيام التشريق

Bahwa Umar dahulu bertakbir setelah salat subuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai setelah zuhur pada tanggal 13 Dzulhijjah. (HR. Ibnu Abi Syaibah dan Al-Baihaqi. Sanadnya disahihkan Al-Albani).

Kedua, dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu,

أنه كان يكبر من صلاة الفجر يوم عرفة إلى صلاة العصر من آخر أيام التشريق، ويكبر بعد العصر

Bahwa dahulu Ali bertakbir setelah salat subuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai asar tanggal 13 Dzulhijjah. Ali juga bertakbir setelah asar. (HR. Ibnu Abi Syaibah dan Al-Baihaqi. Al Albani mengatakan, “Shahih dari Ali ”).

Ketiga, dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu,
أنه كان يكبر من صلاة الفجر يوم عرفة إلى آخر أيام التشريق، لا يكبر في المغرب

bahwa Ibnu Abbas bertakbir setelah salat subuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai tanggal 13 Dzulhijjah. Ia tidak bertakbir setelah maghrib (malam tanggal 14 Dzluhijjah). (HR. Ibnu Abi Syaibah dan Al-Baihaqi. Al-Albani mengatakan, “Sanadnya sahih”).

Keempat, Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu,

يكبر من صلاة الصبح يوم عرفة إلى صلاة العصر من آخر أيام التشريق

Bahwa Ibnu Mas’ud bertakbir setelah salat subuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai ashar tanggal 13 Dzulhijjah. (HR. Al-Hakim dan disahihkan An-Nawawi dalam Al-Majmu’).

IDUL FITRI

Adapun takbir di hari raya idul fitri dimulai dari melihat hilal bulan syawal (jika memungkinkan dan jika tidak maka dimulai dari sampai berita ‘Id melalui cara yang benar atau dengan terbenamnya matahari tanggal 30 Ramadhan) berakhir dengan selesainya ‘Ied yaitu selesainya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan, “Pendapat yang rajih dalam masalah takbir yang menjadi amalan mayoritas salaf dan ahli fikih dari kalangan sahabat dan para imam adalah bertakbir dari fajar hari Arafah sampai akhir hari tasyrik setelah sholat, disyaratkan bagi setiap orang mengeraskan takbirnya ketika keluar dari sholat ‘Id dan inilah kesepakatan dari 4 imam mazhab. Adapun takbir Idul Fitri dimulai dari melihat hilal dan berakhir dengan selesainya ‘Ied yaitu selesainya imam dari khutbah menurut pendapat yang benar.” (Lihat Majmu Fatawa XXIV/220-221).

CARA BERTAKBIR 2 HARI RAYA

Melakukan takbiran dengan berjamaah adalah satu hal yang keliru. Karena praktik ini menyimpang dari kebiasaan para sahabat. Demikian pula, praktik bertakbir menggunakan mikrofon juga keliru. Yang sesuai sunnah adalah tidak bertakbir secara berjamaah, namun bertakbir sendiri-sendiri. Sebagaimana keterangan riwayat dari Anas radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Dulu para sahabat ketika bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antara mereka ada yang sedang melantunkan laa ilaaha illallah.., dan ada yang melantunkan Allahu akbar…” dan mereka tidak seragam (dalam melantunkan takbiran). (Liqa’at Bab al-Maftuh, volume 2, no. 31)

Karena takbir yang sunnah itu dilakukan sendiri-sendiri dan tidak dikomando. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat Anas bin Malik bahwa para sahabat ketika bersama nabi pada saat bertakbir, ada yang sedang membaca Allahu akbar, ada yang sedang membaca laa ilaaha illa Allah, dan satu sama lain tidak saling menyalahkan… (Musnad Imam Syafi’i 909)

Riwayat ini menunjukkan bahwa takbirnya para sahabat tidak seragam. Karena mereka bertakbir sendiri-sendiri dan tidak berjamaah.

Takbir dengan tidak menggunakan pengeras suara

Perlu dipahami bahwa cara melakukan takbir hari raya tidak sama dengan cara melaksanakan adzan. Dalam syariat adzan, seseorang dianjurkan untuk melantangkan suaranya sekeras mungkin. Oleh karena itu, para juru adzan di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti Bilal, dan Abdullah bin Umi Maktum ketika hendak adzan mereka naik, mencari tempat yang tinggi. Tujuannya adalah agar adzan didengar oleh banyak orang. Namun ketika melakukan takbir hari raya, tidak terdapat satupun riwayat bahwa Bilal naik mencari tempat yang tinggi dalam rangka melakukan takbiran. Akan tetapi, beliau melakukan takbiran di bawah dengan suara keras yang hanya disengar oleh beberapa orang di sekelilingnya saja.

Oleh karena itu, sebaiknya melakukan takbir hari raya tidak sebagaimana adzan. Karena dua syariat ini adalah syariat yang berbeda.

Meskipun demikian mengeraskan suara ini hukumnya sunnah, boleh jika dengan alat pengeras suara boleh, jika ada tujuan yang hendak dicapai syariat, seperti dalam satu fatwa Syeikh Utsaimin.


Sabtu, 02 Juli 2022

AMALAN2 YANG SEPADAN DENGAN HAJI DAN UMROH.

 


✔ AMALAN2 YANG SEPADAN DENGAN HAJI DAN UMROH.


✅ 1. Berdiam di Masjid selepas sholat shubuh sampai terbitnya matahari, lalu sholat 2 rakaat. 


Dalilnya : dari Anas bin Mâlik bahwa Nabi Shallallâhu alaihi wa Salam bersabda :


من صلى الغداة في جماعة ثم قعد بذكر الله حتى تطلع الشمس ثم صلى ركعتين كانت له كأجر حجة وعمرة تامة تامة تامة


"Barangsiapa sholat shubuh berjama'ah kemudian dia duduk berdzikir kepada Allâh sampai terbitnya matahari, kemudian sholat 2 rakaat, maka pahalanya seperti haji dan umroh sempurna sempurna sempurna."

(HR at-Tirmidzî dengan sanad yg shahih, di dalam Shahîh at-Tirmidzî 586, dishahihkan oleh Syaikh al-Albânî di dalam "Ash-Shahîhah" 3403)


✅ 2. Menghadiri shalat jama'ah dan berjalan kaki untuk sholat tathawwu' (sunnah) 


Dalilnya : Dari Abî Umâmah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :


من مشى إلى صلاة مكتوبة في الجماعة فهي كححة ومن مشى إلى صلاة تطوع (في رواية أبي داود : أي صلاة الضحى) فهي كعمرة تامة


"Barangsiapa berjalan kaki utk sholat wajib berjama'ah maka ia seperti haji, dan barangsiapa berjalan kaki utk sholat sunnah (menurut riwayat Abû Dâwud, sholat dhuhâ) maka seperti umroh secara sempurna."

(HR Ahmad dg sanad shahih; lihat Shahîh al-Jâmi 6556).


✅ 3. Sholat Isya dan Shubuh berjama'ah. 


Dalilnya : Dari Abî Dzar Radhiyallâhu anhu, beliau berkata


أن أناسا من أصحاب النبي قالوا : يا رسول الله ذهب أهل الدثور بالأجور يصلون كما نصلي ويصومون كما نصوم ويتصدقون بفضول أموالهم، فقال النبي أو ليس قد جعل الله لكم صلاة العشاء في جماعة تعدل حجة وصلاة الغداة في الجماعة تعدل عمرة.


"Bahwa ada sebagian sahabat bertanya kepada Nabi: "Wahai Rasulullah, orang² kaya datang dengan pahala besar. Mereka bisa sholat sebagaimana kami sholat dan berpuasa sebagaimana kami berpuasa, tapi mereka bisa bersedekah dengan kelebihan harta mereka." 


Nabi Shallallâhu alaihi wa Salam menjawab, "Allâh telah menjadikan sholat isya berjama'ah bagi kalian sepadan pahalanya dg haji, dan sholat shubuh berjama'ah sepadan dg umroh." 

(HR Muslim).


✅ 4. Menghadiri majelis² ilmu di masjid.


Dalilnya : Dari Abî Umâmah Nabi Shallallâhu alaihi wa Salam bersabda :


من غدا إلى المسجد لا يريد إلا أن يتعلم خيرا أو يعلمه كان كأجر حاج تاما حجته


"Barangsiapa bersegera ke masjid, tidak menginginkan sesuatu kecuali mempelajari kebaikan atau mengajarkannya, maka pahalanya seperti haji yang sempurna hajinya."

(HR at-Thabrânî dan al-Hâkim).


✅ 5. Berdzikir selepas sholat.


Dalilnya : Dari Abî Hurayroh beliau berkata :


جاء الفقراء إلى النبي فقالوا : ذهب أهل الدثور بالدرجات العلى والنعيم المقام، يصلون كما نصلي ويصومون كما نصوم ولهم فضل من أموال يحجون بها ويعتمرون ويجاهدون ويتصدقون، قال: إلا أحدثكم بأمر إن أخذتم به أدركتم من سبقكم ولم يدرككم أحد بعدكم وانتم خير من انتم بين ظهرانية إلا من عمل مثله: تسبحون وتحمدون وتكبرون خلف كل الصلاة ثلاثا وثلاثين


"Datang sahabat Nabi dari kalangan fakir lalu mengadu, "Orang kaya pergi dengan derajat yang tinggi dan status yang mulia, mereka sholat sebagaimana kami sholat dan berpuasa sebagaimana kami berpuasa. Namun mereka memiliki keutamaan dari harta mereka sehingga mereka bisa berhaji, umroh, jihad dan sedekah dengan harta tsb."


Nabi Shallallâhu alaihi wa Salam menjawab, "Maukah kalian aku informasikan dgn suatu perkara yang jika kalian ambil (terima), kalian akan meraih (pahala) melebihi orang² yg mendahului kalian dan tidak seorang pun setelah kalian yg dapat melampaui diri kalian, dan kalian lebih baik daripada yang lainnya di antara kedua tulang punggungnya, kecuali orang yang melakukan semisalnya; 

yaitu kalian bertasbih, bertahmid dan bertakbir setiap selesai shalat sebanyak 33 kali." 

(HR Bukhârî).


✅ 6. Umroh di bulan Ramadhan.


Dalilnya : Dari Ibnu 'Abbâs Radhiyallâhu' anhumâ bahwa Nabi Shallallâhu alaihi wa Salam bersabda kepada seorang wanita dari Anshâr yang bernama Ummu Sinân :


ما منعكِ أن تكوني حججت معنا؟ قالت: ناضحان كان لأبي فلان - زوجها- حج وهو وابنه على أحدهما وكان الآخر يسقي عليه غلامنا، قال: فعمرة في رمضان تقضي حجة - أو حجة معي


"Apa yang mencegahmu dari ikut haji bersama kami?" 

Ummu Sinân menjawab, "Kami hanya punya 2 ekor unta, yang satu digunakan suami saya untuk berhaji dgn Anda, dan yang satu digunakan untuk mengantar air." 

Nabi Shallallâhu alaihi wa Salam menjawab, "Umroh di bulan Ramadhan itu pahalanya sepadan dengan haji - dalam riwayat lain, haji bersamaku." 

(HR Muslim).


✅ 7. Berbakti kepada orang tua

Dalilnya : Abu Ya'lâ meriwayatkan dengan sanad yang baik bahwa ada seseorang datang kepada Rasulullah dan berkata : "Saya ingin ikut berjihad tapi saya tidak mampu."


Nabi Shallallâhu alaihi wa Salam bertanya : "Apakah orang tuamu ada yg masih hidup?" 


Dia menjawab, "ibuku (masih hidup). 

Lalu Nabi bersabda 


قابل الله في برها فإن فعلت فأنت حاج ومعتمر ومجاهد


"Tunjukkan kepada Allâh baktimu kepada ibumu, karena jika kamu telah melakukannya maka kamu seperti orang yang berhaji, umroh dan berjihad."

Surat cinta untuk saudara kita petugas

Surat cinta untuk saudara kita petugas lapangan yang bertugas pada waktu keadaan darurat, seperti gempa bumi, banjir, perang, darurat lainnya 


Kami mendukung dan mendorong agar semangat beribadah saudara saudara kita yang bertugas baik dalam jajaran aparat keamanan, petugas medis, rescue, damkar makin baik. 


Kami bawakan risalah singkat, sebagai sedikit  tambahan pengetahuan menjalankan ibadah ditengah kepadatan tugas lapangan. Waffaqokumullah wa Barakallah fiikum


1. Wudhu dengan air yang terbatas


Di dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari disebutkan :

ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍَﻟﻠَّﻪِ ﻳَﺘَﻮَﺿَّﺄُ ﺑِﺎﻟْﻤُﺪِّ ﻭَﻳَﻐْﺘَﺴِﻞُ ﺑِﺎﻟﺼَّﺎﻉِ ﺇِﻟَﻰ ﺧَﻤْﺴَﺔِ ﺃَﻣْﺪَﺍﺩٍ ﻣُﺖَّﻓَﻖٌ ﻋَﻠَﻴْﻪ

Dari Anas rodhiallahu anhu dia berkata bahwa Rasulullah sholallahu alaihi wasalam  berwudlu dengan satu mud air dan mandi dengan satu sha’ hingga lima mud air. (HR. Bukhari Muslim) Tahukah Anda, satu mud berapa liter? Ternyata jumlahnya tidak sampai 1 liter, cuma 0,68 liter atau 0,688 ml, jika air minum kemasan gelas ukuran 500ml, maka seukuran gelas ditambah sedikit, kira kira begitulah gambarannya.


Anda bisa menyiapkannya dari rumah dikemas dengan botol air mineral, botol air spreiyer, atau lainnya. Cara ini cocok juga digunakan jamaah haji atau umroh, yang kesulitan wudhu jika di pesawat.


Rasulullah sholallahu alaihi wasalam bukan saja sekedar hemat air ketika berwudhu'. Namun beliau bahkan juga menegur shahabat yang boros air ketika berwudhu'. Perhatikan hadits berikut ini :

ﺃَﻥَّ ﺭَﺳُﻮﻝ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻣَﺮَّ ﺑِﺴَﻌْﺪٍ ﻭَﻫُﻮَ ﻳَﺘَﻮَﺿَّﺄُ ﻓَﻘَﺎﻝ : " ﻣَﺎ ﻫَﺬَﺍ ﺍﻟﺴَّﺮَﻑُ " ؟ ﻓَﻘَﺎﻝ : ﺃَﻓِﻲ ﺍﻟْﻮُﺿُﻮﺀِ ﺇِﺳْﺮَﺍﻑٌ ؟ ﻓَﻘَﺎﻝ : " ﻧَﻌَﻢْ ﻭَﺇِﻥْ ﻛُﻨْﺖَ ﻋَﻠَﻰ ﻧَﻬْﺮٍ ﺟَﺎﺭٍ

Rasulullah sholallahu alaihi wasalam berjalan melewati Sa'd yang sedang berwudhu' dan menegurnya,"Kenapa kamu boros memakai air?". Sa'ad balik bertanya,"Apakah untuk wudhu' pun tidak boleh boros?". Beliau sholallahu alaihi wasalam menjawab,"Ya, tidak boleh boros meski pun kamu berwudhu di sungai yang mengalir. (HR. Ibnu Majah)


Jika memang tak ada, Di dalam Al-Quran Al-Kariem Allah Ta'ala menegaskan bahwa tayammum itu hanya boleh dikerjakan bila seseorang tidak menemukan air.

ﻭَﺇِﻥْ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﻣَﺮْﺿَﻰ ﺃَﻭْ ﻋَﻠَﻰ ﺳَﻔَﺮٍ ﺃَﻭْ ﺟَﺎﺀَ ﺃَﺣَﺪٌ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻐَﺎﺋِﻂِ ﺃَﻭْ ﻻﻣَﺴْﺘُﻢُ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀَ ﻓَﻠَﻢْ ﺗَﺠِﺪُﻭﺍ ﻣَﺎﺀً ﻓَﺘَﻴَﻤَّﻤُﻮﺍ ﺻَﻌِﻴﺪًﺍ ﻃَﻴِّﺒًﺎ ﻓَﺎﻣْﺴَﺤُﻮﺍ ﺑِﻮُﺟُﻮﻫِﻜُﻢْ ﻭَﺃَﻳْﺪِﻳﻜُﻢْ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻛَﺎﻥَ ﻋَﻔُﻮًّﺍ ﻏَﻔُﻮﺭًﺍ

Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik, sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun. (QS. An-Nisa' : 43)


Untuk lebih jelasnya, silahkan lihat

http:///www.youtube.com/watch?v=Z4y6nQtKbQM


2. Sholat menggunakan sepatu


Sholat dengan memakai alas kaki dibolehkan dalam islam, Hadis dari Abdullah

bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhu, beliau menyatakan:

ﺭَﺃَﻳْﺖُ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻳُﺼَﻠِّﻲ ﺣَﺎﻓِﻴًﺎ ﻭَﻣُﻨْﺘَﻌِﻠًﺎ

Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang shalat dengan tidak beralas kaki dan kadang shalat dengan memakai sandal. (HR. Abu daud 653, Ibnu Majah 1038, dan dinilai Hasan Shahih oleh Al-Albani).


Dari Al-Mughirah bin Syu’bah -radhialahu anhu- dia berkata:

كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي مَسِيرٍ فَقَالَ لِي أَمَعَكَ مَاءٌ قُلْتُ نَعَمْ فَنَزَلَ عَنْ رَاحِلَتِهِ فَمَشَى حَتَّى تَوَارَى فِي سَوَادِ اللَّيْلِ ثُمَّ جَاءَ فَأَفْرَغْتُ عَلَيْهِ مِنْ الْإِدَاوَةِ فَغَسَلَ وَجْهَهُ وَعَلَيْهِ جُبَّةٌ مِنْ صُوفٍ فَلَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يُخْرِجَ ذِرَاعَيْهِ مِنْهَا حَتَّى أَخْرَجَهُمَا مِنْ أَسْفَلِ الْجُبَّةِ فَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ ثُمَّ أَهْوَيْتُ لِأَنْزِعَ خُفَّيْهِ فَقَالَ دَعْهُمَا فَإِنِّي أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْنِ وَمَسَحَ عَلَيْهِمَا

“Saya pernah bersama Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- pada suatu malam dalam perjalanan, maka beliau bersabda kepadaku, “Apakah kamu memiliki air?” Aku menjawab, “Ya.” Lalu beliau turun dari kendaraannya, lalu berjalan hingga tersembunyi dalam gelapnya malam (untuk buang air besar). Kemudian beliau datang kembali, lalu aku menuangkan air dari geriba untuknya, beliau pun mencuci mukanya. Karena memakai jubah wol yang kedua lengannya sempit, maka beliau pun merasa kesusahan untuk mengelurkan kedua tangannya, beliau lalu mengeluarkannya lewat bawah jubahnya. Lalu beliau mencuci kedua lengannya dan mengusap kepalanya. Kemudian aku jongkok untuk melepas kedua khufnya, maka beliau bersabda, “Biarkanlah keduanya, karena aku memasukkan kedua kakiku padanya dalam keadaan suci.” Maka beliaupun hanya mengusap bagian atas dari kedua khufnya.” (HR. Al-Bukhari no. 206 dan Muslim no. 274)


Dari Shafwan bin ‘Assal -radhiallahu anhu- dia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا إِذَا كُنَّا سَفَرًا أَنْ لَا نَنْزِعَ خِفَافَنَا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيهِنَّ إِلَّا مِنْ جَنَابَةٍ وَلَكِنْ مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ وَنَوْمٍ

“Jika kami sedang bepergian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar kami tidak membuka sepatu-sepatu kami selama tiga hari tiga malam kecuali ketika kami junub. Dan tetap boleh untuk mengusap sepatu karena buang air besar, buang air kecil, dan tidur.” (HR. At-Tirmizi no. 96, An-nasai no. 127, Ibnu majah no. 471 dan dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa` no. 104)

Dari Ali bin Abi Thalib -radhiallahu anhu- dia berkata:

جَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ لِلْمُسَافِرِ وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيمِ

“Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- telah menjadikan waktu tiga hari tiga malam bagi musafir (untuk mengusap khuf) dan sehari semalam bagi orang yang menetap (muqim).” (HR. Muslim no. 276)


Syekh Fauzan hafizahullah ditanya, 'Apakah boleh shalat dengan sepatu militer, Semoga Allah memuliakan anda? Bagaimana caranya berwudu jika memakainya? Apakah ada waktu tertentu? Beliau menjawab, 'Dibolehkan shalat

sambil memakai sepatu militer, jika suci dan tidak ada najis padanya. Dibolehkan pula mengusapnya saat berwudu jika dia menutup telapak kaki dengan sempurna, menutup kedua mata kaki hingga ke bawah serta tidak mudah copot dari kaki, dipakai dalam keadaan suci, yaitu sudah berwudu. Cara mengusapnya adalah dengan meletakkan jari-jari tangan yang basah dengan air ke ujung jari-jemari

kakinya, kemudian diusapnya hingga pangkal betis. Masa berlaku dibolehkannya mengusap adalah sehari semalam bagi orang yang menetap, dan tiga hari tiga malam bagi orang yang safar (bepergian). Hal ini merupakan perkara sunnah yang telah jelas dinyatakn dalam sunnah yang mutawatir (banyak

periwayatannya) dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Tidak ada yang menginkarinya kecuali pelaku bid'ah. Sedangkan awal diberlakukannya masa mengusap adalah saat dia pertama kali mengusap sepatu tersebut setelah dipakai, wallahua'lam" (Al-Muntaqa, 2/54)


3. Sholat memakai sutroh


Menghadap sutrah ketika shalat adalah hal yang disyariatkan. Banyak hadits yang mendasari hal ini diantaranya hadits Abu Sa’id Al Khudri bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إذا صلَّى أحدُكم فلْيُصلِّ إلى سُترةٍ ولْيدنُ منها

“Jika seseorang mengerjakan shalat maka shalatlah dengan menghadap sutrah dan mendekatlah padanya” (HR. Abu Daud 698, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

juga hadits dari Sabrah bin Ma’bad Al Juhani radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

سُتْرَةُ الرَّجُلِ فِي الصَّلَاةِ السَّهْمُ ، وَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ ، فَلْيَسْتَتِرْ بِسَهْمٍ

“Sutrah seseorang ketika shalat adalah anak panah. Jika seseorang diantara kalian shalat, hendaknya menjadikan anak panah sebagai sutrah” (HR. Ahmad 15042, dalam Majma Az Zawaid Al Haitsami berkata: “semua perawi Ahmad dalam hadits ini adalah perawi Shahihain”).


Anda bisa menggunakan motor anda, atau dinding, botol air minuman 1 lt, tas ransel atau lainnnya


4. Sholat tanpa alas/sajadah, tidak mengapa


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang

shalat di atas khumroh (tikar kecil),

terkadang pula shalat di atas tanah, juga

kadang shalat di atas hashir (tikar

dengan ukuran lebih besar). Beliau

shalat di tempat mana saja yang mudah

bagi beliau. Beliau tidak bersusah-susah

diri dalam melaksanakan shalat. Kalau

ada tikar di depan beliau, beliau tidak

memindahkannya lalu shalat di atas

tanah. Begitu pula ketika ada permadani

lainnya, beliau tidak memindahkannya

dan shalat di atas tanah. Apa yang

beliau peroleh, beliau shalat di situ.


Bahkan masjid nabi, pada zaman beliau masih beralaskan tanah dan beratap pelepah kurma.


Didalam Shahih Bukhari dijelaskan suatu hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri: “Kami ber’itikaf bersama Rasulullah sholallahu alaihi wasalam . Kemudian Rasulullah sholallahu alaihi wasalam bersabda: “Barangsiapa yang ber’itikaf, kembalilah ke tempat ‘Itikafnya, sesungguhnya aku melihat Lailatul Qadar

malam nanti . Aku bermimpi seolah-olah aku

bersujud di atas air dan tanah.” Abu Sa’id Al-Khudri berkata: “Sungguh aku melihat pada pagi hari tanggal dua puluh satu Ramadhan terdapat bekas air dan tanah di hidung dan ujung hidung Rasulullah sholallahu alaihi wasalam !”. (Hadits Shahih didalam Shahih Bukhari bab ‘Itikaf No. 2040; dan Shahih Muslim bab Siyam No. 1167; Abu Dawud bab Siyam No 194; Ahmad Baqi Musnad Muktsirin No. 10650).


Hal ini menunjukkan nabi pernah sholat di tanah.


5. Tidak mengapa memakai pakaian sedikit kotor, tapi suci. jika najis maka disucikan


Disini dibedakan antara kotor dan najis. Jika pakaian kotor maka tidak mengapa dipakai untuk sholat.


Dalil yang menunjukkan hal ini, Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata 


أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ فِي غَزْوَةِ ذَاتِ الرِّقَاعِ فَرُمِيَ رَجُلٌ بِسَهْمٍ، فَنَزَفَهُ الدَّمُ، فَرَكَعَ، وَسَجَدَ وَمَضَى فِي صَلاَتِهِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan peperangan Dzatur Riqa’. Dan ada seorang sahabat yang terkena panah (ketika shalat), dan darahnya keluar. Namun dia tetap lanjutkan rukuk dan sujudnya serta menyelesaikan shalatnya. (Shahih Bukhari secara muallaq, 1/46)


Ada pula Atsar Umar bin Khattab rodhiallahu anhu :

ﻭﻗﺪ ﺻﻠّﻰ ﻋﻤﺮ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﺑﻌﺪﻣﺎ ﻃُﻌﻦ ﻭﺟُﺮﺣﻪ ﻳﺜﻌﺐ ﺩﻣـﺎً

“ Bahwa Umar bin Khattab masih meneruskan sholat setelah ditikam, sedang darahnya masih mengalir deras “ ( HR Bukhari )


Ketika pakaian terkena kotoran, hal ini tidak menjadi alasan sholat ditinggalkan. Jika ada kotoran ditengah sholat pun, bisa memberaihkan dengan tisu atau sapu tangan bekas kotoran dan boleh disimpan di saku.


6. Menjama' sholat 


Jika memang ada perkara yang memberatkan, maka dibolehkan hanyabsekali kali untuk menjama' sholat, yaitu dhuhur - ashar, atau maghrib - isya'. Sekali lagi, Hanya dilakukan kadang-kadang. Karena melaksanakannya secara sering akan bertentangan dengan hukum-hukum yang membatasi adanya waktu-waktu shalat.


Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma dia berkata:

جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menjamak antara zhuhur dan ashar, maghrib dan isya` di Madinah, bukan karena ada ketakutan dan bukan pula karena hujan.” (HR. Muslim no. 1151)


Lalu Waki’ bin Al-Jarrah bertanya kepada Ibnu Abbas mengenai sebabnya, maka beliau menjawab, “Beliau ingin supaya tidak memberatkan umatnya.”


Hadits di atas jelas menunjukkan bolehnya menjamak shalat walaupun tidak ada udzur.


Wallahu A’lam

Jumat, 01 Juli 2022

IDUL ADHA DAN PUASA ARAFAH, IKUT SIAPA? INDONESIA ATAU SAUDI?

 Hari Arafah & Idhul Adha Ikut Siapa? Indonesia atau Saudi 


Bila terjadi perbedaan keputusan awal Dzulhijjah yang otomatis berbeda juga hari Arofah dan Idhul Adha-nya antara Pemerintah Saudi Arabia dan Pemerintah kita seperti yang terjadi tahun ini 1439 H, dimana terjadi perbedaan keputusan antara Saudi dengan Indonesia.  Hari ahad ini 12 Agustus sudah tanggal 1 Dzulhijjah di Saudi,  sedangkan keputusan Kemenag adalah besok Senin Agustus.  Bagaimana menyikapinya?!! 


Kaum musliminin biasanya akan berbeda pendapat dalam sikap sebagai berikut:

- Ada yang ikut pemerintah dalam Arofah dan idhul adha secara mutlak

- Ada yang ikut Saudi Arabia dalam Arofah dan idhul adha secara mutlak

- Ada yang ikut Saudi Arabia dalam Arofah saja, sedangkan idhul adha tetap ikut pemerintah.


Masalah ini masalah yang diperselisihkan ulama.  Adapun pendapat yang kuat menurut kami adalah tetap ikut Negara masing-masing dengan beberapa argumen kuat  sebagai berikut:


1. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah:


الصَّوْمُ يَوْمَ يَصُوْمُ النَّاسُ وَالْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ والأضحى يوم يضحي الناس


Puasa itu hari manusia berpuasa dan hari raya idul fithri itu hari manusia berhari raya idul fithri dan idul adha itu hari manusia berhari raya idhul adha.


Perhatikanlah, Nabi tidak membedakan antara idhul fithri dan idhul adha. Abul Hasan as-Sindi berkata dalam Hasyiyah Ibnu Majah: “Dhohir hadits ini bahwa masalah-masalah ini (puasa, idhul fithri dan idhul adha) bukan urusan pribadi, tetapi dikembalikan kepada imam dan jama’ah. Dan wajib bagi personil untuk mengikuti imam dan jama’ah. Oleh karenanya, apabila seorang melihat hilal lalu imam menolak persaksiannya, hendaknya dia tidak mengikuti pendapatnya tetapi dia harus mengikuti jama’ah dalam hal itu”.


2. Hal ini sesuai dengan kaidah-kaidah Islam:


حُكْمُ الْحَاكِمِ يَرْفَعُ الْخِلاَفَ

Keputusan hakim menyelesaikan perselisihan.


Oleh karenanya, para fuqoha’ menegaskan bahwa hukum/keputusan pemerintah dalam masalah ini menyelesaikan perselisihan dan perbedaan pendapat, karena hal ini akan membawa kemaslahatan persatuan kaum muslimin yang juga merupakan kaidah agung dalam Islam. (Lihat Al-Istidzkar Ibnu Abdil Barr 10/29 dan Rosail Ibnu Abidin 1/253).


Alangkah bagusnya ucapan Imam asy-Syaukani tatkala mengatakan: “Persatuan hati dan persatuan barisan kaum muslimin serta membendung segala celah perpecahan merupakan tujuan syari’at yang sangat agung dan pokok di antara pokok-pokok besar agama Islam. Hal ini diketahui oleh setiap orang yang mempelajari petunjuk Nabi yang mulia dan dalil-dalil Al-Qur’an dan sunnah”. (Al-Fathur Robbani 6/2847-2848).


 Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhu Masyakhina Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, beliau berkata: “Demikian juga hari Arofah, ikutilah negara kalian masing-masing”. Kata beliau juga: “Hukumnya satu, sama saja (baik dalam idhul fithri maupun idhul adha)”.(Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin 19/41, 43).


JAWABAN TERHADAP PENDAPAT YANG TIDAK MENGIKUTI PEMERINTAH


Adapun pendapat yang menyatakan bahwa Arofah ikut Saudi karena Arofah itu berkaitan dengan tempat, sedangkan Arofah hanya ada di Saudi Arabia, maka pendapat ini perlu ditinjau ulang kembali, karena beberapa hal:


Pertama: Akar perbedaan ulama dalam masalah ini bukan karena Arofah itu berkaitan dengan tempat atau tidak, tetapi kembali kepada masalah ru’yah hilal Dzulhijjah, apakah bila terlihat di suatu Negara maka wajib bagi Negara lainnya untuk mengikutinya ataukah tidak?! Dengan demikian, maka patokan Arofah adalah tanggal sembilan Dzulhijjah, adapun istilah “Arofah” hanya sekedar  mim bab Taghlib (kebanyakan saja). Marilah kita cermati hadits berikut:


فَإِذَا أُهِلَّ هِلاَلُ ذِي الْحِجَّةِ فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ


Apabila hilal Dzulhijjah telah terlihat, dan salah seorang diantara kalian hendak berkurban, maka janganlah ia mengambil rambut dan kukunya sedikitpun hingga ia menyembelih kurbannya. (HR.  Muslim) 


Hadits ini sangat jelas menunjukkan bahwa patokannya adalah terlihatnya hilal Dzilhijjah.


Kedua: Kalau akar permasalahannya adalah karena tempat, hal itu berarti semua kaum muslimin harus mengikuti ru’yah Dzulhijjah Saudi Arabia, sedangkan hal ini tidak mungkin kalau tidak kita katakan mustahil, Karen Para ulama falak -seperti dinukil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah- telah bersepakat bahwa mathla’ hilal itu berbeda-beda. Dengan demikian maka mustahil bila semua kaum muslimin di semua Negara ikut ru’yah Saudi Arabia, karena dimaklumi bersama bahwa antara jarak antara Negara bagian barat dan timur sangat jauh sehingga menyebabkan perbedaan tajam tentang waktu terbit dan tenggelamnya matahari, mungkin matahari baru terbit di suatu tempat sedangkan dalam waktu yang bersamaan matahari di tempat yang lain akan terbenam?! Lantas, bagaimana mungkin semua kaum muslimin sedunia bisa berpuasa dan hari raya dalam satu waktu?!! (Qodhoya Fiqhiyyah Mu’ashiroh, Muhammad Burhanuddin hlm. 98-99. Lihat pula Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin 19/47).


Ketiga: Kalau semua kaum muslim sedunia harus mengikuti ru’yah Saudi dalam Arofah, kita berfikir jernih dan bertanya-tanya: Kalau begitu, bagaimana dengan orang-orang dulu yang tidak memiliki Hp atau telpon seperti pada zaman sekarang?! Apakah mereka menunggu khabar dari saudara mereka yang berada di Arofah saat itu?! Apakah perbedaan seperti ini hanya ada pada zaman kita saja?! Bukankah perbedaan seperti sudah ada sejak dahulu?! 

Al-Hafizh Ibnu Rojab menceritakan bahwa pada tahun 784 H terjadi perselisihan di Negerinya tentang hilal Dzul Qo’dah yang secara otomatis terjadi perbedaan tentang hari Arofah dan idhul adha-nya. (Risalah fi Ru’yati Dzil Hijjah (2/599 -Majmu Rosail Ibnu Rojab-).


Karenanya, di zaman Ibnu Hajar terjadi perbedaan antara penduduk mekah dan penduduk Mesir dalam menentukan hari Arofah dan hari raya 'Idul Adha. 

Demikian juga Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, beliau berkata: "Tatkala itu wuquf (padang Arofah) di Mekah hari jum'at -setelah terjadi perselisihan-, sementara hari raya idhul adha di Qohiroh (Mesir) adalah hari jum'at". (Inbaa' Al-Ghomr bi Abnaa' al-Umr fi At-Taariikh 2/425).

Seandainya para ulama dulu ikut ru’yah Saudi Arabia, lantas kenapa ada perselisihan semacam ini?!


Keempat : Jika memang yang ditujukkan adalah menyesuaikan dengan waktu wukufnya para jama'ah haji di padang Arofah (dan bukan tanggal 9 Dzulhijjah berdasarkan masing-masing negeri), maka bagaimanakah cara berpuasanya orang-orang di Sorong Irian Jaya, yang perbedaan waktu antara Mekah dan Sorong adalah 6 jam?. Jika penduduk Sorong harus berpuasa pada hari yang sama -misalnya- maka jika ia berpuasa sejak pagi hari (misalnya jam 6 pagi WIT) maka di Mekah belum wukuf tatkala itu, bahkan masih jam 12 malam. Dan tatkala penduduk Mekah baru mulai wukuf -misalnya jam 12 siang waktu Mekah-, maka di Sorong sudah jam 6 maghrib?. Lantas bagaimana bisa ikut serta menyesuaikan puasanya dengan waktu wukuf?? (dinukil dari http://firanda.com/index.php/artikel/fiqh/786-kapan-puasa-arofah)


Kelima : Jika seandainya terjadi malapetaka atau problem besar atau bencana atau peperangan, sehingga pada suatu tahun ternyata jama'ah haji tidak bisa wukuf di padang Arofah, atau tidak bisa dilaksanakan ibadah haji pada tahun tersebut, maka apakah puasa Arofah juga tidak bisa dikerjakan karena tidak ada jama'ah yang wukuf di padang Arofah? Jawabannya tentu tetap boleh dilaksanakan puasa Arofah meskipun tidak ada yang wukuf di padang Arofah. Ini menunjukkan bahwa puasa Arofah yang dimaksudkan adalah pada tanggal 9 Dzulhijjah.


Keenam : berhari raya dengan hasil rukyah negara masing-masing adalah amalan Sahabat dan Tabi'in, dan salah satu pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi'i. Bahkan Syekh Utsaimin, Ulama besar Arab Saudi juga menfatwakan hal yang sama.


Imam Muslim meriwayatkan dari Kuraib–, bahwa Ummu Fadhl bintu Al Harits pernah menyuruhnya untuk menemui Muawiyah di Syam. Kuraib meceritakan: "Ketika itu masuk tanggal 1 Ramadhan dan saya masih di Syam. Saya melihat hilal malam jumat. Kemudian saya pulang ke Madinah." 


Setibanya di Madinah di akhir bulan, Ibnu Abbas ra. bertanya kepadaku, “Kapan kalian melihat hilal?” tanya Ibnu Abbas. Kuraib menjawab, “Kami melihatnya malam Jumat.” “Kamu melihatnya sendiri?”, tanya Ibnu Abbas. “Ya, saya melihatnya dan penduduk yang ada di negeriku  pun melihatnya. Mereka puasa dan Muawiyah pun puasa.” Jawab Kuraib. Ibnu Abbas menjelaskan:


لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلاَثِينَ أَوْ نَرَاهُ


Artinya: "Kalau kami melihatnya malam Sabtu. Kami terus berpuasa, hingga kami selesaikan selama 30 hari atau kami melihat hilal Syawal.”


Kuraib bertanya lagi, “Mengapa kalian tidak mengikuti rukyah Muawiyah dan puasanya Muawiyah?” Ibnu Abbas ra menjawab:


لاَ هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-


“Tidak, seperti ini yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kami.” (HR. Muslim no. 1087).


Maka Ibnu Abbas yang berada di Madinah berpuasa dengan rukyah Madinah, tidak dengan hasil Rukyah negeri Syam (Khalifah Muawiyah). Padahal Beliau sudah diberitahu hasil Rukyah negeri Syam. Dan tidak main-main Ibnu Abbas memberikan jaminan dan menyatakan: "Begitu Rasulullah Saw mengajarkan."


Imam An Nawawi ra. menyatakan tentang hadits Kuraib ini, “Setiap negeri memiliki penglihatan hilal secara tersendiri. Jika mereka melihat hilal, maka tidak berlaku untuk negeri lainnya.” (Syarah Nawawi).


Ketujuh : Puasa Arafah adalah puasa pada tanggal 9 Zulhijah. Bukan puasa ketika orang wukuf di Arafah. Sebab, syariat Idul Adha dan puasa 9 Zulhijjah lebih dahulu dari pada syariat kewajiban haji. Idul Adha sudah disyariatkan pada tahun ke 2 Hijriah. Sedangkan Ibadah haji baru disyariatkan pada tahun ke 6 Hijriah. Dan Rasulullah Saw baru berhaji pada tahun ke 10 H. Jadi, Rasulullah sudah beridul Adha dan puasa 9 zulhijah jauh sebelum wajibnya ibadah haji, jauh sebelum adanya wukuf di Arafah.


Dan kalau puasa Arafah itu puasanya harus bersamaan dengan saat orang wukuf di arafah, maka kaum muslimin yang berada di negara yang berbeda 10 jam atau lebih dari Arab Saudi, tidak akan pernah bisa melaksanakan puasa Arafah. Karena, saat mereka berpuasa, wukuf sudah selesai, dan Arafah sudah kosong.


Ala kulli hal (bagaimanapun juga), kami sangat menyadari bahwa masalah ini adalah masalah khilafiyyah mu’tabar, namun sebagai usaha persatuan kaum muslimin, kami menghimbau agar kaum muslimin tidak menyelisihi pemerintah mereka masing-masing karena hal itu berdampak negatif yang tidak sedikit, apalagi ini merupakan himbaun Majlis Ulama Indonesia (MUI) dan Kemenag yang dalam hal ini mewakili pemerintahan Indonesia. (Lihat Himpunan Fatwa Majlis Ulama Indonesia hlm. 42)


Sebagaimana juga kami menghimbau kepada para dai dan mubaligh serta para ustadz untuk menanamkan kepada masyarakat agar cerdas dalam menyikapi perbedaan dan berlapang dada dalam menyikapi perbedaan seperti ini. 


Bila ada yang berkata: “Pendapat ini berarti menjadikan pemerintah sebagai Tuhan selain Allah”. Maka kami katakan: Ini meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya, ucapan ini kalau memang pemerintah merubah ketentuan syari’at lalu kita mengikutinya, adapun masalah kita sekarang adalah masalah ijtihadiyyah dan khilafiyyah yang mu’tabar, maka sangat tidak tepat sekali ucapan di atas diletakkan dalam masalah ini. Wallahu A’lam. (lihat Risalah fi Hilal Dzil Hijjah kry  Ibnu Rojab 2/608)