Jumat, 01 Juli 2022

IDUL ADHA DAN PUASA ARAFAH, IKUT SIAPA? INDONESIA ATAU SAUDI?

 Hari Arafah & Idhul Adha Ikut Siapa? Indonesia atau Saudi 


Bila terjadi perbedaan keputusan awal Dzulhijjah yang otomatis berbeda juga hari Arofah dan Idhul Adha-nya antara Pemerintah Saudi Arabia dan Pemerintah kita seperti yang terjadi tahun ini 1439 H, dimana terjadi perbedaan keputusan antara Saudi dengan Indonesia.  Hari ahad ini 12 Agustus sudah tanggal 1 Dzulhijjah di Saudi,  sedangkan keputusan Kemenag adalah besok Senin Agustus.  Bagaimana menyikapinya?!! 


Kaum musliminin biasanya akan berbeda pendapat dalam sikap sebagai berikut:

- Ada yang ikut pemerintah dalam Arofah dan idhul adha secara mutlak

- Ada yang ikut Saudi Arabia dalam Arofah dan idhul adha secara mutlak

- Ada yang ikut Saudi Arabia dalam Arofah saja, sedangkan idhul adha tetap ikut pemerintah.


Masalah ini masalah yang diperselisihkan ulama.  Adapun pendapat yang kuat menurut kami adalah tetap ikut Negara masing-masing dengan beberapa argumen kuat  sebagai berikut:


1. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah:


الصَّوْمُ يَوْمَ يَصُوْمُ النَّاسُ وَالْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ والأضحى يوم يضحي الناس


Puasa itu hari manusia berpuasa dan hari raya idul fithri itu hari manusia berhari raya idul fithri dan idul adha itu hari manusia berhari raya idhul adha.


Perhatikanlah, Nabi tidak membedakan antara idhul fithri dan idhul adha. Abul Hasan as-Sindi berkata dalam Hasyiyah Ibnu Majah: “Dhohir hadits ini bahwa masalah-masalah ini (puasa, idhul fithri dan idhul adha) bukan urusan pribadi, tetapi dikembalikan kepada imam dan jama’ah. Dan wajib bagi personil untuk mengikuti imam dan jama’ah. Oleh karenanya, apabila seorang melihat hilal lalu imam menolak persaksiannya, hendaknya dia tidak mengikuti pendapatnya tetapi dia harus mengikuti jama’ah dalam hal itu”.


2. Hal ini sesuai dengan kaidah-kaidah Islam:


حُكْمُ الْحَاكِمِ يَرْفَعُ الْخِلاَفَ

Keputusan hakim menyelesaikan perselisihan.


Oleh karenanya, para fuqoha’ menegaskan bahwa hukum/keputusan pemerintah dalam masalah ini menyelesaikan perselisihan dan perbedaan pendapat, karena hal ini akan membawa kemaslahatan persatuan kaum muslimin yang juga merupakan kaidah agung dalam Islam. (Lihat Al-Istidzkar Ibnu Abdil Barr 10/29 dan Rosail Ibnu Abidin 1/253).


Alangkah bagusnya ucapan Imam asy-Syaukani tatkala mengatakan: “Persatuan hati dan persatuan barisan kaum muslimin serta membendung segala celah perpecahan merupakan tujuan syari’at yang sangat agung dan pokok di antara pokok-pokok besar agama Islam. Hal ini diketahui oleh setiap orang yang mempelajari petunjuk Nabi yang mulia dan dalil-dalil Al-Qur’an dan sunnah”. (Al-Fathur Robbani 6/2847-2848).


 Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhu Masyakhina Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, beliau berkata: “Demikian juga hari Arofah, ikutilah negara kalian masing-masing”. Kata beliau juga: “Hukumnya satu, sama saja (baik dalam idhul fithri maupun idhul adha)”.(Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin 19/41, 43).


JAWABAN TERHADAP PENDAPAT YANG TIDAK MENGIKUTI PEMERINTAH


Adapun pendapat yang menyatakan bahwa Arofah ikut Saudi karena Arofah itu berkaitan dengan tempat, sedangkan Arofah hanya ada di Saudi Arabia, maka pendapat ini perlu ditinjau ulang kembali, karena beberapa hal:


Pertama: Akar perbedaan ulama dalam masalah ini bukan karena Arofah itu berkaitan dengan tempat atau tidak, tetapi kembali kepada masalah ru’yah hilal Dzulhijjah, apakah bila terlihat di suatu Negara maka wajib bagi Negara lainnya untuk mengikutinya ataukah tidak?! Dengan demikian, maka patokan Arofah adalah tanggal sembilan Dzulhijjah, adapun istilah “Arofah” hanya sekedar  mim bab Taghlib (kebanyakan saja). Marilah kita cermati hadits berikut:


فَإِذَا أُهِلَّ هِلاَلُ ذِي الْحِجَّةِ فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ


Apabila hilal Dzulhijjah telah terlihat, dan salah seorang diantara kalian hendak berkurban, maka janganlah ia mengambil rambut dan kukunya sedikitpun hingga ia menyembelih kurbannya. (HR.  Muslim) 


Hadits ini sangat jelas menunjukkan bahwa patokannya adalah terlihatnya hilal Dzilhijjah.


Kedua: Kalau akar permasalahannya adalah karena tempat, hal itu berarti semua kaum muslimin harus mengikuti ru’yah Dzulhijjah Saudi Arabia, sedangkan hal ini tidak mungkin kalau tidak kita katakan mustahil, Karen Para ulama falak -seperti dinukil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah- telah bersepakat bahwa mathla’ hilal itu berbeda-beda. Dengan demikian maka mustahil bila semua kaum muslimin di semua Negara ikut ru’yah Saudi Arabia, karena dimaklumi bersama bahwa antara jarak antara Negara bagian barat dan timur sangat jauh sehingga menyebabkan perbedaan tajam tentang waktu terbit dan tenggelamnya matahari, mungkin matahari baru terbit di suatu tempat sedangkan dalam waktu yang bersamaan matahari di tempat yang lain akan terbenam?! Lantas, bagaimana mungkin semua kaum muslimin sedunia bisa berpuasa dan hari raya dalam satu waktu?!! (Qodhoya Fiqhiyyah Mu’ashiroh, Muhammad Burhanuddin hlm. 98-99. Lihat pula Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin 19/47).


Ketiga: Kalau semua kaum muslim sedunia harus mengikuti ru’yah Saudi dalam Arofah, kita berfikir jernih dan bertanya-tanya: Kalau begitu, bagaimana dengan orang-orang dulu yang tidak memiliki Hp atau telpon seperti pada zaman sekarang?! Apakah mereka menunggu khabar dari saudara mereka yang berada di Arofah saat itu?! Apakah perbedaan seperti ini hanya ada pada zaman kita saja?! Bukankah perbedaan seperti sudah ada sejak dahulu?! 

Al-Hafizh Ibnu Rojab menceritakan bahwa pada tahun 784 H terjadi perselisihan di Negerinya tentang hilal Dzul Qo’dah yang secara otomatis terjadi perbedaan tentang hari Arofah dan idhul adha-nya. (Risalah fi Ru’yati Dzil Hijjah (2/599 -Majmu Rosail Ibnu Rojab-).


Karenanya, di zaman Ibnu Hajar terjadi perbedaan antara penduduk mekah dan penduduk Mesir dalam menentukan hari Arofah dan hari raya 'Idul Adha. 

Demikian juga Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, beliau berkata: "Tatkala itu wuquf (padang Arofah) di Mekah hari jum'at -setelah terjadi perselisihan-, sementara hari raya idhul adha di Qohiroh (Mesir) adalah hari jum'at". (Inbaa' Al-Ghomr bi Abnaa' al-Umr fi At-Taariikh 2/425).

Seandainya para ulama dulu ikut ru’yah Saudi Arabia, lantas kenapa ada perselisihan semacam ini?!


Keempat : Jika memang yang ditujukkan adalah menyesuaikan dengan waktu wukufnya para jama'ah haji di padang Arofah (dan bukan tanggal 9 Dzulhijjah berdasarkan masing-masing negeri), maka bagaimanakah cara berpuasanya orang-orang di Sorong Irian Jaya, yang perbedaan waktu antara Mekah dan Sorong adalah 6 jam?. Jika penduduk Sorong harus berpuasa pada hari yang sama -misalnya- maka jika ia berpuasa sejak pagi hari (misalnya jam 6 pagi WIT) maka di Mekah belum wukuf tatkala itu, bahkan masih jam 12 malam. Dan tatkala penduduk Mekah baru mulai wukuf -misalnya jam 12 siang waktu Mekah-, maka di Sorong sudah jam 6 maghrib?. Lantas bagaimana bisa ikut serta menyesuaikan puasanya dengan waktu wukuf?? (dinukil dari http://firanda.com/index.php/artikel/fiqh/786-kapan-puasa-arofah)


Kelima : Jika seandainya terjadi malapetaka atau problem besar atau bencana atau peperangan, sehingga pada suatu tahun ternyata jama'ah haji tidak bisa wukuf di padang Arofah, atau tidak bisa dilaksanakan ibadah haji pada tahun tersebut, maka apakah puasa Arofah juga tidak bisa dikerjakan karena tidak ada jama'ah yang wukuf di padang Arofah? Jawabannya tentu tetap boleh dilaksanakan puasa Arofah meskipun tidak ada yang wukuf di padang Arofah. Ini menunjukkan bahwa puasa Arofah yang dimaksudkan adalah pada tanggal 9 Dzulhijjah.


Keenam : berhari raya dengan hasil rukyah negara masing-masing adalah amalan Sahabat dan Tabi'in, dan salah satu pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi'i. Bahkan Syekh Utsaimin, Ulama besar Arab Saudi juga menfatwakan hal yang sama.


Imam Muslim meriwayatkan dari Kuraib–, bahwa Ummu Fadhl bintu Al Harits pernah menyuruhnya untuk menemui Muawiyah di Syam. Kuraib meceritakan: "Ketika itu masuk tanggal 1 Ramadhan dan saya masih di Syam. Saya melihat hilal malam jumat. Kemudian saya pulang ke Madinah." 


Setibanya di Madinah di akhir bulan, Ibnu Abbas ra. bertanya kepadaku, “Kapan kalian melihat hilal?” tanya Ibnu Abbas. Kuraib menjawab, “Kami melihatnya malam Jumat.” “Kamu melihatnya sendiri?”, tanya Ibnu Abbas. “Ya, saya melihatnya dan penduduk yang ada di negeriku  pun melihatnya. Mereka puasa dan Muawiyah pun puasa.” Jawab Kuraib. Ibnu Abbas menjelaskan:


لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلاَثِينَ أَوْ نَرَاهُ


Artinya: "Kalau kami melihatnya malam Sabtu. Kami terus berpuasa, hingga kami selesaikan selama 30 hari atau kami melihat hilal Syawal.”


Kuraib bertanya lagi, “Mengapa kalian tidak mengikuti rukyah Muawiyah dan puasanya Muawiyah?” Ibnu Abbas ra menjawab:


لاَ هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-


“Tidak, seperti ini yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kami.” (HR. Muslim no. 1087).


Maka Ibnu Abbas yang berada di Madinah berpuasa dengan rukyah Madinah, tidak dengan hasil Rukyah negeri Syam (Khalifah Muawiyah). Padahal Beliau sudah diberitahu hasil Rukyah negeri Syam. Dan tidak main-main Ibnu Abbas memberikan jaminan dan menyatakan: "Begitu Rasulullah Saw mengajarkan."


Imam An Nawawi ra. menyatakan tentang hadits Kuraib ini, “Setiap negeri memiliki penglihatan hilal secara tersendiri. Jika mereka melihat hilal, maka tidak berlaku untuk negeri lainnya.” (Syarah Nawawi).


Ketujuh : Puasa Arafah adalah puasa pada tanggal 9 Zulhijah. Bukan puasa ketika orang wukuf di Arafah. Sebab, syariat Idul Adha dan puasa 9 Zulhijjah lebih dahulu dari pada syariat kewajiban haji. Idul Adha sudah disyariatkan pada tahun ke 2 Hijriah. Sedangkan Ibadah haji baru disyariatkan pada tahun ke 6 Hijriah. Dan Rasulullah Saw baru berhaji pada tahun ke 10 H. Jadi, Rasulullah sudah beridul Adha dan puasa 9 zulhijah jauh sebelum wajibnya ibadah haji, jauh sebelum adanya wukuf di Arafah.


Dan kalau puasa Arafah itu puasanya harus bersamaan dengan saat orang wukuf di arafah, maka kaum muslimin yang berada di negara yang berbeda 10 jam atau lebih dari Arab Saudi, tidak akan pernah bisa melaksanakan puasa Arafah. Karena, saat mereka berpuasa, wukuf sudah selesai, dan Arafah sudah kosong.


Ala kulli hal (bagaimanapun juga), kami sangat menyadari bahwa masalah ini adalah masalah khilafiyyah mu’tabar, namun sebagai usaha persatuan kaum muslimin, kami menghimbau agar kaum muslimin tidak menyelisihi pemerintah mereka masing-masing karena hal itu berdampak negatif yang tidak sedikit, apalagi ini merupakan himbaun Majlis Ulama Indonesia (MUI) dan Kemenag yang dalam hal ini mewakili pemerintahan Indonesia. (Lihat Himpunan Fatwa Majlis Ulama Indonesia hlm. 42)


Sebagaimana juga kami menghimbau kepada para dai dan mubaligh serta para ustadz untuk menanamkan kepada masyarakat agar cerdas dalam menyikapi perbedaan dan berlapang dada dalam menyikapi perbedaan seperti ini. 


Bila ada yang berkata: “Pendapat ini berarti menjadikan pemerintah sebagai Tuhan selain Allah”. Maka kami katakan: Ini meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya, ucapan ini kalau memang pemerintah merubah ketentuan syari’at lalu kita mengikutinya, adapun masalah kita sekarang adalah masalah ijtihadiyyah dan khilafiyyah yang mu’tabar, maka sangat tidak tepat sekali ucapan di atas diletakkan dalam masalah ini. Wallahu A’lam. (lihat Risalah fi Hilal Dzil Hijjah kry  Ibnu Rojab 2/608)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar