Sabtu, 12 Desember 2020

Meluruskan dan membantah syubhat Asya’iroh 5

 Meluruskan dan membantah syubhat Asya’iroh 5


Syubhat Asya'iroh, katanya Ibnu Abbas mentakwil sifat 2 mata dengan pengawasan 


Jawabannya adalah:

 Pertama: Bahwa riwayat ini tidak terbukti dari Ibnu Abbas rodhiyallohu anhu, karenanya Al-Baghawi menyebutkan tanpa sanad. 


Dan yang shahih bahwa Ibnu Abbas berkata : 

(واصنع الفلك بأعيننا) هود37: بعين الله .

(Dan buatlah bahtera dengan pengawasan mata kami) QS Hud 37: "Dengan mata Allah" [HR. Ibn Abi Hatim (6/2026), Ibn Jarir thobary (12/34) dan Al-Bayhaqi dalam asma wassifat (hlm. 396)].


Dan Atho' berkata: dari Ibn Abbas dalam ucapannya, Allah ta'ala berfirman 

(تجري بأعيننا) القمر14، قال: أشار بيده إلى عينيه .

 (Itu berjalan dengan mata kita) QS Qomar 14, 

dia berkata: 'Dia menunjuk dengan tangan ke matanya.'' [HR Al-Laliqoi (3/411)]


Ini adalah pernyataan yang jelas dari beliau dalam penetapan sifat 2 mata Allah ta'ala.


Hal ini juga makruf diketahui dari para salaf, dibuktikan pada dari riwayat Abu Imran al-Juni, Qatadah, Mutrif, Khalid bin Ma'dan, Abu Nuhayk, dan lainnya.


Kedua: Bahwa Atsar ini - dengan asumsi bahwa itu adalah itsbat penetapan - bukan takwil apapun, melainkan dari التفسير باللازم penjelasan yang diperlukan, karena diketahui bahwa Allah ta'ala maha melihat dan memperhatikan apa yang dibuat Nuh, alaihissalam, dan apa yang kaumnya lakukan dengan melawannya, jadi dia berkata kepadanya kabar gembira bahwa : Kamu (nuh) berada di bawah pengawasan kami Dan, dalam perlindungan kami, jangan takut, dan ini bukan dari takwil 2 mata, atau dari perubahan kata dari dzahirnya.


Namun tafsir yang mereka klaim benar jika tidak ditetapkan oleh Allah ta'ala sendiri. 


Diketahui oleh setiap orang berakal bahwa Nuh, alaihissalam, tidak di mata Allah ta'ala, karena Allah bukanlah tempat makhluk, Maha Kuasa Allah dari hal itu, tetapi yang dimaksud adalah perlindungan dan pengawasan.

Bahkan itsbat yang lazim adalah cabang dari itsbat yang dilazimkan, sebagaimana seorang yang berkata dalam Firman Allah ta’ala :

(إنني معكما أسمع وأرى) طه46

 (Aku mendengar dan melihat bersamamu) QS Thaha 46, artinya adalah Kamu dalam perlindungan dan perawatanku, itu akan benar, dan ini bukan takwil dari ar-ru'yah dan assama, melainkan itu adalah ketetapan bagi keduanya untuk menetapkan bahwa mereka perlu (tafsir lazim). 


Ad-Darimi dalam Bantahannya kepada Al-Marisy: Adapun tafsir Anda atas perkataan Ibnu Abbas, firman Allah : 

(فإنك بأعيننا) الطور 48، 

(Engkau ada di mata kami) QS Al-Tur 48, 

Jika shahih dari Ibnu Abbas maknanya : dalam pemeliharaan dan penjagaan kami, 

Jika shahih dari Ibnu Abbas maka maknanya adalah apa yang kami klaim, bukan apa yang Anda klaim.  


Dia berkata: menjaga dan mengawasi dengan mata kami, karena tidak diperbolehkan dalam kata-kata orang Arab untuk mensifati siapa pun dengan الكلاءة, untuk maksud النطر terkadang seorang diawasi karena tidak memiliki penglihatan, tapi tetap mempunyai mata. Maka inilah kata عين الله Maka pahamilah. [Rodd ala Al-Marisi (2/831)].


Abu al-Hasan al-Ash'ari menukil dalam maqolat islamiyyin , dan al-Ibana, ijma ahlusunnah untuk menetapkan 2 mata Allah Ta’ala, 


5 - وقال أهل السنة وأصحاب الحديث: ليس بجسم ولا يشبه الأشياء وأنه على العرش كما قال -عز وجل-: {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى} [طه: 5] ولا نقدم بين يدي الله في القول بل نقول استوى بلا كيف وأنه نور كما قال تعالى: {اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ} [النور: 35] وأن له وجهاً كما قال الله: {وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ} [الرحمن: 27] وأن له يدين كما قال: {خَلَقْتُ بِيَدَيَّ} [ص: 75] وأن له عينين كما قال: {تَجْرِي بِأَعْيُنِنَا} [القمر: 14] وأنه يجيء يوم القيامة هو وملائكته كما قال: {وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفّاً صَفّاً} [الفجر: 22] وأنه ينزل إلى السماء الدنيا كما جاء في الحديث1 ولم يقولوا شيئاً إلا ما وجدوه في الكتاب أو جاءت به الرواية عن رسول الله صلى الله عليه وسلم.


5 Ahlusunnah dan ashabul hadits mereka berkata : bukanlah menyerupakan dengan tubuh (makhluk) dan tidak menyerupakan Dia dengan apapun, dan Dia diatas Arsy sebagaimana Firman Allah sendiri {Ar-Rahman istiwa diatas arsy} [Toha 5]

Kamis tidak ingin mendahului Allah dalam perkataan, bahkan kami katakan istiwa Allah tidak diketahui, bahwa Allah itu cahaya sebagaimana firman {Allah cahaya langit dan bumi}[An-Nur 35]

dan Dia memiliki wajah sebagaiman firman {Dan tetap kekal wajah tuhanmu} [Ar Rohman 27]

Dan Dia memiliki 2 tangan sebagaimana firman {Kuciptakan dengan kedua tanganku} [Shof 75]

Dan Dia memiliki 2 mata sebagaimana firman {yang berlayar dengan pengawasan mata kami} [Qomar 14]

Dan Dia datang bersama malaikat Nya pada hari kiamat sebagaimana firman {Dan Tuhanmu datang sambil malaikat berbaris} [Fajri 22]

Dan Dia turun di sepertiga malam sebagaimana dalam hadits, dan tidak berkata apapun kecuali bersandar pada Qur'an dan apa yang datang riwayat dari rosul shollallohu'alaihiwasallam.


(Maqalat Islamiyin, Abul Hasan Al-Asy’ari, bab pembahasan tempat) 

Meluruskan dan membantah syubhat Asya’iroh 4

 Meluruskan dan membantah syubhat Asya’iroh 4


Syubhat Asya'iroh, katanya Ibnu Abbas mentakwil sifat datang مجيء dengan perintah dan keputusan. 


Jawaban


Klaim takwil Ibn Abbas rodhiyallohu anhu tentang kedatangan Allah Yang Maha Kuasa. Mereka menduga bahwa Ibn Abbas menafsirkan kedatangan Allah ta'ala dengan menyebutkan apa yang disebutkan Al-Nasafi dalam tafsirnya ketika Allah ta'ala berfirman : 

(وجاء ربك والملك) الفجر 22، ما نصه: (وعن ابن عباس: أمره وقضاؤه) اهـ

(Dan Tuhanmu dan rajamu datang) QS Al-Fajr 22, 


Kata Ibn Abbas : (Perintahnya dan keputusannya) selesai .  

Hal yang sama kami kutip dari Al-Hassan. 


Riwayat Ini tidak memiliki asal atau sanad, baik dari Ibn Abbas atau dari Al-Hassan Al-Basri, juga tidak disebutkan oleh salah satu penyusun dari ulama ahli riwayat. 


Sanad yang tidak asal usulnya jelas tidak bisa dijadikan dalil berhujjah apalagi dalam beraqidah. 


Bacaan lainnya 


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/12/meluruskan-dan-membantah-syubhat_45.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/12/meluruskan-dan-membantah-syubhat_12.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/12/meluruskan-dan-membantah-syubhat.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/12/meluruskan-dan-membantah-syubhat_15.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/12/meluruskan-dan-membantah-syubhat_53.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/tersingkirnya-peran-ulama-syafiiyah.html



Meluruskan dan membantah syubhat Asya’iroh 3

 

Meluruskan dan membantah syubhat Asya’iroh 3

Syubhat Asy'iroh, katanya Ibnu Abbas mentakwil lafadz 'wajah' dlm firman Alloh :
*ويبقى وجه ربك ذو الجلا و الاكرام*

Beliau berkata : "Wajah adlh pengibaratan dr (dzat) Alloh".

(Al Qurtuby 17/165)

اول ابن عباس رضى الله عنه للفظ الوجه فى قوله تعالى (ويبقى وجه ربك ذو الجلال والاكرام ) قال رضى الله عنه : " الوجه عبارة عنه"

القرطبى ١٧ /١٦٥)

Jawaban.

Lagi lagi ini adalah syubhat jadul yang dipakai Bisy Al Marisi gembong Mutazilah Jahmiyah untuk sesuai hawa nafsunya membolehkan mentakwil sifat Allâh ta'ala.

Bahwa apa yang disebutkan Al-Qurtubi tidak ada asalnya dari Ibnu Abbas, rodhiyallohu anhu.

Riwayat yang kuat Ibnu Abbas,  menetapkan sifat wajah Allah ta'ala, karenanya Ibnu Abbas  berkata dalam menafsirkan firman Allah yang lain :
(للذين أحسنوا الحسنى وزيادة) يونس26: (الزيادة: النظر إلى وجه الله).
Artinya (Bagi orang orang yang berbuat kebaikan akan mendapat lebih banyak lagi) QS Yunus 26:
(tafsir Ibnu Abbas azziyadah artinya menatap wajah Allah)

[Riwayat Al-Lalikai (3/459) dan Al-Bayhaqi dalam asma wassifat (hal. 133)].

Ibnu Abbas juga berkata dalam dalam menafsirkan Firman Allah ta’ala :
(إلى ربها ناظرة) القيامة23: (نظرت إلى خالقها)
Artinya (Kepada Tuhannya melihat) QS al qiyamah 23:
(Tafsirnya : memandang pada Penciptanya.)

[Riwayat Al-Ajuri dalam Syariah (hal. 270), dan Al-Suyuti menghubungkan dalam riwayat Al-Durr Al-Manshoor dengan Ibn Al-Mundhir].

Kita ketahui riwayat yang kuat dalam perkara sifat Allah adalah menetapkannya, dan ini ijma kaum muslimin sejak sahabat rodhiyallohu anhum termasuk Ibnu Abbas didalamnya.

Al-Imam Al-Auzaa’i rahimahullah (wafat 157 H)
قال عالم عصره إمام أهل الشام الأوزاعي (ت ١٥٧) : كنا والتابعون متوافرون نقول أن الله تعالى فوق عرشه ونؤمن بما وردت به السُّنة من صفاته

Al-Auzaa’i berkata : “Ketika kami dahulu –dan para tabi’in masih banyak-kami berkata : Sesungguhnya Allah di atas arsyNya, dan kita beriman dengan sifat-sifatNya yang datang dalam sunnah” (Al-Asmaa’ was sifaat li Al-Baihaqi 2/304 no 865, Al-‘Uluw li Al-‘Aliy Al-‘Adziim li Adz-Dzahabi 2/940 no 334, dan sanadnya dinyatakan Jayyid (baik) oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 13/406-407)

Ishaq bin Rahuwaih (wafat 238H) berkata :

قال الله تعالى {الرحمن على العرش استوى} إجماع أهل العلم أنه فوق العرش استوى ويعلم كل شيء في أسفل الأرض السابعة

“Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ‘Ar Rahman ber-istiwa di atas Arsy’, ini adalah IJMA para ulama yaitu bahwa Allah ber-istiwa di atas Arsy, dan Allah mengetahui segala sesuatu hingga di bawah bumi yang ke tujuh” (Al ‘Uluw li ‘Aliyyil Ghaffar, no. 179).

Dinukil dari Ibnu Abdil Barr rohimahullah bahwa sahabat dan tabi'in telah ijma bahwa sesungguhnya mereka sepakat dalam maknanya yaitu tatkala membahas ayat ma'iyah

قوله تعالى : (وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ) الحديد/ 4 ، وقوله : (مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلَا أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ وَلَا أَكْثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا) المجادلة/ 7 .

قالوا في معناها : (هو على العرش ، وعلمه في كل مكان) . " التمهيد " (7/138)

Para sahabat berkata :
Dialah Allah yang diatas arsy dan ilmu Nya ada di setiap tempat.

Ibnu Abdil Barr juga berkata :

أجمع أهل الفقه والآثار من جميع الأمصار أن أهل الكلام أهل بدع وزيغ، ولا يعدون عند الجميع في جميع الأمصار في طبقات العلماء، وإنما العلماء أهل الأثر والتفقه فيه

“Telah ijmak para ahli fikih dan hadits dari seluruh negeri bahwasanya ahlul kalam adalah ahlu bid’ah dan ahlu kesesatan, dan mereka seluruhnya tidak dianggap dalam jejeran para ulama. Para ulama hanyalah para ahli hadits dan fikih” (Jaami’ Bayaan al-‘Ilmi wa Fadlihi 2/195)

Sedang ilmu kalam inilah sumber pijakan kaum mu'tazilah, didalamnya Jahmiyah, kullabiyah, Asy'ariyah.



Bacaan lainnya 


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/12/meluruskan-dan-membantah-syubhat_45.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/12/meluruskan-dan-membantah-syubhat_12.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/12/meluruskan-dan-membantah-syubhat.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/12/meluruskan-dan-membantah-syubhat_15.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/12/meluruskan-dan-membantah-syubhat_53.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/tersingkirnya-peran-ulama-syafiiyah.html



Meluruskan dan membantah syubhat Asya’iroh 2

 Meluruskan dan membantah syubhat Asya’iroh 2


Syubhat Asy'iroh, katanya Ibnu Abbas mentakwil lafadz "بأيد " (beberapa)  tangan dlm firman Alloh :


*والسماء بنيناها بأيد*

dgn makna : " *Dengan kekuatan*


اول ابن عباس  قوله تعالى : *والسماء بنيناها بأيد* :   بايد اى بقوة.


(الاسماء و الصفات. ٢٥٣ .الكردى ، تفسير القرطبي (52/17)


Jawaban. 


Lagi lagi ini adalah syubhat jadul yang dipakai Bisy Al Marisi gembong Mutazilah Jahmiyah untuk sesuai hawa nafsunya membolehkan mentakwil sifat Allâh ta'ala.


Nampaknya Bisyr Al Marisy Marisi yang dahulu dikafirkan para ulama sekarang sebagai idola kaum Asya’iroh dalam berdalil, Subhanallah. Semoga saya salah, juga karena ketidaktahuan mereka.


Juga ini syubhat Abul Hasan al-Asy’ari tatkala masih mu'tazilah sehingga beliau ruju ke manhaj salaf lalu membantah sendiri syubhat lama, kita bahas selanjutnya. 


Istilah "الأيد beberapa tangan" di sini bukanlah bentuk jamak dari يد tangan, melainkan asalnya adalah أيد = "bantuan."


Ibn Manzur berkata dalam Al-Lisan bab أيد = "Bantuan" :

أيد: الأَيْدُ، والآدُ ، 

Maka jamaknya = kekuatan, berkata Ali rodhiyallohu anhu dalam khutbahnya : 

وأَمسكها من أَن تـمور بأَيدِه ، أَي بقوّته، وقوله عز وجل: (واذكر عبدنا داود ذا الأَيْد) ص/17، أَي: ذا القوة.... 

dan Dia menahannya agar tidak melewati dengan bantuannya, yaitu, dengan kekuatannya, 


Allah Ta’ala juga berfirman 

(واذكر عبدنا داود ذا الأَيْد) 

 (Dan ingatlah hamba kami David dengan kekuatannya)  QS shod 17, maknanya : yang mempunyai kekuatan. Dan memberi bantuan dalam hal ini. 


Abu Zaid berkata : آد يَئِيد أَيْداً 

Jika semakin kuat 

والتأْيـيد: مصدر أَيَّدته ، أَي قوّيته،

Artinya kekuatan. Seperti firman Allah ta’ala : 

(إِذ أَيدتك بروح القدس) المائدة110، وقرىء: (إِذ آيَدْتُك) أَي قوّيتك) اهـ. [لسان العرب / مادة "أيد"].

(Tatkala membantumu dengan Ruhul Qudus) QS al maidah 110, dan dibaca (إِذ آيَدْتُك) artinya dengan bantuanmu [Lisan al-Arab / artikel "أيد"].


Dan pemilik Mukhtar As-Sahhah berkata dalam bab “Tangan”: (Allah berfirman: (Dan kami telah membangun langit dengan kekuatan kami) QS Al-Dharriyat 47, aku berkata: firman Allah (بِأَيْد), 

artinya: وهو مصدر آد يئيد ، إذا قوي،

dan itu bukan jamak dari sebuah tangan yang akan disebutkan di sini, tapi tempat pembahasannya di bab huruf د dal. 


Al-Azhari juga telah menetapkan ayat ini الأيد, yang berarti المصدر, dan saya tidak tahu satupun dari para imam ahli bahasa atau tafsir yang mengikuti apa yang dikatakan Al-Jawhari, bahwa itu adalah jamak dari tangan.  [Mukhtar As-Sahah / bab tentang "tanganku يدي"].


Imam mereka, Abu al-Hasan al-Ash'ari, menjawab pendalilan  ini ketika dia berkata dalam "Al-Ibanah" dalam membantah Jahmiyya dan Mu'tazilah yang memalingkan makna sifat tangan Allah ta'ala : 


(soal : orang sakit yang bernyakit terhadap firman Allah ta’ala 

(والسماء بنيناها بأيد) الذاريات47، قالوا: الأيد القوة،

(Dan kami telah membangun langit dengan al ayd) QS Al-Dharriyat 47, mereka berkata: ايد adalah kekuatan,


jadi jawabannya harus: (dengan tanganku) hal 75, artinya dengan kekuatan kami ?


Jawaban : Penafsiran ini rusak dalam beberapa sisi :


Pertama : kata "أيد" bukanlah jamak dari tangan;  Karena bentuk jamak “يد tangan” adalah أيدي tangan, 


dan bentuk jamak dari “أيد” adalah أيادي

yang bermakna nikmat.


 Sebaliknya, firman Allah ta’ala : 

(لما خلقت بيدي)

(Ketika itu diciptakan dengan tanganku sendiri), hal. 75, lalu membatalkan makna : (بيدي) hal. 75, harusnya makna ayat (Kami menciptakan dengan tangan)) selesai. [Al-Ibanah Al-Ashari (hlm. 108)].


Dan Ibn Khuzaymah berkata dalam Tauhid: (Dan Jahmiyyah menduga Arti firman Allah menciptakan Adam dengan tangan-Nya, artinya dengan kekuatan-Nya, 

jadi dia duga bahwa tangan adalah kekuatan, dan ini juga dari pengalihan makna (takwil) KARENA KEBODOHAN MEREKA DALAM BAHASA ARAB, 


dan kekuatan disebut الأيد dalam bahasa Arab, bukan اليد.  Dia tidak bisa membedakan antara الأيد dan اليد; itu karena pendidikan , dan mengikuti kitab (para ulama sebelumnya): membutuhkan pengarahan dan penelitian.)  [Al-Tauhid (hlm. 87)] ...


Bacaan lainnya 


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/12/meluruskan-dan-membantah-syubhat_45.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/12/meluruskan-dan-membantah-syubhat_12.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/12/meluruskan-dan-membantah-syubhat.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/12/meluruskan-dan-membantah-syubhat_15.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/12/meluruskan-dan-membantah-syubhat_53.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/tersingkirnya-peran-ulama-syafiiyah.html



Meluruskan dan membantah syubhat Asya’iroh 1

Meluruskan dan membantah syubhat Asya’iroh 1


Syubhat Asya'iroh, katanya Ibnu Abbas mentakwil 'kursi' dlm menafsiri ayat kursi dgn 'ilmu' Alloh. 


اول ابن عباس رضى الله عنه للكرسى عند تفسيره لاية الكرسى بالعلم


(الطبرى ٧/٣)


Jawaban. 


Itu adalah syubhat jadul yang dipakai Bisy Al Marisi gembong Mutazilah Jahmiyah untuk sesuai hawa nafsunya membolehkan mentakwil sifat Allâh ta'ala. 


Syubat ini sudah lama dibantah para ulama ashabul hadits, mereka adalah pemegang aqidah salaf, murid murid para tabi'ut tabi'in yang sanadnya bersambung nabi shollallohu'alaihiwasallam, mereka lebih paham agama dari pada kaum mu'tazilah Jahmiyah yang dikafirkan oleh para ulama. 


Mereka seperti Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitabnya Rodd alal Jahmiyah wa zabadiqoh, Abdullah bin Ahmad dalam kitab As-Sunnah, Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhid, Ad-Darimi dalam rodd alal bisr marisi, Ibnu Abdil dalam at Tamhiid, dan banyak ulama lainnya yang mereka sebagian ulama Syafi'iyah Salafi, 


Anehnya Syafi'iyah mutaakhirin banyak ke Asy’ariyah padahal dahulu pendahulu mereka ramai ramai membantah dan menyesatkan Asy'ariyah. 


Klaim takwil Ibn Abbas rodhiyallohu anhu dalam menafsirkan kursi:

Disandarkan apa yang at-Thabari riwayatkan melalui Ja`far bin Abi al-Mughira, dari Sa`id bin Jubayr, dari Ibn Abbas, bahwa dia berkata:

(وسع كرسيه) البقرة/255: كرسيه: علمه" اهـ.

(kursinya seluas) QS Al-Baqarah 255

Ibnu Abbas : " Kursi Nya: IlmuNya.” 


Ini tidak benar dari Ibn Abbas karena beberapa alasan:


Pertama : munculnya Ja`far ibn Abi al-Mughira, dan di terlalu layyin (lembut, bermudahan). Al-Hafiz Ibn Hajar Al Asqalani memberi ringkasan hukumnya dan berkata: (Soal Saduq) [At Taqrib Al-Tahdhib  (h. 201)] Ibnu Hajar berkata :  

"Dan yang semisal ini tidak dapat diterima karena keunikannya dengan cara yang sama menurut ahli hadits, terutama dari mereka seperti Said bin Jubayr, kecuali dia memiliki pengkhususan di dalamnya, dan jika ditambah dengan ini maka makin kontradiksi dengan qoul sahabat yang terpercaya lainnya dari banyak sahabat seperti riwayat Saeed bin Jubayr, maka tidak diragukan lagi perlu untuk menilai kesalahannya dan ke syadz nya". 


Ini menunjukkan Ibnu Hajar tidak sepenuhnya Asy'ariyah tulen, selain ini banyak tulisan Ibnu Hajar, juga an Nawawi membantah Asya’iroh. 



Kedua: Ja'far ibn Abi al-Mughira telah menyelisihi sanad yang lebih kuat /dipercaya yakni dalam riwayat Sa'id bin Jubayr, yang murid Ibnu Abbas langsung. 


Diriwayatkan dari Muslim, Al-Batin meriwayatkannya dari Said bin Jubair rohimahullah dari Ibn Abbas rodhiyallohu'anh, bahwa Rosul shollallohu'alaihiwasallam berkata: 

قال: (كرسيه موضع قدميه، والعرش لا يقدر قدره) اهـ

(Kursi adalah tempat duduk Allah, dan Arsy nya tidak terukur ukurannya). Selesai. [HR Abd al-Razzaq dalam Tafsirnya (3/251), 

Ad-Darimi dalam Rodd ala Bisyr Al-Murisi (1/412), 

Ibn Abi Hatim in Tafsir (2/491), Abdullah dalam Sunnah (2/586), 

Ibn Khuzaymah dalam Al-Tawhid (h. 107) dan Ibn Abi Shaybah dalam Al-Arsh (hal. 79), 

Abu Al-Sheikh dalam Al-Azma (2/582), 

Ibnu Mandah dalam Rodd ala Al-Jahmiyyah (hal. 44), 

Ibn Battah dalam Al-Ibanah (3/337), 

Al-Daraqutni dalam Al-Sifat (hal. 111) dan Al-Hakim (2/310), dan beliau berkata: hadits ini shahih sesuai syarat dua syekh (Bukhori muslim). 

Adz-Dzahabi, Al-Bayhaqi dalam Asma wassifat (hal. 474), 

Abu Dzar al-Harawi dalam Arbain di Tauhid (hal. 57) dan Al-Khatib di Tarikh Baghdad (9/251) setuju dengannya.  Dan al-Dzahabi meriwayatkannya dalam al-'uluw (hal. 76), 


Dan Muslim Al-Batin ini adalah orang yang paling dapat dipercaya oleh Sa`id bin Jubayr, juga Bukhari dan Muslim memasukkan atas namanya. Ibn Mandah berkata dari Ja`far ibn Abi al-Mughira: (Ja`far bukan murid menjadi pengikutnya, dan dia tidak kuat dalam meriwayatkan dari Sa`id ibn Jubayr). [Rodd Alal Jahmiyah (h. 45)].



Ketiga: Ahli Hadits dan para imam menshahihkan riwayat itu maknanya tempat 2 kaki, dan melemahkan riwayat al-Mughira dalam "al-ilm":


 - Abu Zur'ah menshahihkan lalu dia berkata tentang apa yang diriwayatkan Ibn Mandah dalam Tauhid, dia berkata: (Abu Zur'ah ditanya tentang hadits Ibn Abbas tentang tempat 2 kaki, lalu dia berkata: shahih)... [Al-Tauhid (3/309)].


 - Al-Daraqutni meriwayatkan dalam As sifat dengan sanadnya: dari Al-Abbas bin Muhammad Al-Duri, dia berkata: Saya mendengar Yahya bin Ma'in berkata: (Saya menyaksikan Zakaria bin Uday bertanya Waki' ? Jadi di berkata: Wahai Abu Sufyan, hadits ini berarti: seperti kursi di mana 2 kaki berada, begini ?


Waki' berkata: Kami diberitahu Ismail bin Abi Khaled, Sufyan, dan Mussa'ar, mereka meriwayatkan tentang hadits ini dan tidak menjelaskan apa pun.  [HR Al-Daraqutni dalam As-Sifat (h. 163) dan Al-Bayhaqi dalam asma wassifat (hal. 474), dan itu ada dalam Tarikh Ibn Ma`in menurut riwayat Al-Duri (3/520)].


Dan Ad-Darimi berkata dalam “Bantahan untuk Bisr Al-Marisi”: (Dikatakan kepada Al-Marisi ini: Adapun apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, itu dari riwayat Jafar al-Ahmar, dan Jafar al-Ahmar bukan dari orang yang mengandalkan riwayatnya, karena perawi terpercaya menyelisihi dengannya. Muslim Al-Batin meriwayatkan dari said bin jubair Dari Ibnu Abbas dalam Al-Kursi, bertentangan dengan apa yang diklaim terhadap Ibnu Abbas sebelumnya. - lalu sanadnya dari Muslim Al-Batin dengannya, lalu berkata: Al-Marisy membaca hadits ini dan menshahihkannya. [Rodd ala Al-Marisi (1/411)].


Al-Bayhaqi meriwayatkan dua jalan dalam "Asma dan As-Sifat" dan berkata: (Dan Yang Maha Kuasa berkata:

(وقال تبارك وتعالى: (وسع كرسيه السماوات والأرض) البقرة255

 (Luasnya kursi Allah seluas langit dan bumi) QS Al-Baqarah 255. 

Dan kami meriwayatkan dari Said bin Jubayr, dari Ibn Abbas rodhiyallohu anh, bahwa dia berkata: Ilmu-Nya.

Akan tetapi, Semua riwayat dari Ibn Abbas dan lainnya menunjukkan bahwa yang dimaksud kursi, yang terkenal disebutkan bersama al Arsy.  [Asma wassifat (hlm. 497)].


 - Dan Al-Dzahabi berkata dalam al uluw : (Dan Ibn Abbas berkata: kursinya : ilmunya. Ini berasal dari jalan Jaafar Al-Ahmar, ia Layyin, dan Ibn Al-Anbari berkata: Dia hanya meriwayatkan ini dengan sanad yang tercela).  [Al Uluw (hlm. 117)].


Abu Mansour Al-Azhari berkata dalam Tahdhib Al-Lugha: (Yang benar tentang riwayat Ibnu Abbas dalam Al-Kursi adalah apa yang (Sufyan) Al-Tsauri dan lain-lain ceritakan tentang dari Ammar Al-Dahni dari Muslim Al-Batin - seperti yang telah disebut diatas - lalu dia berkata: Ini adalah riwayat yang paling disepakati para ulama tentang keasliannya, bahwa ulama menyetujui keasliannya, dan yang diriwayatkan adalah dari Ibn Abbas dalam al kursi adalah al ilmu, Hal ini tidak dibuktikan oleh mereka yang mengetahui berita tersebut.  [Tahdhib Lugho oleh al-Azhari (10/54)].



Keempat: Penafsiran kursi sebagai tempat 2 kaki sesuai dengan apa yang dibenarkan dari hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam dan ucapan para sahabat, rodhiyallohu anhum. 


Dari Abu Dzar, bahwa Nabi, shollallohu'alaihiwasallam bersabda: (perbandingan Tujuh langit dan arsy tidak lain adalah seperti lingkaran yang terletak di tanah orang-orang, dan besarnys arsy dengan kursi seperti lapangan dengan lingkaran cincin itu).

[HR. Ibn Jarir tobary (3/10), Ibn Abi Shaybah dalam Arsy (h. 77), Ibn Battah in Al-Ibanah (3/181), Abu Al-Sheikh di Al-Azma (2 / 570,649), Ibn Hibban dalam Sahih (1/287), dan Abu Naim di Al-Hilya  (1/166) dan Al-Bayhaqi dalam asma wassifat (h. 510).  Al-Albani menshahihkan dalam As-Silsilah As-Sahih (1/174, No. 109))


Abdullah bin Mas'ud rodhiyallohu anhu berkata: (Apa yang diantara langit dan bumi adalah perjalanan lima ratus tahun, kemudian antara setiap langit adalah jalan lima ratus tahun, dan setiap langit menebal jalan lima ratus tahun, kemudian antara langit ketujuh dan Arsy lima ratus tahun, dan antara kursi dan air  Lima ratus tahun, dan Arsy berada di atas air, dan Tuhan Yang Maha Kuasa berada di atas Arsy, dan tidak ada yang tersembunyi dari amalan kamu.) [HR Al-Darami Rodd ala Al-Jahmiyyah (h. 55), Ibn Khuzaymah dalam al-Tawhid (hal. 105-106), al-Tabrani dalam al-Kabir (9/202), Abu al-Sheikh dalam al-Azma (2/565, 689), Ibn Battah dalam al-Ibanah (3/171), (dan 3)  / 395), al Lalikai (3/395) dan Ibn Abd al-Bar dalam at Tamhiid (7/139) al-Bayhaqi dalam asma wassifat (hal. 507).  Al-Dhahabi meriwayatkannya dalam al-'Uluw (hal. 79) dan menghubungkannya dengan Abdullah bin al-Imam Ahmad dalam As Sunnah, Abu Bakr bin al-Mundhir, Abu Ahmad al-Asal dan Abu Umar al-Talamanki, dan dia berkata: sanadnya shahih.  Al-Albani menilai itu sebagai shahih dalam Mukhtasar Al-ulu (hlm. 75)


Dengan demikian menjadi bukti bahwa klaim ini tidak benar dari Abbas rodhiyallohu anhu, karena keganjilannya, dan kesalahan dalam menukil nya. 



Bacaan lainnya 


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/12/meluruskan-dan-membantah-syubhat_45.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/12/meluruskan-dan-membantah-syubhat_12.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/12/meluruskan-dan-membantah-syubhat.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/12/meluruskan-dan-membantah-syubhat_15.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/12/meluruskan-dan-membantah-syubhat_53.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/11/tersingkirnya-peran-ulama-syafiiyah.html


Senin, 07 Desember 2020

Ulama yang mengkafirkan Asy'ariyah

 Ulama yang mengkafirkan Asy'ariyah 

(Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab (wahabi) belum lahir)


Sebagian ulama ada yang sampai pada tahap mengkafirkan firqah Asy’ariyyah


1. Abul-Abbas Ahmad ibn Muhammad An-Nuhawandi Az-Zahid Al-Arif (wafat: 394 H), [Tarikhul-Islam:8/737


➡Berkata Syaikhul-Islam Al-Harawi rahimahullah: saya mendengar Ahmad ibn Hamzah dan Abu Ali Al-Haddad rahimahumallah mereka berkata:


(ﻭﺟﺪﻧﺎ ﺃﺑﺎ اﻟﻌﺒﺎﺱ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﻣﺤﻤﺪ اﻟﻨﻬﺎﻭﻧﺪﻱ ﻋﻠﻰ اﻹﻧﻜﺎﺭ ﻋﻠﻰ ﺃﻫﻞ اﻟﻜﻼﻡ ﻭﺗﻜﻔﻴﺮ اﻷﺷﻌﺮﻳﺔ.


ﻭﺫﻛﺮا ﻋﻈﻢ ﺷﺄﻧﻪ ﻓﻲ اﻹﻧﻜﺎﺭ ﻋﻠﻰ ﺃﺑﻲ اﻟﻔﻮاﺭﺱ اﻟﻘﺮﻣﺎﺳﻴﻨﻲ ﻭﻫﺠﺮاﻧﻪ ﺇﻳﺎﻩ ﻟﺤﺮﻑ ﻭاﺣﺪ)


Kami mendapatkan Abul-Abbas Ahmad ibn Muhammad An-Nuhawandi mengingkari Ahli Kalam dan mengkafirkan Asy’ariyyah.


(Al-Harawi berkata): mereka berdua juga menyebutkan tentang kerasnya pengingkaran beliau terhadap Abul-Fawaris Ar-Qurmasini dan pemboikotannya karena satu masalah.


➡berkata Syaikhul-Islam Al-Harawi rahimahullah:


ﺳﻤﻌﺖ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﻤﺰﺓ ﻳﻘﻮﻝ:


(ﻟﻤﺎ اﺷﺘﺪ اﻟﻬﺠﺮاﻥ ﺑﻴﻦ اﻟﻨﻬﺎﻭﻧﺪﻱ ﻭﺃﺑﻲ اﻟﻔﻮاﺭﺱ ﺳﺄﻟﻮا ﺃﺑﺎ ﻋﺒﺪ اﻟﻠﻪ اﻟﺪﻳﻨﻮﺭﻱ؛ ﻓﻘﺎﻝ: ﻟﻘﻴﺖ ﺃﻟﻒ ﺷﻴﺦ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﻨﻬﺎﻭﻧﺪﻱ)


Saya mendengar Ahmad ibn Hamzah berkata:


Ketika semakin hebat saling boikot antara An-Nuhawandi dan Abul-Fawaris, maka orang-orang bertanya kepada Abu Abdillah Ad-Dainuri, beliau menjawab:


Saya mendapati SERIBU Syaikh mencocoki An-Nuhawandi.(Dzammul-Kalãm:4/404)


Abu Abdillah Ad-Dainuri: Asy-Syaikh Al-Imam Al-Husain ibn Muhammad ibn Al-Husain Ats-Tsaqafi (wafat: 414 H), [As-Siyar:17/383]


2.Al-Imam Al-Wa’izh Abu Zakariya Yahya ibn Ammãr As-Sijistani (wafat: 422 H), [Tarikhul-Islãm:9/384)


Berkata Syaikhul-Islam Al-Harawi rahimahullah:


(رأيت يحي بن عمار ما لا أحصي من مرة على منبره يكفرهم -أي الأشعرية- ويلعنهم، ويشهد على أبي الحسن الأشعري بالزندقة، وكذلك رأيت عمر بن إبراهيم ومشائخنا)


Saya telah menyaksikan berkali-kali Yahya ibn Ammar di atas minbarnya mengkafirkan mereka -yaitu Asy’ariyyah- dan melaknat mereka, dan bersaksi atas Abul-Hasan Al-Asy’ari adalah seorang Zindiq.


Demikian juga saya menyaksikan Umar ibn Ibrahim dan guru-guru kami (seperti itu) (Dzammul-Kalãm:4/411)


Umar ibn Ibrahim yaitu Umar ibn Ibrahim ibn Ismail Abul-Fadhl Az-Zahid (wafat: 426 H), [Tarikh Baghdad:13/146]


Kami tidak sepakat tentang pengkafiran tersebut. Akan tetapi, yang menjadi pelajaran di sini adalah kerasnya pengingkaran para ulama tersebut sehingga sampai tahap mengkafirkan firqah Asy’ariyyah.Dengan pemaparan dan uraian di atas, jelaslah bahwa hukum sesat terhadap firqah Asy’ariyyah yang diklaim oleh sebagian orang sebagai Ahlussunnah.


Lihat tahun tahun wafat para ulama, mereka sezaman dengan Abul Hasan al-Asy’ari (260-324 H)


Sedang Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab (wahabi) belum lahir. 


Ibnu Taimiyah 661-728

Muhammad bin Abdul Wahhab 1115 - 1207


Banyak lainnya menyesatkan Asya’iroh :


✅1-Al-Imam Abul-Abbas Ahmad ibn Umar ibn Suraij Al-Bagdadi Asy-Syafi’i (wafat:306 H)


Beliau berkata:


( ﻻ ﻧﻘﻮﻝ ﺑﺘﺄﻭﻳﻞ اﻟﻤﻌﺘﺰﻟﺔ، ﻭاﻷﺷﻌﺮﻳﺔ، ﻭاﻟﺠﻬﻤﻴﺔ، ﻭاﻟﻤﻠﺤﺪﺓ، ﻭاﻟﻤﺠﺴﻤﺔ، ﻭاﻟﻤﺸﺒﻬﺔ، ﻭاﻟﻜﺮاﻣﻴﺔ، ﻭاﻟﻤﻜﻴﻔﺔ، ﺑﻞ ﻧﻘﺒﻠﻬﺎ ﺑﻼ ﺗﺄﻭﻳﻞ، ﻭﻧﺆﻣﻦ ﺑﻬﺎ ﺑﻼ ﺗﻤﺜﻴﻞ، ﻭﻧﻘﻮﻝ اﻹﻳﻤﺎﻥ ﺑﻬﺎ ﻭاﺟﺐ، ﻭاﻟﻘﻮﻝ ﺑﻬﺎ ﺳﻨﺔ، ﻭاﺑﺘﻐﺎء ﺗﺄﻭﻳﻠﻬﺎ ﺑﺪﻋﺔ)


Kami tidak berpendapat (dalam ayat-ayat dan hadits-hadits tentang sifat Allah) dengan ta’wilnya Mu’tazilah, Asy’ariyyah, Jahmiyyah, Mulhidah, Mujassimah, Musyabbihah, Karramiyyah, dan Mukayyifah. Bahkan kami menerimanya tanpa menta’wil, beriman kepadanya tanpa tamtsil, dan kami berpendapat: beriman kepadanya adalah wajib dan berpendapat dengannya adalah sunnah, dan mencari ta’wilnya adalah bid’ah.(Ijtimã’ Al-Juyûsy Al-Islãmiyyah:119)


Beliau bergelar Imam Asy-Syafi’i Kedua.


✅2.Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Shalih Al-Qahthani Al-Andulisi Al-Maliki rahimahullah (wafat: 378 H)


Beliau berkata dalam Nuniahnya:


والآن أهجو الأشعري وحزبه … .وأذيع ما كتموا من البهتان


Dan sekarang saya mengecam Asy’ari dan kelompoknya,Saya akan membeberkan apa yang mereka tutupi berupa kedustaan.(Nuniah Al-Qahthani)


✅3-Al-Imam Muhammad Ibn Ahmad ibn ishaq Mindad Al-Mishri Al-Maliki rahimahullah (wafat: 390 H)


Beliau berkata:


ﺃﻫﻞ اﻷﻫﻮاء ﻋﻨﺪ ﻣﺎﻟﻚ ﻭﺳﺎﺋﺮ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ ﻫﻢ ﺃﻫﻞ اﻟﻜﻼﻡ، ﻓﻜﻞ ﻣﺘﻜﻠﻢ ﻓﻬﻮ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ اﻷﻫﻮاء ﻭاﻟﺒﺪﻉ ﺃﺷﻌﺮﻳﺎ ﻛﺎﻥ ﺃﻭ ﻏﻴﺮ ﺃﺷﻌﺮﻱ، ﻭﻻ ﺗﻘﺒﻞ ﻟﻪ ﺷﻬﺎﺩﺓ ﻓﻲ اﻹﺳﻼﻡ، ﻭﻳﻬﺠﺮ ﻭﻳﺆﺩﺏ ﻋﻠﻰ ﺑﺪﻋﺘﻪ، ﻓﺈﻥ ﺗﻤﺎﺩﻯ ﻋﻠﻴﻬﺎ اﺳﺘﺘﻴﺐ ﻣﻨﻬﺎ


Ahlul-Ahwa menurut Imam Malik dam semua sahabat kami (ulama Malikiyyah) adalah Ahli Kalam. Setiap mutakallim maka dia adalah seorang ahli hawa dan bid’ah, baik itu dia seorang asy’ari atau bukan asy’ari. Tidak diterima persaksiannya dalam Islam, diboikot dan diberi pelajaran karena bid’ahnya, jika dia tetap pada pendiriannya maka diminta untuk bertobat.(Jami Bayãnil-Ilmi wa Fadhlih:2/943)


✅4.Imam Besar Madzhab Syafi’iyyah Abu Hamid Ahmad ibn Abi Thahir Al-Isfirãini rahimahullah (wafat:406 H)Berkata Abul-Hasan Al-Karkhi Asy-Syafii:


ﻭﻛﺎﻥ اﻟﺸﻴﺦ ﺃﺑﻮ ﺣﺎﻣﺪ اﻹﺳﻔﺮاﺋﻴﻨﻲ ﺷﺪﻳﺪ اﻹﻧﻜﺎﺭ ﻋﻠﻰ اﻟﺒﺎﻗﻼﻧﻲ ﻭﺃﺻﺤﺎﺏ اﻟﻜﻼﻡ


Asy-Syaikh Abu Hamid Al-Isfirãini adalah seorang yang sangat keras pengingkarannya terhadap Al-Baqillani dan orang-orang ahli kalam…


Dan (Dar’u Ta’ãrudh Al-‘Aql wan-Naql:2/96, Al-Fatawa Al-Kubra:6/600


✅5.Al-Imam Abu Umar Muhammad ibn Al-Husain Al-Bisthãmi Asy-Syafi’i Al-Wa’izh rahimahullah (wafat: 408 H)


Beliau berkata:


ﻛﺎﻥ ﺃﺑﻮ اﻟﺤﺴﻦ اﻷﺷﻌﺮﻱ ﺃﻭﻻ ﻳﻨﺘﺤﻞ اﻻﻋﺘﺰاﻝ، ﺛﻢ ﺭﺟﻊ ﻓﺘﻜﻠﻢ ﻋﻠﻴﻬﻢ، ﻭﺇﻧﻤﺎ ﻣﺬﻫﺒﻪ اﻟﺘﻌﻄﻴﻞ، ﺇﻻ ﺃﻧﻪ ﺭﺟﻊ ﻣﻦ اﻟﺘﺼﺮﻳﺢ ﺇﻟﻰ اﻟﺘﻤﻮﻳﻪ


Awalnya Abul-Hasan Al-Asy’ari menyatakan pemikiran mu’tazilah, kemudian dia rujuk lalu membantah mereka. Sesungguhnya madzhabnya adalah ta’thil (menafikan Sifat), akan tetapi dia hanyalah berpindah dari sikap terang-terangan ke sikap menyamarkan (Dzammul-Kalãm wa Ahlih:4/408)


Berkata Abul-Hasan Al-Karkhi Asy-Syafii:


ﻭﻛﺎﻥ اﻟﺸﻴﺦ ﺃﺑﻮ ﺣﺎﻣﺪ اﻹﺳﻔﺮاﺋﻴﻨﻲ ﺷﺪﻳﺪ اﻹﻧﻜﺎﺭ ﻋﻠﻰ اﻟﺒﺎﻗﻼﻧﻲ ﻭﺃﺻﺤﺎﺏ اﻟﻜﻼﻡ


Asy-Syaikh Abu Hamid Al-Isfirãini adalah seorang yang sangat keras pengingkarannya terhadap Al-Baqillani dan orang-orang ahli kalam…


Dan (Dar’u Ta’ãrudh Al-‘Aql wan-Naql:2/96, Al-Fatawa Al-Kubra:6/600


✅5.Al-Imam Abu Umar Muhammad ibn Al-Husain Al-Bisthãmi Asy-Syafi’i Al-Wa’izh rahimahullah (wafat: 408 H)


Beliau berkata:


ﻛﺎﻥ ﺃﺑﻮ اﻟﺤﺴﻦ اﻷﺷﻌﺮﻱ ﺃﻭﻻ ﻳﻨﺘﺤﻞ اﻻﻋﺘﺰاﻝ، ﺛﻢ ﺭﺟﻊ ﻓﺘﻜﻠﻢ ﻋﻠﻴﻬﻢ، ﻭﺇﻧﻤﺎ ﻣﺬﻫﺒﻪ اﻟﺘﻌﻄﻴﻞ، ﺇﻻ ﺃﻧﻪ ﺭﺟﻊ ﻣﻦ اﻟﺘﺼﺮﻳﺢ ﺇﻟﻰ اﻟﺘﻤﻮﻳﻪ


Awalnya Abul-Hasan Al-Asy’ari menyatakan pemikiran mu’tazilah, kemudian dia rujuk lalu membantah mereka. Sesungguhnya madzhabnya adalah ta’thil (menafikan Sifat), akan tetapi dia hanyalah berpindah dari sikap terang-terangan ke sikap menyamarkan (Dzammul-Kalãm wa Ahlih:4/408)


✅6.Al-Hafidz Abu Hatim Ahmad ibn Al-Hasan ibn Muhammad Ar-Razi yang dikenal dengan Khamusy (wafat: antara 430-440 H)


Berkata Syaikhul-Islam Al-Harawi rahimahullah:


(ﺳﻤﻌﺖ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ اﻟﺤﺴﻦ اﻟﺨﺎﻣﻮﺷﻲ اﻟﻔﻘﻴﻪ اﻟﺮاﺯﻱ ﻓﻲ ﺩاﺭﻩ ﺑﺎﻟﺮﻱ ﻓﻲ ﻣﺤﻔﻞ ﻳﻠﻌﻦ اﻷﺷﻌﺮﻳﺔ، ﻭﻳﻄﺮﻱ اﻟﺤﻨﺎﺑﻠﺔ)


Saya mendengar Ahmad ibn Al-Hasan Al-Khamusyi Al-Faqih Ar-Razi di rumahnya di kota Ray dalam suatu majlis dia melaknat Asy’ariyyah dan memuji Hanabilah.(Dzammul-Kalam:4/420


✅7.Al-Imam Al-Hafidz Abu Nashr Ubaidillah ibn Sa’id As-Sijzi Al-Hanafi rahimahullah (wafat: 444 H)


Setelah menyebutkan tokoh-tokoh Mu’tazilah, beliau berkata:


ﺛﻢ ﺑﻠﻲ ﺃﻫﻞ اﻟﺴﻨﺔ ﺑﻌﺪ ﻫﺆﻻء -ﺃﻱ اﻟﻤﻌﺘﺰﻟﺔ – ﺑﻘﻮﻡ ﻳﺪﻋﻮﻥ ﺃﻧﻬﻢ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ اﻻﺗﺒﺎﻉ. ﻭﺿﺮﺭﻫﻢ ﺃﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﺿﺮﺭ اﻟﻤﻌﺘﺰﻟﺔ ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ، ﻭﻫﻢ ﺃﺑﻮ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻛﻼﺏ، ﻭﺃﺑﻮ اﻟﻌﺒﺎﺱ اﻟﻘﻼﻧﺴﻲ، ﻭﺃﺑﻮ اﻟﺤﺴﻦ اﻷﺷﻌﺮﻱ…ﻭﻛﻠﻬﻢ ﺃﺋﻤﺔ ﺿﻼﻝ ﻳﺪﻋﻮﻥ اﻟﻨﺎﺱ ﺇﻟﻰ ﻣﺨﺎﻟﻔﺔ اﻟﺴﻨﺔ ﻭﺗﺮﻙ اﻟﺤﺪﻳﺚ


Kemudian setelah mereka (Mu’tazilah), Ahlussunnah diuji dengan suatu kaum yang mengaku bahwa mereka adalah ahlu Ittiba’, (padahal) bahaya mereka lebih berbahaya dari Mu’tazilah dan selainnya. Mereka itu adalah: Abu Muhammad ibn Kilab, Abul-Abbas Al-Qalanisi, ABUL-HASAN AL-ASY’ARI… (Lalu beliau meyebutkan tokoh-tokoh setelahnya).


Setelah itu beliau berkata):


MEREKA SEMUA ITU ADALAH PARA IMAM KESESATAN YANG MENGAJAK MANUSIA AGAR MENYELISIHI SUNNAH DAN MENINGGALKAN HADITS.(Risalah As-Sijzi Ila Ahli Zubaid:343-346)


✅8.Al-Imam Al-Hafidz Al-Kabir Abu Muhammad Ali ibn Ahmad Ibn Said ibn Hazm Azh-Zhahiri (wafat: 456 H)


Beliau mengomentari tentang salah satu pemikiran Asy’ariyyah yaitu masalah Ilmu Allah adalah selain Allah tapi selalu bersamaNya:


…ﻭﻣﺎ ﻗﺎﻝ ﺑﻬﺬا ﺃﺣﺪ ﻗﻂ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ اﻹﺳﻼﻡ ﻗﺒﻞ ﻫﺬﻩ اﻟﻔﺮﻗﺔ اﻟﻤﺤﺪﺛﺔ ﺑﻌﺪ اﻟﺜﻼﺛﻤﺎﺋﺔ ﻋﺎﻡ -ﺃﻱ اﻷﺷﺎﻋﺮﺓ-، ﻓﻬﻮ ﺧﺮﻭﺝ ﻋﻦ اﻹﺳﻼﻡ ﻭﺗﺮﻙ ﻟﻹﺟﻤﺎﻉ اﻟﻤﺘﻴﻘﻦ


Tidak ada seorang pun dari Ahli Islam berpendapat demikian sebelum firqah bid’ah ini setelah 300 tahun -yaitu Asy’ariyyah-, ini adalah keluar dari islam dan meninggalkan Ijma yang pasti.(Al-Fashl Fil-Milal:2/105)


Beliau adalah Imam besar madzhab Azh-ZhahiriyyaH


✅9.Al-Imam Al-Qadhi Abul-Husain Muhammad ibn Muhammad ibn Al-Husain Al-Farra Al-Hanbali (wafat: 526 H)


Berkata Al-Hafidz As-Silafi:


(ﻛﺎﻥ ﺃﺑﻮ اﻟﺤﺴﻴﻦ ﻣﺘﻌﺼﺒﺎ ﻓﻲ ﻣﺬﻫﺒﻪ، ﻭﻛﺎﻥ ﻛﺜﻴﺮا ﻣﺎ ﻳﺘﻜﻠﻢ ﻓﻲ اﻷﺷﺎﻋﺮﺓ ﻭﻳﺴﻤﻌﻬﻢ، ﻻ ﺗﺄﺧﺬﻩ ﻓﻲ اﻟﻠﻪ ﻟﻮﻣﺔ ﻻﺋﻢ)


Dahulu Abul-Husain adalah seorang yang fanatik terhadap madzhabnya, dan beliau sering berbicara tentang Asy’ariyyah dan terang-terangan kepada mereka, beliau tidak takut celaan pencela karena Allah.(As-Siyar:19/602)


✅10.Al-Imam Abul-Husain Yahya ibn Abil-Khair Al-Imrani Al-Yamani Asy-Syafi’i rahimahullah (wafat: 558 H),


Beliau berkata:


وأقوال الأشعرية مثبتة على أصول المعتزلة لأن أبا الحسن كان معتزلياً


Pemikiran-pemikiran Asy’ariyyah ditetapkan di atas pokok pemikiran mu’tazilah, karena Abul-Hasan dahulunya adalah seorang Mu’tazili.(Al-Intishãr Fir-Rad Alal-Mu’tazilah:2/648)Beliau penulis Kitab Al-Bayan Fi Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i.


✅11.Al-Imam Abu Muhammad Abdul-Qadir ibn Abi Shalih Al-Jailani Al-Hanbali rahimahullah (wafat:561 H)


Ketika berbicara masalah Shaut dan Huruf pada sifat Kalamullah, beliau berkata:


ﻭﻗﺪ ﻧﺺ اﻹﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ ﺭﺣﻤﻪ اﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻠﻰ ﺇﺛﺒﺎﺕ اﻟﺼﻮﺕ ﻓﻲ ﺭﻭاﻳﺔ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﻣﻦ اﻷﺻﺤﺎﺏ ﺭﺿﻮاﻥ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺃﺟﻤﻌﻴﻦ ﺧﻼﻑ ﻣﺎ ﻗﺎﻟﺖ اﻷﺷﻌﺮﻳﺔ ﻣﻦ ﺃﻥ ﻛﻼﻡ اﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻣﻌﻨﻰ ﻗﺎﺋﻢ ﺑﻨﻔﺴﻪ، ﻭاﻟﻠﻪ ﺣﺴﻴﺐ ﻛﻞ ﻣﺒﺘﺪﻉ ﺿﺎﻝ ﻣﻀﻞ.


Al-Imam Ahmad telah menegaskan tentang penetapan Shaut (suara) dalam riwayat sejumlah sahabatnya (murid-muridnya) radhiyallahu anhum, berbeda dengan apa yang diyakini oleh Asy’ariyyah bahwasanya Kalamullah adalah makna yang berdiri sendiri. Allah yang akan menghisab setiap ahli bid’ah yang sesat lagi menyesatkan.(AlGunyah:1/131)


Beliau dikenal di kalangan Shufiyyah: Abdul-Qadir Al-Jailani. Banyak disandarkan kepadanya hal-hal yang dusta


✅12.Al-Imam Abu Muhammad Abdullah ibn Ahmad ibn Qudamah Al-Maqdisi Al-Hanbali (wafat: 620 H)


Beliau berkata:


(ﻭﻻ ﻧﻌﺮﻑ ﻓﻲ ﺃﻫﻞ اﻟﺒﺪﻉ ﻃﺎﺋﻔﺔ ﻳﻜﺘﻤﻮﻥ ﻣﻘﺎﻟﺘﻬﻢ ﻭﻻ ﻳﺘﺠﺎﺳﺮﻭﻥ ﻋﻠﻰ ﺇﻇﻬﺎﺭﻫﺎ ﺇﻻ اﻟﺰﻧﺎﺩﻗﺔ ﻭاﻷﺷﻌﺮﻳﺔ)


Kami tidak ketahui di kalangan ahli Bid’ah sebuah kelompok yang menyembunyikan pemikiran mereka dan tidak berani menampakannya selain Zanadiqah dan Asy’ariyyah.(Al-Munazharah Fil-Qur’an:35)


Beliau adalah Imam Besar Madzhab Hanabilah. Penulis kitab Al-Mughni.


Ucapan para ulama sangatlah banyak dalam masah ini. Yang penulis bawakan di sini adalah yang terang-terangan menyebut firqah Asy’ariyyah. Syaikhul-Islam Abu Ismail Al-Harawi membuat Bab khusus dalam kitabnya Dzammul-Kalãm wa Ahlih: Bab Dzikri Kalam Al-Asy’ari (Bab penyebutan pemikiran/ideologi Al-Asy’ari).


Adapun yang secara umum mencela Ahli Kalam maka sangatlah banyak, juga celaan mereka terhadap firqah Kullabiyyah yang merupakan asal dan induk firqah Asy’ariyyah sangatlah banyak.


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/08/ijma-ulama-sejak-sahabat-tentang.html

https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/08/kibar-syafiiyah-itsbat-allah-istiwa-di.html

https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/08/ijma-ulama-mazhab-itsbat-sifat-al-uluw.html

Sabtu, 05 Desember 2020

SYAFI'IYAH MUTAQODDIMIN MENYELISIHI ASY'ARIYAH

 SYAFI'IYAH MUTAQODDIMIN MENYELISIHI ASY'ARIYAH 

(SILSILAH SANAD AQIDAH SALAF SYAFI'IYAH) 


Berikut ulama ulama Syafi'iyah kami urutkan sejak masa hidupnya berbarengan dengan Abul Hasan Asy'ari (260 - 324 H) sebelum ruju ke manhaj salaf. 


Pemahaman Asy'ariyah terhitung pemahaman baru, tidak dikenal sebelumnya dari kalangan ulama ahlusunnah ashabul hadits terutama dari kalangan Syafi'iyah, yang beraqidah Salaf seperti halnya pula pengikut imam Ahmad bin Hanbal. 


Dari sekilas sejarah ini kita akan tahu betapa keji kaidah AQIDAH ASY'ARI FIQIH SYAFI'I, seakan aqidah Syafi'i sesat dan batil, padahal aqidah inilah haq sesuai jalannya salaf 3 generasi terbaik. 


Zakariyaa As-Saaji (wafat tahun 307 H)


Beliau adalah Abu Yahya Zakaria bin Yahya As-Saji Asy-Syafi'i merupakan muhaddist kota Bashrah masanya, dan faqih Madzhab Syafi'i. Menurut Adz-Dzahabi, Beliau merupakan salah satu guru Abu Hasan Al-Asy'ari dalam bidang hadist waktu masih kecil dan belum aliran Mu'tazilah. 


Beliau berkata :

القول في السنة التي رأيت عليها أصحابنا أهل الحديث الذين لقيناهم أن الله تعالى على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء”.

“Perkataan tentang sunnah yang aku lihat merupakan perkataan para sahabat kami –dari kalangan Ahlul Hadits yang kami jumpai- bahwasanya Allah ta’aala di atas ‘arsyNya di langit, Ia dekat dengan makhluknya sesuai dengan yang dikehendakiNya”

(Al-‘Uluw li Al-‘Aliy Al-‘Adziim li Adz-Dzahabi 2/1203 no 482)


Disini diketahui, bahwa pemahaman Asy'ariyah adalah pemahaman baru, dimana sebelumnya TIDAK DIKENAL,


Ahlusunnah ashabul hadits bermanhaj salaf berkeyakinan Allah istiwa diatas arsy, sedang Asy'ariyah mentakwil dengan istaula (menguasai). Dan ini keyakinan 3 generasi salaf. 


Ini menjadi bukti bahwa Asy’ariyah itu BEDA dengan SALAF AHLUSUNNAH ASHABUL HADITS 


Al-Imam Abul-Abbas Ahmad ibn Umar ibn Suraij Al-Bagdadi Asy-Syafi’i (wafat:306 H), ulama yang sezaman dengan As Saaji. Beliau bergelar Imam Asy-Syafi’i Kedua.


Beliau berkata:


( ﻻ ﻧﻘﻮﻝ ﺑﺘﺄﻭﻳﻞ اﻟﻤﻌﺘﺰﻟﺔ، ﻭاﻷﺷﻌﺮﻳﺔ، ﻭاﻟﺠﻬﻤﻴﺔ، ﻭاﻟﻤﻠﺤﺪﺓ، ﻭاﻟﻤﺠﺴﻤﺔ، ﻭاﻟﻤﺸﺒﻬﺔ، ﻭاﻟﻜﺮاﻣﻴﺔ، ﻭاﻟﻤﻜﻴﻔﺔ، ﺑﻞ ﻧﻘﺒﻠﻬﺎ ﺑﻼ ﺗﺄﻭﻳﻞ، ﻭﻧﺆﻣﻦ ﺑﻬﺎ ﺑﻼ ﺗﻤﺜﻴﻞ، ﻭﻧﻘﻮﻝ اﻹﻳﻤﺎﻥ ﺑﻬﺎ ﻭاﺟﺐ، ﻭاﻟﻘﻮﻝ ﺑﻬﺎ ﺳﻨﺔ، ﻭاﺑﺘﻐﺎء ﺗﺄﻭﻳﻠﻬﺎ ﺑﺪﻋﺔ)


Kami tidak berpendapat (dalam ayat-ayat dan hadits-hadits tentang sifat Allah) dengan ta’wilnya Mu’tazilah, Asy’ariyyah, Jahmiyyah, Mulhidah, Mujassimah, Musyabbihah, Karramiyyah, dan Mukayyifah. Bahkan kami menerimanya tanpa menta’wil, beriman kepadanya tanpa tamtsil, dan kami berpendapat: beriman kepadanya adalah wajib dan berpendapat dengannya adalah sunnah, dan mencari ta’wilnya adalah bid’ah.(Ijtimã’ Al-Juyûsy Al-Islãmiyyah:119)


Abu Bakr Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah Asy Syafi'i (223 H-311 H)


وقال الإمام ابن خزيمة في التوحيد «باب ذكر البيان أن الله عز وجل في السماء) ما يلي : «كما أخبرنا (الله) في محكم تنزيله وعلى لسان نبيه عليه السلام، وكما (هو) مفهوم في ...


Beliau berkata dalam kitabnya At-Tauhiid 1/254

“Bab : Penyebutan penjelasan bahwasanya Allah Azza wa Jalla di langit:

Sebagaimana Allah kabarkan kepada kita dalam Al-Qur’an dan melalui lisan NabiNya –’alaihis salaam- dan sebagaimana hal ini dipahami pada fitroh kaum muslimin, dari kalangan para ulama mereka dan orang-orang jahilnya mereka, orang-orang merdeka dan budak-budak mereka, para lelaki dan para wanita, orang-orang dewasa dan anak-anak kecil mereka. Seluruh orang yang berdoa kepada Allah jalla wa ‘alaa hanyalah mengangkat kepalanya ke langit dan menjulurkan kedua tangannya kepada Allah, ke arah atas dan bukan kearah bawah”


Utsmaan bin Sa’iid Ad-Darimi Asy Syafi'i (wafat 280 H)


Beliau berkata:

قَدِ اتَّفَقَتِ الْكَلِمَةُ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ ، أَنَّ اللهَ بِكَمَالِهِ فَوْقَ عَرْشِهِ ، فَوْقَ سَمَوَاتِهِ


Beliau berkata dalam kitab beliau Ar-Rod ‘alal Marriisi

“Dan telah sepakat perkataan kaum muslimin dan orang-orang kafir bahwasanya Allah berada di langit, dan mereka telah menjelaskan Allah dengan hal itu (yaitu bahwasanya Allah berada di atas langit -pent) kecuali Bisyr Al-Marrisi yang sesat dan para sahabatnya. Bahkan anak-anak yang belum dewasa merekapun mengetahui hal ini, jika seorang anak kecil tersusahkan dengan sesuatu perkara maka ia mengangkat kedua tangannya ke Robb-Nya berdoa kepadaNya di langit, dan tidak mengarahkan tangannya ke arah selain langit. Maka setiap orang lebih menetahui tentang Allah dan dimana Allah daripada Jahmiyah” (Rod Ad-Darimi Utsmaan bin Sa’iid alaa Bisyr Al-Mariisi Al-‘Aniid Hal 25)


Al Muzani Asy Syafi'i (175-264)


Beliau adalah murid langsung imam Syafi'i. 


Beliau berkata dalam bukunya Ushul sunnah : 


الْحَمْدُ لِلّهِ أَحَقُّ مَنْ ذُكِرَ وَأَوْلَى مَنْ شُكِرَ وَعَلَيْهِ أُثْنِي الْوَاحِدُ الصَّمَدُ الَّذِي لَيْسَ لَهُ صَاحِبَةٌ وَلاَ وَلَد جَلَّ عَنِ الْمَثِيْلِ فَلاَ شَبِيْهَ لَهُ وَلاَ عَدِيْلَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ الْعَلِيْمُ الْخَبِيْرُ اْلمنِيْعُ الرَّفِيْعُ 


Segala puji bagi Allah, Dzat Yang Paling berhak untuk diingat, Yang Paling Utama untuk disyukuri. Kepada-Nyalah aku memuji. Yang Maha Tunggal, Tempat bergantung (seluruh makhluk), Yang tidak memiliki istri maupun anak. Maha Mulya (jauh) dari yang semisal. Tidak ada yang serupa bagi-Nya maupun sebanding. Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Berilmu, Maha Mengetahui secara detail. Maha Mencegah dan Yang Maha Tinggi.


عَالٍ عَلَى عَرْشِهِ فِي مَجْدِهِ بِذَاتِهِ وَهُوَ دَانٍ بِعِلْمِهِ مِنْ خَلْقِهِ أَحَاطَ عِلْمُهُ بِاْلأُمُوْرِ وَأَنْفَذَ فِي خَلْقِهِ سَابِقَ الْمَقْدُوْرِ وَهُوَ الْجَوَّادُ الْغَفُوْرُ {يَعْلَمُ خَائِنَةَ اْلأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُوْرُ}


Tinggi di atas ‘Arsy-Nya, dalam Kemulyaan-Nya dengan Dzat-Nya. Dia dekat dengan Ilmu-Nya dari hamba-Nya. Ilmu-Nya meliputi segala perkara. Dan Dia mewujudkan dalam penciptaan-Nya (sesuai) yang telah ditaqdirkan sebelumnya. Dan Dia Yang Maha Dermawan lagi Maha Pengampun. {Dia Mengetahui pandangan-pandangan mata yang berkhianat dan segala yang disembunyikan (dalam) dada (Q.S Ghafir/ al-Mu’min:19)


Imam Asy Syafi'i (wafat tahun 204 H) 


الإمام الشافعي ت 204 هـ. قال رحمه الله : القول في السنة التي أنا عليها ورأيت أصحابنا عليها , أهل الحديث الذين رأيتهم فأخذت عنهم مثل : سفيان ومالك وغيرهما : الإقرار بشهادة أن لا إله إلا الله وأن محمد رسول الله , وأن الله على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء . وصية الإمام الشافعي ص / 53 – 54

Berkata Asy Syafi'i, pendapat sesuai sunnah yang aku berada diatas nya, juga aku melihatnya para sahabatku juga diatasnya, mereka adalah ahlul Hadits Sufyan, Malik dan dst : menetapkan dengan persaksian Aku bersaksi tiada sesembahan Yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah Rosul Nya, dan Allah berada di atas langit, dekat dengan para hambaNya dengan kehendak Nya, 

 

 -وقال أيضاً : وأن الله عز وجل يرى في الآخرة ينظر إليه المؤمنين أعياناً جهاراً ويسمعون كلامه وأنه فوق العرش . وصية الإمام الشافعي ص / 38 – 39

Berkata Asy Syafi'i, sesungguhnya Allâh melihat di akhirat, orang-orang beriman memandang Nya secara langsung dan terbuka, mendengar kata-kata Nya, dan Dia berada di atas arsy


Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah juga berkata, “Dan yang lebih aku sukai jika ia menguji sang budak tentang pengakuannya terhadap hari kebangkitan setelah kematian dan yang semisalnya”. Dan Al-Imam Asy-Syafii menyebutkan hadits Mu’aawiyah bin Al-Hakam, bahwasanya Ia berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata tentang budak wanita yang ditampar olehnya, “Apakah wajib bagiku untuk membebaskan seorang budak?”. Maka Rasulullah bertanya kepada budak wanita tersebut, “Dimanakah Allah?”. Sang budak berkata, “Di langit”. Lalu Rasulullah bertanya lagi, “Siapakah saya?”. Maka sang budak wanita berkata, “Anda adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Maka Rasulullah berkata, “Bebaskan budak wanita ini” (Manaaqib Asy-Syaafi’i 1/394)

Kontradiksi Asy'ariyah bag 2

 Kontradiksi Asy'ariyah bag 2


Asy'ariyah dalam perkara asma wassifat terbagi menjadi 3 tahapan pemahaman sesuai kondisi pemahaman pendirinya yakni Abul Hasan Al Asy’ari.


1 Tahap Asy’ari mutazilah (Asy’ariyyah mutaqodimin), pemikiran ini memahami sifat allah menurut mutazilah Jahmiyah, mereka menetapkan tapi tidak mengakui maknanya, umumnya tidak mengakui semua sifat Allah, menyelisihi dalil Qur'an dan Sunnah.


Pemahaman ini dianut sejak kecil, diasuh oleh ayah tirinya yang seorang ulama mutazilah, Ali Al Jubai, lahir besar di basrah (260 H) sebagai pusat perkembangan mutazilah waktunya itu. 


Pemahaman ini meyakini juga Allah berada dimana mana, Allah ada di dalam bumi, dan menyalahkan siapa saja yang meyakini allah istiwa di atas Arsy dengan tuduhan mujassimah musyabbihah.


Keyakinan ini serupa dengan Jahmiyah yang dikafirkan para ulama, mereka bangkit membela Allah dengan menulis buku buku seperti rodd alal Jahmiyyah seperti ad Darimi, al Bukhori, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, dll yang umumnya ulama ahlul Hadits.


Kisah taubatnya dari pemikiran Mu’tazilah ini sangat populer. Beliau melepas pakaiannya seraya berkata: “Aku melepaskan keyakinan Mu’tazilah dari pemikiranku, seperti halnya aku melepaskan jubah ini dari tubuhku,” kemudian beliau melepas jubah yang dikenakannya. Secara simbolis, itu merupakan pernyataan bahwa beliau berlepas diri dari pemikiran Mu’tazilah dan dari kaum Mu’tazilah. Ahli sejarah negeri Syam, Al Hafizh Abul Qasim Ali bin Hasan bin Hibatillah bin Asakir Ad Dimasyq (wafat tahun 571) dalam kitab At Tabyin menceritakan peristiwa tersebut: Abu Ismail bin Abu Muhammad bin Ishaq Al Azdi Al Qairuwani, yang dikenal dengan sebutan Ibnu ‘Uzrah bercerita, Abul Hasan Al Asy’ari adalah seorang yang bermadzhab Mu’tazilah. Dan memegang madzhab ini selama 40 tahun. Dalam pandangan mereka, beliau adalah seorang imam. Kemudian beliau menghilang selama lima belas hari. Secara tiba-tiba, beliau muncul di masjid Jami’ kota Bashrah. Dan setelah shalat Jum’at, beliau naik ke atas mimbar seraya berkata,”Hadirin sekalian. Aku menghilang dari kalian selama beberapa hari, karena ada dalil-dalil yang bertentangan dan sama kuatnya, namun aku tidak mampu menetapkan mana yang hak dan mana yang batil. Dan aku tidak mampu membedakan mana yang batil dan mana yang hak. Kemudian aku memohon petunjuk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka Dia memberiku petunjuk, dan aku tuangkan ke dalam bukuku ini. Dan aku melepaskan semua aqidah (keyakinan) yang dulu aku pegang, sebagaimana aku membuka bajuku ini.” Kemudian beliau membuka bajunya dan membuangnya, lalu memberikan bukunya tersebut kepada para hadirin.


Abul hasan Asy'ari pada tahap mutaqodimin ini sudah terkenal sebagai imam mutazilah, memiliki banyak pengikut. 


2 Tahap Asy'ari bertaubat dari mutazilah (Asy'ariyah kullabiyah). Dalam tahap ini Abul hasan setelah merenung dalil dalil Qur’an dan Sunnah lantas membuang pemikiran mutazilah dan bertaubat. Dalam masa ini abul hasan banyak membantah mutazilah yang dulu diyakini dengan buku buku yang banyak tersebar. 


Sayangnya, dalam membantah mutazilah beliau menggunakan pemahaman kullabiyah, yakni meyakini dan menetapkan sifat Allah SEBAGIAN SAJA, sesuai dengan rasio akal yang banyak bergantung dengannya. Tahap ini meyakini sifat khobariyah yang 7 yaitu sifat Ma'ani, seperti ilmu, irodah, qudroh, hayyah, bashor, kalam, sama'. Mereka sendiri khilaf pada sifat baqo, takwin, qodam sebagian menyebutnya juga, al idrook. 


وينظر: "شرح الصاوي على الجوهرة "، ص141 ، "حواشي على شرح الكبرى" (206-209) ، "التحقيق التام في علم الكلام" ، للشيخ الظواهري (93-97) .


Dan menolak menetapkan sifat Dzatiyah (tangan, wajah, kaki dll) 


Dalam menentukan sifat itu Yang menggunakan rasio akal. Tahap pemahaman ini menggunakan takwil sifat, sepertiga istaula atau istila', dan mentakwil sifat lainnya. 


Tahap ini banyak terpengaruh dengan pemahaman Muhammad Ibnu Kullab, yang sangat bertentangan dengan mutazilah dari berbagai sisi, kullabiyah sebenarnya ingin membela aqidah tapi menggunakan sarana ilmu kalam yang berdasarkan akal rasio, sehingga juga terjebak pada kesalahan kesalahan akal manusia yang tidak sempurna. Kullabiyah juga menolak al Qur'an sebagai Kalamullah, makan banyak ulama pada zamannya memberikan peringatan kesalahan paham ini, seperti imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Khuzaimah dll. 


Pada tahap ini pemahaman beliau dikenal sebagai Asy'ariyah, meski ini tahapan sementara tapi sudah kandung tersebar dan terkenal di seluruh dunia islam, dikala runtuh nya khilafah Abbasiyah, kaum muslimin banyak peperangan dengan Nasrani dan pasukan tartar mongol, hingga di kerajaan Bani Saljuk dipakai resmi dan diteruskan pada masa Bani Mamluk. 


Pada zaman khilafah Abbasiyah masih ada, pemahaman Asy'ariyah dibenci oleh seluruh kaum muslimin dan para ulama banyak yang memberi peringatan kesalahan bahkan menyesatkan dan mengkafirkan. 


Di masa Daulah Umayyah dan Daulah Abbasiyah selama 750 tahun. Kaum muslimin dan pemerintahnya berpegang teguh di atas Manhaj Salaf di dalam memahami sifat-sifat Allah. 


Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan:

قال البيهقي: ولم يكن في الخلفاء قبله من بني أمية وبني العباس خليفة إلا على مذهب السلف ومنهاجهم

“Al-Baihaqi berkata: “Tidak ada satu khalifah pun sebelum al-Makmun dari kalangan Daulah Umayyah dan Daulah Abbasiyah kecuali berada di atas Madzhab dan Manhaj Salaf.” (Al-Bidayah wan Nihayah: 10/365)..


Pada masa Khalifah al-Qadir billah (khalifah ke-26 Daulah Abbasiyah, wafat tahun 422 H). Beliau juga berpegang kepada Madzhab Salaf. Abu Bakar al-Khathib al-Baghdadi rahimahullah menyatakan:

وعرف بها عند كل أحد مع حسن المذهب وصحة الاعتقاد وكان صنف كتابا في الأصول ذكر فيه فضائل الصحابة على ترتيب مذهب أصحاب الحديث

“Al-Qadir billah dikenal oleh setiap orang dengan banyaknya amal shalih disertai madzhab yang baik dan kesahihan akidah. Beliau juga menulis sebuah kitab tentang ‘Ushul’. Beliau menerangkan keutamaan para sahabat dalam kitab tersebut menurut urutan Madzhab Ahlul Hadits…dst.” (Tarikh Baghdad: 4/37).


Di antara akidah Khalifah al-Qadir billah yang pernah dibacakan di hadapan para ulama di Baghdad adalah:

وأنه خلق العرش لا لحاجة واستوى عليه كيف شاء لا استواء راحة وكل صفة وصف بها نفسه أو وصفه بها رسوله فهي صفة حقيقة لا صفة مجاز وكلام الله غير مخلوق أنزله على رسوله

“Dan bahwa Allah menciptakan Arsy bukan karena kebutuhan. Allah bersemayam di atasnya dengan tatacara yang dikehendaki-Nya, bukan bersemayam untuk beristirahat. Setiap sifat yang mana Allah menyifati diri-Nya dengan sifat tersebut, atau disifati oleh Rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam, maka itu merupakan sifat yang hakiki bukan sifat majazi. Firman Allah bukanlah makhluk, diturunkan oleh-Nya kepada rasul-Nya.” (Al-Uluw lil Aliyyil Ghaffar: 245).


Di masa Khalifah al-Qadir billah ini, ajaran Asy’ariyah menjadi ajaran yang dibenci oleh kaum muslimin. Al-Qadhi Abu Bakar al-Baqilani -yang menjadi tokoh ajaran Asy’ariyah ini- sangat tidak nyaman dengan sikap al-Imam Abu Hamid al-Isfarayni asy-Syafi’i (wafat tahun 406 H) rahimahullah yang bermanhaj Salaf.


Al-Imam Abu Ishaq asy-Syairazi asy-Syafi’i berkata:

كان أبو بكر الباقلاني يخرج إلى الحمام مبرقعا خوفا من الشيخ أبي حامد الإسفرائيني

“Adalah Abu Bakar al-Baqilani keluar menuju tempat pemandian dengan memakai cadar karena takut terhadap asy-Syaikh Abu Hamid al-Isfarayni.” (Al-Aqidah al-Ishfahaniyah: 59).


Tentang Abu Hamid Ahmad ibn Abi Thahir Al-Isfirãini rahimahullah (wafat:406 H), Berkata Abul-Hasan Al-Karkhi Asy-Syafii:


ﻭﻛﺎﻥ اﻟﺸﻴﺦ ﺃﺑﻮ ﺣﺎﻣﺪ اﻹﺳﻔﺮاﺋﻴﻨﻲ ﺷﺪﻳﺪ اﻹﻧﻜﺎﺭ ﻋﻠﻰ اﻟﺒﺎﻗﻼﻧﻲ ﻭﺃﺻﺤﺎﺏ اﻟﻜﻼﻡ


Asy-Syaikh Abu Hamid Al-Isfirãini adalah seorang yang sangat keras pengingkarannya terhadap Al-Baqillani dan orang-orang ahli kalam…


Dan (Dar’u Ta’ãrudh Al-‘Aql wan-Naql:2/96, Al-Fatawa Al-Kubra:6/600


Abu Ahmad bin Muhamad bin Ali bin Muhammad Al-Karji, lebih dikenal dengan sebutan Al-Qashshab rahimahullah (360H) berkata dalam Al-I'tiqad Al-Qadiri yang ditulis untuk Amirul Mukminin Al-Qadir bi Amrillah, tahun 433H yang direkomendasi oleh para ulama saat itu dan kemudian risalah Al-Qadiriah ini diisi ke penjuru negeri:


" لا يوصف إلا بما وصف به نفسه أو وصفه به نبيه، وكل صفة وصف بها نفسه، أو وصفه بها نبيه، فهي صفة حقيقية لا صفة مجاز ، ولو كانت صفة مجاز لتحتم تأويلها ، ولقيل : معنى البصر كذا ، ومعنى السمع كذا ، ولفسرت بغير السابق إلى الأفهام ، فلما كان مذهب السلف إقرارها بلا تأويل ، علم أنها غير محمولة على المجاز، وإنما هي حق بيّن " انتهى نقلا عن " المنتظم" لابن الجوزي في المنتظم في حوادث سنة 433هـ ، "سير أعلام النبلاء" (16/213).


 "(Allah) tidak disifati kecuali dengan sifat yang telah Dia tetapkan untuk diri-Nya sendiri atau sifat yang telah ditetapkan oleh nabi-Nya. Sifat yang telah Dia tetapkan untuk diri-Nya sendiri atau yang ditetapkan oleh Rasul-Nya adalah hakikat, bukan sifat majaz. Seandainya sifat-sifat itu majaz, maka dia harus ditakwil. Maka harus dikatakan, 'Makna bashar (melihat) adalah begini, makna 'sam'u' (mendengar) adalah begitu... dan harus ditafsirkan dengan sesuatu yang terpikirkan oleh pemahaman sebelumnya. Karena mazhab salaf menetapkan sifat-sifat Allah tanpa takwil, maka dapat disimpulkan bahwa sifat-sifat tersebut tidak dapat dipahami sebagai majaz (kiasan), akan tetapi dia merupakan hakikat yang jelas." (Dikutip dari kitab Al-Muntazam, Ibnu Jauzi dalam Al-Muntazam dalam kejadian tahun 433, Siyar A'lam An-Nubala, 16/213)



3 Tahap Asy'ari rujuk ke manhaj salaf, mengikuti pemahaman salaf 3 generasi, beliung hijrah ke Baghdad dimana bantai bermukim ulama sunni salafi, pengikut hambali (zaman itu mereka yang beraqidah salaf dijuluki hambali). 


Selama di Baghdad Beliau bertemu dengan Al Barbahari Al Syafi'i penulis syarhussunnah dan menimba ilmu salaf dengan para ulama lainnya. 


Abu Abdillah al-Hamrani berkata:


لما دخل الأشعري إلى بغداد جاء إلى البربهاري فجعل يقول: رددت على الجبائي وعلى أبي هاشم ونقضت عليهم وعلى اليهود والنصارى والمجوس وقلت لهم وقالوا وأكثر الكلام في ذلك فلما سكت قال البربهاري: ما أدري مما قلت قليلاً ولا كثيراً ولا نعرف إلا ما قاله أبو عبد الله أحمد بن حنبل قال: فخرج من عنده وصنف كتاب ” الإبانة ” فلم يقبله منه ولم يظهر ببغداد إلى أن خرج منها


“Ketika Abul Hasan al-Asy’ari memasuki Baghdad, beliau mendatangi al-Imam al-Barbahari (wafat tahun 328 H). Beliau mengatakan: “Aku telah membantah al-Juba’i dan Abu Hasyim. Aku telah membantah mereka. Aku juga telah membantah Yahudi, Nasrani dan Majusi. Aku berkata kepada mereka demikian dan demikian…dst. Ketika beliau diam, maka giliran al-Imam al-Barbahari berkata: “Aku tidak mengenal pendapatmu sedikit ataupun banyak kecuali pendapat al-Imam Ahmad bin Hanbal.” Al-Hamrani berkata: “Kemudian Abul Hasan al-Asy’ari keluar dari majelis al-Barbahari dan menulis kitab ‘al-Ibanah an Ushulid Diyanah’. Al-Barbahari masih tidak mau menerimanya. Beliau tidak muncul di Baghdad sampai kemudian keluar dari Baghdad.” (Thabaqat al-Hanabilah li Ibni Abi Ya’la: 2/16, al-Maqshadul Arsyad li Ibni Muflih: 1/329, Siyar A’lamin Nubala’: 15/90 dan al-Wafi bil Wafayat lish Shafadi: 4/173)


Ditandai dengan ditulisnya buku al Ibanah, maqolat islamiyin juga risalah ahli saghr. Di antara pernyataan al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari rahimahullah dalam ‘al-Ibanah’ adalah:


قولنا الذي نقول به وديانتنا التي ندين بها التمسك بكتاب الله ربنا عز و جل وبسنة نبينا محمد صلى الله عليه و سلم وما روى عن السادة الصحابة والتابعين وأئمة الحديث ونحن بذلك معتصمون وبما كان يقول به أبو عبد الله أحمد بن محمد بن حنبل – نضر الله وجهه ورفع درجته وأجزل مثوبته – قائلون…الخ


“Pendapat yang kami pegangi dan agama yang mana kami beragama dengannya adalah: berpegang teguh dengan Kitab Allah Rabb kami azza wajalla, dengan sunnah Nabi kami Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan juga dengan riwayat dari para pembesar sahabat, tabiin dan para imam ahlul hadits. Kami berpegang teguh dengan itu semuanya. Dan kami juga berpendapat dengan pendapat al-Imam Ahmad bin Hanbal –semoga Allah menjadikan wajah beliau berseri, mengangkat derajat beliau dan memperbanyak pahala beliau-…dst.” (Al-Ibanah an Ushulid Diyanah: 20).


Abul-Hasan Al-Asy’ariy berkata dalam Risalah ahlisaghr 


وأجمعوا . . أنه فوق سماواته على عرشه دون أرضه ، وقد دل على ذلك بقوله : {أأمنتم من في السماء أن يخسف بكم الأرض}، وقال : {إليه يصعد الكلم الطيب والعمل الصالح يرفعه}. وقال : {الرحمن على العرش استوى}، وليس استواءه على العرش استيلاء كما قال أهل القدر، لأنه عز وجل لم يزل مستوليا على كل شيء


“Dan mereka (para ulama Ahlus-Sunnah) bersepakat..... bahwasannya Allah berada di atas langit-langit-Nya, di atas ‘Arsy-Nya, bukan di bumi-Nya. Dan hal itu ditunjukkan melalui firman-Nya : ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu’ (QS. Al-Mulk : 16). Dan Allah berfirman : ‘Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya’ (QS. Faathir : 10). Allah berfirman : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang ber-istiwaa’ di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5). Dan bukanlah yang dimaksud istiwaa’-nya Allah di atas ‘Arsy itu adalah istilaa’ (menguasai) sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang Qadariyyah. Karena Allah ‘azza wa jalla senantiasa berkuasa atas segala sesuatu” [Risaalatun ilaa Ahlits-Tsaghr oleh Abul-Hasan Al-Asy’ariy, hal. 231-234, tahqiq : ‘Abdullah bin Syaakir Al-Junaidiy; Maktabah Al-‘Uluum wal-Hikam, Cet. 2/1422 H].


Kata Imam Abul Hasan Asy'ari dalam kitabnya Maqalat Islamiyyin jil. 1 hlm 236 :


 اختلف المعتزلة في ذلك، فقال قائلون: البارئ بكل مكان، بمعنى أنه مدبر لكل مكان...والقائلون بهذا القول جمهور المعتزلة أبو هزيل والجعفراني والإسكافي ومحمد بن عبد الوهاب الجبائي. وقال قائلون: البارئ لا في مكان، بل هو على ما لم يزل. وهو قول هشام الفوطي وعباد بن سليمان وأبي زفر وغيرهم من المعتزلة. وقالت المعتزلة في قول الله عزوجل (طه: 5) الرحمن على العرش استوىيعني استولى


Maksudnya: Mazhab Muktazilah telah berbeda pendapat dalam masalah ini. Berkata sebahagiannya, Allah berada dimana-mana. Bermaksud mentadbir di setiap tempat. Pendapat ini dipegang oleh Jumhur Muktazilah, Abu Huzail, al-Ja’farani, al-Iskafi dan Muhammad bin Abdul Wahab al-Jubbaie. Sebagian pula berkata Allah tidak bertempat. Pendapat ini ialah pendapat Hisyam al-Fuwathi, Abbad bin Sulaiman, Abi Zufar dan yang lainnya dikalangan muktazilah. Muktazilah berpendapat perkataan Istiwa’ di dalam Firman Allah surah Thoha ayat 5 yang bermaksud Al-Rahman beristiwa’ di atas Arasy ialah bermaksud Istaula iaitu berkuasa. (Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Musollin” jilid 1. halaman 236) 


Dalam pembahasan tempat, beliau mengatakan 


143 - أقوال مثبتي أنه في مكان

1 - وقال قائلون: هو جسم خارج من جميع صفات الجسم ليس بطويل ولا عريض ولا عميق ولا يوصف بلون ولا طعم ولا مجسة ولا شيء من صفات الأجسام وأنه ليس في الأشياء ولا على العرش إلا على معنى أنه

فوقه غير مماس له وأنه فوق الأشياء وفوق العرش ليس بينه وبين الأشياء أكثر من أنه فوقها.

2 - وقال هشام بن الحكم: أن ربه في مكان دون مكان وأن مكانه هو العرش وأنه مماس للعرش وإن العرش قد حواه وحده.

3 - وقال بعض أصحابه: أن البارئ قد ملأ العرش وأنه مماس له.

4 - وقال بعض من ينتحل الحديث: أن العرش لم يمتلئ به وأنه يقعد نبيه عليه السلام معه على العرش.

5 - وقال أهل السنة وأصحاب الحديث: ليس بجسم ولا يشبه الأشياء وأنه على العرش كما قال -عز وجل-: {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى} [طه: 5] ولا نقدم بين يدي الله في القول بل نقول استوى بلا كيف وأنه نور كما قال تعالى: {اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ} [النور: 35] وأن له وجهاً كما قال الله: {وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ} [الرحمن: 27] وأن له يدين كما قال: {خَلَقْتُ بِيَدَيَّ} [ص: 75] وأن له عينين كما قال: {تَجْرِي بِأَعْيُنِنَا} [القمر: 14] وأنه يجيء يوم القيامة هو وملائكته كما قال: {وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفّاً صَفّاً} [الفجر: 22] وأنه ينزل إلى السماء الدنيا كما جاء في الحديث1 ولم يقولوا شيئاً إلا ما وجدوه في الكتاب أو جاءت به الرواية عن رسول الله صلى الله عليه وسلم.

6 - وقالت المعتزلة: أن الله استوى على عرشه بمعنى استولى.


Qoul yang dijadikan dalil bahwa Allah bertempat.

1 sebagian berkata : dia adalah jism yang terpisah disifati kebanyakan jism, tidak panjang atau lebar, dalam, tidak berwarna, juga makanan, tidak kiasan atau diserupakan sesuatu, tidak di arsy melainkan maknanya diatas arsy, tidak bersinggungan dengan sesuatu, Dia diatas segala sesuatu diatas arsy, tidak ada apapun diantara sesuatu yang lebih darinya, sesungguhnya Dia diatas segalanya...

5 Ahlusunnah dan ashabul hadits mereka berkata : bukanlah menyerupakan dengan tubuh (makhluk) dan tidak menyerupakan Dia dengan apapun, dan Dia diatas Arsy sebagaimana Firman Allah sendiri {Ar-Rahman istiwa diatas arsy} [Toha 5]

Kamis tidak ingin mendahului Allah dalam perkataan, bahkan kami katakan istiwa Allah tidak diketahui, bahwa Allah itu cahaya sebagaimana firman {Allah cahaya langit dan bumi}[An-Nur 35]

dan Dia memiliki wajah sebagaiman firman {Dan tetap kekal wajah tuhanmu} [Ar Rohman 27]

Dan Dia memiliki 2 tangan sebagaimana firman {Kuciptakan dengan kedua tanganku} [Shof 75]

Dan Dia memiliki 2 mata sebagaimana firman {yang berlayar dengan pengawasan mata kami} [Qomar 14]

Dan Dia datang bersama malaikat Nya pada hari kiamat sebagaimana firman {Dan Tuhanmu datang sambil malaikat berbaris} [Fajri 22]

Dan Dia turun di sepertiga malam sebagaimana dalam hadits, dan tidak berkata apapun kecuali bersandar pada Qur'an dan apa yang datang riwayat dari rosul shollallohu'alaihiwasallam.

6 Mu'tazilah berkata : bahwa Allah istiwa di arsy maknanya adalah istaula (menguasai).

(Maqalat Islamiyin, bab pembahasan tempat)

Jumat, 04 Desember 2020

Asy'ariyah menyelisihi pemahaman sahabat

 Asy'ariyah menyelisihi pemahaman sahabat


Pemahaman Asy'ariyah menyelisihi pemahaman sahabat, Tabi'in dan dan tabi'ut tabi'in dalam perkara tauhid asma wassifat, dimana Asy'ariyah merubah makna dan menyelewengkan dengan makna yang salah. Sebagian pengikut Asy'ariyah juga tidak mengimani sifat al uluw dan istiwa Allah yang dalilnya sangat banyak dari ayat, hadits, Atsar para sahabat. Mereka tidak tahu bahwa menolak sifat yang ditetapkan Allah ini berarti masuk golongan JAHMIYYAH. 


Berkata abu bakar bin furok al ashbahaniy. Wafat 406 H :

...لأن استواءه على العرش سبحانه ليس على معنى التمكن والاستقرار،

karena istiwanya diatas arsy, maha suci allah, bukan berdasarkan makna bertempat dan istaqarra (berada di atas),

 بل هو على معنى العلو بالقهر والتدبير وارتفاع الدرجة بالصفة، على الوجه الذي يقتضي مباينة الخلق. اهـ

tapi yg demikian berdasarkan makna tinggi dengan menguasai dan mengurus segala urusan dan terangkat derajat dengan sebab sifat, berdasarkan sisi yg menghendaki makna membedakan dengan mahluk.

kitab musykilul hadits wa bayanuhu. Hal. 389


Asy'ariyah mengakui sifat khobariyah yang datang lewat dalil dan menetapkannya, menurut https://islam.nu.or.id/post/read/94112/benarkah-asyariyah-menolak-banyak-sifat-allah-i


Walaupun menetapkan tapi mereka ubah, mereka tolak makna sesuai yang datang sesuai wahyu dan merubah dengan makna lain yang tidak sesuai. 


Ketika istawa (menetap tinggi) diubah menjadi istaula (menguasai), berarti meyakini ADA PENGUASA LAIN SELAIN ALLAH YANG MENGUASAI ARSY, LALU ALLAH KALAHKAN PENGUASA ITU, INI BERARTI MENGAKUI ADA TUHAN SELAIN ALLAH, INILAH  KESYIRIKAN. 


Konsekwensi dari pemahaman ini juga :

1 Menolak (Ta'thil) makna yang sesuai yang datang 

2 Merubah makna (Tahrif) sesuai pemahaman yang diinginkan. 


Padahal Allah berfirman 

Allah Ta’ala berfirman :

يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَن مَّوَاضِعِهِ

“Mereka mentahrif dari makna sesungguhnya“ (An Nisaa’:46). Ungkapan yang digunakan Al Qur’an tentu lebih utama dan lebih menunjukkan kepada makna yang dimaksud.



IJMA SEJAK ZAMAN SAHABAT 


Bahwa Allah istiwa diatas langit dan menetapkan semua sifat yang datang. 


Al-Imam Al-Auzaa’i rahimahullah (wafat 157 H)

قال عالم عصره إمام أهل الشام الأوزاعي (ت ١٥٧) : كنا والتابعون متوافرون نقول أن الله تعالى فوق عرشه ونؤمن بما وردت به السُّنة من صفاته


Al-Auzaa’i berkata : “Ketika kami dahulu –dan para tabi’in masih banyak-kami berkata : Sesungguhnya Allah di atas arsyNya, dan kita beriman dengan sifat-sifatNya yang datang dalam sunnah” (Al-Asmaa’ was sifaat li Al-Baihaqi 2/304 no 865, Al-‘Uluw li Al-‘Aliy Al-‘Adziim li Adz-Dzahabi 2/940 no 334, dan sanadnya dinyatakan Jayyid (baik) oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 13/406-407)


Ishaq bin Rahuwaih (wafat 238H) berkata :


قال الله تعالى {الرحمن على العرش استوى} إجماع أهل العلم أنه فوق العرش استوى ويعلم كل شيء في أسفل الأرض السابعة


“Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ‘Ar Rahman ber-istiwa di atas Arsy’, ini adalah ijma para ulama yaitu bahwa Allah ber-istiwa di atas Arsy, dan Allah mengetahui segala sesuatu hingga di bawah bumi yang ke tujuh” (Al ‘Uluw li ‘Aliyyil Ghaffar, no. 179).


Imam Abu Hanifah (wafat 148 H) رحمه الله تعالىٰ berkata,

"Allah سبحانه و تعالىٰ ada di langit, tidak di bumi."

Kemudian ada seseorang yang bertanya,

"Tahukah anda Allah ﷻ berfirman : 'Wahuwa ma'akum - Dan Allah bersama kalian?'"

Beliau رحمه الله تعالىٰ menjawab,

"Ungkapan itu seperti kamu menulis surat kepada seseorang : 'Aku akan selalu bersamamu.' Padahal kamu jauh darinya."

(Al-Asma' was Shifat, II/170)


Beliau رحمه الله تعالىٰ juga berkata,

"Dalam berdo'a kepada Allah سبحانه و تعالىٰ kita memanjatkan do'a ke atas, bukan ke bawah."

(al-Fiqh al-Absath, hal. 51)


Beliau رحمه الله تعالىٰ juga berkata,

"Barangsiapa yang berkata, 'Aku tidak tahu Rabbku itu dimana, di langit atau di bumi.' Maka orang itu kafir. Demikian pula orang yang berkata, 'Rabbku di atas 'Arsy, namun aku tidak tahu 'Arsy itu di langit atau di bumi.'"

(al-Fiqh al-Absath, hal. 46)



Imam Malik (wafat 179 H) رحمه الله تعالىٰ pernah ditanya,

"Wahai Abu 'Abdillah, Allah Yang Maha Pengasih bersemayam di atas 'Arsy."

(QS. Thahaa [20] : 5)


Maka bagaimana Dia bersemayam?'

Maka mendengar pertanyaan itu Imam Malik رحمه الله تعالىٰ pun marah seraya menjawab,

"Istiwa'-nya Allah ma'lum (sudah diketahui maknanya), dan kaifiyat (cara bersemayamnya) tidak dapat dicapai nalar (tidak diketahui), dan beriman kepadanya wajib, dan bertanya tentang hal tersebut adalah perkara bid'ah."

Kemudian Imam Malik رحمه الله تعالىٰ memerintahkan orang itu agar dikeluarkan dari majelis beliau."


Riwayat lain daripada imam Malik 

(ي أبي رحمه الله حدثنا سريج بن النعمان حدثنا عبدالله بن نافع قال كان مالك بن أنس يقول الايمان قول وعمل ويقول كلم الله موسى وقال مالك الله في السماء وعلمه في كل مكان لا يخلو منه شيء

Telah menceritakan kepadaku ayahku rahimahullah : Telah menceritakan kepada kami Suraij bin An-Nu’maan : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Naafi’, ia berkata : “Maalik bin Anas pernah berkata : ‘Iman itu adalah perkataan dan perbuatan, Allah berbicara kepada Muusaa, Allah berada di langit dan ilmu-Nya ada di setiap tempat – tidak ada sesuatupun yang luput dari-Nya” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah, hal. 280 no. 532; shahih].



Imam Asy-Syafi'iy (wafat 205 H) رحمه الله تعالىٰ berkata,

"Berbicara tentang sunnah yang menjadi pegangan saya, sahabat-sahabat saya, begitu pula para ahli hadits yang saya lihat dan saya ambil 'ilmu mereka, seperti Sufyan, Malik bin Anas dll, adalah menetapkan seraya bersaksi bahwa tidak ada Rabb yang berhak diibadahi selain Allah, serta bersaksi bahwa Allah itu di atas 'Arsy di langit, dan dekat dengan makhluk-Nya, terserah kehendak Allah, dan Allah itu turun ke langit terdekat (dunia) kapan Allah berkehendak."



Imam Ahmad bin Hanbal (wafat 241H)رحمه الله تعالىٰ berkata,

"Kami mengimani bahwa Allah سبحانه و تعالىٰ ada di atas 'Arsy bagaimana yang Dia berkehendak dan seperti apa yang Dia kehendaki, tanpa batasan dan sifat yang dipakai oleh seseorang untuk mensifati dan membatasi sifat itu."

(Dar'u Ta'arudh Al-'Aql wan Naql, II/30)


Baca yang lain 

https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/08/ijma-ulama-sejak-sahabat-tentang.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/08/kibar-syafiiyah-itsbat-allah-istiwa-di.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/08/atsar-sahabat-bahwa-allah-istiwa-diatas.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/08/perkataan-as-salaf-dan-ahlul-ilmi-dalam.html


Kamis, 26 November 2020

WASIAT PERPISAHAN NABI : IKUTI MANHAJ SALAF

 WASIAT PERPISAHAN NABI : IKUTI MANHAJ SALAF  


(Syarah Hadits Arbain Nawawi Ke 28) 


عَنِ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ رَضِيَ اللّٰـهُ عَنْهُ قَالَ :صَلَّـىٰ بِنَا رَسُوْلُ اللّٰـهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ ، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا ، فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيْغَةً ؛ ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ ، وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ ، قَالَ قَائِلٌ : يَا رَسُوْلَ اللّٰـهِ ! كَـأَنَّ هٰذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ ، فَـمَـاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا ؟ فَقَالَ : «أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللّٰـهِ ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِيْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِـيْرًا ، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْـخُلَفَاءِ الْـمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ ، تَـمَسَّكُوْا بِـهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ ، وَإِيَّاكُمْ وَمُـحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ ، فَإِنَّ كُلَّ مُـحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ


Diriwayatkan dari al-‘Irbâdh bin Sâriyah Radhiyallahu anhu bahwa ia berkata, “Suatu hari Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami, kemudian beliau menghadap kepada kami, lalu memberikan nasehat kepada kami dengan nasehat yang membekas pada jiwa, yang menjadikan air mata berlinang dan membuat hati menjadi takut, maka seseorang berkata, ‘Wahai Rasulullâh! Seolah-olah ini adalah nasehat dari orang yang akan berpisah, maka apakah yang engkau wasiatkan kepada kami?’ Maka Rasulullâh bersabda, ‘Aku wasiatkan kepada kalian agar tetap bertakwa kepada Allah, tetaplah mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian sepeninggalku, niscaya ia akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafâr Râsyidîn yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah oleh kalian setiap perkara yang baru (dalam agama), karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah itu adalah sesat.”


KEUTAMAAN SALAFUSH SHALIH

Perkataan al-‘Irbâdh bin Sâriyah Radhiyallahu anhu,


فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيْغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ…


“Lalu memberikan nasehat kepada kami dengan nasehat yang membekas pada jiwa, yang menjadikan air mata berlinang dan membuat hati menjadi takut…”


Di dalamnya terdapat isyarat tentang baiknya keadaan para Sahabat, bersihnya jiwa-jiwa mereka, dan selamatnya hati-hati mereka. Mereka mengambil pelajaran dari sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, merasa takut tatkala mendengar firman Allah Azza wa Jalla , dan ini merupakan tanda keimanan dan kebaikan. Menangis dan rasa takut hati ketika mendengar peringatan dari firman Allah ta'ala dan sabda Rasul-Nya adalah dua sifat kaum Mukminin yang dipuji oleh Allah Azza wa Jalla. Seperti firman Allah Azza wa Jalla

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَاناً وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

 “Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut Nama Allah gemetar (takutlah) hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah kuat imannya dan hanya kepada Rabb mereka bertawakkal.” [al-Anfâl/8:2]


Sesungguhnya orang yang menangis karena takut kepada Allah Azza wa Jalla, matanya itu tidak akan disentuh api neraka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


عَيْنَانِ لاَتَـمَسُّهُمَـا النَّارُ : عَيْنٌ بَكَتْ مِنْ خَشْيَةِ اللّٰـهِ ، وَعَيْنٌ بَاتَتْ تَـحْرُسُ فِـيْ سَبِيْلِ اللّٰـهِ


Ada dua mata yang tidak akan disentuh oleh api Neraka, mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang begadang untuk berjaga di jalan Allah.[Shahîh: HR. at-Tirmidzi no. 1639 dari Sahabat ‘Abdullâh bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhu] 


Maksud dari dua mata yang begadang untuk berjaga di jalan Allah ialah ketika berjuang di jalan Allah Azza wa Jalla melawan musuh, ia senantiasa berjaga-jaga di perbatasan karena khawatir kaum Muslimin diserang oleh musuh. Oleh karena itu, wajib mencintai para Sahabat Radhiyallahu anhum, memuliakan mereka, memohonkan ampunan dan keridhaan Allah Azza wa Jalla untuk mereka, dan mengikuti contoh teladan mereka. Mereka adalah pendahulu ummat ini yang telah menyampaikan al-Qur`ân dan Sunnah Nabi-Nya kepada kita.


Para Ulama menjelaskan bahwa siapapun tidak boleh mencela dan mencaci-maki para Sahabat karena baiknya hati mereka. ‘Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu mengatakan tentang para Sahabat Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam,


مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُتَأَسِّـيًا فَلْيَتَأَسَّ بِأَصْحَابِ رَسُوْلِ اللّٰـهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَإِنَّـهُمْ كَانُوْا أَبَرَّ هٰذِهِ اْلأُمَّةِ قُلُوْبًا ، وَأَعْمَقَهَا عِلْمًـا ، وَأَقَلَّهَا تَكَلُّفًا ، وَأَقْوَمَهَا هَدْيًا ، وَأَحْسَنَهَا حَالاً ، قَوْمًا اِخْتَارَهُمُ اللّٰـهُ لِصُحْبَةِ نَبِيِّهِ ، وَِلإِقَامَةِ دِيْنِهِ فَاعْرِفُوْا لَـهُمْ فَضْلَهُمْ ، وَاتَّبِعُوْهُمْ فِـيْ آثَارِهِمْ ، فَإِنَّـهُمْ كَانُوْا عَلَى الْـهُدَى الْـمُسْتَقِيْمِ


Barangsiapa di antara kalian yang ingin mengambil teladan, hendaklah mengambil teladan dari para Sahabat Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Karena sesungguhnya mereka adalah ummat yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit bebannya, paling lurus petunjuknya, dan paling baik keadaannya. Suatu kaum yang Allah Azza wa Jalla telah pilih untuk menemani Nabi-Nya dan untuk menegakkan agama-Nya, maka kenalilah keutamaan mereka serta ikutilah atsar-atsarnya karena mereka berada di atas jalan yang lurus.[Atsar Shahîh: Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Bar dalam kitabnya Jâmi’ Bayânil ‘Ilmi wa Fadhlih 2/947 no. 1810, tahqîq Abul Asybal Samir az-Zuhairi] 


Para Salafush Shalih memiliki sekian banyak keutamaan, maka kewajiban kita adalah mencintai, menghormati dan mengikuti jejak mereka, serta memohonkan ampunan, rahmat, dan keridhaan Allah Azza wa Jalla untuk mereka. Maka dianjurkan untuk mengucapkan radhiyallâhu ‘anhum ketika kita menyebut para Sahabat, sebagai realisasi dari firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, 

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ 

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha terhadap mereka dan mereka ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” [at-Taubah/9:100]


Tidak boleh ada seorang pun yang mencela dan menjelekkan para Sahabat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


لاَتَسُبُّوْا أَصْحَابِـيْ ، فَوَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ ! لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا ، مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ


Janganlah kalian mencaci para Sahabatku! Demi Dzat Yang diriku berada di tangan-Nya, sungguh, jika seandainya salah seorang dari kalian berinfak sebesar Gunung Uhud berupa emas, maka belum mencapai nilai infak mereka meskipun (mereka infak hanya) satu mud (yaitu sepenuh dua telapak tangan) dan tidak juga separuhnya.[HR. al-Bukhâri no. 3673, Muslim no. 2541 dari Sahabat Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu] 


TERJADINYA PERPECAHAN DAN PERSELISIHAN DI TENGAH KAUM MUSLIMIN

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,


فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كَثِيْرًا


Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian sepeninggalku, maka ia akan melihat perselisihan yang banyak.


Sesungguhnya perpecahan dan perselisihan dalam Islam itu tercela. Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya, 


وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنۢ بَعْدِ مَا جَآءَهُمُ الْبَيِّنٰتُ  ۚ  وَأُولٰٓئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

"Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang berat,"

(QS. Ali 'Imran 3: Ayat 105)


Allah Azza wa Jalla berfirman 


إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَّسْتَ مِنْهُمْ فِى شَىْءٍ  ۚ  إِنَّمَآ أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ

"Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka menjadi (terpecah) dalam golongan-golongan, sedikit pun bukan tanggung jawabmu (Muhammad) atas mereka. Sesungguhnya urusan mereka (terserah) kepada Allah. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat."

(QS. Al-An'am 6: Ayat 159)


Syaikh ‘Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Ayat ini menjelaskan bahwa agama Islam memerintahkan untuk berjama’ah dan bersatu serta melarang perpecahan dan perselisihan dalam prinsip agama, bahkan dalam setiap permasalahan agama, baik yang pokok maupun cabangnya.”[Taisîr Karîmir Rahmân fî Tafsîri Kalâmil Mannân hlm. 276-277] 


Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


أَلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ اِفْتَرَقُوْا عَلَىٰ اِثْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّـةً ، وَإِنَّ هٰذِهِ اْلأُمَّةَ سَتَـفْـتَـرِقُ عَلَـىٰ ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْـنَ : ثِـنْـتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِـي النَّارِ، وَوَاحِدَةٌ فِـي الْـجَنَّةِ ، وَهِيَ الْـجَـمَـاعَةُ


Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang Ahlul Kitab sebelum kalian telah berpecah-belah menjadi 72 golongan. Sesungguhnya umat Islam akan berpecah-belah menjadi 73 golongan, 72 golongan tempatnya di neraka dan hanya satu golongan di Surga, yaitu al-Jama’âh.[Hasan: HR. Abu Dâwud no. 4597, Ahmad 4/102, al-Hâkim 1/128, ad-Dârimi 2/24] 


Dalam riwayat lain disebutkan:


كُلُّهُمْ فِـي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً : مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِـيْ


Semua golongan tersebut tempatnya di Neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan para Sahabatku berjalan di atasnya.[Shahîh: HR. at-Tirmidzi no. 2641 dan al-Hâkim 1/129 dari Sahabat ‘Abdullâh bin ‘Amr] 


JALAN SELAMAT DARI PERPECAHAN DAN PERSELISIHAN ADALAH DENGAN BERPEGANG TEGUH KEPADA AL-QUR-AN DAN AS-SUNNAH MENURUT PEMAHAMAN SALAFUSH SHALIH

Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam,


فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِـيْ ، وَسُنَّةِ الْخُـلَفَاءِ الْـمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ


Maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafâur Râsyidin yang mendapat petunjuk.


Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas terdapat perintah untuk berpegang teguh dengan Sunnah Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah Khulafâur Râsyidin sepeninggal beliau. Sunnah adalah jalan yang dilalui, termasuk di dalamnya berpegang teguh kepada keyakinan-keyakinan, perkataan-perkataan, dan perbuatan-perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Khulafâur Râsyidin. Itulah Sunnah yang paripurna. Oleh karena itu, generasi Salaf dahulu tidak menamakan Sunnah, kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari al-Hasan, al-Auzâ’i, dan Fudhail bin ‘Iyâdh.[Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/120] 


Perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengikuti Sunnah beliau dan Sunnah Khulafâ Râsyidin setelah perintah mendengar dan taat kepada ulil amri adalah bukti bahwa Sunnah para Khulafâur Râsyidin harus diikuti seperti halnya mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ini tidak berlaku bagi Sunnah para pemimpin selain Khulafâ Râsyidin.[Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/121] 


Ini menunjukkan bahwa kita wajib berpegang kepada al-Qur`ân dan Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih. Selain itu, kita diwajibkan mengikuti manhaj para Salafush Shalih karena Allah Azza wa Jalla menyebutkan dalam al-Qur`ân tentang wajibnya kita mengikuti mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman 


فَإِنْ ءَامَنُوا بِمِثْلِ مَآ ءَامَنْتُمْ بِهِۦ فَقَدِ اهْتَدَوا  ۖ  وَّإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِى شِقَاقٍ  ۖ  فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ  ۚ  وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

"Maka jika mereka telah beriman sebagaimana yang kamu imani, sungguh, mereka telah mendapat petunjuk. Tetapi jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (denganmu) maka Allah mencukupkan engkau (Muhammad) terhadap mereka (dengan pertolongan-Nya). Dan Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui."

(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 137)


Allah Azza wa Jalla berfirman 


وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدٰى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلّٰى وَنُصْلِهِۦ جَهَنَّمَ  ۖ  وَسَآءَتْ مَصِيرًا

"Dan barang siapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam Neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali."

(QS. An-Nisa' 4: Ayat 115)


Kita berpegang dengan pemahaman Salaf, mengikuti jejak Salafus Shalih, dengan tujuan ingin selamat dunia akhirat dan ingin masuk Surga, bukan untuk mencari kedudukan, harta, dan ketenaran. Kita mengikuti jejak mereka supaya selamat di dunia dan di akhirat dan agar Allah Azza wa Jalla memasukkan kita ke dalam Surga-Nya, bukan untuk memperoleh kesenangan dunia, harta, jabatan, maupun kekuasaan.


Kita wajib mengikuti jejak Salafush Shalih karena mereka adalah khairun nâs (sebaik-baik manusia), dan khairu hâdzhihil ummah (dan sebaik-baik ummat ini).


Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِـيْ ، ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَـهُمْ ، ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَـهُمْ


Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Sahabat), kemudian yang sesudahnya (masa Tâbi’in), kemudian yang sesudahnya (masa Tâbi’ut Tâbi’în).[Muttafaq ‘alaih. HR. al-Bukhâri no. 2652 dan Muslim no. 2533 (212), dari Sahabat ‘Abdullâh bin Mas‘ûd Radhiyallahu anhu.] 


Mengenai berpegang kepada al-Qur`ân dan Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya menyuruh berpegang saja. Tetapi menyuruh kita agar memegangnya dengan sangat kuat dan erat sehingga beliau mengungkapkannya melalui sabda beliau,


عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ


Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian


Sabda beliau merupakan kiasan tentang kuatnya berpegang teguh kepada Sunnah. Hal itu karena sudah begitu banyaknya fitnah dan syubhat yang ada. 


Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menggabungkan Sunnah Sahabatnya dengan Sunnahnya, dan memerintahkan untuk mengikutinya seperti memerintahkan untuk mengikuti Sunnahnya, sampai-sampai beliau memerintahkan agar menggigitnya dengan gigi geraham. Dan ini meliputi apa yang mereka fatwakan dan apa yang mereka contohkan walaupun sebelumnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka tidak melakukannya. Karena jika tidak, maka itu juga termasuk Sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Hal ini juga meliputi apa yang mereka fatwakan secara keseluruhan atau sebagian besar dari mereka atau sebagian mereka saja karena Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkannya dengan apa yang disunnahkan (dicontohkan) oleh Khulafâ Râsyidin. Dan sudah dimaklumi, jika mereka mencontohkan hal itu pada saat yang bersamaan, maka bisa diketahui bahwa Sunnah tiap orang dari mereka (Sahabat) pada masa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah termasuk Sunnah Khulafâur Râsyidin.”[I’lâmul Muwaqqi’în 5/581] 


Hadits ini sebagai pukulan keras yang menghujam di kepala para ahlul bid’ah yang menyelisihi manhaj Salaf, karena hal ini ditunjukkan oleh beberapa hal:


Pertama: Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan Sunnah Khulafâur Râsyidin, yaitu pemahaman Salaf, dengan Sunnah beliau. Ini menunjukkan bahwa Islam tidak bisa dipahami kecuali dengan manhaj Salaf.


Kedua: Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan Sunnah Khulafâur Râsyidin sebagai Sunnah beliau, beliau mengatakan, “Gigitlah ia dengan gigi geraham.” Dan tidak mengatakan, “Gigitlah keduanya dengan gigi geraham.” Dengan demikian jelaslah bahwa Sunnah Khulafâ`ur Râsyidin termasuk Sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .


Ketiga: Beliau menghadapkan (menjadikan berlawanan) semua itu dengan peringatan terhadap bid’ah, maka hal ini menunjukkan setiap yang menyelisihi manhaj Salaf berarti ia terjerumus dalam bid’ah tanpa ia sadari.


Keempat: Beliau menjadikan hal itu (manhaj Salaf) sebagai solusi dari perselisihan dan kebid’ahan, barangsiapa yang berpegang teguh kepada Sunnah Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah Khulafâ`ur Râsyidin maka ia termasuk dalam golongan yang selamat kelak di hari Kiamat.


Kelima: Beliau tidak menjadikan Sunnahnya dan Sunnah Khulafâ Râsyidin dalam perselisihan yang banyak itu. Hal ini menunjukkan bahwa semuanya itu berasal dari Allah Azza wa Jalla , karena terjadinya perselisihan yang banyak tidak mungkin dari Allah Azza wa Jalla , sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya,


أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ  ۚ  وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلٰفًا كَثِيرًا

"Maka tidakkah mereka menghayati (mendalami) Al-Qur'an? sekiranya (Al-Qur'an) itu bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya."

(QS. An-Nisa' 4: Ayat 82)


JAUHILAH PERBUATAN BID’AH !

Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam,


وَإِيّـَاكُمْ وَمُـحْدَثَاتِ اْلأُمُـوْرِ فَـإِنَّ كُـلَّ مُـحْدَثَةٍ بِدْعَـةٌ


Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru (dalam agama), karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid‘ah


Yang dimaksud di sini adalah perkara-perkara baru yang diada-adakan dalam urusan agama, bukan dalam urusan dunia. Sebab, perkara-perkara baru yang diada-adakan dalam urusan dunia ada yang bermanfaat dan itu merupakan kebaikan dan ada pula yang berbahaya dan itu merupakan keburukan. Sedangkan perkara-perkara baru yang diada-adakan dalam agama adalah buruk. Allah Azza wa Jalla berfirman 


 الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلٰمَ دِينًا  ۚ  

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” [al-Mâ`idah/5:3]


Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


مَا بَـقِيَ شَيْءٌ يُـقَرِّبُ مِنَ الْجَـنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ


Tidak tertinggal sesuatu pun yang mendekatkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka, kecuali telah dijelaskan semuanya kepada kalian.[Shahîh: HR. ath-Thabrâni dalam Al-Mu’jamul Kabîr 2/155-156, no. 1647 dari Sahabat Abu Dzar al-Ghifâri] 


Dalam hadits di atas disebutkan, “Setiap perkara yang baru adalah bid’ah” maka apakah yang dimaksud dengan bid’ah?


DEFINISI BID’AH

Imam asy-Syâthibi rahimahullah (wafat th. 790 H) mengatakan,


اَلْبِدْعَةُ: طَرِيْقَةٌ فِـي الدِّيْنِ مُـخْتَرَعَةٌ ، تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا الْـمُبَالَغَةُ فِـي التَّعَبُّدِ لِلّٰـهِ سُبْحَانَهُ


Bid’ah adalah cara baru dalam agama yang dibuat menyerupai syari’at dengan maksud untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Azza wa Jalla.[Al-I’tishâm hlm. 43, Abu Ishâq Ibrâhîm bin Mûsa bin Muhammad al-Gharnathi asy-Syathibi]


Artinya, bid’ah adalah cara baru yang dibuat tanpa ada contoh dari syari’at. Sebab, bid’ah adalah sesuatu yang keluar dari apa yang telah ditetapkan dalam syari’at.


Ungkapan “menyerupai syari’at” sebagai penegasan bahwa sesuatu yang diada-adakan dalam agama itu pada hakekatnya tidak ada dalam syari’at, bahkan bertentangan dengan syari’at dari beberapa sisi, seperti mengharuskan cara dan bentuk tertentu yang tidak ada dalam syari’at. Juga mengharuskan ibadah-ibadah tertentu yang dalam syari’at tidak ada ketentuannya.


Ungkapan “untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Azza wa Jalla ”, adalah pelengkap makna bid’ah. Sebab, demikian itulah tujuan para pelaku bid’ah, yaitu menganjurkan untuk tekun beribadah, karena manusia diciptakan Allah Azza wa Jalla hanya untuk beribadah kepada-Nya sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” [adz-Dzâriyât/51:56]


Seakan-akan orang yang membuat bid’ah melihat bahwa maksud dalam membuat bid’ah adalah untuk beribadah sebagaimana maksud ayat tersebut. Dia merasa bahwa apa yang telah ditetapkan dalam syari’at tentang undang-undang dan hukum-hukum belum mencukupi sehingga dia berlebih-lebihan dan menambahkan serta mengulang-ulanginya.[‘Ilmu Ushûlil Bida’ hlm. 24-25 oleh Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hâmid] 


Imam al-Hâfizh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah (wafat th. 795 H) mengatakan, “Yang dimaksud dengan bid’ah adalah apa yang tidak memiliki dasar hukum dalam ajaran syari’at yang menunjukkan keabsahannya. Adapun yang memiliki dasar dalam syari’at yang menunjukkan kebenarannya, maka secara syari’at tidaklah dikatakan sebagai bid’ah, meskipun secara bahasa dikatakan bid’ah. Maka setiap orang yang membuat-buat sesuatu lalu menisbatkannya kepada ajaran agama, namun tidak memiliki landasan dari ajaran agama yang bisa dijadikan sandaran, berarti itu adalah kesesatan. Ajaran Islam tidak ada hubungannya dengan bid’ah semacam itu. Tak ada bedanya antara perkara yang berkaitan dengan keyakinan, amalan ataupun ucapan, lahir maupun bathin.


Terdapat beberapa riwayat dari sebagian Ulama Salaf yang menganggap baik sebagian perbuatan bid’ah, padahal yang dimaksud tidak lain adalah bid’ah secara bahasa, bukan menurut syari’at.


Contohnya adalah ucapan ‘Umar bin al-Khaththâb Radhiyallahu anhu ketika beliau mengumpulkan kaum Muslimin untuk melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan (shalat Tarawih) dengan mengikuti satu imam di masjid. Ketika beliau Radhiyallahu anhu keluar, dan melihat mereka shalat berjamaah. Maka, beliau Radhiyallahu anhu berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah yang semacam ini.”[Shahîhul Bukhâri no. 2010. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/128] 


Tidak diragukan lagi bahwa setiap bid’ah dalam agama adalah sesat dan haram, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam 

وإياكم ومحدثات الأمور، فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة 

“Jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru. Karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.”[Hadits Irbadh bin sariyah] 


Juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, 

مَنْ أَحْدَثَ فِـيْ أَمْرِنَا هٰذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini, sesuatu yang bukan bagian darinya, maka ia tertolak.[HR. al-Bukhâri no. 2697 dan Muslim no. 1718, dari ‘Aisyah] 


Kedua hadits di atas menunjukkan bahwa perkara baru yang dibuat-buat dalam agama ini adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat dan tertolak. Bid’ah dalam agama itu diharamkan. Namun tingkat keharamannya berbeda-beda tergantung jenis bid’ah itu sendiri.


Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,


مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ


Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak didasari atas perintah kami maka amalannya tertolak.[HR. Muslim no. 1718 (18)] 


Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang mengatakan amalan bid’ah itu tertolak karena tidak terpenuhinya salah satu syarat dari dua syarat diterimanya ibadah, yaitu mutâba’ah (mengikuti contoh Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ). Syarat diterimanya ibadah ada dua: Pertama, niat ikhlas karena Allah Azza wa Jalla dan kedua, sesuai dengan Sunnah; yakni sesuai dengan Kitab-Nya atau yang dijelaskan Rasul-Nya dan Sunnahnya, jika salah satunya tidak dipenuhi, maka amalnya tersebut tidak bernilai shalih dan tertolak, hal ini ditunjukkan dalam firman-Nya 


فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صٰلِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah dia mengerjakan amal shalih dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabb-nya. [al-Kahfi/18:110]


Dalam ayat ini, Allah Azza wa Jalla memerintahkan agar menjadikan amal itu bernilai shalih, yaitu sesuai dengan Sunnah Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kemudian memerintahkan agar orang yang mengerjakan amal shalih itu mengikhlaskan niatnya karena Allah Azza wa Jalla semata, tidak menghendaki selain-Nya.[at-Tawassul Anwâ’uhu wa Ahkâmuhu oleh Fadhîlatus Syaikh Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni] 


Al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata dalam tafsirnya, “Inilah dua landasan amalan yang diterima: Pertama, ikhlas karena Allah Azza wa Jalla dan Kedua, sesuai dengan Sunnah Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”[Tafsîr Ibnu Katsîr 5/205, tahqîq Sami Salamah] 


Menjelaskan tentang bahaya bid’ah dan ahlul bid’ah kepada umat tidaklah termasuk memecah belah persatuan kaum Muslimin, bahkan menjelaskan bahaya bid’ah dan membantah ahlul bid’ah termasuk dalam kategori jihad. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Orang yang membantah ahlul bid’ah adalah mujahid, sampai Yahya bin Yahya berkata, ‘Membela Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih utama daripada jihad (fî sabîlillâh).’”[Majmû’ Fatâwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah 4/13]


SETIAP BID’AH ADALAH SESAT

Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam,


وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ


Dan setiap bid’ah adalah sesat


Sabda beliau di atas termasuk dari jawami’ul kalim beliau di mana tidak ada sesuatu pun yang keluar darinya, dan merupakan kaidah agung dalam prinsip-prinsip agama. Sabda beliau tersebut mirip dengan sabda beliau,


مَنْ أَحْدَثَ فِـيْ أَمْرِنَا هٰذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ


Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini, sesuatu yang bukan bagian darinya, maka ia tertolak.[HR. al-Bukhâri no. 2697 dan Muslim no. 1718, dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhum] 


Jadi, siapa saja yang mengada-ada perkara-perkara baru dan menisbatkannya kepada agama padahal tidak memiliki landasan hukum di agama, maka itu merupakan kesesatan dan agama berlepas diri darinya, baik dalam masalah keyakinan, perbuatan, atau perkataan yang tampak maupun perkataan yang tersembunyi.[Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/128] 


Imam Mâlik bin Anas Radhiyallahu anhu mengatakan:


مَنِ ابْتَدَعَ فِـي اْلإِسْلاَمِ بِدْعَةً يَرَاهَا حَسَنَةً ، فَقَدْ زَعَمَ أَنَّ مُـحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَـانَ الرِّسَالَـةَ ، ِلأَنَّ اللّٰـهَ يَـقُولُ : ۚ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا, فَـمَـا لَـمْ يَـكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا ، فَـلاَ يَكُوْنُ الْيَوْمَ دِيْنًا.


Barangsiapa yang mengadakan suatu bid’ah dalam Islam yang ia pandang hal itu baik (bid’ah hasanah), maka sungguh dia telah menuduh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhianati risalah agama ini. Karena sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah berfirman: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu…” (al-Mâ`idah/5:3) Maka, sesuatu yang pada hari itu (pada masa beliau masih hidup) bukanlah ajaran agama, maka hari ini pun sesuatu itu bukanlah ajaran agama.[Al-I’tishâm 1/62] 


Maksud dari كُلُّ بِدْعَةٍ adalah semua bid’ah. Tidak ada kataكُلُّ بِدْعَةٍ yang bermakna sebagian bid’ah. Apakah Sebagian sesat dan sebagian tidak??!!. Apabila kita bawakan hadits yang lain, yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasâ`i, dari Sahabat Jâbir Radhiyallahu anhu :


كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ


Setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.[HR. an-Nasâ`i 3/189 dari Jâbir Radhiyallahu anhu] 


Maka akankah mereka mengatakan bahwa ada kesesatan yang tempatnya di Surga?? Semua kesesatan tempatnya adalah Neraka. Kullu dhalâlah fin naar, artinya setiap kesesatan tempatnya di Neraka. Kullu bid’atin dhalâlah, artinya setiap bidah adalah sesat. Sama-sama menggunakan kata kullu. Ada sebagian orang yang memahami kata kullu dalam “كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ” itu sebagian bid’ah, tetapi ketika mereka mengartikan “كُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ” tidak diartikan sebagian kesesatan tempatnya di Neraka, tetapi semua kesesatan tempatnya di Neraka. Inilah cara berfikir mereka yang kontradiksi. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga difahami Sahabat demikian, yaitu semua perbuatan bid’ah dalam agama adalah sesat. ‘Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata,


اِتَّبِعُوْا وَلاَ تَبْتَدِعُوْا فَقَدْ كُفِيْتُمْ ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ


Hendaklah kalian mengikuti dan janganlah kalian berbuat bid’ah. Sungguh kalian telah dicukupi (dengan Islam ini), dan setiap bid’ah adalah sesat. [Diriwayatkan oleh ad-Dârimi 1/69, al-Lâlikâ`i dalam Syarah Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah 1/96, no. 104, ath-Thabrâni dalam Mu’jamul Kabîr no. 8770, dan Ibnu Baththah dalam al-Ibânah no. 175]


‘Abdullâh bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma berkata,


كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً


Setiap bid’ah itu sesat, meskipun manusia memandang baik.[Riwayat al-Lâlikâ`i dalam Syarah Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah 1/104, no. 126, Ibnu Baththah al-‘Ukbari dalam al-Ibânah no. 205. Lihat ‘Ilmu Ushûlil Bida’ hlm. 92] 


Imam Abu Muhammad al-Hasan bin ‘Ali bin Khalaf al-Barbahâri rahimahullah (beliau adalah Imam Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah pada zamannya, wafat th. 329 H) berkata: “Jauhilah setiap perkara bid’ah sekecil apa pun, karena bid’ah yang kecil lambat laun akan menjadi besar. Demikian pula kebid’ahan yang terjadi pada umat ini berasal dari perkara kecil dan remeh yang mirip kebenaran sehingga banyak orang terpedaya dan terkecoh, lalu mengikat hati mereka sehingga susah untuk keluar dari jeratannya dan akhirnya mendarah daging lalu diyakini sebagai agama. Tanpa disadari, pelan-pelan mereka menyelisihi jalan lurus dan keluar dari Islam.”[Syarhus Sunnah lil Imâm al-Barbahary no. 7] 


Imam Sufyân ats-Tsauri rohimahullah (wafat th. 161 H) berkata,


اَلْبِدْعَةُ أَحَبُّ إِلَـى إِبْلِيْسَ مِنَ الْـمَعْصِيَةِ، وَالْـمَعْصِيَةُ يُتَابُ مِنْهَا وَالْبِدْعَةُ لاَ يُتَابُ مِنْهَا


Perbuatan bid’ah lebih dicintai oleh Iblis daripada kemaksiyatan. Pelaku kemaksiyatan masih mungkin ia untuk bertaubat dari kemaksiyatannya sedangkan pelaku kebid’ahan sulit untuk bertaubat dari kebid’ahannya.[Riwayat al-Lâlikâ`i dalam Syarah Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah no. 238] 


SETIAP KESESATAN TEMPATNYA DI NERAKA

Dalam riwayat an-Nasâ`i dari Jâbir bin ‘Abdillâh Radhiyallahu anhu , Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ


Dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka [HR. an-Nasâ`i 3/189 dengan sanad shahîh]


Yang harus diperhatikan mengenai hadits ini bahwa kita tidak boleh memastikan orang yang berbuat bid’ah dan maksiyat itu tempatnya di Neraka. Kita tidak punya hak sama sekali. Sebagaimana kita juga tidak boleh memastikan orang yang berbuat ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla , tempatnya di Surga. Kecuali orang-orang yang telah ditentukan oleh Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.


Sabda beliau di atas merupakan ancaman yang terdapat di dalam banyak hadits dan ayat al-Qur`ân sebagaimana yang disebutkan oleh para Ulama. Artinya orang yang melakukan perbuatan bid’ah diancam masuk Neraka. Adapun memastikan dia masuk Neraka, maka tidak boleh dilakukan dan sangat berbahaya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahullah mengatakan, “Seseorang yang berilmu terkadang menyebutkan ancaman terhadap sesuatu yang dipandangnya sebagai perbuatan dosa, padahal dia mengetahui bahwa orang yang menakwilnya diampuni dan tidak terkena ancaman. Tetapi dia menyebutkan hal itu untuk menjelaskan bahwa perbuatan dosa mengakibatkan mendapatkan siksa. Dia hanya mengingatkan untuk menghalangi manusia dari perbuatan yang dipandangnya sebagai dosa.”[Majmû’ Fatâwâ 23 /305] 


Beliau rahimahullah juga berkata, “Karena nash-nash ancaman bentuknya umum, maka kita tidak menyatakan dengannya kepada orang tertentu bahwa dia termasuk penghuni Neraka. Sebab memungkinkan tidak berlakunya hukum yang ditetapkan pada orang yang melakukannya karena adanya penghalang yang kuat seperti taubat, atau kebaikan-kebaikan yang menghapuskan keburukan, atau musibah-musibah yang menghapuskan dosa, atau syafa’at yang diterima, dan lain-lain.”[Ibid 4/484] 


Maka sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Setiap kesesatan tempatnya di Neraka,” adalah sifat bagi amal yang dilakukan seseorang dan sifat bagi buah amal yang dilakukannya, jika tidak disusuli dengan taubat dan meninggalkannya.


Kemudian sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “…di Neraka.” Tidak mengharuskan kekal di dalam Neraka atau berada lama di dalamnya. Tetapi seseorang masuk Neraka sesuai maksiat yang dilakukannya, baik bentuknya bid’ah maupun selainnya.


Berdasarkan hal ini, berlaku hukum lain, yaitu menghalalkan sesuatu yang diharamkan agama. Barangsiapa menghalalkan suatu bid’ah atau selainnya dari perbuatan maksiat dengan menghalalkan dalam hatinya padahal dia mengetahui dan mengakui bahwa sesuatu yang dilakukan tidak memiliki dasar dalam Sunnah, bahkan dia mengetahui bahwa tindakannya itu merupakan bentuk “mengoreksi” syariat maka ketika itu ia berada di dalam Neraka karena dia kufur.


Imam ath-Thahawi rahimahullah dalam kitab ‘akidahnya (hlm. 316-disertai syarah Ibnu Abil ‘Izz) mengatakan, “Kita tidak mengkafirkan seorang pun dari Ahlul Kiblat (kaum Muslimin) karena perbuatan dosa selama ia tidak menghalalkannya.”


Dan tidak diragukan lagi bahwa bid’ah adalah dosa yang sangat jelas dan maksiat yang sangat nyata. Dan dalil-dalil yang mengecamnya dan memerintahkan untuk menjauhinya sangat banyak sekali.[‘Ilmu Ushûl Bida’ hlm. 103-105] 


(Disarikan dari almanhaj.or.id)