Minggu, 08 Januari 2023

Benarkah Ibnu taimiyah seakan membolehkan tahlilan seperti kata Abdus Shomad ???

 

Benarkah Ibnu taimiyah seakan membolehkan tahlilan seperti kata Abdus Shomad ???

Abdul shomad hadahullah berkata : kirim ke mayit pahala sampai kata Ibnu taimiyah
https://youtube.com/shorts/UWhdauCMdIg?feature=share

Juga Berkata : saya pilih pendapat Ibnu taimiyah karena anak anak sekarang pengikutnya mereka malah melarang tahlilan
https://youtube.com/shorts/qwQwRJVwFXc?feature=share

Sebenarnya apa kata Ibnu taimiyah, mari kita lihat secara lengkap, dalam beberapa fatwa beliau sehingga saling melengkapi.

قال –رحمه الله- في فتوى له: وتنازعوا في وصول الأعمال البدنية: كالصوم والصلاة وقراءة القرآن، والصواب أن الجميع يصل إليه، أي يصل ثوابها إلى الميت”
(مجموع فتاوى شيخ الإسلام ابن تيمية ج24 ص315، ص366)
Beliau berkata - semoga Allah merahmatinya - dalam fatwanya: Dan para ulama mereka berselisih tentang sampainya Pahala ibadah badan : seperti puasa, shalat, dan membaca Al-Qur'an, dan beliau berpendapat yang benar adalah bahwa sampainya Pahala bacaan pada orang mati.
(Majmu Fatwa Syekhul-Islam Ibnu Taymiyyah, vol. 24, hal. 315, hal. 366)

شيخ الإسلام ابن تيمية: “وأما الاستئجار لنفس القراءة –أي قراءة القرآن – والإهداء، فلا يصح ذلك، لأنه لا يجوز إيقاعها إلا على وجه التقرب إلى الله تعالى، وإذا فعلت بعروض لم يكن فيها أجر بالاتفاق، لأن الله تعالى إنما يقبل من العمل ما أريد به وجهه لا ما فعل لأجل عروض الدنيا.
Syekhul-Islam Ibnu Taimiyyah juga berkata : “Adapun menyewa bacaan orang – yaitu membaca Al-Qur'an – dan menghadiahkan nya, maka itu tidak sah, karena tidak diperbolehkan menyuarakan kecuali sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala dan jika dilakukan dengan penawaran materi (ada imbalannya) sesuai kesepakatan para ulama, karena Allah hanya menerima menerima apa) amalan ibadah yang hanya untuk ingin melihat wajahNya (secara ikhlas) Saya ingin wajahnya, bukan amalan yang  dilakukan untuk penawaran duniawi.

ثم قال – رحمه الله تعالى-: وأما إذا كان لا يقرأ القرآن إلا لأجل العروض – أي الأعواض المادية – فلا ثواب له على ذلك، وإذا لم يكن في ذلك ثواب فلا يصل إلى الميت شيء؛ لأنه إنما يصل إلى الميت ثواب العمل لا نفس العمل..أهـ
Kemudian juga berkata - semoga Allah ta’ala mengasihani beliau -: Adapun jika dia tidak membaca Al-Qur'an kecuali untuk al a'waadz- yaitu kompensasi materi - maka dia tidak mendapat pahala untuk itu, dan jika tidak ada pahala untuk itu, maka tidak ada yang sampai kepada orang mati;  Karena pahala yang sampai itu ke mayit bukan amalan dia sendiri..selesai

قال شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله تعالى: وقد صح عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه أمر بالصدقة على الميت، وأمر أن يصام عنه الصوم، فالصدقة عن الموتى من الأعمال الصالحة، وكذلك ما جاءت به السنة في الصوم عنهم،
Syeikhul-Islam Ibn Taymiyyah, semoga Allah Yang Maha Kuasa mengasihani dia juga berkata: Telah sah dari Nabi, sholalallahualaihiwasallam, bahwa dia memerintahkan sedekah atas nama orang meninggal, dan juga dia memerintahkan agar puasa dilaksanakan atas namanya.
وبهذا وغيره احتج من قال من العلماء: إنه يجوز إهداء ثواب العبادات المالية والبدنية إلى موتى المسلمين، كما هو مذهب أحمد وأبي حنيفة، وطائفة من أصحاب مالك والشافعي، فإذا أهدي لميت ثواب صيام أو صلاة أو قراءة جاز ذلك، وأكثر أصحاب مالك والشافعي يقولون: إنما شرع ذلك في العبادات المالية،
Dengan ini dan lainnya, para ulama berpendapat bahwa dibolehkan untuk memberikan pahala ibadah harta dan badan kepada Muslim yang meninggal, seperti Mazhab Ahmad, Abu Hanifah, Jika pahala diberikan ke si meninggal maka itu dibolehkan.
Dan sebagian besar sahabat Malik dan Syafi'i mengatakan: Ini hanya disyariatkan dalam ibadah terkait harta saja.

ومع هذا لم يكن من عادة السلف إذا صلوا تطوعاً وصاموا وحجوا أو قرأوا القرآن، يهدون ثواب ذلك لموتاهم المسلمين، ولا بخصوصهم، بل كان عادتهم كما تقدم ـ أي فعل العبادة لأنفسهم مع الدعاء والصدقة للميت ـ فلا ينبغي للناس أن يبدلوا طريق السلف، فإنه أفضل وأكمل. انتهى.
Ini juga bukanlah kebiasaan para pendahulu, jika mereka salat sunnah, berpuasa, menunaikan haji, atau membaca Al-Qur’an, untuk mempersembahkan pahala untuk Muslim yang meninggal, mereka juga tidak mengkhususkan ibadah tersebut (baik waktu, tempat, cara, atau bacaan tertentu)
akan tetapi hanya dahulu pernah terjadi,  yaitu amal ibadah untuk mereka sendiri dengan doa dan sedekah untuk orang mati, maka sebaiknya manusia tidak boleh mengubah jalan/metode para salaf, karena itu lebih baik dan lebih lengkap. selesai.

Kesimpulan yang dapat diambil :
1 Anggapan Ibnu Taimiyah seakan membolehkan tahlilan seperti kata Abdus shomad maka tidak benar.

2 Ibnu Taimiyah memang membolehkan pahala bacaan qur'an ke mayat dengan syarat :
- tidak mengkhususkan (baik cara, bacaan, waktu tertentu)
- hanya sesekali saja
- dilakukan sendiri sendiri (bukan berjamaah)
- ini bukan kebiasaan salaf
- supaya meniru salaf karena lebih sempurna dan lebih lengkap sesuai tuntunan sunnah.

3 Nampak disini kurang teliti penilaian ustadz abdus shomad hadahullah, dan terburu buru mencela saudaranya yang tidak mengamalkan tahlilan dalam tuduhan di video tersebut.

4 Semangatnya dalam memojokkan wahabi dalam dakwahnya, padahal wahabi dalam kasus jelas lebih benar sesuai fatwa Ibnu taimiyah, jika mengamalkan menabrak syarat syarat dalam fatwa diatas, karena amaliah tahlilan itu kumpulan amalan yang didalamnya
- mengkhususkan baik cara, bacaan, waktu tertentu, misal waktu 40, 100, 1000 bacaan mengkhususkan surat tertentu saja tanpa dalil dari nabi, juga cara tertentu dengan berjamaah dipimpin seorang dan diikuti orang banyak, tampaknya sunnah dari nabi.
- dilakukan terus menerus dalam masyarakat yang terkena musibah seakan keharusan atau kewajiban jika tidak seakan aib masyarakat, bahkan dilakukan dengan mencuri.
- dilakukan berjamaah, padahal salaf dulu sendiri sendiri
- menjadikan kebiasaan sehingga melahirkan suatu ibadah baru nikah tidak dilakukan seakan berdosa atau aib dalam masyarakat.
- amaliah ini justru memunculkan ibadah baru, jauh dari fatwa diatas supaya meniru metode salaf dahulu

Sabtu, 10 Desember 2022

Beberapa atsar sahabat dan ulama tentang ketinggian Allah

 Beberapa atsar dari para shahabat dan ulama setelahnya yang menjelaskan ketinggian Allah di atas makhluk-Nya, dan Ia di atas langit-langit-Nya lagi beristiwaa’ di atas ‘Arsy-Nya.


1.     Zainab bintu Jahsy radliyallaahu ‘anhaa


حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْفَضْلِ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ فِي زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا قَالَ: فَكَانَتْ تَفْخَرُ عَلَى أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَقُولُ: زَوَّجَكُنَّ أَهْلُكُنَّ، وَزَوَّجَنِي اللَّهُ مِنْ فَوْقِ سَبْعِ سَمَاوَاتٍ ".قَالَ أَبُو عِيسَى: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ


Telah menceritakan kepada kami ‘Abd bin Humaid : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Fadhl : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Zaid, dari Tsaabit, dari Anas, ia berkata : “Ayat ini turun berkenaan dengan Zainab bintu Jahsy : ‘Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya (menceraikannya), maka Kami nikahkan engkau dengannya’ (Al-Ahzab: 37)”. Anas berkata : “Adalah Zainab membanggakan dirinya atas istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata : ‘Yang menikahkan kamu (dengan Nabi) adalah keluarga-keluargamu, sedangkan yang menikahkan aku adalah Allah yang berada di atas tujuh langit” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3213, dan ia berkata : “Hadits hasan shahih”].


2.     ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu.


حَدَّثَنَا بَحْرُ بْنُ نَصْرِ بْنِ سَابِقٍ الْخَوْلانِيُّ، قَالَ: ثنا أَسَدٌ، قَالَ: ثنا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ عَاصِمِ ابْنِ بَهْدَلَةَ، عَنْ زِرِّ بْنِ حُبَيْشٍ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: " مَا بَيْنَ سَمَاءِ الدُّنْيَا وَالَّتِي تَلِيهَا مَسِيرَةَ خَمْسِ مِائَةِ عَامٍ، وَبَيْنَ كُلِّ سَمَاءٍ مَسِيرَةَ خَمْسِ مِائَةِ عَامٍ، وَبَيْنَ السَّمَاءِ السَّابِعَةِ وَبَيْنَ الْكُرْسِيِّ خَمْسِ مِائَةِ عَامٍ، وَالْعَرْشُ فَوْقَ السَّمَاءِ، وَاللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فَوْقَ الْعَرْشِ، وَهُوَ يَعْلَمُ مَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ "


Telah menceritakan kepada kami Bahr bin Nashr bin Saabiq Al-Khaulaaniy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Asad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah, dari ‘Aashim bin Bahdalah, dari Zirr bin Hubaisy, dari Ibnu Mas’uud, ia berkata : “Jarak antara langit dunia dan langit di atasnya sejauh perjalanan selama 500 tahun. Jarak antara setiap langit dengan langit lainnya sejauh perjalanan selama 500 tahun. Jarak antara langit ketujuh dan kursi sejauh perjalanan selama 500 tahun. Dan ‘Arsy di atas langit, dan Allah tabaaraka wa ta’ala berada di atas ‘Arsy. Ia mengetahui apa yang kalian lakukan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhiid, hal. 242-243, tahqiq : Dr. ‘Abdul-‘Aziiz Asy-Syahwaan; Daarur-Rusyd, Cet. 1/1408 H].


Sanadnya hasan.


3.     Adl-Dlahhaak bin Muzaahim rahimahullah (w. 105/106 H).


حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي زِيَادٍ، قَالَ: ثني نضر بْنُ مَيْمُونٍ الْمَضْرُوبُ، قَالَ: ثنا بُكَيْرُ بْنُ مَعْرُوفٍ، عَنْ مُقَاتِلِ بْنِ حَيَّانَ، عَنِ الضَّحَّاكِ، فِي قَوْلِهِ: مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلاثَةٍ إِلَى قَوْلِهِ:هُوَ مَعَهُمْ. قَالَ: هُوَ فَوْقَ الْعَرْشِ، وَعِلْمُهُ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ


Telah menceritakan kepadaku ‘Abdullah bin Abi Ziyaad, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Nadlr bin Maimuun Al-Madlruub, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Bukair bin Ma’ruuf, dari Muqaatil bin Hayyaan, dari Adl-Dlahhaak bin Muzaahim tentang firman-Nya : ‘Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang’ hingga firman-Nya : ‘melainkan Dia berada bersama mereka’ (QS. Al-Mujaadilah : 7). Ia (Adl-Dlahhaak) berkata : “Ia (Allah) berada di atas ‘Arsy, dan ilmu-Nya bersama mereka, di mana pun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan, 23/237, tahqiq : Ahmad Muhammad Syaakir; Muassasah Ar-Risaalah, Cet. 1/1420 H].


Catatan : Penyebutan Nadlr bin Maimuun Al-Madlruub ini keliru. Yang benar adalah : Nuuh bin Maimuun Al-Madlruub sebagaimana riwayat ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 592, Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat no. 909, dan Al-Aajuriiy dalam Asy-Syarii’ah no. 388. Selain itu, ia lah perawi yang meriwayatkan dari Bukair bin Ma’ruuf.


Nuuh bin Maimuun seorang yang tsiqah.


Sanadnya hasan.


4.     Sulaimaan At-Taimiy rahimahullah (w. 143 H).


أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ عُبَيْدٍ، قَالَ: أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ، قَالَ: أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ أَبِي خَيْثَمَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ مَعْرُوفٍ، قَالَ: ثَنَا ضَمْرَةُ، عَنْ صَدَقَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ التَّيْمِيَّ، يَقُولُ: لَوْ سُئِلْتُ: أَيْنَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى؟ قُلْتُ: فِي السَّمَاءِ، فَإِنْ قَالَ: فَأَيْنَ عَرْشُهُ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاءَ؟ قُلْتُ: عَلَى الْمَاءِ، فَإِنْ قَالَ لِي: أَيْنَ كَانَ عَرْشُهُ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ الْمَاءَ ؟ قُلْتُ: لا أَدْرِي


Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin ‘Ubaid, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Al-Husain, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Abi Khaitsamah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Haaruun bin Ma’ruuf, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Dlamrah, dari Shadaqah, ia berkata : Aku mendengar At-Taimiy berkata : “Seandainya aku ditanya : ‘dimanakah Allah ?’, akan aku jawab : ‘Di langit’. Jika ia kembali bertanya : ‘Lalu, dimanakah ‘Arsy-Nya sebelum ia menciptakan langit ?’.  Aku akan menjawab : ‘Di atas air’. Dan jika ia bertanya lagi kepadaku : ‘Dimanakah ‘Arsy-Nya dahulu sebelum Allah menciptakan air ?’. Aku akan menjawab : ‘Aku tidak tahu” [Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad, hal. 401, tahqiq : Ahmad bin Mas’uud Al-Hamdaan; Cet. 2/1411 H].


5.     Maalik bin Anas rahimahullah (w. 179 H).


حدثني أبي رحمه الله حدثنا سريج بن النعمان حدثنا عبدالله بن نافع قال كان مالك بن أنس يقول الايمان قول وعمل ويقول كلم الله موسى وقال مالك الله في السماء وعلمه في كل مكان لا يخلو منه شيء


Telah menceritakan kepadaku ayahku rahimahullah : Telah menceritakan kepada kami Suraij bin An-Nu’maan : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Naafi’, ia berkata : “Maalik bin Anas pernah berkata : ‘Iman itu adalah perkataan dan perbuatan, Allah berbicara kepada Muusaa, Allah berada di atas langit dan ilmu-Nya ada di setiap tempat – tidak ada sesuatupun yang luput dari-Nya” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah, hal. 280 no. 532, tahqiq : Dr. Muhammad bin Sa’iid Al-Qahthaaniy; Daaru ‘Aalamil-Kutub, Cet. 4/1416 H. Diriwayatkan juga oleh Abu Daawud dalam Masaail-nya hal. 263, Al-Aajuriiy dalam Asy-Syarii’ah, 2/67-68 no. 695-696, Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad hal. 401 no. 673, Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid 7/138, dan Ibnu Qudaamah dalam Itsbaatu Shifaatil-‘Ulluw hal. 166 no. 76].


Sanadnya shahih.


6.     ‘Abdullah bin Al-Mubaarak rahimahullah (w. 181 H).


حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ الصَّبَّاحِ الْبَزَّازُ، ثنا عَلِيُّ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ شَقِيقٍ، عَنِ ابْنِ الْمُبَارَكِ، قَالَ: قِيلَ لَهُ: كَيْفَ نَعْرِفُ رَبَّنَا؟ قَالَ: " بِأَنَّهُ فَوْقَ السَّمَاءِ السَّابِعَةِ عَلَى الْعَرْشِ، بَائِنٌ مِنْ خَلْقِهِ "


Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Ash-Shabbaah Al-Bazzaaz : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Al-Hasan bin Syaqiiq, dari Ibnul-Mubaarak. Syaqiiq berkata : Dikatakan kepadanya : “Bagaimana kita mengetahui Rabb kita ?”. Ia (Ibnul-Mubaarak) berkata : “Bahwasannya Allah berada di atas langit yang ketujuh, di atas ‘Arsy, terpisah dari makhluk-Nya” [Diriwayatkan oleh Abu Sa’iid Ad-Daarimiy dalam Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah, hal. 39-40 no. 67, tahqiq : Badr Al-Badr; Ad-Daarus-Salafiyyah, Cet. 1/1405 H. Diriwayatkan juga oleh Al-Bukhaariy dalam Khalqu Af’aalil-‘Ibaad 2/15 no. 13-14 dan ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 22 & 216 dan Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat no. 903].


Sanadnya hasan.


7.     Muhammad bin Mush’ab Al-‘Aabid rahimahullah (w. 228 H).


حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَخْلَدٍ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْحَكَمِ أَبُو الْحَسَنِ بْنُ الْعَطَّارِ، قَالَ: سَمِعْتُ مُحَمَّدَ بنَ مُصْعَبٍ الْعَابِدَ، يَقُولُ: " مَنْ زَعَمَ أَنَّكَ لا تَتَكَلَّمُ وَلا تُرَى فِي الآخِرَةِ، فَهُوَ كَافِرٌ بِوَجْهِكَ، وَلا يَعْرِفُكَ، أَشْهَدُ أَنَّكَ فَوْقَ الْعَرْشِ، فَوْقَ سَبْعِ سَمَوَاتٍ، لَيْسَ كَمَا يَقُولُ أَعْدَاؤُكَ الزَّنَادِقَةُ "


Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Makhlad : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muhammad bin ‘Umar bin Al-Hakam Abul-Hasan bin Al-‘Aththaar, ia berkata : Aku mendengar Muhammad bin Mush’ab Al-‘Aabid berkata : “Barangsiapa yang menyangka bahwasannya Engkau tidak berbicara dan tidak dapat dilihat di akhirat, maka ia kafir terhadap wajah-Mu dan tidak mengetahui-Mu. Aku bersaksi bahwasannya Engkau berada di atas ‘Arsy, di atas tujuh langit. Tidak seperti yang dikatakan musuh-musuh-Mu, yaitu Zanaadiqah” [Diriwayatkan oleh Ad-Daaruquthniy dalam Ash-Shifaat, hal. 72-73 no. 64, tahqiq : Dr. ‘Aliy bin Muhammad bin Naashir Al-Faqiihiy – dicetak bersama kitab An-Nuzuul lid-Daaruquthniy; Cet. 1/1403 H. Diriwayatkan juga oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 167, An-Najjaad dalam Ar-Radd ‘alaa Man Yaquulu Al-Qur’aan Makhluuq no. 110, dan Al-Khathiib dalam At-Taariikh 4/452].


Sanadnya shahih.


8.     Qutaibah bin Sa’iid rahimahullah (w. 240 H).


سَمِعْتُ مُحَمَّدَ بْنَ إِسْحَاقَ الثَّقَفِيَّ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا رَجَاءٍ قُتَيْبَةَ بْنَ سَعِيدٍ، قَالَ: " هَذَا قَوْلُ الأَئِمَّةِ الْمَأْخُوذِ فِي الإِسْلامِ وَالسُّنَّةِ: الرِّضَا بِقَضَاءِ اللَّهِ، .........وَيَعْرِفَ اللَّهَ فِي السَّمَاءِ السَّابِعَةِ عَلَى عَرْشِهِ كَمَا قَالَ: الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى لَهُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَمَا تَحْتَ الثَّرَى


Aku mendengar Muhammad bin Ishaaq Ats-Tsaqafiy, ia berkata : Aku mendengar Abu Rajaa’ Qutaibah bin Sa’iid berkata : “Ini adalah perkataan para imam yang diambil dalam Islam dan Sunnah : ‘Ridlaa terhadap ketetapan Allah…… dan mengetahui Allah berada di langit yang tujuh, di atas ‘Arsy-Nya, sebagaimana firman Allah : ‘Ar-Rahmaan di atas ‘Arsy beristiwa’. Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah’ (QS. Thaha : 5)…..” [Diriwayatkan oleh Abu Ahmad Al-Haakim dalam Syi’aar Ashhaabil-Hadiits, hal. 30-34 no. 17, tahqiq : As-Sayyid Shubhiy As-Saamiraa’iy; Daarul-Khulafaa’, Cet. Thn. 1404 H].


Sanadnya shahih.


9.     Ahmad bin Hanbal rahimahullah (w. 241 H).


وهو على العرش فوق السماء السابعة. فإن احتج مبتدع أو مخالف بقوله تعالى {وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيد} وبقوله عز وجل : {وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَمَا كُنْتُمْ} أو بقوله تعالى : {مَا يكُونُ مِنْ نَجْوى ثلاثة إلا هُوَ رَابِعُهُمْ} ونحو هذا من متشابه القران


“Ia (Allah) berada di atas ‘Arsy, di atas langit ketujuh. Sesungguhnya ahli bid’ah atau orang yang menyimpang dari kebenaran berhujjah dengan firman-Nya : ‘Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya’ (QS. Qaaf : 16), atau dengan firman-Nya : ‘Dan Ia (Allah) bersama kalian di mana saja kalian berada’ (QS. Al-Hadiid : 4), atau dengan firman-Nya : ‘Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya’ (QS. Al-Mujaadilah : 7), dan yang lainnya dari ayat-ayat Al-Qur’an yang mutasyaabih” [As-Sunnah oleh Ahmad bin Hanbal melalui kitab Al-Masaail war-Rasaail Al-Marwiyyatu ‘anil-Imaam Ahmad fil-‘Aqiidah oleh ‘Abdullah Al-Ahmadiy, 1/318-319; Daaruth-Thayyibah, Cet. 1/1412 H].


Catatan : Penjelasan Al-Imaam Ahmad itu menggugurkan klaim kelompok Asyaa’irah yang mengklaim bahwa lafadh Allaahu ‘alal-‘Arsy atau yang semisalnya itu sifatnya mutasyaabih. Justru mafhum yang terambil dari perkataan beliau, lafadh itu adalah muhkam (jelas); dan yang samar (mutasyaabih) adalah lafadh nash-nash yang menyatakan bahwa Allah ta’ala bersama hamba-Nya.[1]


As-Sijziy rahimahullah menukil :


ونص أحمد بن حنبل رحمة الله عليه على أن الله تعالى بذاته فوق العرش، وعلمه بكل مكان


“Dan Ahmad – semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya – mengatakan bahwa Allah ta’ala di atas ‘Arsy dengan Dzat-Nya, sedangkan ilmu-Nya ada di setiap tempat” [Risaalah As-Sijziy ilaa Ahli Zubaid, hal. 125, tahqiq : Muhammad ba-Kariim; Daarur-Raayah, Cet. 1/1414 H].


10.   Al-Muzaanniy rahimahullah (w. 264 H).


[عال] على عرشه، وهو دان بعلمه من خلقه، أحاط علمه بالأمور، ....


“Tinggi di atas ‘Arsy-Nya, Ia (Allah) dekat pada hamba-Nya dengan ilmu-Nya. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu....” [Syarhus-Sunnah lil-Muzanniy, hal. 79 no. 1, tahqiq : Jamaal ‘Azzuun].


عال على عرشه، بائن من خلقه، موجود وليس بمعدوم ولا بمفقود


“Tinggi di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dengan makhluk-Nya. Allah itu ada, bukannya tidak ada dan hilang” [idem, hal. 82].


11.   Abu ‘Iisaa At-Tirmidziy rahimahullah (w. 279 H).


وعلمُ الله وقدرته وسلطانه في كل مكان، وهو على العرش كما وصف في كتابه


“Dan ilmu Allah, kemampuan, dan kekuasaan-Nya ada di setiap tempat. Adapun Allah ada di atas ‘Arsy sebagaimana yang Ia sifatkan dalam kitab-Nya” [Al-Jaami’ lit-Tirmidziy 5/403-404 melalui perantaraan kitab ‘Aqiidah Ahlis-Sunnah wal-Jamaa’ah lil-Imaam At-Tirmidziy oleh Abu Mu’aadz Thaariq bin ‘Iwadlillah, hal. 95; Daarul-Wathan, Cet. 1/1421 H].


12.   Abu Zur’ah (w. 264 H) dan Abu Haatim Ar-Raaziy (w. 277 H) rahimahumallah.


أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُظَفَّرِ الْمُقْرِئُ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حَبَشٍ الْمُقْرِئُ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو مُحَمَّدٍ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي حَاتِمٍ، قَالَ: سَأَلْتُ أَبِي وَأَبَا زُرْعَةَ عَنْ مَذَاهِبِ أَهْلِ السُّنَّةِ فِي أُصُولِ الدِّينِ، وَمَا أَدْرَكَا عَلَيْهِ الْعُلَمَاءَ فِي جَمِيعِ الأَمْصَارِ، وَمَا يَعْتَقِدَانِ مِنْ ذَلِكَ، فَقَالا: أَدْرَكْنَا الْعُلَمَاءَ فِي جَمِيعِ الأَمْصَارِ حِجَازًا وَعِرَاقًا وَشَامًا وَيَمَنًا فَكَانَ مِنْ مَذْهَبِهِمُ: " الإِيمَانُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ، يَزِيدُ وَيَنْقُصُ، ......وَأَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى عَرْشِهِ بَائِنٌ مِنْ خَلْقِهِ كَمَا وَصَفَ نَفْسَهُ فِي كِتَابِهِ، وَعَلَى لِسَانِ رَسُولِهِ K بِلا كَيْفٍ، أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا، لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ.


Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Al-Mudhaffar Al-Muqriy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Husain bin Muhammad bin Habsy Al-Muqriy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad ‘Abdurrahmaan bin Abi Haatim, ia berkata : ”Aku pernah bertanya kepada ayahku dan Abu Zur’ah tentang madzhab Ahlus-Sunnah dalam ushuuluddiin (pokok-pokok agama) dan apa yang mereka temui dari para ulama di seluruh pelosok negeri dan yang mereka berdua yakini tentang hal itu, maka mereka berdua berkata : ”Kami telah bertemu dengan para ulama di seluruh pelosok negeri, baik di Hijaz, ’Iraq, Mesir, Syaam, dan Yaman, maka yang termasuk madzhab mereka adalah : ”Iman adalah perkataan dan perbuatan, dapat bertambah maupun berkurang........ dan bahwasannya Allah ’azza wa jalla berada di atas ’Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya sebagaimana yang Ia sifatkan diri-Nya dalam Kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya shallallaahu ’alaihi wa sallam, tanpa menanyakan ’bagaimana’, ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Allah berfirman : ’Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad, 1/176, tahqiq : Ahmad bin Sa’d Hamdaan; Cet. 2/1411 H].


Shahih.


13.   ‘Utsmaan bin Sa’iid Ad-Daarimiy rahimahullah (w. 280 H).


فَاللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فَوْقَ عَرْشِهِ، فَوْقَ سَمَوَاتِهِ، بَائِنٌ مِنْ خَلْقِهِ، فَمَنْ لَمْ يَعْرِفْهُ بِذَلِكَ لَمْ يَعْرِفْ إِلَهَهُ الَّذِي يَعْبُدُ


“Allah tabaraka wa ta’ala berada di atas ‘Arsy-Nya, di atas langit-langit-Nya, terpisah dari makhluk-Nya. Barangsiapa yang tidak mengetahui hal itu, maka itu berarti ia tidak mengetahui tuhan yang ia sembah/ibadahi” [Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah oleh ‘Utsmaan bin Sa’iid Ad-Daarimiy, hal. 39 no. 66].


14.   Muhammad bin ‘Utsmaan bin Abi Syaibah rahimahullah (w. 297 H).


فهو فوق السماوات وفوق العرش بذاته متخلصا من خلقه بائنا منهم، علمه في خلقه لا يخرجون من علمه


“Allah berada di atas langit-langit dan di atas ‘Arsy dengan Dzat-Nya, terlepas dari makhluk-Nya lagi terpisah darinya. Adapun ilmu-Nya pada makhluk-Nya, mereka (makhluk-Nya) tidak terlepas dari ilmu-Nya” [Al-‘Arsy oleh Muhammad bin ‘Utsmaan bin Abi Syaibah, hal. 291-292, tahqiq : Dr. Muhammad bin Khaliifah At-Tamiimiy; Maktabah Ar-Rusyd, Cet. 1/1418 H].


15.   Ibnu Khuzaimah rahimahullah (w. 311 H).


سَمِعْتُ مُحَمَّدَ بْنَ صَالِحِ بْنِ هَانِئٍ، يَقُولُ: سَمِعْتُ أَبَا بَكْرٍ مُحَمَّدَ بْنَ إِسْحَاقَ بْنِ خُزَيْمَةَ، يَقُولُ: مَنْ لَمْ يُقِرَّ بِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى عَلَى عَرْشِهِ قَدِ اسْتَوَى فَوْقَ سَبْعِ سَمَاوَاتِهِ، فَهُوَ كَافِرٌ بِرَبِّهِ يُسْتَتَابُ، فَإِنْ تَابَ، وَإِلا ضُرِبَتْ عُنُقُهُ


Aku mendengar Muhammad bin Shaalih bin Haani’ berkata : Aku mendengar Abu Bakr Muhammad bin Ishaaq bin Khuzaimah berkata : “Barangsiapa yang tidak mengatakan bahwasannya Allah ta’ala beristiwa’ di atas ‘Arsy, di atas tujuh lagit, maka ia telah kafir terhadap Rabbnya. Ia diminta untuk bertaubat. Jika mau bertaubat, maka diterima, jika tidak, dipenggal lehernya” [Diriwayatkan oleh Abu ‘Abdillah Al-Haakim dalam Ma’rifatu ‘Uluumil-Hadiits hal. 84; Daarul-Afaaq].


Sanadnya shahih.


16.   Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah (w. 324 H).


وأجمعوا . . أنه فوق سماواته على عرشه دون أرضه ، وقد دل على ذلك بقوله : {أأمنتم من في السماء أن يخسف بكم الأرض}، وقال : {إليه يصعد الكلم الطيب والعمل الصالح يرفعه}. وقال : {الرحمن على العرش استوى}، وليس استواءه على العرش استيلاء كما قال أهل القدر، لأنه عز وجل لم يزل مستوليا على كل شيء


“Dan mereka (para ulama Ahlus-Sunnah) bersepakat..... bahwasannya Allah berada di atas langit-langit-Nya, di atas ‘Arsy-Nya, bukan di bumi-Nya. Dan hal itu ditunjukkan melalui firman-Nya : ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu’ (QS. Al-Mulk : 16). Dan Allah berfirman : ‘Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya’ (QS. Faathir : 10). Allah berfirman : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang ber-istiwaa’ di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5). Dan bukanlah yang dimaksud istiwaa’-nya Allah di atas ‘Arsy itu adalah istilaa’ (menguasai) sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang Qadariyyah. Karena Allah ‘azza wa jalla senantiasa berkuasa atas segala sesuatu” [Risaalatun ilaa Ahlits-Tsaghr oleh Abul-Hasan Al-Asy’ariy, hal. 231-234, tahqiq : ‘Abdullah bin Syaakir Al-Junaidiy; Maktabah Al-‘Uluum wal-Hikam, Cet. 2/1422 H].


17.   Abu Bakr Muhammad bin Al-Husain Al-Aajurriy rahimahullah (w. 360 H).


أن الله عز وجل على عرشه فوق سبع سمواته، وعلمه محيط بكل شيء، لا يخفى عليه شيء في الأرض ولا في السماء


“Bahwasannya Allah ‘azza wa jalla berada di atas ‘Arsy-Nya, di atas tujuh langit-langit-Nya. Dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, tidak ada sesuatu pun dibumi dan di langit yang tersembunyi darinya” [Asy-Syarii’ah oleh Abu Bakr Al-Aajurriy, 2/70, tahqiq : Al-Waliid bin Muhammad; Muassasah Qurthubah, Cet. 1/1417 H].


18.   Ibnu Abi Zaid Al-Qairuwaaniy rahimahullah (w. 386 H).


وأنه تعالى فوق عرشه المجيدِ بذاته ، وأنه في كل مكان بعلمه


“Allah ta’ala berada di atas ‘Arsy-Nya yang mulia dengan Dzat-Nya, dan bahwasannya Ia berada di setiap tempat dengan ilmu-Nya” [Risaalah Ibni Abi Zaid Al-Qairuwaaniy yang termuat dalam kitab ‘Aqaaidu Aimmatis-Salaf oleh Fawwaaz Ahmad Zamarliy, hal. 163; Daarul-Kitaab Al-‘Arabiy, Cet. 1/1415 H].


وأنه فوق سماواته على عرشه دون أرضه، وأنه في كل مكان بعلمه


“Dan Allah berada di atas langit-langit-Nya, di atas ‘Arsy-Nya, bukan di bumi-Nya. Dan bahwasannya ia ada di setiap tempat dengan ilmu-Nya” [Al-Jaami’ hal. 141 melalui perantaraan Masaailul-‘Aqiidah Allatii Qarrarahaa Aimmatul-Maalikiyyah oleh Abu ‘Abdillah Al-Hammaadiy, hal. 199; Ad-Daarul-Atsariyyah, Cet. 1/1429 H].


19.   Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ishaaq bin Mandah rahimahullah (w. 395 H).


بيان اخر يدل على أن الله تعالى فوق عرشه بائنا عن خلقه


“Penjelasan lain yang menunjukkan bahwa Allah ta’ala di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya” [At-Tauhiid oleh Ibnu Mandah, hal. 666, tahqiq : Muhammad Al-Wuhaibiy & Muusaa bin ‘Abdil-‘Aziiz Al-Ghushn; Daarul-Hadyin-Nabiy, Cet. 1/1428 H].


ذكر الايات المتلوة والأخبار المأثورة بنقل الرواة المقبولة التي تدل على أن الله تعالى فوق سمواته وعرشه وخلقه قاهرا سميعا عليما


“Penyebutan ayat-ayat dan khabar-khabar ma’tsuur dengan penukilan dari para perawi yang diterima, yang menunjukkan bahwa Allah ta’ala berada di atas langit-langit-Nya, ‘Arsy-Nya, dan makhluk-Nya; berkuasa, Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui” [At-Tauhiid oleh Ibnu Mandah, hal. 761].


20.   Ibnu Abi Zamaniin rahimahullah (w. 399 H).


وَهَذَا الْحَدِيثُ بَيَّنَ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى عَرْشِهِ فِي السَّمَاءِ دُونَ الأَرْضِ، وَهُوَ أَيْضًا بَيِّنٌ فِي كِتَابِ اللَّهِ، وَفِي غَيْرِ مَا حَدِيثٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ


“Hadits ini menjelaskan bahwa Allah ‘azza wa jalla di atas ‘Arsy-Nya di langit, bukan di bumi. Dan hadits itu juga dijelaskan dalam Kitabullah dan hadits lain dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Ushuulus-Sunnah oleh Ibnu Abi Zamaniin, hal. 113, tahqiq : ‘Abdullah Al-Bukhaariy; Maktabah Al-Ghurabaa’ Al-Atsariyyah, Cet. 1/1415 H].


21.   Abul-Qaasim Hibatullah bin Al-Hasan Al-Laalikaa’iy rahimahullah (w. 418 H).


سِيَاقُ مَا رُوِيَ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى وَأَنَّ اللَّه عَلَى عرشه فِي السماء وقال عَزَّ وَجَلَّ: إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ. وقال: أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأَرْضَ. وقال تعالى: وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَيُرْسِلُ عَلَيْكُمْ حَفَظَةً. فدلت هذه الآية أَنَّهُ تعالى فِي السماء، وعلمه محيط بكل مكان مِن أرضه وسمائه


“Pembicaraan tentang apa-apa yang diriwayatkan dalam firman-Nya ta’ala : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5). Dan bahwasannya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya di langit. Allah ‘azza wa jalla berfirman : ‘Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya’ (QS. Faathir : 10). Dan firman-Nya ta’ala : ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu’ (QS. Al-Mulk : 16). Dan firman-Nya ta’ala : ‘Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga’ (QS. Al-An’aam : 61). Ayat-ayat ini menunjukkan bahwasannya Allah ta’ala berada di langit dan ilmu-Nya meliputi seluruh tempat di bumi-Nya dan langit-Nya” [Syarh Ushuulil-I’tiqaad oleh Al-Laalikaa’iy, hal. 387-388].


22.   Abun-Nashr As-Sijziy Al-Hanafiy rahimahullah (w. 444 H).


واعتقاد أهل الحق أن الله سبحانه فوق العرش بذاته من غير مماسة


“Dan orang-orang yang menetapi kebenaran berkeyakinan bahwasannya Allah subhaanahu wa ta’ala di atas ‘Arsy dengan Dzaat-Nya tanpa bersentuhan” [Risaalah As-Sijziy ilaa Ahli Zubaid, hal. 126-127].


23.   Abu ‘Amru Ad-Daaniy rahimahullah (w. 444 H).


ومن قولهم : أنه سبحانه فوق سماواته، مستو على عرشه، ومستول على جميع خلقه، وبائن منهم بذاته، غير بائن بعلمه


“Dan termasuk di antara perkataan mereka : Bahwasannya Allah subhaanahu wa ta’ala di atas langit-langit-Nya, beristiwaa’ di atas ‘Arsy-Nya, berkuasa atas segala makhluknya. Ia terpisah dari mereka dengan Dzaat-Nya, namun tidak terpisah dengan ilmu-Nya” [Ar-Risaalah Al-Waafiyah hal. 52 melalui perantaraan Masaailul-‘Aqiidah Allatii Qarrarahaa Aimmatul-Maalikiyyah, hal. 194].


24.   Abu ‘Utsmaan Ash-Shaabuuniy rahimahullah (w. 449 H).


ويعتقد أصحاب الحديث ويشهدون أن الله سبحانه وتعالى فوق سبع سمواته على عرشه مستوٍ، كما نطق به كتابه في قوله عز وجل في سورة يونس: إِنَّ رَبَّكُمُ اللّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ)...


“Para ahli hadits berkeyakinan dan bersaksi bahwasannya Allah subhaanahu wa ta’ala berada di atas tujuh langit, di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana tertuang dalam Kitab-Nya dalam surat Yuunus : ‘Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arasy untuk mengatur segala urusan’ (QS. Yuunus : 3)…” [‘Aqiidatus-Salaf wa Ashhaabil-Hadiits, hal. 44, tahqiq : Abul-Yamiin Al-Manshuuriy;  Daarul-Minhaaj, Cet. 1/1423 H].


25.   Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah (w. 463 H).


وفيه دليل على أن الله - عز وجل - في السماء على العرش من فوق سبع سموات، كما قالت الجماعة، وهو من حججهم على المعتزلة والجهمية، في قولهم إن الله - عز وجل - في كل مكان، وليس على العرش، والدليل على صحة ما قالوه أهل الحق في ذلك قول الله - عز وجل - {الرحمن على العرش استوى}...وقوله {إليه يصعد الكلم الطيب}... وقال جل ذكره {سبح اسم ربك الأعلى} وهذا من العلو...


“Padanya terdapat dalil bahwasannya Allah ‘azza wa jallaa berada di langit di atas ‘Arsy, dari atas tujuh langit sebagaimana yang dikatakan oleh Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Dan hadits tersebut (yaitu hadits nuzuul – Abul-Jauzaa’) merupakan hujjah mereka terhadap Mu’tazilah dan Jahmiyyah atas perkataan mereka : ‘Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla ada di setiap tempat, dan tidak berada di atas ‘Arsy’. Dalil atas kebenaran apa yang dikatakan oleh ahlul-haq (orang-orang yang menetapi kebenaran) terhadap permasalahan tersebut adalah firman Allah ‘azza wa jalla : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5), dan firman-Nya : ‘Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya’ (QS. Faathir : 10), dan firman-Nya : ‘Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi’ (QS. Al-A’laa : 1). Dan ini termasuk sifat Al-‘Ulluw....” [At-Tamhiid, 7/129-131 dengan peringkasan – melalui perantaraan kitab ‘Aqiidatu Al-Imaam Ibni ‘Abdil-Barr fit-Tauhiid wal-Iimaan, oleh Sulaimaan bin Shaalih Al-Ghushn, hal. 318; Daarul-‘Aashimah, Cet. 1/1416 H].


26.   Ibnu Qudaamah Al-Maqdisiy rahimahullah (w. 620 H).


فإن الله تعالى وصف نفسه بالعلو في السماء ووصفه بذلك محمد خاتم الأنبياء، وأجمع على ذلك جميع العلماء من الصحابة الأتقياء والأئمة من الفقهاء، وتواترت الأخبار بذلك على وجه حصل به اليقين


“Sesungguhnya Allah ta’ala telah mensifatkan diri-Nya dengan al-‘ulluw (ketinggian) di atas langit, dan juga telah mensifatkan-Nya dengan hal itu Muhammad penutup para Nabi. Seluruh ulama dari kalangan shahabat yang bertaqwa dan para imam kalangan fiqahaa’ telah bersepakat tentang hal itu (ketinggian Allah di atas langit). Dan telah mutawatir hadits-hadits yang berkenaan dengannya yang menghasikan keyakinan...” [Itsbaatu Shifatil-‘Ulluw oleh Ibnu Qudaamah Al-Maqdisiy, hal. 63, tahqiq : Dr. Ahmad bin ‘Athiyyah Al-Ghaamidiy; Maktabah Al-‘Uluum wal-Hikam, Cet. 1/1409 H].


27.   Abu ‘Abdillah Al-Qurthubiy rahimahullah (w. 671 H).


أن الله على عرشه كما أخبر في كتابه، وعلى لسان نبيه، بلا كيف، بائن من جميع خلقه هذا جملة مذهب السلف الصالح فيما نقل عنهم الثقات


“Bahwasannya ‘Allah berada di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana yang Ia khabarkan dalam kitab-Nya dan melalui lisan Nabi-Nya, dan terpisah dari seluruh makhluk-Nya. Ini merupakan perkataan madzhab ­as-salafush-shaalih yang dinukil oleh para perawi tsiqaat dari mereka” [Al-Asnaa fii Syarh Al-Asmaail-Husnaa, 2/132 – melalui perantaraan muqaddimah muhaqqiq kitab Khalqu Af’alil-‘Ibaad lil-Bukhaariy, 1/171; Daarul-Athlas, Cet. 1/1425 H].


Sabtu, 03 Desember 2022

Fakta sejarah Asy'ariyyah

 Fakta sejarah Asy'ariyyah 


Fakta sejarah di tahun 433H zaman Abbasiyah, aqidah asy'ariyah ajaran yang dibenci dan terlarang di tengah kaum muslimin, yang waktu itu memeluk aqidah salaf selama ratusan tahun sejak zaman nabi dan sahabat sampai Abbasiyah. 


Fakta sejarah ditulis ulama ahli sejarah Ibnu katsir. Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan:

قال البيهقي: ولم يكن في الخلفاء قبله من بني أمية وبني العباس خليفة إلا على مذهب السلف ومنهاجهم

“Al-Baihaqi berkata: “Tidak ada satu khalifah pun sebelum al-Makmun dari kalangan Daulah Umayyah dan Daulah Abbasiyah kecuali berada di atas Madzhab dan Manhaj Salaf.” (Al-Bidayah wan Nihayah: 10/365)..

Fakta berikutnya oleh khotib baghdadi. Al-Imam Abu Bakar al-Khathib al-Baghdadi rahimahullah menyatakan:


وعرف بها عند كل أحد مع حسن المذهب وصحة الاعتقاد وكان صنف كتابا في الأصول ذكر فيه فضائل الصحابة على ترتيب مذهب أصحاب الحديث


“Al-Qadir billah dikenal oleh setiap orang dengan banyaknya amal shalih disertai madzhab yang baik dan kesahihan akidah. Beliau juga menulis sebuah kitab tentang ‘Ushul’. Beliau menerangkan keutamaan para sahabat dalam kitab tersebut menurut urutan Madzhab Ahlul Hadits…dst.” (Tarikh Baghdad: 4/37).


Di antara akidah Khalifah al-Qadir billah yang pernah dibacakan di hadapan para ulama di Baghdad adalah:


وأنه خلق العرش لا لحاجة واستوى عليه كيف شاء لا استواء راحة وكل صفة وصف بها نفسه أو وصفه بها رسوله فهي صفة حقيقة لا صفة مجاز وكلام الله غير مخلوق أنزله على رسوله


“Dan bahwa Allah menciptakan Arsy bukan karena kebutuhan. Allah bersemayam di atasnya dengan tatacara yang dikehendaki-Nya, bukan bersemayam untuk beristirahat. Setiap sifat yang mana Allah menyifati diri-Nya dengan sifat tersebut, atau disifati oleh Rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam, maka itu merupakan sifat yang hakiki bukan sifat majazi. Firman Allah bukanlah makhluk, diturunkan oleh-Nya kepada rasul-Nya.” (Al-Uluw lil Aliyyil Ghaffar: 245).


Fakta sejarah, pengganti Abul Hasan Al-Asya’ri setelah menjnggal, Al Baqilani sangat takut dengan tokoh ulama Syafi'iyah di zamannya Abu Hamid Al Isfarayni. 


Al-Imam Abu Ishaq asy-Syairazi asy-Syafi’i berkata:

كان أبو بكر الباقلاني يخرج إلى الحمام مبرقعا خوفا من الشيخ أبي حامد الإسفرائيني

“Adalah Abu Bakar al-Baqilani keluar menuju tempat pemandian dengan memakai cadar karena takut terhadap asy-Syaikh Abu Hamid al-Isfarayni.” (Al-Aqidah al-Ishfahaniyah: 59).


Dahulu pun Abul Hasan Al-Asya’ri masih hidup pernah menghadap tokoh ulama syafiiyah zamannya Al Barbahari untuk meminta legitimasi bahwa ia bertaubat dari mu'tazilah, mencoba mendekat mu'tazilah dengan pemikiran barunya, namun al Barbahari enggan menerimanya. Abu Abdillah al-Hamrani berkata:


لما دخل الأشعري إلى بغداد جاء إلى البربهاري فجعل يقول: رددت على الجبائي وعلى أبي هاشم ونقضت عليهم وعلى اليهود والنصارى والمجوس وقلت لهم وقالوا وأكثر الكلام في ذلك فلما سكت قال البربهاري: ما أدري مما قلت قليلاً ولا كثيراً ولا نعرف إلا ما قاله أبو عبد الله أحمد بن حنبل قال: فخرج من عنده وصنف كتاب ” الإبانة ” فلم يقبله منه ولم يظهر ببغداد إلى أن خرج منها


“Ketika Abul Hasan al-Asy’ari memasuki Baghdad, beliau mendatangi al-Imam al-Barbahari (wafat tahun 328 H). Beliau mengatakan: “Aku telah membantah al-Juba’i dan Abu Hasyim. Aku telah membantah mereka. Aku juga telah membantah Yahudi, Nasrani dan Majusi. Aku berkata kepada mereka demikian dan demikian…dst. Ketika beliau diam, maka giliran al-Imam al-Barbahari berkata: “Aku tidak mengenal pendapatmu sedikit ataupun banyak kecuali pendapat al-Imam Ahmad bin Hanbal.” Al-Hamrani berkata: “Kemudian Abul Hasan al-Asy’ari keluar dari majelis al-Barbahari dan menulis kitab ‘al-Ibanah an Ushulid Diyanah’. Al-Barbahari masih tidak mau menerimanya. Beliau tidak muncul di Baghdad sampai kemudian keluar dari Baghdad.” (Thabaqat al-Hanabilah li Ibni Abi Ya’la: 2/16, al-Maqshadul Arsyad li Ibni Muflih: 1/329, Siyar A’lamin Nubala’: 15/90 dan al-Wafi bil Wafayat lish Shafadi: 4/173).

Didalam tubuh Syafi'iyah sendiri banyak ulama mencela asy'ariyah bahkan menyesatkan dan mengkafirkan. 

Fakta sejarah membuktikan adanya kitab tulisan ulama yang Menyesatkan asy'ariyah dan mengumpulkan daftar ulama yang mencela sampai mengkafirkan asy'ariyah. Ditulis oleh Syaikhul-Islam Abu Ismail Al-Harawi dalam kitabnya Dzammul-Kalãm wa Ahlih. 

Asy'ariyah baru terkenal sejak era Alip Arsalan menjadi Raja penguasa Abbasiyah dan perdana menteri Nizham mendirikan banyak madrasah, dimana hanya ajaran Asy'ariyah yang boleh diajarkan dan melarang ajaran salaf. Menyeru semua mazhab menerima asy'ariyah namun hanya Hambali yang menolak. 

Itulah kenapa semua mazhab semua kecuali Hambali, menerima asy'ariyah sebagai akidah. Didalam tubuh syafiiyah sendiri terjadi banyak pertentangan, ulama yang kasihan memegang salaf kemudian dijuluki Hambali, walaupun ia syafi'i tulen.

Al-Hafizh as-Suyuthi rahimahullah menyatakan:

قال الذهبى وهو أول من ذكر بالسلطان على منابر بغداد وبلغ ما لم يبلغه أحد من الملوك وافتتح بلادا كثيرة من بلاد النصارى واستوزر نظام الملك فأبطل ما كان عليه الوزير قبله عميد الملك من سب الشعرية وانتصر للشافعية واكرم إمام الحرمين وأبا القاسم القشيرى وبنى النظامية قيل وهى اول مدرسة بنيت للفقهاء

“Adz-Dzahabi berkata: “Dia (Alib Arsalan) adalah orang yang pertama kali disebut sebagai sultan di atas mimbar-mimbar Baghdad. Kekuasaan beliau mencapai luas wilayah yang belum pernah dicapai oleh raja-raja selain beliau. Beliau menaklukkan banyak negeri nasrani dan mengangkat Nizhamul Mulk sebagai menteri. Maka Nizhamul Mulk menghapus kebijakan yang dilakukan oleh menteri sebelumnya, Amidul Mulk, seperti mencela Madzhab Asy’ariyah. Ia juga membela ulama Syafi’iyah dan memuliakan Imamul Haramain dan Abul Qasim al-Qusyairi. Ia juga membangun Madrasah Nizhamiyah. Dikatakan bahwa Nizhamiyah merupakan madrasah yang pertama kali dibangun untuk para ahli fikih.” (Tarikhul Khulafa’: 1/416).


Al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata:

وهو أول من بنى المدارس في الإسلام، بنى نظامية بغداد، ونظامية نيسابور، ونظامية طوس، ونظامية إصبهان

Ia (wazir atau menteri Nizhamul Mulk, pen) adalah orang yang pertama kali membangun madrasah di dalam Islam. Ia membangun madrasah Nizhamiyah Baghdad, Nizhamiyah Naisabur, Nizhamiyah Thus dan Nizhamiyah Isbahan.” (Tarikhul Islam lidz Dzahabi: 33/146).


Ali bin Nayef menyatakan:

كان اهتمام المدارس النظامية قد انصرف إلى التركيز على مادتين أساسيتين هما : الفقه على المذهب الشافعي، وأصول العقيدة على مذهب الأشعري

“Madrasah-madrasah Nizhamiyah mempunyai kepentingan untuk berdiri di atas 2 pondasi, yaitu: fikih di atas Madzhab Syafi’i dan dasar-dasar akidah di atas Madzhab Asy’ariyah..dst.” (Mausu’ah al-Buhuts wal Maqalat al-Ilmiyah: Bab al-Madaris an-Nizhamiyah fi Daulatis Salajiqah hal: 6).


Bacaan lain 

Ulama Syafi'iyah mutaqodimin melawan asy'ariyah https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/08/ulama-syafiiyah-abtara-atsari-dan-asyari.html

Ijma ulama 4 mazhab tentang sifat Allâh terutama al uluw dan istiwa https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/08/ijma-ulama-mazhab-itsbat-sifat-al-uluw.html

Ijma salaf sahabat, Tabi'in, Tabi'ut Tabi'in tentang sifat https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/08/ijma-ulama-sejak-sahabat-tentang.html

Kumpulan qoul sahabat sampai Tabi'ut Tabi'in tentang sifat https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/08/perkataan-as-salaf-dan-ahlul-ilmi-dalam.html

Selasa, 20 September 2022

Asya’irah pecah menjadi 2, Mutaakhirin vs Mutaqodimin

 Asya’irah pecah menjadi 2, Mutaakhirin vs Mutaqodimin


Ini semua terjadi dalam perbedaan memahami sifat sifat ketuhanan yang mereka buat sendiri yang berasal teori filsafat Yunani, lalu berkembang di kalangan ulama mereka sehingga terjadi perbedaan bahkan perbedaan berkonsekuensi kafir. 


Abul Hasan Al-Asya’ri sendiri sebelumnya tokoh Mu"tazilah, pendakwah dan ulama mu'tazilah. Maka secara pemikiran ketika memutuskan hijrah tentunya tidak semua pemikiran lama berganti. Ia berganti dulu dengan pemahaman kullabiyah.


Kullabiyah yang oleh Ibnu Kullab.

Dia adalah Abdullah bin Sa’id bin Kullab Al-Qaththan, Abu Muhammad Al-Bashri. Salah seorang ahli kalam di zaman pemerintahan Al-Ma’mun. Di antara karya tulisnya adalah Ash-Shifat, Khalq al-Af’al, dan Ar-Radd ala al-Muktazilah. Disebutkan pula bahwa di antara murid-murid beliau adalah Al-Harits Al-Muhasibi dan Daud Azh-Zhahiri. Diperkirakan wafatnya sebelum tahun 240H. Sekte Kullabiyah menetapkan sebagian sifat-sifat Allah  yaitu sifat-sifat dzatiyyah. 


Kelompok Kullabiyyah menolak sifat-sifat fi’liyyah, namun menetapkan sifat-sifat dzatiyyah. Di antara yang mereka tetapkan bagi Allah (SWT) adalah sifat wajah, kedua tangan, kedua mata, kemahatinggian dzat Allah, dan yang lainnya.


Kullabiyah inilah kelak menjadi ajaran Asya’irah lama (mutaqodimin) sedangkan Asya’irah generasi baru lahir setelah era generasi lama para tokohnya meninggal. 


1) Asya’irah Mutakadimin

Yakni kalangan Asya’irah terdahulu. Di antara yang termasuk tergolong ke dalam Asya’irah Mutakadimin adalah Abul Hasan Al-Asya’ri, Abul Hasan Ath-Thabari, Abdul Qadir Al-Baghdadi, Al-Baqillani, Ibnu Faurak, dan yang lainnya. 

Akidah mereka persis seperti akidah kelompok Kullabiyah, yaitu menolak sifat-sifat fi’liyyah, namun menetapkan sifat-sifat dzatiyyah. Jadi mereka juga menetapkan sifat wajah, tangan, mata, dan ketinggian Allah di atas langit.

2) Asya’irah Mutaakhirin

Yakni kalangan Asya’irah belakangan. Di antara yang tergolong sebagai Asya’irah Mutaakhirin adalah Al-Juwaini (wafat 478 H), Ar-Razi (wafat 406 H), Al-Iiji, Al-Amidi, dan yang lainnya.

Akidah mereka jauh berbeda dengan para pendahulu mereka, yaitu kalangan Asya’irah Mutakadimin. Mereka menolak seluruh sifat, baik dzatiyyah maupun fi’liyyah, kecuali tujuh sifat, yaitu qudrah (kuasa), iradat, hayat, pendengaran, penglihatan, ilmu, dan kalam. Ada di antara mereka yang menambahkan sifat kedelapan, yaitu sifat al-idraak.


Menurut muta'akhirin, tidak mengapa untuk menetapkan sifat dzatiyyah, karena sifat-sifat dzatiyyah asalnya statis dan tidak terbaharui ataupun berubah-ubah.

a. Kullabiyyah( ) dan Asya’irah Mutakadimin( ) menetapkan sifat dzatiyyah.

Kullabiyyah dan Asya’irah Mutakadimin menetapkan sifat dengan dalil dan akal.

Ada sifat-sifat yang mereka tetapkan dengan dalil, yang biasa mereka sebut sebagai sifat khabariyyah. Seperti sifat tangan dan sifat mata.

Adapun sifat-sifat lainnya, maka mereka menetapkannya dengan akal, seperti iradat, qudrah (kuasa/kodrat), ilmu, hayat, pendengaran, penglihatan, bicara, dan yang lainnya.

b. Adapun Asya’irah Mutaakhirin lebih ketat, di mana mereka menolak seluruh sifat dzatiyyah kecuali tujuh atau delapan sifat, yang semua itu mereka tetapkan karena sebatas dalil akal.


Jadi, perbedaan antara Asya’irah Mutaakhirin dan Mutakadimin, adalah bahwa Asya’irah Mutaakhirin menetapkan sifat dzatiyyah hanya berdasarkan akal. Adapun dalil, mereka hanya mengambilnya jika menurut mereka sesuai dengan logika mereka.


Masyhur di kalangan mereka tuduhan tuduhan mujassimah bagi siapa saja yang meyakini Allah memiliki sifat jism karena berkonsekuensi Allah seperti makhluk, maka secara tidak langsung kalangan muta'akhirin yang menolak semua sifat mengkafirkan mutaqodimin yang menerima sebagian sifat. 


Sikap muta'akhirin yang menolak seluruh sifat Allah mewarisi sifat Jahmiyah yang juga menolak seluruh sifat, padahal dahulu jahmiyah seluruh ulama salaf Ahlul hadits mengkafirkan kelompok ini. Berkata Imam Bukhori yang tak mau mensholati mayatnya atau menjadi makmum ketika sang imam seorang jahmi


Klaim bahwa mayoritas umat islam adalah Asya’irah bahkan kontradiksi.

 Klaim bahwa mayoritas umat islam adalah Asya’irah bahkan kontradiksi. 


Dalam sebuah keterangan dari kalangan Asya’irah bahwa mereka adalah mayoritas umat islam di dunia, sejak dahulu kala. 


Maka kita dapat kontradiksi dengan pernyataan vonis kafir ulama asy'ariyah diatas yang dengan mudah menjatuhkan vonis kafir bahkan pada kalangan awam. 


Yang terjadi dalam kenyataan mayoritas kaum muslimin beraqidah islam mengikuti fitrohnya sebagai manusia. 


Kita dapati di berbagai tulisan di media, kata kata seperti : Allah diatas, yang diatas sana, tuhan yang diatas, Allah mencintai hamba nya, gusti mboten sare, Allah mengasihi kita 


Itu semua kata kata yang lahir dari manusia bahkan bukan muslim, meyakini Allah diatas langit, Allah mencintai, Allah mengasihi menyayangi dst


Itu semua berlawanan dengan ajaran Asya’irah, bahwa Allah tidak boleh ditunjuk sesuai arah, karena menunjukkan butuh tempat dan itu sifat makhluk. 


Juga Dalam ajaran Asya’irah, Allah tidak boleh disifati dengan sifat sifat makhluk. Seperti mencintai, mengasihi, karena itu semuanya sifat makhluk. 


sifat tuhan menurut Asya’irah tetap, statis, bahkan tidak bergerak, sebuah teori keutuhan yang menginduk filsafat Yunani aristoteles, plato yang diteruskan kalangan mu'tazilah, jahmiyah kemudian diadopsi Asya’irah. 


Mereka sama sama menolak sifat sifat Allah yang Allah tetapkan sendiri dalam ayat ayat kitabullah, mereka membuatnya syarat syarat zat sebagian tuhan, jika tidak sesuai syarat mereka maka itu bukan tuhan versi mereka. 


Bedanya jahmiyah, mu'tazilah menolak seluruh sifat Allah. Ada juga menolak sebagian dan menolak sebagian seperti Asya’irah, Kullabiyyah, Maturidiyyah

Asya’irah mudah mengkafirkan kaum muslimin bahkan Ghuluw dalam mengkafirkan kalangan awam

 ::: Asya’irah mudah mengkafirkan kaum muslimin bahkan Ghuluw dalam mengkafirkan kalangan awam


Diantara prinsip Ahlus Sunnah, hanya menyeru ummat kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bukan kepada orang lain atau pendapat kelompoknya. 


قال شيخ الإسلام كما في مجموع الفتاوى (20/164) :" وليس لأحد أن ينصب للأمة شخصا يدعو الى طريقته ويوالي ويعادي عليها غير النبى ولا ينصب لهم كلاما يوالي عليه يعادي غير كلام الله ورسوله وما اجتمعت عليه الأمة بل هذا من فعل أهل البدع الذين ينصبون لهم شخصا أو كلاما يفرقون به بين الأمة يوالون به على ذلك الكلام أو تلك النسبة ويعادون " 


Berkata Syaikhul-Islaam dalam Majmu fatwanya (20/164) : Tidak boleh bagi seorang pun untuk menanamkan bagi umat individu tertentu selain Nabi untuk menyeru ke jalannya serta berwala’ dan bermusuhan atasnya. Tidak boleh pula menanamkan bagi umat satu perkataan selain perkataan Allah dan Rasul-Nya serta ijma’ umat, yang dengannya berwala’ dan bermusuhan. Bahkan perbuatan tersebut merupakan perbuatan Ahlul-Bid’ah yang telah menanamkan bagi mereka individu tertentu atau perkataan tertentu yang menyebabkan perpecahan umat. Mereka berwala’ dan bermusuhan karenanya berdasarkan perkataan dan individu tersebut. 


Ekstremitas sebagian mereka pada pengkafiran terhadap Ibnu Taimiyah dan vonis zindiq dan kafir yang dijatuhkan atasnya. Al-Hāmidi berkata mengomentari perkataan as-Sanusi, "Ungkapan beliau (as-Sanusi): 'Ibnu Taimiyah,' yang dituju adalah tokoh penganut madzhab Hanbali yang telah sohor, seorang zindiq. Kebenciannya terhadap agama dan penganutnya tidak lagi tersembunyi."


Begitu pula dengan Ibnu Jamaah yang berkata kepada Sang Amir tentang Ibnu Taimiyah, "Ia (Ibnu Taimiyah) harus dipersempit (ruang geraknya) jika tidak dijatuhi hukuman mati lantaran telah jelas kekufurannya."


Juga di antaranya predikat yang diberikan (Taqiyuddin) as-Subki kepada Ibnul Qayyim sebagai mulhid disertai laknat atasnya. As-Subki berkata dalam kitab as-Saif ash-Shaqīl, hl. 53, "Selesai cuplikan dari ungkapan "Si Mulhid". Celakalah dia dan semoga Allah memutus habis (keburukan) ucapannya."


Ghuluw dalam mengkafirkan kalangan awam juga terjadi yang diserukan ulama Asya’irah. 


Ini dilakukan sebagian imam asyairoh dalam mengkafirkan selain pendapat mazhab mereka. Sebagaimana pendapat Syeikh abu ishaq asy-syirozy, salah seorang imam asyairoh di masanya, juga pemilik kitab mazhab, berkata 


فمن اعتقد غير ما أشرنا إليه من اعتقاد أهل الحق المنتسبين إلى الإمام أبي الحسن الاشعري رضي الله عنه فهو كافر . ومن نسب إليهم غير ذلك فقد كفرهم فيكون كافرا بتكفيره لهم لما روي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : (ما كفر رجل رجلا إلا باء به أحدهما . .) . انظر شرح اللمع له (1 / 111)


Siapa saja yang berkeyakinan dengan selain apa yang telah kami utarakan berupa keyakinan Ahli Hak yang berintisab kepada Imam Abul Hasan al-Asy'ari -semoga Allah meridhainya- maka ia adalah kafir. Siapa saja yang menisbatkan pada mereka selain itu maka berarti ia telah mengkafirkan mereka, lantas ia pun menjadi kafir lantaran pengkafirannya terhadap mereka berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, 'Tidaklah seorang mengkafirkan orang lain melainkan akan berbalik kepada salah seorang darinya' 


Juga Al Bajuri dalam Syarah Jauharoh tauhid menyatakan, ada beberapa orang karena sebab kebingungan dan keinginannya sehingga menyelisihi para ulama dalam keimanan mereka, sehat dan rusaknya, sehingga hasil penyelisihan ini, salah satunya : Tidak adanya kesehatan iman pada sang Muqollid, sehingga menjadikan ia kafir, dan untuknya as-Sanusi 


Di antaranya juga apa yang dikutip oleh al-Qurtubi dalam Tafsirnya dari sebagian ulama, "Sekalangan ulama mutakhir dan para pendahulunya dari Ahli Kalam berpandangan bahwasanya siapa saja yang tidak mengenal Allah dengan metoda dan kajian yang telah mereka rancang tidaklah sah imannya dan ia telah kafir. Maka kelaziman darinya berupa pengkafiran mayoritas umat Islam. Pula, yang pertama kali akan dikafirkan adalah ayah, pendahulu dan para tetangganya." Pernyataan ini pernah disampaikan kepada sebagian mereka (ulama), lantas direspons, "Tidak perlu mencibirku lantaran banyaknya calon penghuni Neraka," atau sebagaimana yang diucapkannya.


diungkapkan juga oleh al-Gazali terkait ghuluw sejumlah Ahli Kalam, "Termasuk dari mereka yang sangat ekstrim adalah sekelompok Ahli Kalam yang mengkafirkan kaum muslim awam dengan dalih bahwa siapa saja yang tidak memahami ilmu kalam sebagaimana kami dan siapa yang tidak mengetahui dalil-dalil syara' sesuai dengan metoda pendalilan yang kami rumuskan maka ia adalah kafir." Mereka, dengannya, menyempitkan rahmat Allah yang begitu luas kepada seluruh hamba-Nya serta menjadikan Surga hanya ekslusif dimiliki sejuput makhluk dan juga mereka lalai akan apa yang telah datang secara mutawatir di dalam Sunnah."


*****


Bagaimana dengan isu bahwa kalangan salafi juga gemar mengkafirkan secara umum ? 


Ini tidak dijumpai dalam perkataan para ulamanya atau dalam kitabnya. Yang terjadi adalah seruan nasihat pada ajaran tauhid murni untuk mengesakan Allah Azza wa Jalla dalam beribadah, jangan sampai tercampur dengan kesyirikan. Seruan dalam masalah mengagungkan ajaran tauhid dan menjelaskan kerugian jika terjerumus dalam kegelapan syirik inilah yang diduga kuat oleh mereka yang membenci dakwah tauhid dengan tuduhan palsu, mudah mengkafirkan. 


Juga dalam kasus lain yakni tuduhan mudah membid'ahkan, yang terjadi adalah seruan dakwah sunnah untuk mengikuti jalan rosulullah shalallahu alaihi wasallam. 

******

Klaim bahwa mayoritas umat islam adalah Asya’irah bahkan kontradiksi. 


Dalam sebuah keterangan dari kalangan Asya’irah bahwa mereka adalah mayoritas umat islam di dunia, sejak dahulu kala. 


Maka kita dapat kontradiksi dengan pernyataan vonis kafir ulama asy'ariyah diatas yang dengan mudah menjatuhkan vonis kafir bahkan pada kalangan awam. 


Yang terjadi dalam kenyataan mayoritas kaum muslimin beraqidah islam mengikuti fitrohnya sebagai manusia. 


Kita dapati di berbagai tulisan di media, kata kata seperti : Allah diatas, yang diatas sana, tuhan yang diatas, Allah mencintai hamba nya, gusti mboten sare, Allah mengasihi kita 


Itu semua kata kata yang lahir dari manusia bahkan bukan muslim, meyakini Allah diatas langit, Allah mencintai, Allah mengasihi menyayangi dst


Itu semua berlawanan dengan ajaran Asya’irah, bahwa Allah tidak boleh ditunjuk sesuai arah, karena menunjukkan butuh tempat dan itu sifat makhluk. 


Juga Dalam ajaran Asya’irah, Allah tidak boleh disifati dengan sifat sifat makhluk. Seperti mencintai, mengasihi, karena itu semuanya sifat makhluk. 


sifat tuhan menurut Asya’irah tetap, statis, bahkan tidak bergerak, sebuah teori keutuhan yang menginduk filsafat Yunani aristoteles, plato yang diteruskan kalangan mu'tazilah, jahmiyah kemudian diadopsi Asya’irah. 


Mereka sama sama menolak sifat sifat Allah yang Allah tetapkan sendiri dalam ayat ayat kitabullah, mereka membuatnya syarat syarat zat sebagian tuhan, jika tidak sesuai syarat mereka maka itu bukan tuhan versi mereka. 


Bedanya jahmiyah, mu'tazilah menolak seluruh sifat Allah. Ada juga menolak sebagian dan menolak sebagian seperti Asya’irah, Kullabiyyah, Maturidiyyah

Jumat, 29 Juli 2022

Keutamaan puasa 9, 10 Muharram dan syarat dosa setahun diampuni

 🍃📕 KEUTAMAAN PUASA ‘ASYURO (10 MUHARROM) 📒🍃


➖➖➖➖


🔵 Berikut ini, di antara keutamaan puasa ‘Asyuro: 


1⃣ MENGHAPUS DOSA SETAHUN YANG LALU

👉🏻 Dari Shahabat Abu Qotadah rodhiyallahu ‘anhu; bahwasanya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:


صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ، أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ


”Puasa pada hari ‘Asyuro , aku berharap kepada Allah penghapusan dosa setahun yang lalu.”

(HR. Muslim no.1162 - 196, Abu Daud no.2425 , At-Tirmidzi no.752, Ibnu Majah no.1738)


2⃣ PUASA YANG PALING UTAMA SETELAH PUASA RAMADHAN

👉🏻 Dari shahabat Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu; bahwasanya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:


أَفْضَلُ الصِّيَامِ، بَعْدَ رَمَضَانَ، شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ، وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ، بَعْدَ الْفَرِيضَةِ، صَلَاةُ اللَّيْلِ


“Puasa yang paling utama setelah puasa di bulan romadhan adalah puasa pada bulan Allah -yang disebut dengan Muharrom, dan sholat yang paling utama setelah sholat fardhu (yang wajib) adalah sholat malam.“ (HR.Muslim no. 1163 - 202)



✅ Semoga Allah –Ta’ala- mudahkan kita untuk melaksanakannya. Aamiin.


Wallahul Muwaffiq



******


🍃📕 DISUNNAHKAN PULA PUASA TASU’AH ( 9 Muharrom) 📒🍃


➖➖➖➖


📝Al-Imam An-Nawawi rohimahullah dalam kitab Al-Majmu’ Syarhul-Muhadzzab (6/382-383) menjelaskan, bahwa Puasa Tasu’ah juga disunnahkan (baca: dianjurkan) dalam Islam, sebagaimana Puasa ‘Asyuro.


👉 Berdasarkan hadits Shahabat Ibnu Abbas rodhiyallahu ‘anhu; bahwasanya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:


لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابِلٍ، لَأَصُومَنَّ الْيَوْمَ التَّاسِعَ


🔹 ”Kalau seandainya aku masih hidup sampai tahun depan, Sungguh aku akan berpuasa (pula) pada hari kesembilannya.” (HR. Muslim no. 1134)


🔵 Namun beliau wafat sebelum datang tahun berikutnya. (HR. Muslim no. 1134 – 133)


@Warisansalaf

—------—


📋 SYARAT MENDAPATKAN AMPUNAN DOSA SETAHUN DENGAN PUASA ASYURO


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ


Rasulullah ﷺ bersabda,


وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاء أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ


“Dan puasa hari ‘Asyuro (10 Muharram), aku harap kepada Allah dapat menghapuskan dosa tahun sebelumnya.” [HR. Muslim dari Abu Qotadah radhiyallahu’anhu]


Syarat untuk mendapatkan ampunan dosa setahun adalah menjauhi dosa-dosa besar atau bertaubat darinya.


Dan Muharram adalah bulan yang Allah muliakan, maka lebih tidak patut bagi seorang hamba melakukan dosa atau menunda-nunda taubat.


Asy-Syaikhul ‘Allaamah Ibnu Baz rahimahullah berkata,


قال جمهور أهل العلم إن أداء الفرائض وترك الكبائر يكفر السيئات الصغائر، أما الكبائر فلا يكفرها إلا التوبة إلى الله سبحانه وتعالى


“Mayoritas ulama berpendapat: Sesungguhnya mengamalkan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan dosa-dosa besar dapat menghapus dosa-dosa kecil. Adapun dosa-dosa besar tidak dapat dihapus kecuali dengan taubat kepada Allah subhanahu wa ta’ala.” [Nur ‘alad Darb, 6/64]


Asy-Syaikhul ‘Allaamah Ibnu Baz rahimahullah juga berkata,


وهكذا قوله في صوم يوم عاشوراء «إنه يكفر السنة التي قبله» يعني عند اجتناب الكبائر لقوله سبحانه وتعالى: {إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ}، ولقوله صلى الله عليه وسلم: «الصلوات الخمس والجمعة إلى الجمعة ورمضان إلى رمضان كفارات لما بينهن مالم تغش الكبائر» إذا اجتنب الكبائر، ما اجتنبت الكبائر كلها ألفاظ جاءت في الحديث عن النبي صلى الله عليه وسلم


“Demikian pula sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tentang puasa ‘Asyuro,


إنه يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ


“Sesungguhnya puasa ‘Asyuro menghapus dosa tahun sebelumnya.” [HR. Muslim dari Abu Qotadah radhiyallahu’ahu]


Maknanya adalah ketika dosa-dosa besar dijauhi.


Berdasarkan firman Allah ta’ala,


إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ


“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosa kecilmu).” (An-Nisa: 31)


Dan berdasarkan sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,


الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ مَا لَمْ تُغْشَ الْكَبَائِرُ


“Sholat yang lima waktu, sholat Jum’at sampai Jum’at berikutnya, dan puasa Ramadhan sampai Ramadhan berikutnya, adalah penghapus-penghapus dosa di antara waktu-waktu tersebut, selama dosa besar tidak dilakukan.”(HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)


Dalam lafaz yang lain,


إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ


“…Apabila ia menjauhi dosa-dosa besar.”


Dalam lafaz yang lain,


مَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ


“…Apabila dosa-dosa besar dijauhi.”


Semua ini adalah lafaz yang datang dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.” [Nur ‘alad Darb, 6/65-66]


Sumber: https://sofyanruray.info/syarat-mendapatkan-ampunan-dosa-setahun-dengan-puasa-asyuro/