Jumat, 16 Agustus 2019

Dalil dan atsar tentang ketaatan pada penguasa, baik atau zalim


Dalil dan atsar tentang ketaatan pada penguasa, baik atau zalim, tidak mengikuti sunnah (tidak berhukum Allâh)

Dalil ayat

وَإِذَا جَاءهُمْ أَمْرٌ مِّنَ الأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُواْ بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِي الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلاَ فَضْلُ اللّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاَتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلاَّ قَلِيلاً {83} [النساء]

Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri). kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً {59} [النساء]

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Hadits-hadist tentang wajibnya taat pada pemimpin
عن أبي هريرة عن النبي  صلى الله عليه وسلم  قال:  (( من أطاعني فقد أطاع الله ومن يعصني فقد عصى الله ومن يطع الأمير فقد أطاعني ومن يعص الأمير فقد عصاني)) (رواه مسلم: 3/1466  (1835)
Dari sahabat Abu hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ia bersabda: “Barang siapa yang mentaati aku sungguh ia telah mentaati Allah, dan barang siapa yang durhaka padaku sungguh ia telah mendurhakai Allah, barang siapa yang taat pada pemimpin sungguh ia telah taat padaku, dan barang siapa yang durhaka pada pemimpin sungguh ia telah durhaka padaku”.

Wajib taat pada penguasa sekalipun mereka berlaku zhalim.
عن عبد الله بن مسعود قال قال رسول الله  صلى الله عليه وسلم  ثم إنها ستكون بعدي أثرة وأمور تنكرونها قالوا يا رسول الله كيف تأمر من أدرك منا ذلك قال تؤدون الحق الذي عليكم وتسألون الله الذي لكم (رواه مسلم: 3//1472 (1843)

Dari Abdullah bin mas’ud ia berkata telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Akan datang sesudahku kezhaliman, dan tindakan-tindakan yang kalian ingkari.” Lalu para sahabat bertanya, “ya Rasulullah apa nasehat engkau bagi orang yang mendapat keadaan yang demikian, lalu Beliau bersabda: “Tunaikan kewajiban yang dibebankan kepada kalian, dan minta kepada Allah sesuatu yang untuk kalian”.
سأل سلمة بن يزيد الجعفي t رسول الله  صلى الله عليه وسلم فقال: يا نبي الله أرأيت إن قامت علينا أمراء يسألونا حقهم ويمنعونا حقنا فما تأمرنا فأعرض عنه ثم سأله فأعرض عنه ثم سأله في الثانية أو في الثالثة فجذبه الأشعث بن قيس وقال اسمعوا وأطيعوا فإنما عليهم ما حملوا وعليكم ما حملتم (رواه مسلم: 3/ 1474 (1846)

Salamah bin Yazid Al Ju’fiy bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Nabi Allah bagai mana pendapat engkau bila diangkat diatas kami pemimpin-pemimpin yang menuntut segala hak mereka, tetapi mereka menahan hak-hak kami, apa perintahmu untuk kami ya rasulullah?, maka Rasulullah berpaling darinya, sampai ia tanyakan tiga kali namun rasulullah tetap berpaling darinya. Kemudian Al Asy’ast bin Qais menariknya dan berkata: “Dengar dan taati, sesungguhnya mereka tanggung jawab terhadap apa yang dibebankan atas mereka dan kalian bertanggung jawab terhadap apa yang dibebankan atas kalian”.

قال حذيفة بن اليمان قلت: يا رسول الله إنا كنا بشر فجاء الله بخير فنحن فيه فهل من وراء هذا الخير شر؟، قال: نعم، قلت: هل وراء ذلك الشر خير؟ قال: نعم، قلت: فهل وراء ذلك الخير شر؟ قال نعم، قلت كيف قال: ((يكون بعدي أئمة لا يهتدون بهداي ولا يستنون بسنتي وسيقوم فيهم رجال قلوبهم قلوب الشياطين في جثمان إنس قال قلت كيف أصنع يا رسول الله إن أدركت ذلك قال تسمع وتطيع للأمير وإن ضرب ظهرك وأخذ مالك فاسمع وأطعْ))  (رواه مسلم: 3/1476 (1847)

Huzaifah bin al Yaman bertutur; aku berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Ya Rasulullah!, dulu kami berada dalam kejelekan (masa jahiliyah) lalu Allah mendatangkan kebaikan (Islam) yang kami sekarang berda dalamnya, apakah dibelakang kebaikan ini akan ada lagi kejelekan?“, Beliau menjawab; “Ya”.lalu Huzaifah berkata lagi: “Apaka setelah itu akan ada lagi kebaikan?” Beliau menjawab, “Ya”, Huzaifah berkata lagi,  “Apakah setelah itu akan ada lagi kejelekan?” Beliau menjawab,“Ya”. Huzaifah berkata lagi, “Bagaimana hal demikian?”, Beliau menjawab, “Akan datang pada suatu masa setelah aku para pemimpin yang tidak berpedoman kepada petunjukku, dan tidak melaksanakan sunnahku, dan akan berdiri di tengah-tengah mereka para lelaki yang hati mereka adalah hati syaitan yang terdapat dalam tubuh manusia.” Lalu Huzaifah berkata, “Apa yang harus aku lakukan ya Rasulullah, jika aku mendapati keadaan yang demikian?” “Dengar dan taatlah pada pemimpin, sekalipun ia memukul punggungmu dan mengambil hartamu, maka tetaplah dengarkan dan patuhi perintahnya”.

عن بن عباس قال قال رسول الله  صلى الله عليه وسلم ((من رأى من أميره شيئا يكرهه فليصبر فإنه من فارق الجماعة شبرا فمات فميتة جاهلية)) (رواه مسلم: 3/1477 (1849)

Dari Ibnu abbas ia berkata: telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa yang melihat sesuatu yang dibencinya dari pemimpinnya, maka hendaklah ia bersabar, sesungguhnya siapa yang meninggalkan jamaah barang satu jengkal saja lalu ia mati maka kematiannya berada dalam kejahiliyaan”.

عن بن عباس عن رسول الله  صلى الله عليه وسلم  قال: ((من كره من أميره شيئا فليصبر عليه فإنه ليس أحد من الناس خرج من السلطان شبرا فمات عليه إلا مات ميتة جاهلية)) (رواه مسلم : 3/1478       (1849)

Dari Ibnu Abbas dari
LRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda: “Siapa yang membenci sesuatu dari pemimipinnya maka hendaklah ian sabar terhadapnya, krena sesungguhnya tidak seorang pun yang keluar menetang penguasa barang sejengkal lalu ia mati dalam hal demikian, kecuali ia mati dalam keadaan kejahiliyaan”.

عن أم سلمة زوج النبي  صلى الله عليه وسلم  عن النبي  صلى الله عليه وسلم  أنه قال ((إنه يستعمل عليكم أمراء فتعرفون وتنكرون فمن كره فقد برئ ومن أنكر فقد سلم ولكن من رضي وتابع قالوا يا رسول الله ألا نقاتلهم قال لا ما صلوا أي من كره بقلبه وأنكر بقلبه)) (رواه مسلم: 3/1481 (1854)

Dari Ummi sulaim Istri
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa sesungguhnya beliau bersabda, “Sesungguhnya akan diangkat diatas kalian para pemimpin, kalian mengenal dan mengingkari (tindak-tanduk mereka), barang siapa yang membenci perbuatan tersebut sungguh ia telah terlepas dari dosa, dan barang siapa yang mengingkarinya sungguh ia telah selamat, tetapi siapa yang redha dan mengikutinya (maka ia ikut berdosa).” Lalu para sahabat berkata, “Ya Rasulullah bukankah kita memerangi mereka?”  Beliau jawab, “Tidak, selama mereka masih shalat”,
Maksudnya membenci dan mengingkari tindakkan tersebut dengan hati.

عن عوف بن مالك عن رسول الله  صلى الله عليه وسلم قال: ((خيار أئمتكم الذين تحبونهم ويحبونكم ويصلون عليكم وتصلون عليهم وشرار أئمتكم الذين تبغضونهم ويبغضونكم وتلعنونهم ويلعنونكم قيل يا رسول الله أفلا ننابذهم بالسيف فقال لا ما الصلاة وإذا رأيتم من ولاتكم شيئا تكرهونه فاكرهوا عمله ولا تنزعوا يدا من طاعة)) (رواه مسلم: 3/1481 (1855)
Dari Auf bin Malik dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ia bersabda, “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai mereka, dan mereka pun mencintai kalian, kalian mendo’akan mereka, mereka pun mendoakan kalian, sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang kalian benci terhadap mereka, mereka pun benci terhadap kalian, dan kalian melaknat mereka, merekapun melaknat kalian.” Lalu ada yang berkata, “Ya Rasulullah apakah kita tidak melawan mereka dengan senjata?, Beliau menjawab, “Tidak selama masih shalat. Bila kalian melihat sesuatu yang kalian benci dari pemimpin kalian, maka cukup kalian membenci tindakannya saja, dan jangan kalian melepaskan tangan kalian dari ketaatan”.
Dari Ali bin Abi Thalib bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan pada Allah, sesungguhnya ketaatan tersebut dalam hal yang ma’ruf (baik)”. (Muslim)
Atsar para salaf

قال القاسم بن عثمان الجوعي: “حب الرياسة أصل كلّ موبقة”. (انظر: “حلية الأولياء”: 9/323، و”صفة الصفوة”: 4/236

Al Qosim bin utsman al ju'i, Cinta kekuasaan adalah sumber segala mala petaka
وقال الحسن البصري: “لو أنّ الناس إذا ابتلوا من قبل سلطانهم صبروا، ما لبثوا أن يفرج عنهم ولكنّهم يجزعون إلى السيف فيوكلون إليه، فوالله ما جاؤوا بيوم خير قط”

Hasan al bashri, “Jikalau seandainya manusia sabar sa’at mendapat cobaan dari pihak penguasa mereka, dalam senggang waktu akan di bebaskan dari mereka, tetapi mereka tidak sabar untuk mempergunakan senjata sehingga mereka diserahkan kepada senjata tersebut, demi Allah mereka tidak pernah mendatangkan kebaikkan barang satu haripun

وقال أيضاً: (ياأيها الناس إنه والله ما سلّط الله الحجاج عليكم إلاّ عقوبة فلا تعارضوا عقوبة الله بالسيف ولكن عليكم السكينة والتضرع).  أخرجهما ابن سعد في “الطبقات”: 7/164-165.

Ia juga berkata, “Wahai para manusia sesungguhnya Allah tidak mengangkat Hajjaj sebagai penguasa diatas kalian melainkan sebagai hukuman, maka jangan kalian menolak hukuman Allah dengan pedang tetapi hadapilah oleh kalian dengan tenang dan merendahkan diri kepada Allah”.

قلت: كما قال سبحانه }وكذلك نولّي بعض الظالمين بغضاً بما كانوا يكسبون{ [الأنعام: 129]

“Dan karena itu kami angkat sebahagian orang-orang zalim sebagai pemimpin terhadab bagian yang lainnya dengan sebab apa yang mereka usahakan”.

Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, bersabda, "Nanti setelah aku akan ada seorang pemimpin yang tidak mendapat petunjukku (dalam ilmu) dan tidak pula melaksanakan sunnahku (dalam amal). Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia." Aku berkata, "Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu?" Beliau bersabda, "Dengarlah dan ta'at kepada pemimpinmu, walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan ta'at kepada mereka." (HR. Muslim no.1847)
Ibnul Abil Izz rahimahullah berkata, "Hukum mentaati pemimpin adalah wajib, walaupun mereka berbuat zholim (kepada kita). Jika kita keluar dari mentaati mereka maka akan timbul kerusakan yang lebih besar dari kezholiman yang mereka perbuat. Bahkan bersabar terhadap kezholiman mereka dapat melebur dosa-dosa dan akan melipat gandakan pahala. Allah Ta'ala tidak menjadikan mereka berbuat zholim selain disebabkan kerena kerusakan yang ada pada diri kita juga. Ingatlah, yang namanya balasan sesuai dengan amal perbuatan yang dilakukan (al jaza' min jinsil 'amal). Oleh karena itu, hendaklah kita bersungguh-sungguh dalam istighfar dan taubat serta berusaha mengkoreksi amalan kita." (Syarh Aqidah Ath Thohawiyah, hal.381)
Dari Ibnu 'Abbas, Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, bersabda, "Barangsiapa melihat sesuatu pada pemimpinnya sesuatu yang tidak ia sukai, maka bersabarlah. Karena barangsiapa yang melepaskan diri satu jengkal saja dari jama'ah, maka ia mati seperti matinya jahiliyah. (mati dalam keadaan jelek dan bukan mati kafir)." (HR. Bukhari no.7054, dan Muslim no.1849)
Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah menjelaskan diantara prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah:

ولا نرى الخروج على أئمتنا وولاة أُمورنا ، وإن جاروا ، ولا ندعوا عليهم ، ولا ننزع يداً من طاعتهم ونرى طاعتهم من طاعة الله عز وجل فريضةً ، ما لم يأمروا بمعصيةٍ ، وندعوا لهم بالصلاح والمعافاة

“Dan kami tidak memandang bolehnya memberontak kepada para pemimpin dan pemerintah kami, meskipun mereka berbuat zhalim. Kami tidak mendoakan kejelekan kepada mereka. Kami tidak melepaskan diri dari ketaatan kepada mereka dan kami memandang ketaatan kepada mereka adalah ketaatan kepada Allah sebagai suatu kewajiban, selama yang mereka perintahkan itu bukan kemaksiatan (kepada Allah). Dan kami doakan mereka dengan kebaikan dan keselamatan.” (Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi Al-Hanafi rahimahullah)
AI-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah juga menukil ijma’. Dari Ibnu Batthal rahimahullah, ia berkata: “Para fuqaha telah sepakat wajibnya taat kepada pemerintah (muslim) yang berkuasa, berjihad bersamanya, dan bahwa ketaatan kepadanya lebih baik daripada memberontak.” (Fathul Bari, 13/7)

Abdul Malik bin Marwan juga mengatakan, “Berbuat adillah kalian, wahai rakyat! Kalian menginginkan kami untuk berjalan dengan perihidup Abu Bakr dan ‘Umar, padahal kalian tidak berbuat demikian terhadap kami dan pada diri kalian.” (Sirajul Muluk, hlm. 100—101, dinukil dari Fiqih Siyasah Syar’iyyah, hlm. 165—166)

Al-Hasan al-Bashri rahimahullahu mengatakan, “Ketahuilah—semoga Allah Azza wa Jalla memberimu ‘afiyah (keselamatan)—bahwa kezaliman para raja merupakan azab dari Allah  Azza wa Jalla. Dan azab Allah Azza wa Jalla itu tidak dihadapi dengan pedang, akan tetapi dihindari dengan doa, taubat, kembali kepada Allah  Azza wa Jalla , serta mencabut segala dosa. Sungguh azab Allah Azza wa Jalla jika dihadapi dengan pedang maka ia lebih bisa memotong.” (asy-Syari’ah karya al-Imam al-Ajurri t, hlm. 38, dinukil dari Fiqih Siyasah Syar’iyyah, hlm. 166—167).

يَكُوْنُ بَعْدِيْ أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُوْنَ بِهُدَايَ وَلاَ يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِي وَسَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رِجَالٌ قُلُوْبُهُمْ قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ. (قَالَ حُذَيْفَةُ): كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلْأَمِيْرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ

“Akan datang setelahku para pemimpin yang tidak mengikuti petunjukku, tidak menjalani sunnahku, dan akan berada pada mereka orang-orang yang hati mereka adalah hati-hati setan yang berada dalam jasad manusia.” (Hudzaifah berkata), “Wahai Rasulullah, apa yang aku perbuat jika aku menemui mereka?” Beliau menjawab, “Engkau dengar dan engkau taati walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu diambil.” (Sahih, HR. Muslim)
إِنَّهَا سَتَكُوْنُ بَعْدِيْ أَثَرَةٌ وَأُمُوْرٌ تُنْكِرُوْنَهَا. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ فَمَا تَاْمُرُنَا؟ قَالَ: تُؤَدُّوْنَ الْحَقَّ الَّذِيْ عَلَيْكُمْ وَتَسْأَلُوْنَ اللهَ الَّذِيْ لَكُمْ

“Sesungguhnya akan terjadi setelahku para pemimpin yang mementingkan diri mereka (tidak memberikan hak kepada orang yang berhak) dan perkara-perkara yang kalian ingkari.” Mereka mengatakan, “Wahai Rasullullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Berikan hak mereka yang menjadi kewajiban kalian dan mintalah kepada Allah hak kalian.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)

Salamah bin Yazid al-Ju’fi radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam :

يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَرَأَيْتَ إِنْ قَامَتْ عَلَيْنَا أُمَرَاءُ يَسْأَلُوْنَا حَقَّهُمْ وَيَمْنَعُوْنَ حَقَّنَا فَمَا تَأْمُرُنَا؟ … قَالَ: اسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوْا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ

“Wahai Rasulullah, apa pendapatmu jika pemimpin kami adalah pemimpin yang meminta kepada kami hak mereka dan tidak memberikan kepada kami hak kami?”… Beliau menjawab, “Dengar dan taati, sesungguhnya kewajiban mereka apa yang dibebankan kepada mereka dan kewajiban kalian apa yang dibebankan kepada kalian.” (Sahih, HR. Muslim)

شِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ. قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ: لاَ، مَا أَقَامُوْا فِيْكُمُ الصَّلاَةَ، وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُوْنَهُ فَاكْرَهُوْا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوْا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ

“Sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang kalian membencinya dan membenci kalian, yang kalian melaknatinya dan melaknati kalian.” Dikatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, tidakkah kita melawannya dengan pedang?” Beliau mengatakan, “Jangan, selama ia mendirikan shalat (di antara) kalian dan jika kalian melihat pada pemimpin kalian sesuatu yang kalian benci maka bencilah amalnya dan jangan kalian cabut tangan kalian dari ketaatan.” (Sahih, HR. Muslim)
Rosul ditanya tentang para penguasa oleh ‘Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu:

قُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، لاَ نَسْأَلُكَ عَنْ طَاعَةِ مَنِ اتَّقَى وَلَكِنْ مَنْ فَعَلَ وَفَعَلَ –فَذَكَرَ الشَّرَّ- فَقَالَ: اتَّقُوا اللهَ وَاسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا

Kami katakan, “Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya kepadamu tentang taat kepada orang yang bertakwa, akan tetapi tentang orang yang melakukan demikian dan demikian”—ia menyebutkan kejelekan-kejelekan. Maka Nabi  shallalahu ‘alaihi wa sallam  menjawab, “Bertakwalah kepada Allah, dengarkan dan taati (penguasa itu).” (HR. Ibnu Abu ‘Ashim, asy-Syaikh al-Albani rahimahullahu mengatakan, “Hadits yang sahih”, dinukil dari Mu’amalatul Hukkam, hlm. 124)

1. Dari Wail bin Hujr, berkata: Kami bertanya:
Wahai Rasulullah! Bagaimana pendapatmu jika kami punya amir (dimana mereka) menahan hak kami dan mereka meminta haknya dari kami? Maka beliau menjawab: (Hendaknya kalian) dengar dan taati mereka, karena hanyalah atas mereka apa yang mereka perbuat, dan atas kalian yang kalian perbuat.
(HR. Muslim no. 1846 dari hadits Asyats bin Qais)

2. Dari Hudzaifah bin Yaman berkata: Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
Akan ada sepeninggalku nanti para pemimpin yang tidak mengambil petunjukku, dan tidak mengambil sunnah dengan sunnahku. Akan muncul (pula) ditengah-tengah kalian orang-orang (dikalangan penguasa) yang hatinya adalah hati syaithan dalam wujud manusia. Aku (Hudzaifah) bertanya: Apa yang harus saya perbuat jika aku mendapatinya? Beliau bersabda: (Hendaknya) kalian mendengar dan taat kepada amir, meskipun dia memukul punggungmu dan merampas hartamu.
(Hadits shahih riwayat Muslim dalam Shahihnya no. 1847 (52))

3. Dari Adi bin Hathim berkata:
Kami bertanya:Ya Rasulullah, kami tidak bertanya kepadamu tentang (ketaatan) kepada (amir) yang bertaqwa, akan tetapi bagaimana yang berbuat (demikian) dan berbuat (demikian) (Adi bin Hathim menyebutkan perbuatan yang jelek)? Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: Bertaqwalah kepada Allah dan (tetaplah) mendengar dan taat (kepada mereka).
(HR. Ibnu Abi Ashim dan dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Ad-Dhilal hal 493 no. 1069)

4. Dari Abu Hurairah dia berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
Wajib bagi kamu mendengar dan taat baik dalam keadaan sulit ataupun mudah, semangat ataupun tidak suka, walaupun ia sewenang-wenang terhadapmu.
(HR. Muslim)

B. Mendengar & taat dalam perkara yang maruf, bukan dalam perkara maksiat

5. Dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
Wajib atas seorang muslim (untuk) mendengar dan taat (kepada pemimpin) pada apa yang ia sukai ataupun yang ia benci, kecuali kalau ia diperintah (untuk) berbuat maksiat, maka tidak ada mendengar dan taat.
(HR. Bukhari dan Muslim)

C. Larangan Menghina (Menjelek-Jelekkan) Penguasa & Perintah Memuliakannya Walau Zalim Sekalipun

6. Dari Muawiyah berkata:
Tatkala Abu Dzar keluar ke Ribdzah, dia ditemui sekelompok orang dari Irak, kemudian mereka berkata: Wahai Abu Dzar, pancangkanlah bendera (perang) untuk kami, niscaya akan datang orang-orang yang membelamu. (Maka) Abu Dzar berkata: Pelan-pelan (bersabarlah) wahai Ahlul Islam, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
Akan ada sepeninggalku seorang sulthan (pemimpin), muliakanlah dia, maka barangsiapa mencari-cari kehinaannya, berarti dia telah melubangi Islam dengan satu celah dan tidak akan diterima taubatnya sampai dia mampu mengembalikannya seperti semula.
(Hadits Shahih riwayat Ahmad, Ibnu Abi Ashim dan dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Ad-Dhilal)

7. Dari Abi Bakrah berkata: Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
Sulthan adalah naungan Allah dimuka bumi, barangsiapa menghinanya, maka Allah akan menghinakan dia (orang yang menghina sulthan), dan barangsiapa memuliakannya, niscaya Allah akan memuliakan dia.
(Hadits shahih riwayat Ibnu AbiAshim, Ahmad, At-Thoyalisi, Tirmidzi dan Ibnu Hibban. Dihasankan Syaikh Al-Albani dalam Ad-Dhilal no. 1017 dan 1023, dan dalam As-Shahihah 2297)

8. Dari Ziyad bin Kusaib Al-Adawi beliau berkata:
Dulu aku pernah bersama Abi Bakrah berada dibawah mimbar Ibnu Amir dan beliau sedang berkhutbah sambil mengenakan pakaian tipis. Kemudian Abu Bilal berkata: Lihatlah oleh kalian pada pemimpin kita, dia mengenakan baju orang-orang fasiq. Lantas Abi Bakrah pun langsung angkat bicara: Diam kamu! Saya mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
Barangsiapa yang menghinakan penguasa Allah di muka bumi niscaya Allah menghinakannya.
(Tirmidzi dalam sunannya (2225))

9. Didalam At-Tarikh AL-Kabir (7/18) oleh Al-Bukhari dari Aun As-Sahmy beliau berkata:
Janganlah kalian mencela Al-Hajjaj (Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi) karena dia adalah pemimpin kalian dan dia bukan pemimpinku. Adapun ucapan beliau: dia bukan pemimpinku, karena Abu Umamah tinggal di Syam sedangkan Al-Hajjaj pemimpin Iraq.

10. Dikitab yang sama (8/104) Imam Bukhari meriwayatkan dari Abi Jamrah Ad-DhobiI, beliau berkata:
Tatkala sampai kepadaku (khabar) pembakaran rumah, lalu aku keluar menuju Makkah dan berkali-kali aku mendatangi Ibnu Abbas sampai beliau mengenaliku dan senang kepadaku. Lalu aku mencela Al-Hajjaj di depan Ibnu Abbas sampai beliau berkata: Janganlah kamu menjadi penolong bagi syaithan.

11. Hannad mengeluarkan (riwayat) dalam Az-Zuhd (II/464):
Abdah menceritakan kepada kami dari Az-Zibriqan, berkata, Aku pernah berada disisi Abu Wail Syaqiq bin Salamah lalu aku mulai mencela Al-Hajjaj dan au sebutkan kejelekan-kejelekannya. Lantas beliau berkata, Janganlah engkau mencercanya, siapa tahu barangkali dia berdoa, Ya Allah, ampunilah aku, kemudian Allah mengampuninya.

12. Dari Ibnu Abi Dunya mengeluarkan dalam kitab Ash-Shamtu wa Adabu Lisan hal 145 dan juga Abu Nuaim dalam Al-Hilyah (5/41-42) dari Zaid bin Qudamah beliau berkata: Saya berkata kepada Manshur bin Al-Mutamar:
Jika aku puasa apakah aku boleh mencela sulthan (penguasa/pemimpin)?
Beliau berkata: Tidak boleh.
Lalu aku terus bertanya apakah aku boleh mencela Ahli Ahwa (para pengekor hawa nafsu/Ahlul Bidah)?
Beliau menjawab: YA! (boleh).

13. Ibnu Abdil Barr telah mengeluarkan dalam At-Tamhiid (XXI/287) dengan sanadnya dari Abu Darda ra. bahwa ia berkata,
Sesungguhnya awal terjadinya kemunafikan pada diri seseorang adalah cacimakiannya terhadap pimpinan/pemerintahnya.

14. Ibnu Ab Syaibah rahimahullahu taala berkata dalam Al-Mushannaf XV/75 & II/137-138:
Ibnu Uyainah menceritakan kepada kami dari Ibrahim bin Maisarah dari Thawus, berkata,
Pernah disebutkan (nama-nama) para pemimpin negara dihadapan Ibnu Abbas, lalu seseorang sangat bersemangat mencacimaki kehormatan mereka.
Lalu dia lakukan demikian sambil meninggi-ninggikan (badannya), sampai-sampai dirumah itu aku tidak melihat orang yang lebih tinggi daripadanya. Kemudian aku mendengar Ibnu Abbas ra. berkata, Janganlah engkau jadikan dirimu sebagai fitnah (pemicu kekacauan) bagi orang-orang yang zhalim.
Maka serta merta orang tersebut merendahkan tubuhnya sampai-sampai dirumah tersebut aku tidak melihat orang yang lebih rendah / merendahkan tubuhnya daripadanya.

D. Tidak Boleh Memberontak Selama Penguasanya Tidak Kafir atau Masih Menegakkan Shalat

15. Dari Ummu Salamah r.a. berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
Akan ada sepeninggalku nanti pemimpin (yang) kalian mengenalnya dan mengingkari (kejelekannya), maka barangsiapa mengingkarinya (berarti) dia telah berlepas diri, dan barangsiapa membencinya (berarti) dia telah selamat, akan tetapi barangsiapa yang meridhoinya (akan) mengikutinya. Mereka para sahabat bertanya: Apakah tidak kita perangi (saja) dengan pedang? Beliau menjawab: Jangan, selama mereka masih menegakkan shalat ditengah-tengah kalian.
(HR. Muslim 6/23)

16. Dari Said Al-Khudri beliau berkata: Bersabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam:
Akan ada nanti para penguasa yang kulit-kulit kalian menjadi lembut terhadap mereka dan hati-hati pun menjadi tenang kepada mereka. Kemudian akan ada para penguasa yang hati-hati (manusia) akan menjadi benci kepada mereka dan kulit-kulit pun akan merinding ketakutan terhadap mereka. Kemudian ada seorang lelaki bertanya: Wahai Rasulullah, tidakah kita perangi saja mereka? Beliau bersabda: Jangan, selama mereka masih menegakkan shalat ditengah-tengah kalian.
(As-Sunna Ibnu Abi Ashim hal. 498)

17. Dari Ubadah bin As-Shamit beliau menceritakan:
Kami membaiat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam untuk mendengar dan taat (kepada pemerintah muslimin) dalam keadaan kami senang atau benci kepadanya, dalam keadaan kesulitan atau kemudahan, dan dalam keadaan kami dirugikan olehnya, dan tidak boleh kita memberontak kepada pemerintah. Kemudian beliau Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: Kecuali kalau kalian melihat kekafiran yang nyata dan kalian mempunyai bukti dari Allah pada perbuatan pemerintah tersebut.
(HR. Bukhari dan Muslim)

E. Tercelanya melakukan tanzhim rahsia (Gerakan bawah tanah)
18. Dari Ibnu Umar ra. berkata:
Seseorang datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam lalu bertanya:
Wahai Rasulullah, berwasiatlah kepada kami. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: Dengarlah, taatlah, wajib bagi kalian dengan (sikap) terang-terangan (terbuka), dan hati-hatilah kalian dari (rencana) rahasia.
(Hadits shahih riwayat Ibnu Abi Ashim dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ad-Dhilal)

F. Perintah untuk bersabar menghadapi pemimpin yang zhalim

19. Dari Anas berkata: Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
Sepeninggalku nanti kalian akan menemui atsarah (pemerintah yang tidak menunaikan haq rakyatnya-ed) maka bersabarlah sampai kalian menemuiku.
(HR. Bukhari dan Muslim)

20. Dari Anas bin Malik berkata:
Para pembesar kami dari kalangan sahabat Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam melarang kami. Mereka berkata: Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
Janganlah kalian mencela pemimpin-pemimpin kalian, janganlah kalian dengki kepada mereka dan janganlah kalian membenci mereka, (akan tetapi) bertaqwalah kepada Allah dan bersabarlah, sesungguhnya perkaranya (adalah) dekat.
(Hadits shahih riwayat Ibnu Abi Ashim dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ad-Dhilal, hal 474 no. 1015)

21. Dari Abdullah bin Abbas ra. bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
Barangsiapa melihat sesuatu yang ia benci ada pada pemimpinnya maka hendaklah ia bersabar, karena barangsiapa melepaskan diri dari Al-Jamaah meskipun sejengkal maka ia mati dalam keadaan jahiliyyah.
(HR. Bukhari dan Muslim)

22. Dalam riwayat Muslim:
Barangsiapa membenci sesuatu dari pemimpinnya (pemerintah) maka hendaklah ia bersabar. Karena tida ada seorang manusiapun yang keluar dari (kekuasaan) penguasa meskipun sejengkal lalu dia mati dalam keadaan demikian, melainkan matinya tak lain dalam keadaan mati jahiliyyah.
G. Buah Dari Mengikuti Sunnah

23. Dari Abul Yaman Al-Hauzani dari Abu Darda ra. beliau berkata:
Hati-hati kalian, jangan kalian melaknat para penguasa. Sebab, sesungguhnya melaknat mereka adalah kemelut dan kebencian terhadap mereka adalah kemandulan yang tidak mendatangkan buah apa-apa.
Ada yang menyatakan, Ya Abu Darda, lantas bagaimana kami berbuat jika kami melihat apa yang tidak kami sukai ada pada mereka?
Beliau menjawab, Bersabarlah! Sesungguhnya Allah bila melihat perkara itu ada pada mereka maka Dia akan mencegahnya dari kalian dengan kematiannya.
(HR. Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah (II/488)

H. Cara Menasehati Penguasa
1. Dari Iyadh bin Ghanim berkata: Bersabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam:
Barangsiapa berkeinginan menasehati sulthan (penguasa), maka janganlah melakukannya dengan terang-terangan (di depan umum) dan hendaknya dia mengambil tangannya (dengan empat mata dan tersembunyi). Jika dia mau mendengar (nasehat tersebut) itulah yang dimaksud, dan jika tidak (mau mendengar), maka dia telah menunaikan kewajiban atasnya.
(Hadits Shahih riwayat Ahmad, Ibnu Abi Ashim, Al-Hakim, Al-Baihaqi dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ad-Dhilal hal. 507 no. 1096)

2. Dari Ubaidillah bin Al-Khiyar berkata:
Aku pernah mendatangi Usamah bin Zaid, kemudian saya katakan kepadanya: Tidakkah kau nasehati Utsman bin Affan agar menegakkan had (hukuman) atas Al-Walid?
Usamah berkata: Apakah kau kira aku tidak mau menasehatinya kecuali dihadapanmu?! Demi Allah, aku telah menasehatinya antara aku dan dia saja. Aku tidak mau membuka pintu kejelekan kemudian aku menjadi orang pertama yang membukanya.
(Atsar shahih riwayat Bukhari dan Muslim)

Catatan 11 Agustus 2104

Khilafah ala Minhaji An Nubuwwah versus khilafah abal abal

Catatan 10 Agustus 2014

::: Khilafah ala Minhaji An Nubuwwah versus khilafah abal abal

DR. Ahmad Raisuny (Pakar Maqashid Syariah dan Wakil Persatuan Ulama Internasional) Mengungkap perbedaan Khilafah Rasyidah atau Khilafah ala Minhaji An Nubuwwah dengan Khilafah ala ISIS

Pertama, Khilafah Rasyidah menyatukan seluruh kaum muslimin dalam loyalitas dan kekuasaannya, seluruh kaum muslimin ridha dan berbahagia dengannya. Berbeda dengan khilafah yang dideklarasikan oleh ISIS.

Kedua, Pemilihan Khalifah dilakukan dengan musyawarah oleh para tokoh Islam, bahkan jika memungkinkan melibatkan seluruh kaum muslimin baik laki-laki atau wanita, sebagaimana pemilihan Ustman bin Affan radhiyallahu 'anhu sebagai Khalifah. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata –sebagaimana diriwayatkan dalam shahih Bukhari- “Barangsiapa yang membaiat seseorang tanpa bermusyawarah dengan kaum muslimin, maka janganlah ia diikuti dan juga orang yang dibaiatnya…”

Adapun khalifah kaum muslimin khayalan tersebut, kami tidak mengetahui siapa yang membaiatnya dan siapa yang memilihnya? Bagaimana kwalitas mereka dan kedudukan mereka dalam Umat. Yang kami ketahui dan kami tidak meragukannya, bahwa ia dibaiat oleh pendukung-pendukungnya saja.

Ketiga, pemilihan para khulafa rasyidin dilakukan dalam keadaan bebas dan aman, bukan dalam kondisi dibawah ancaman pedang. Adapun khilafah yang saat ini ramai dibicarakan di media-media, khilafah yang dipaksakan dalam keadaan fitnah dan peperangan, juga dalam kondisi rasa takut, ancaman dan pemaksaan. Dalam kasus dibawah ini pun (baiat), Imam Malik berkata, “Talak orang yang terpaksa tidak jatuh.” Maka baiat orang yang terpaksa dan takut adalah batil.

Keempat, Khilafah rasyidah adalah khilafah persatuan, rahmat dan nikmat atas kaum muslimin, bukan khilafah yang menimbulkan perang saudara antara kaum muslimin, bukan khilafah fitnah, kekacauan dan azab.

Kelima, khilafah ala minhaj an nubuwwah tegak diatas nilai-nilai, maksud-maksud syariat dan amal, bukan sekedar propaganda, penampilan dan julukan. Imam Al Baghawi dalam ‘Syarh As Sunnah’ menukil dari Humaid bin Zanjawaih, “Khilafah sesungguhnya hanya untuk orang-orang yang membuktikannya dengan amal-amal mereka, orang-orang yang berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika mereka menyelisihi sunnah, dan merubah sirah (jalan Rasul), maka mereka pada hakikatnya adalah para raja, walaupun mereka disebut khalifah.”

والخلافة على منهاج "داعش"

أحمد الريسوني

في أواسط العقد الثاني من القرن العشرين الميلادي، نفَّذ القائد العسكري التركي الضابط مصطفى كمال -الملقب لاحقا بكمال أتاتورك- أول انقلاب عسكري -بالمعنى الحديث- في العالم الإسلامي، ونفذ بعد ذلك قرارا أوروبيا يقضي بإلغاء الخلافة العثمانية التي كانت تجمع تحت مظلتها معظم الأقطار الإسلامية.

عندها أحس كثير من المسلمين -من عامتهم وخاصتهم- بنوع من التيتم والضياع، ومن يومها أصبح التطلع إلى عودة الخلافة حلما يراود -أو يؤرق- أذهان كل الغيورين الخائفين على مصير الإسلام والأمة الإسلامية.

وفي هذا السياق أيضا، أصبحت قضية "استعادة الخلافة السليبة" من أكثر القضايا التي تشغل الحركات الإسلامية المعاصرة، بل إن إسقاط الدولة العثمانية -أو الخلافة العثمانية- كان من جملة الأسباب القوية والمباشرة التي دفعت إلى ظهور كبريات الحركات الإسلامية العالمية، مثل: جماعة الإخوان المسلمين التي انطلقت من مصر، وجماعة التبليغ، والجماعة الإسلامية، اللتين انطلقتا من الهند، وجماعة النور التي انطلقت من تركيا، ثم ظهر بعد ذلك حزب التحرير الإسلامي، الذي تخصص في مسألة الخلافة وجعل منها شغله الشاغل ومسعاه الدائم.
"في الأيام الأخيرة انفجر السجال على أشده حول "مسألة الخلافة"، وعاد أمل الخلافة وحلمها يخيمان على الآلاف من الشباب المسلمين عبر العالم، فمنهم من بايع، ومنهم من أيد من بعيد، ومنهم من يهفو وينتظر"
فقيام الحركات الإسلامية الحديثة مرتبط بفكرة الخلافة، ردا على إلغائها، أو سعيا لإحيائها، أو تصحيحا للمسار الذي انتهى بسقوطها. فبعضها جعل من إقامة الخلافة بداية ومدخلا لمشروعه الإصلاحي النهضوي، كما هو حال حزب التحرير، وبعضها جعل منه غاية لعمله ومساره عبر مراحل أخرى، كحال جماعة الإخوان المسلمين، وبعضها اعتبر أن مشكلة المسلمين في أساسها وجوهرها ليست قضية خلافة وقضية حكم وسياسة، بل هي قضية أمة ابتعدت عن دينها وتراخت في إيمانها وتدينها، وأن الداء والدواء والمشكلة والحل ها هنا، وهذه هي رؤية جماعة التبليغ وجماعة النور.

وبين هؤلاء وهؤلاء -وعلى فترة من الزمن- نشأت جماعات وتيارات وتعبيرات وأحزاب إسلامية أخرى، لا تجعل من الخلافة حلما من أحلامها، ولا مطلبا صريحا من مطالبها، ولكنها استبدلت بها مطالبَ وأهدافا سياسية محددة ذات طبيعة عملية مقاصدية، مثل: المشروعية، والحرية، والشورى، والعدالة، والحكم الرشيد.

وهذا هو ما يمكن تسميته "الجيل الثاني" من الحركات الإسلامية، أو جيل القرن الـ15.

ولعل أبرز تجلٍّ وأقرب تعبير لهذا الجيل الإسلامي الجديد هو الذي نجده ممتدا من تركيا شرقا إلى موريتانيا والسنغال غربا، ومن حزب العدالة والتنمية التركي، إلى حزب العدالة والتنمية المغربي، وحزب التجمع الوطني للإصلاح والتنمية (تواصل) الموريتاني.

وفي ما بين تركيا وموريتانيا نمر بالعديد من التيارات الإسلامية الجديدة أو التجديدية في كل من مصر والسودان وليبيا وتونس والجزائر والمغرب. وهذا مجرد تمثيل بمنطقة جغرافية متصلة، تحتضن -أكثر من غيرها في ما يبدو لي- مواطن مزدهرة ورائدة للجيل الحركي الثاني، وإلا فهذا الفكر منتشر ومتنام، وله كياناته وتجاربه، في دول شرق آسيا وشبه الجزيرة العربية، وغيرها.

على مدى العقود الثلاثة الأخيرة خاصة، نجد رؤية هذا الجيل تترسخ في صفوف الحركات الإسلامية قديمها وجديدها، وتمضي ناسخة أو مغيِّبة شعار الخلافة الإسلامية والدولة الإسلامية، ومركزة على المحتويات لا على المصطلحات، وعلى المعاني لا على المباني.

وفجأة في الأيام الأخيرة، عاد هذا الشعار إلى الساحتين الإعلامية ثم العلمية، وانفجر السجال على أشده حول "مسألة الخلافة"، وعاد أمل الخلافة وحلمها يخيمان على الآلاف من الشباب المسلمين عبر العالم، فمنهم من بايع، ومنهم من أيد من بعيد، ومنهم من يهفو وينتظر.

وحتى الاتحاد العالمي لعلماء المسلمين -الذي بادر مشكورا إلى إعلان موقفه الرافض للخلافة المعلنة مؤخرا، مؤكدا عدم شرعيتها وفقدانَها كل شروط الخلافة ومقوماتها- افتتح بيانه الصادر في الخامس من رمضان 1435هـ (3\7\2014م) بالقول "والاتحاد العالمي لعلماء المسلمين إزاء هذه القضية يرى ويؤكد على ما يلي:

أولا: إننا كلنا نحلم بالخلافة الإسلامية على منهاج النبوة، ونتمنى من أعماق قلوبنا أن تقوم اليوم قبل الغد".

عمدة الحالمين بالخلافة وعودتها، هو الحديث الذي رواه الإمام أحمد وغيره، وهو عن حذيفة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "تكون النبوة فيكم ما شاء الله أن تكون، ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها، ثم تكون خلافة على منهاج النبوة، فتكون ما شاء الله أن تكون، ثم يرفعها إذا شاء الله أن يرفعها، ثم تكون ملكا عاضا، فيكون ما شاء الله أن يكون، ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها، ثم تكون ملكا جبرية، فتكون ما شاء الله أن تكون، ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها، ثم تكون خلافة على منهاج نبوة".

وهذا الحديث، أولا: لا يخلو من هشاشة في ثبوته وصحته، وأقصى ما يقوله فيه أهل الاختصاص هو أنه "حَسَنُ الإسناد". ومثل هذا لا يبنى عليه شيء من الأحكام الغليظة والأمور الجسيمة، وقصارى ما يصلح له هو التبشير وبث الأمل، أما إذا جد الجد وعظمت الأمور، فلا بد من أدلة صحيحة متينة، وإلا فلا.

وثانيا: هناك حديث آخر في الموضوع، وهو في مثل درجة هذا أو أعلى منه، وأعني به حديثَ سفينةَ رضي الله عنه، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: «خلافة النبوة ثلاثون سنة، ثم يؤتي اللهُ مُلكه من يشاء». فهذا الحديث لم يذكر خلافة ثانية تأتي وتكون على منهاج النبوة بعد الخلافة الأولى.

وثالثا: كلا الحديثين ليس فيه أمر ولا نهي، أي ليس فيه تكليف بشيء. فمن ادعى أنه بإعلانه الخلافة وتبعاتها الخطيرة قد قام بما أوجب الله عليه، فليخبرنا أين كلفه الله بهذا؟ ومن أين له هذا الوجوب؟ وإلا فهو دعي، ومن الذين يفعلون ما لا يُؤمرون.

الخلافة بين منهاجين
وأما إذا جئنا إلى مسمى الخلافة الراشدة، أو "الخلافة على منهاج النبوة" فسنجد من صفاتها وأحوالها ما يلي:
"التداول والاختيار للخلفاء الراشدين كانا يتمان في حرية مطلقة وأمان تامّ، وليس تحت سطوة السيوف والتهديد والوعيد. وأما خلافة "داعش"، فيراد فرضها في خضم الفتنة والحرب، وفي جو الخوف والرعب، وتحت التسلط والإكراه"
1- أنها كانت تجمع تحت ولائها وسلطانها كافة المسلمين -بغض النظر عن قلتهم أو كثرتهم- وأن المسلمين جميعا كانوا راضين عنها فرحين بها. وأما الخلافة المعلنة مؤخرا (خلافة داعش "تنظيم الدولة الإسلامية") فليس تحت سيطرتها حتى واحد من ألف من المسلمين ومن بلاد المسلمين. ثم هل كل من تحت سيطرتهم مسَلِّم لهم وراغب فيهم ومحب لسلطانهم؟ قطعا لا.

2- أن اختيار الخليفة كان يتم بعد تشاور وتداول بين عامة أهل الرأي والمكانة، بل حتى بمشاركة واسعة من عامة المسلمين -نساء ورجالا- كما في اختيار الخليفة عثمان رضي الله عنه. ولذلك قال سيدنا عمر رضي الله عنه -كما في صحيح البخاري- "فمن بايع رجلا على غير مشورة من المسلمين فلا يتابَع هو ولا الذي بايعه تغرة أن يقتلا".

وأما خليفة المسلمين المزعوم، فلا ندري من بايعه ومن اختاره؟ وما قيمتهم ومكانتهم في الأمة الإسلامية؟ والذي نعلمه ولا نشك فيه هو أن صاحبنا بايعه حفنة من أصحابه وأعوانه، وهذا قد يخوله أن يكون أميرا عليهم في شؤونهم الخاصة، وأما أن يصبح بذلك خليفة للمسلمين، فدونه ما بين السماء والأرض.

3- أن التداول والاختيار للخلفاء الراشدين كانا يتمان في حرية مطلقة وأمان تامّ، وليس تحت سطوة السيوف والتهديد والوعيد. وأما الخلافة المتحدث عنها في وسائل الإعلام، فيراد فرضها وتثبيتها في خضم الفتنة والحرب، وفي جو الخوف والرعب، وتحت التسلط والإكراه. وفي ما هو دون هذا بكثير كان الإمام مالك بن أنس رحمه الله يفتي ويقول: طلاق المكره لا يقع. فبيعة المكره والخائف لغو.

4- أن الخلافة الراشدة كانت خلافة وحدة ورحمة ونعمة على المسلمين، لا خلافة حروب أهلية بين المسلمين، ولا خلافة نقمة وفتنة وتمزيق وعذاب.

5- أن الخلافة على منهاج النبوة كانت قائمة على تحقيق المعاني والمقاصد والأعمال، وليس على الشعارات والبيانات، والمظاهر والألقاب. نقل الإمام البغوي في "شرح السنة"، عن حميد بن زنجويه "أن الخلافة إنما هي للذين صدقوا هذا الاسم بأعمالهم، وتمسكوا بسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم من بعده، فإذا خالفوا السنة، وبدلوا السيرة، فهم حينئذ ملوك، وإن كانت أساميهم الخلفاء".

وما أكثر الحكام الذين بالغوا في تدبيج ألقابهم وتقديس أنفسهم وتمطيط أنسابهم، وهم في الحقيقة لم يجلبوا لشعوبهم وأمتهم سوى الفتنة والمحنة والوبال والخبال. وفي بعضهم قال الشاعر:
مما يُزهِّدني في أرض أندلسٍ ألقابُ مملكة في غير موضعها
ألقابُ معتضِدٍ فيها ومعتمِدٍ كالهِرِّ يحكي انتفاخاً صولة الأسدِ
لا شك أن الهرَّ في أصله كائن محترم ومحبوب، وله مكانته ووظيفته، ولكن حين ينتفخ ويعلن نفسه أسدا، وينصب نفسه "ملك الغابة"، هنا يفقد كل شيء ويصبح لا شيء.

"نَوطُ الأحكامِ الشرعية بمعانٍ وأوصاف، لا بأسماء وأشكال"

هذه العبارة للعلامة محمد الطاهر ابن عاشور، وقد جعلها عنوانا لمبحث من مباحث كتابه "مقاصد الشريعة الإسلامية". ومعناها أن الأحكام الشرعية لا تبنى ولا تترتب على الأشكال والأسماء والمظاهر، وإنما تبنى على مراعاة حقائق الأشياء وصفاتها المؤثرة.

فليس في الشريعة تحريم شيء أو إباحته أو وجوبه لأن اسمه كذا، ولقبه كذا، أو لأن شكله أو لونه كذا. قال ابن عاشور رحمه الله: "وإياك أن تتوهم أن بعض الأحكام منوط بأسماء الأشياء أو بأشكالها الصورية غير المستوفية للمعاني الشرعية، فتقع في أخطاء في الفقه".

وفي ما يخص قضيتنا -قضيةَ الحكم والخلافة والسياسة- نجد أن الشرع جاء بالعدل وأوجبه في كل المجالات، وجاء بالإحسان وكتبه على كل شيء، وجاء بالشورى والمشروعية ومنع الاستبداد، وجاء بالإيثار وذم الاستئثار، وجاء بالمساواة والتواضع وتحريم التجبر والطغيان، وجاء بحفظ الأموال العامة وألا تُقرب إلا بالتي هي أحسن، وحرم التخوض فيها بأي استئثار أو اختلاس أو تبذير أو محاباة، وجاء بنصرة الضعفاء وتمكينهم من حقوقهم وكرامتهم وحاجاتهم، وجاء بردع الأقوياء، ومنعهم من البغي والاعتداء، وجاء لتحقيق الأمن ورفع الخوف.
"لو اختفى لفظ "الخلافة والخليفة" من حياة المسلمين إلى الأبد، ما نقص ذلك من دينهم مثقالَ ذرة ولا أصغر منها. ولكن إذا اختفى العدل والشورى وشرعية الحكم ليوم واحد، فتلك طامة كبرى"
وهذه كلها أركان وفرائض وعزائم قطعية، معلومة مواضعها ومكانتها وأدلتها في الدين. فإذا تحققت هذه المعاني والمقاصد في ظل شيء اسمه الخلافة فنِعْمَتِ الخلافة، وهي التي نريد. وإذا انتهكت وضيعت في ظل "الخلافة" فبئست الخلافة، وهي ما لا نريد. وإذا تحققت دون اسم الخلافة، وتحت أي اسم آخر، فقد حصل المقصود كاملا غير منقوص.

والشرع الذي فرض علينا ما تقدم ذكره -وغيره- من الأحكام والمبادئ والمقاصد، لم يفرض علينا أبدا أن نقيم شيئا نسميه الخلافة، أو الخلافة الإسلامية، أو دولة الخلافة، ولا فرض علينا أن نقيم شكلا معينا ولا نمطا محددا لهذه الخلافة أو لهذه الدولة، ولا أمرنا -ولو بجملة واحدة- أن نسمي الحاكم خليفة، وأن نسمي نظام حكمنا خلافة.

ولذلك أقول: لو اختفى لفظ "الخلافة والخليفة" من حياة المسلمين إلى الأبد، ما نقص ذلك من دينهم مثقالَ ذرة ولا أصغرَ منها. ولكن إذا اختفى العدل، واختفت الشورى، وشرعية الحكم ليوم واحد، فتلك طامة كبرى.

إن "خلافة" تأتينا بالسيف وتخاطبنا بالسيف، لن تكون -فيما لو كانت- إلا نذير شؤم ومصدر شر لهذه الأمة.

نحن نعاني من ويلات حكام أتونا بالسيف، ويحكموننا بالسيف، وبعضهم ما زال يتخذ السيف شعارا لدولته ورايته، فكفانا سيفا وتسلطا.

نعم للسيف حين يصد الغزاة ويطرد المحتلين ويذل عملاءهم وأولياءهم، وحين يحمي الأوطان ويؤمن الثغور والجبهات. أما حين يتجه السيف إلى نحور المسلمين، ويتجه إلى السيطرة والتحكم، ويصبح بديلا عن الشرعية والشورى، ووسيلة لإعلان الخلافة، فهو باطل ومرفوض هو وخلافته.
المصدر : الجزيرة
متعلقات

إعلان الخلافة.. نذر الخلاف والاختلاف الفقهي
شبهات متهافتة للنيل من مشروع الخلافة
الإستراتيجية الغربية في فصل العالم العربي مغربه عن مشرقه
السلفيون والشيعة والذاكرة المشوشة
تركيا بين الدولة الدينية والدولة المدنية

Kamis, 15 Agustus 2019

DAGING SAPI ADALAH PENYAKIT?


DAGING SAPI ADALAH PENYAKIT?

Lalu bagaimana dengan nasib rendang, sate daging sapi, soto daging sapi, empal, dendeng dll?

Ini dia haditsnya:
عَنْ بْنِ مَسْعُودٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «عَلَيْكُمْ بِأَلْبَانِ الْبَقَرِ وَسُمْنَانِهَا، وَإِيَّاكُمْ وَلُحُومَهَا فَإِنَّ أَلْبَانَهَا وَسُمْنَانُهَا دَوَاءٌ وَشِفَاءٌ وَلُحُومُهَا دَاءٌ»
Dari ibnu Mas’ud, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau besabda, “Hendaklah kalian biasa minum susu sapi dan lemaknya. Hindarilah mengkonsumsi daging sapi, karena susu dan lemaknya merupakan obat dan dagingnya merupakan penyakit. (Al-Hakim, 8232, Al-Albany menshahihkannya dalam Shahihul-Jami’, 4060).
Dan yang lebih penting lagi, cukup banyak daging sapi saat Idul-Qurban. Terus piye.
****
سئل الشيخ الالباني - رحمه الله - في سلسلة الهدى والنور شريط رقم (389) :
السائل : ألبان البقر دواء، ولحومها داء، فكيف التوفيق بينه وبين كون البقر يجوز أن يكون هديا، لأن الشريعة لا يمكن أن تكون يهدى بضار ؟.
الشيخ : (( نعم؛ لقد صح عن النبي صلى الله عليه وسلم في حجة الوداع أنه ضحى لنسائه بالبقر، وصح أيضا أمره - صلى الله عليه وآله وسلم - أمره بسمنان البقر ونهيه عن لحومها، فإن سمنانها دواء ولحومها داء، لقد وفق العلماء بين هذا الحديث وبين حديث تضحيته - صلى الله عليه وآله وسلم - بالبقر عن نسائه أن المقصود حينما نهى عن لحوم البقر إنما هو الإكثار منها، أما إذا أكل منها احيانا فلا ضير في ذلك ولا ضرر، وهو بلا شك جائز لأن المقصود بالنهي عن لحوم البقر إنما هو الإكثار منها والإستعاضة بها عن لحوم الغنم والمعز والإبل. هذا هو
جواب العلماء )) .
Soal : apa maksud Hadits
Lemak sapi obat, dagingnya penyakit, Bagaimana mengetahui ini dan riwayat menjadikan daging sapi sebagai hadiah, karena syariat tidak mungkin memberi petunjuk yang salah

Jawab : Na'am, bahwa shahih Hadits yang mengabarkan nabi pada haji wada berkorban untuk istrinya sapi, juga shahih juga perintahnya tentang lemak dan larangan nya tentang daging, bahwa lemaknya obat dan dagingnya mengandung penyakit, Para ulama telah menshahihkan Hadits ini juga Hadits penyembelihan untuk istrinya.

Maksud Hadits ini ketika beliau melarang jika terlalu banyak, adapun jika jarang jarang makanan tidak mengapa dan tidak memberi keburukan. Hadits ini tanpa ragu lagi boleh maksud melarang agar janganlah terlalu banyak memakan daging sapi, dan boleh berkurban (udhiyyah) dengannya termasuk domba, kambing, unta, inilah jawaban para ulama
https://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=44077

*****
صدر تصحيح من الشيخ الألباني لحديث «لحم البقر داء» والحديث لم يصححه جمهور المحدثين .
فإن الله تعالى في موضعين من كتابه أباح لحم البقر وامتن به على الناس فكيف يكون داء؟.
في سورة الأنعام يقول «ومن الأنعام حمولة وفرشا كلوا مما رزقكم الله ولا تتبعوا خطوات الشيطان إنه لكم عدو مبين» ثم يفصل ما أباح أكله فيقول: «ثمانية أزواج من الضأن اثنين ومن المعز اثنين» ثم يقول: «ومن الإبل اثنين ومن البقر اثنين…» فأين موضع الداء في هذه اللحوم المباحة على سواء؟.
وفي سورة الحج يقول «والبدن جعلناها لكم من شعائر الله، لكم فيها خير، فاذكروا اسم الله عليها صواف، فإذا وجبت جنوبها فكلوا منها وأطعموا القانع والمعتر، كذلك سخرناها لكم لعلكم تشكرون».
والبدن هي الإبل والبقر والجاموس! فأين الداء فيها؟.
ويقول الشيخ سليمان بن ناصر العلوان من علماء المملكة العربية السعودية :
هذا الخبر جاء بأسانيد منكرة عند الطبراني في المعجم الكبير والحاكم في المستدرك
و رواه أبو داود في المراسيل من طريق زهير بن معاوية حدثتني امرأة من أهلي عن مليكة بنت عمرو عن النبي صلى الله عليه وسلم .
وهذا مرسل ضعيف .
ولم يثبت في النهي عن لحم البقر شيء .
وقد أحل الله لعباده لحم البقر وامتن به عليهم فمن المحال أن يمتن الله على عباده بما هو داء وضرر عليهم قال تعالى { ومن الإبل اثنين ومن البقر اثنين } .
وفي الصحيحين عن عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم ضحى عن نسائه بالبقر )) .

ولو كان لحمها داء لما جاز التقرب به لله فالذي يجب القطع به أن هذا الأثر باطل وليس لتصحيحه وجه معتبر وقد أجاد ابن الجوزي في قوله ( فكل حديث رأيته يخالف المعقول أو يناقض الأصول فاعلم أنه موضوع فلا تتكلف اعتباره )
*****
Hadits Hindarilah mengkonsumsi daging sapi, karena susu dan lemaknya merupakan obat dan dagingnya merupakan penyakit,
dinilai juga oleh sebagian ulama sebagai Hadits lemah, tapi ternyata syawahidnya (riwayat yang serupa) ada yang shahih. Juga sisi matan nampak bertolak belakang dengan ayat 

قال تعالى { ومن الإبل اثنين ومن البقر اثنين } .
Namun maksudnya bukan larangan halal haram, tapi sunnah atau makruh tanzih secara makna.


Al Albani rohimahullah sempat membahasnya dalam Silsilah Ash Shohihah, riwayat yang mengabarkannya banyak, ada yang dhoif juga shahih, riwayat dari thobroni dalam mu'jam al kabir memang lemah tapi mempunyai syahid yang shahih, maka dari sisi riwayat bisa terangkat ke shahih atau hasan. Untuk Selengkapnya bisa dilihat disini https://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=44077

Adapun sisi matan nampak bertolak belakang makna Hadits dengan ayat tapi bisa dijamak (dikompromikan) secara makna, sebab betapa banyak riwayat dalam perkara perkara lain nampak bertolak belakang tapi bisa dijamak maksudnya oleh para ulama.

Misal cara kencing nabi, apakah duduk atau berdiri? Ada Hadits yang melarang.
Diriwayatkan dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

مَنْ حَدَّثَكُمْ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَالَ قَائِمًا فَلَا تُصَدِّقُوهُ؛ مَا كَانَ يَبُولُ إِلَّا جَالِسًا

“Siapa saja yang mengabarkan kepada kalian bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam buang air kecil sambil berdiri, janganlah kalian benarkan. Beliau tidaklah buang air kecil kecuali sambil duduk.” (HR. An-Nasa’i no. 29, At-Tirmidzi no. 12 dan Ibnu Majah no. 307, shahih)

Akan tetapi, jika terdapat kebutuhan (hajat) untuk buang air kecil sambil berdiri, maka diperbolehkan. Sebagaimana sebuah hadits yang diriwayatkan dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu,

رَأَيْتُنِي أَنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَتَمَاشَى، فَأَتَى سُبَاطَةَ قَوْمٍ خَلْفَ حَائِطٍ، فَقَامَ كَمَا يَقُومُ أَحَدُكُمْ، فَبَالَ، فَانْتَبَذْتُ مِنْهُ، فَأَشَارَ إِلَيَّ فَجِئْتُهُ، فَقُمْتُ عِنْدَ عَقِبِهِ حَتَّى فَرَغَ

“Aku ingat ketika aku berjalan-jalan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau lalu mendatangi tempat pembuangan sampah suatu kaum di balik tembok dan buang air kecil sambil berdiri sebagaimana kalian berdiri. Aku lalu menjauh dari beliau, namun beliau memberi isyarat kepadaku agar aku mendekat. Aku pun mendekat dan berdiri di belakang beliau hingga beliau selesai.” (HR. Bukhari no. 225 dan Muslim no. 273)

Maka para ulama mengkompromikan maknanya, kencing sunnahnya duduk boleh karena ada hajat dan hukumnya makruh.
Begitu pula cara Makan, apakah boleh berdiri atau harus duduk?? Ada Hadits yang seperti kontradiktif.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- زَجَرَ عَنِ الشُّرْبِ قَائِمًا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa
 sallam sungguh melarang dari minum sambil berdiri.” (HR. Muslim no. 2024).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَشْرَبَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ قَائِمًا فَمَنْ نَسِىَ فَلْيَسْتَقِئْ

“Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian minum sambil berdiri. Apabila dia lupa maka hendaknya dia muntahkan.” (HR. Muslim no. 2026

Akan tetapi, nabi sholallahu alaihi wa sallam pernah melakukan sambil berdiri.
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhuma berkata,

سَقَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ زَمْزَمَ فَشَرِبَ قَائِمًا

Aku memberi minum kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari air zam-zam, lalu beliau minum sambil berdiri.” (HR. Bukhari no. 1637 dan Muslim no. 2027)

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu anhuma, ia berkata,

كُنَّا نَأْكُلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَنَحْنُ نَمْشِى وَنَشْرَبُ وَنَحْنُ قِيَامٌ

Kami dahulu pernah 
akan di masa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sambil berjalan dan kami minum sambil berdiri.” (HR. Tirmidzi no. 1880 dan Ibnu Majah no. 3301. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Dalil ini bahkan menyatakan makan sambil. berjalan

Ibnu Hajar dan An Nawawi mengatakan hukumnya makruh tanzih (makruh yang tidak sampai haram)

Wallahu a’lam
Medoho, di keheningan malam tujuh belasan 2019
Abu fatimah assidawi

Hal hal terkait sholat dalam keadaan darurat dan terbatas

Hal hal terkait sholat dalam keadaan darurat dan terbatas

Dukungan untuk saudara saudara kita yang berada di tugas yang berat, dalam perjalanan dalam menjaga sholat wajib dalam suasana terbatas.

Gembira hati ini ketika melihat gambar saudara kita, kaum muslimin dari aparat, petugas lapangan yang sedang menjalankan ibadah sholat di tengah kesibukan mereka. 

Kami bawakan risalah singkat, sebagai sedikit  tambahan pengetahuan menjalankan ibadah ditengah kepadatan tugas lapangan. Waffaqokumullah wa Barakallah fiikum

1. Wudhu dengan air yang terbatas

Di dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari disebutkan :
ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍَﻟﻠَّﻪِ ﻳَﺘَﻮَﺿَّﺄُ ﺑِﺎﻟْﻤُﺪِّ ﻭَﻳَﻐْﺘَﺴِﻞُ ﺑِﺎﻟﺼَّﺎﻉِ ﺇِﻟَﻰ ﺧَﻤْﺴَﺔِ ﺃَﻣْﺪَﺍﺩٍ ﻣُﺖَّﻓَﻖٌ ﻋَﻠَﻴْﻪ
Dari Anas rodhiallahu anhu dia berkata bahwa Rasulullah sholallahu alaihi wasalam  berwudlu dengan satu mud air dan mandi dengan satu sha’ hingga lima mud air. (HR. Bukhari Muslim) Tahukah Anda, satu mud berapa liter? Ternyata jumlahnya tidak sampai 1 liter, cuma 0,68 liter atau 0,688 ml, jika air minum kemasan gelas ukuran 500ml, maka seukuran gelas ditambah sedikit, kira kira begitulah gambarannya.

Anda bisa menyiapkannya dari rumah dikemas dengan botol air mineral, botol air spreiyer, atau lainnya. Cara ini cocok juga digunakan jamaah haji atau umroh, yang kesulitan wudhu jika di pesawat.
Rasulullah sholallahu alaihi wasalam bukan saja sekedar hemat air ketika berwudhu'. Namun beliau bahkan juga menegur shahabat yang boros air ketika berwudhu'.

Perhatikan hadits berikut ini :
ﺃَﻥَّ ﺭَﺳُﻮﻝ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻣَﺮَّ ﺑِﺴَﻌْﺪٍ ﻭَﻫُﻮَ ﻳَﺘَﻮَﺿَّﺄُ ﻓَﻘَﺎﻝ : " ﻣَﺎ ﻫَﺬَﺍ ﺍﻟﺴَّﺮَﻑُ " ؟ ﻓَﻘَﺎﻝ : ﺃَﻓِﻲ ﺍﻟْﻮُﺿُﻮﺀِ ﺇِﺳْﺮَﺍﻑٌ ؟ ﻓَﻘَﺎﻝ : " ﻧَﻌَﻢْ ﻭَﺇِﻥْ ﻛُﻨْﺖَ ﻋَﻠَﻰ ﻧَﻬْﺮٍ ﺟَﺎﺭٍ
Rasulullah sholallahu alaihi wasalam berjalan melewati Sa'd yang sedang berwudhu' dan menegurnya,"Kenapa kamu boros memakai air?". Sa'ad balik bertanya,"Apakah untuk wudhu' pun tidak boleh boros?". Beliau sholallahu alaihi wasalam menjawab,"Ya, tidak boleh boros meski pun kamu berwudhu di sungai yang mengalir. (HR. Ibnu Majah)

Jika memang tak ada, Di dalam Al-Quran Al-Kariem Allah Ta'ala menegaskan bahwa tayammum itu hanya boleh dikerjakan bila seseorang tidak menemukan air.
ﻭَﺇِﻥْ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﻣَﺮْﺿَﻰ ﺃَﻭْ ﻋَﻠَﻰ ﺳَﻔَﺮٍ ﺃَﻭْ ﺟَﺎﺀَ ﺃَﺣَﺪٌ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻐَﺎﺋِﻂِ ﺃَﻭْ ﻻﻣَﺴْﺘُﻢُ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀَ ﻓَﻠَﻢْ ﺗَﺠِﺪُﻭﺍ ﻣَﺎﺀً ﻓَﺘَﻴَﻤَّﻤُﻮﺍ ﺻَﻌِﻴﺪًﺍ ﻃَﻴِّﺒًﺎ ﻓَﺎﻣْﺴَﺤُﻮﺍ ﺑِﻮُﺟُﻮﻫِﻜُﻢْ ﻭَﺃَﻳْﺪِﻳﻜُﻢْ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻛَﺎﻥَ ﻋَﻔُﻮًّﺍ ﻏَﻔُﻮﺭًﺍ
Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik, sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun. (QS. An-Nisa' : 43)

Untuk lebih jelasnya, silahkan lihat
http:///www.youtube.com/watch?v=Z4y6nQtKbQM

2. Sholat menggunakan sepatu

Sholat dengan memakai alas kaki dibolehkan dalam islam, Hadis dari Abdullah
bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhu, beliau menyatakan:
ﺭَﺃَﻳْﺖُ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻳُﺼَﻠِّﻲ ﺣَﺎﻓِﻴًﺎ ﻭَﻣُﻨْﺘَﻌِﻠًﺎ
Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang shalat dengan tidak beralas kaki dan kadang shalat dengan memakai sandal. (HR. Abu daud 653, Ibnu Majah 1038, dan dinilai Hasan Shahih oleh Al-Albani).

Dari Al-Mughirah bin Syu’bah -radhialahu anhu- dia berkata:
كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي مَسِيرٍ فَقَالَ لِي أَمَعَكَ مَاءٌ قُلْتُ نَعَمْ فَنَزَلَ عَنْ رَاحِلَتِهِ فَمَشَى حَتَّى تَوَارَى فِي سَوَادِ اللَّيْلِ ثُمَّ جَاءَ فَأَفْرَغْتُ عَلَيْهِ مِنْ الْإِدَاوَةِ فَغَسَلَ وَجْهَهُ وَعَلَيْهِ جُبَّةٌ مِنْ صُوفٍ فَلَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يُخْرِجَ ذِرَاعَيْهِ مِنْهَا حَتَّى أَخْرَجَهُمَا مِنْ أَسْفَلِ الْجُبَّةِ فَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ ثُمَّ أَهْوَيْتُ لِأَنْزِعَ خُفَّيْهِ فَقَالَ دَعْهُمَا فَإِنِّي أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْنِ وَمَسَحَ عَلَيْهِمَا
“Saya pernah bersama Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- pada suatu malam dalam perjalanan, maka beliau bersabda kepadaku, “Apakah kamu memiliki air?” Aku menjawab, “Ya.” Lalu beliau turun dari kendaraannya, lalu berjalan hingga tersembunyi dalam gelapnya malam (untuk buang air besar). Kemudian beliau datang kembali, lalu aku menuangkan air dari geriba untuknya, beliau pun mencuci mukanya. Karena memakai jubah wol yang kedua lengannya sempit, maka beliau pun merasa kesusahan untuk mengelurkan kedua tangannya, beliau lalu mengeluarkannya lewat bawah jubahnya. Lalu beliau mencuci kedua lengannya dan mengusap kepalanya. Kemudian aku jongkok untuk melepas kedua khufnya, maka beliau bersabda, “Biarkanlah keduanya, karena aku memasukkan kedua kakiku padanya dalam keadaan suci.” Maka beliaupun hanya mengusap bagian atas dari kedua khufnya.” (HR. Al-Bukhari no. 206 dan Muslim no. 274)

Dari Shafwan bin ‘Assal -radhiallahu anhu- dia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا إِذَا كُنَّا سَفَرًا أَنْ لَا نَنْزِعَ خِفَافَنَا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيهِنَّ إِلَّا مِنْ جَنَابَةٍ وَلَكِنْ مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ وَنَوْمٍ
“Jika kami sedang bepergian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar kami tidak membuka sepatu-sepatu kami selama tiga hari tiga malam kecuali ketika kami junub. Dan tetap boleh untuk mengusap sepatu karena buang air besar, buang air kecil, dan tidur.” (HR. At-Tirmizi no. 96, An-nasai no. 127, Ibnu majah no. 471 dan dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa` no. 104)

Dari Ali bin Abi Thalib -radhiallahu anhu- dia berkata:
جَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ لِلْمُسَافِرِ وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيمِ
“Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- telah menjadikan waktu tiga hari tiga malam bagi musafir (untuk mengusap khuf) dan sehari semalam bagi orang yang menetap (muqim).” (HR. Muslim no. 276)

Syekh Fauzan hafizahullah ditanya, 'Apakah boleh shalat dengan sepatu militer, Semoga Allah memuliakan anda? Bagaimana caranya berwudu jika memakainya? Apakah ada waktu tertentu? Beliau menjawab, 'Dibolehkan shalat
sambil memakai sepatu militer, jika suci dan tidak ada najis padanya. Dibolehkan pula mengusapnya saat berwudu jika dia menutup telapak kaki dengan sempurna, menutup kedua mata kaki hingga ke bawah serta tidak mudah copot dari kaki, dipakai dalam keadaan suci, yaitu sudah berwudu. Cara mengusapnya adalah dengan meletakkan jari-jari tangan yang basah dengan air ke ujung jari-jemari
kakinya, kemudian diusapnya hingga pangkal betis. Masa berlaku dibolehkannya mengusap adalah sehari semalam bagi orang yang menetap, dan tiga hari tiga malam bagi orang yang safar (bepergian). Hal ini merupakan perkara sunnah yang telah jelas dinyatakn dalam sunnah yang mutawatir (banyak
periwayatannya) dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Tidak ada yang menginkarinya kecuali pelaku bid'ah. Sedangkan awal diberlakukannya masa mengusap adalah saat dia pertama kali mengusap sepatu tersebut setelah dipakai, wallahua'lam" (Al-Muntaqa, 2/54)

3. Sholat memakai sutroh

Menghadap sutrah ketika shalat adalah hal yang disyariatkan. Banyak hadits yang mendasari hal ini diantaranya hadits Abu Sa’id Al Khudri bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إذا صلَّى أحدُكم فلْيُصلِّ إلى سُترةٍ ولْيدنُ منها
“Jika seseorang mengerjakan shalat maka shalatlah dengan menghadap sutrah dan mendekatlah padanya” (HR. Abu Daud 698, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

juga hadits dari Sabrah bin Ma’bad Al Juhani radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
سُتْرَةُ الرَّجُلِ فِي الصَّلَاةِ السَّهْمُ ، وَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ ، فَلْيَسْتَتِرْ بِسَهْمٍ
“Sutrah seseorang ketika shalat adalah anak panah. Jika seseorang diantara kalian shalat, hendaknya menjadikan anak panah sebagai sutrah” (HR. Ahmad 15042, dalam Majma Az Zawaid Al Haitsami berkata: “semua perawi Ahmad dalam hadits ini adalah perawi Shahihain”).

Anda bisa menggunakan motor anda, atau dinding, botol air minuman 1 lt, tas ransel atau lainnnya

4. Sholat tanpa alas/sajadah, tidak mengapa

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang
shalat di atas khumroh (tikar kecil), terkadang pula shalat di atas tanah, jugak adang shalat di atas hashir (tikard engan ukuran lebih besar). Beliau
shalat di tempat mana saja yang mudahb agi beliau. Beliau tidak bersusah-susahd iri dalam melaksanakan shalat. Kalaua da tikar di depan beliau, beliau tidakm emindahkannya lalu shalat di atast anah. Begitu pula ketika ada permadanil ainnya, beliau tidak memindahkannya dan shalat di atas tanah. Apa yang
beliau peroleh, beliau shalat di situ. Bahkan masjid nabi, pada zaman beliau masih beralaskan tanah dan beratap pelepah kurma.

Didalam Shahih Bukhari dijelaskan suatu hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri: “Kami ber’itikaf bersama Rasulullah sholallahu alaihi wasalam . Kemudian Rasulullah sholallahu alaihi wasalam bersabda: “Barangsiapa yang ber’itikaf, kembalilah ke tempat ‘Itikafnya, sesungguhnya aku melihat Lailatul Qadarm alam nanti . Aku bermimpi seolah-olah aku
bersujud di atas air dan tanah.” Abu Sa’id Al-Khudri berkata: “Sungguh aku melihat pada pagi hari tanggal dua puluh satu Ramadhan terdapat bekas air dan tanah di hidung dan ujung hidung Rasulullah sholallahu alaihi wasalam !”. (Hadits Shahih didalam Shahih Bukhari bab ‘Itikaf No. 2040; dan Shahih Muslim bab Siyam No. 1167; Abu Dawud bab Siyam No 194; Ahmad Baqi Musnad Muktsirin No. 10650).
Hal ini menunjukkan nabi pernah sholat di tanah.

5. Tidak mengapa memakai pakaian sedikit kotor, tapi suci.

jika najis maka disucikan
Disini dibedakan antara kotor dan najis. Jika pakaian kotor maka tidak mengapa dipakai untuk sholat.

Dalil yang menunjukkan hal ini, Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ فِي غَزْوَةِ ذَاتِ الرِّقَاعِ فَرُمِيَ رَجُلٌ بِسَهْمٍ، فَنَزَفَهُ الدَّمُ، فَرَكَعَ، وَسَجَدَ وَمَضَى فِي صَلاَتِهِ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan peperangan Dzatur Riqa’. Dan ada seorang sahabat yang terkena panah (ketika shalat), dan darahnya keluar. Namun dia tetap lanjutkan rukuk dan sujudnya serta menyelesaikan shalatnya. (Shahih Bukhari secara muallaq, 1/46)

Ada pula Atsar Umar bin Khattab rodhiallahu anhu :
ﻭﻗﺪ ﺻﻠّﻰ ﻋﻤﺮ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﺑﻌﺪﻣﺎ ﻃُﻌﻦ ﻭﺟُﺮﺣﻪ ﻳﺜﻌﺐ ﺩﻣـﺎً
“ Bahwa Umar bin Khattab masih meneruskan sholat setelah ditikam, sedang darahnya masih mengalir deras “ ( HR Bukhari )

Ketika pakaian terkena kotoran, hal ini tidak menjadi alasan sholat ditinggalkan. Jika ada kotoran ditengah sholat pun, bisa memberaihkan dengan tisu atau sapu tangan bekas kotoran dan boleh disimpan di saku.

6. Menjama' sholat

Jika memang ada perkara yang memberatkan, maka dibolehkan hanyabsekali kali untuk menjama' sholat, yaitu dhuhur - ashar, atau maghrib - isya'. Sekali lagi, Hanya dilakukan kadang-kadang. Karena melaksanakannya secara sering akan bertentangan dengan hukum-hukum yang membatasi adanya waktu-waktu shalat.

Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma dia berkata:
جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menjamak antara zhuhur dan ashar, maghrib dan isya` di Madinah, bukan karena ada ketakutan dan bukan pula karena hujan.” (HR. Muslim no. 1151)

Lalu Waki’ bin Al-Jarrah bertanya kepada Ibnu Abbas mengenai sebabnya, maka beliau menjawab, “Beliau ingin supaya tidak memberatkan umatnya.”

Hadits di atas jelas menunjukkan bolehnya menjamak shalat walaupun tidak ada udzur.

Wallahu'alam

Semarang 8 Agustus 2014
Catatan kecil, Sayang kalau dihapus

Rabu, 14 Agustus 2019

Syarah Hadits Arbain Nawawi 42


42 KELUASAN AMPUNAN ALLAH SUBHANAHU WA TAALA YANG MAHA LUAS
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله
عَنْ أَنَسِ بنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ، قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم  يَقُوْلُ :  قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَ تَعَالَـى : يَا ابْنَ آدَمَ ، إنَّكَ مَا دَعَوْتَنِيْ وَرَجَوْتَنِيْ غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيْكَ وَلَا أُبَالِيْ ، يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ، ثُمَّ اسْتَغفَرْتَنِيْ ، غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِيْ ، يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِيْ بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ، ثُمَّ لَقِيتَنيْ لَا تُشْرِكُ بِيْ شَيْئًا ، لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابهَا مَغْفِرَةً 
Dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu ia berkata, “Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Allâh Azza wa Jalla berfirman, ‘Hai anak Adam! Sesungguhnya selama engkau berdo’a dan berharap hanya kepada-Ku, niscaya Aku mengampuni dosa-dosa yang telah engkau lakukan dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam ! Seandainya dosa-dosamu setinggi langit, kemudian engkau minta ampunan kepada-Ku, niscaya Aku mengampunimu dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam ! Jika engkau datang kepadaku dengan membawa dosa-dosa yang hampir memenuhi bumi kemudian engkau bertemu dengan-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun, niscaya Aku datang kepadamu dengan memberikan ampunan sepenuh bumi.”  [HR. at-Tirmidzi, dan beliau berkata: Hadits ini hasan shahih].
TAKHRIJ HADITS
Hadits shahih diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 3540) dan ini lafazhnya. Tirmidzi rahimahullah berkata, “Hadits ini hasan gharib.”
Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Hadits ini hasan sebagaimana yang dikatakan oleh at-Tirmidzi. Hadits ini mempunyai syawâhid (penguat) dari hadits Abu Dzar Radhiyallahu anhu . Diriwayatkan oleh ad-Dârimi t (II/322) dan Ahmad (V/167, 172), padanya ada rawi yang lemah. Akan tetapi hadits ini karena memiliki banyak syawahid, maka dihasankan oleh al-Albâni rahimahullah dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah  (no. 127). Bahkan dalam kitab Hidâyatur Ruwât (no. 2276) ketika mengomentari hadits ini, beliau rahimahullah  berkata, “Hadits ini hasan, sebagaimana dikatakan oleh at-Tirmidzi rahimahullah , dengan syahid-nya yang sudah disebutkan, bahkan hadits ini shahih, karena mempunyai dua syahid (penguat) yang lainnya. Saya sudah takhrîj di Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 128, 903, dan 195). [Lihat Hidâyatur Ruwât ila Takhrîji Ahâdîtsil Mashâbîh wal Misykât (II/447-448)].
SYARAH HADITS
Tiga Syarat Mendapatkan Ampunan[1]
Hadits ini menyebutkan tiga hal untuk mendapatkan ampunan :
Pertama,  Berdo’a disertai  Harapan
يَا ابْنَ آدَمَ ، إنَّكَ مَا دَعَوْتَنِيْ وَرَجَوْتَنِيْ غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيْكَ وَلَا أُبَالِيْ
Hai anak Adam! Sesungguhnya selama engkau berdo’a dan berharap hanya kepada-Ku, niscaya Aku mengampuni dosa-dosa yang telah engkau lakukan dan Aku tidak peduli
Berdo’a disertai  harapan, karena do’a diperintahkan dan dijanjikan untuk dikabulkan. Allâh Azza wa Jalla berfirman,
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ
“Dan Rabbmu berfirman, ‘Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu…’”[Ghâfir/40:60]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Do’a adalah ibadah.” Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat di atas.[2]
Namun do’a akan dikabulkan jika syarat-syaratnya terpenuhi dan tidak ada penghalang-penghalangnya. Terkadang pengabulan do’a tertunda karena tidak sebagian syaratnya tidak ada atau ada penghalangnya. Diantara syarat terkabulnya do’a ialah kehadiran hati dan mengharap kepada Allâh Azza wa Jalla agar dikabulkan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اُدْعُوا اللّٰـهَ وَأَنْتُمْ مُوْقِنُوْنَ بِالْإِجَابَةِ ، وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللّٰـهَ تَعَالَـى لَا يَسْتَجِيْبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لَاهٍ
Berdo’alah kepada Allâh dalam keadaan yakin akan dikabulkan dan ketahuilah Allâh tidak akan mengabulkan do’a dari hati yang lalai dan lengah.[3]
Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang berdo’a dengan lafazh :
اَللّٰـهُمَّ اغْفِرْ لِـيْ إِنْ شِئْتَ ، وَلٰكِنْ لِيَعْزِمِ الْـمَسْأَلَةَ ؛ فَإِنَّ اللهَ لَا مُكْرِهَ لَهُ
“Ya Allâh, ampunilah aku jika Engkau berkehendak,” namun hendaklah ia serius dalam meminta karena Allâh tidak bisa dipaksa oleh apapun.[4]
Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang tergesa-gesa dalam meminta pengabulan do’a lalu meninggalkan do’a karena tidak kunjung dikabulkan. Ini termasuk salah satu penghalang terkabulnya do’a. Kita dilarang tergesa-gesa pengabulan do’a supaya tidak putus harapan terhadap pengabulan do’anya kendati memakan waktu yang cukup lama, karena Allâh Azza wa Jalla mencintai orang-orang yang penuh harap dan mendesak dalam do’anya.
Allâh Azza wa Jalla berfirman yang artinya, “…Berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allâh sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.” [al-A’râf/7: 56]
Jadi, selagi seorang hamba mendesak dalam do’anya dan menginginkan do’anya dikabulkan tanpa memutus harapan, maka kemungkinan pengabulan do’anya semakin besar.
Di antara hal penting yang harus diminta seorang hamba kepada Rabbnya ialah memohon pengampunan terhadap dosa-dosanya atau hal lain yang berkaitan dengannya, seperti mohon agar selamat dari neraka dan masuk surga. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar seseorang berdo’a dalam shalatnya memohon surga dan dijauhkan dari api Neraka, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
حَوْلَهَـا نُدَنْدِنُ
Diseputar (permasalahan) itulah kita selalu berdo’a.[5]
Diantara rahmat Allâh Azza wa Jalla kepada hamba-Nya ialah Allâh Azza wa Jalla mengalihkan kebutuhan dunia yang dimohon seorang hamba dari hamba tersebut dan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik, misalnya dengan menyelamatkannya dari keburukan atau pengabulannya ditunda di akhirat atau dosanya terampunkan karenanya.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُوْ بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيْهِ إِثْمٌ وَلَا قَطِيْعَةُ رَحِمٍ إِلَّا أَعْطَاهُ اللهُ بِهَا إِحْدَى ثَلَاثٍ : إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ ، وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِـي الْآخِرَةِ ، وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوْءِ مِثْلَهَـا. قَالُوْا: إِذًا نُكْثِرُ. قَالَ: اللهُ أكْثَرُ
Tidaklah seorang Muslim berdo’a dengan do’a yang tidak mengandung dosa dan pemutusan silaturahim, melainkan Allâh pasti akan memberinya satu dari tiga hal (yaitu) dikabulkan do’anya dengan segera, atau Dia akan menyimpan do’a tersebut baginya di akhirat kelak, atau Dia akan menghindarkan darinya keburukan yang semisalnya.” Maka para Shahabat pun berkata, “Kalau begitu, kita memperbanyak (berdo’a).” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Allâh lebih banyak (memberikan pahala).”[6]
Kesimpulannya, berdo’a mohon ampunan dengan mendesak disertai harapan kepada Allâh Azza wa Jalla itu menghasilkan ampunan.
Di antara faktor terpenting terampunkannya dosa ialah tidak mengharapkan pengampunan kepada selain Allâh Azza wa Jalla jika ia mengerjakan dosa. Karena ia tahu yang bisa mengampuninya dan menyiksanya dengan sebab dosa hanyalah Allâh Azza wa Jalla .
Firman Allâh Azza wa Jalla dalam hadits qudsi di atas, yang artinya, “Hai anak keturunan Adam ! Sesungguhnya selama engkau berdo’a dan berharap kepada-Ku, Aku mengampuni atas apa saja (dosa) darimu dan Aku tidak peduli…” 
Maksudnya, kendati dosa-dosa dan kesalahanmu amat banyak, itu semua tidak terlalu besar bagi-Ku dan Aku tidak menganggapnya banyak.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ فَلْيُعْظِمِ الرَّغْبَةَ ؛ فَإِنَّهُ لَا يَتَعَاظَمُ عَلَى اللّٰـهِ شَيْءٌ
Jika salah seorang dari kalian berdo’a, maka hendaklah ia memperbesarkan keinginannya karena tidak ada satupun yang sulit dan besar bagi Allâh[7]
Kendati dosa-dosa seorang hamba itu besar, namun maaf dan ampunan Allâh lebih besar daripada dosa-dosa tersebut. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allâh. Sesugguhnya Allâh mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [az-Zumar/39:53]
 Kedua, Senantiasa Istighfâr
يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ، ثُمَّ اسْتَغفَرْتَنِيْ ، غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِيْ.
Hai anak Adam ! Seandainya dosa-dosamu setinggi langit, kemudian engkau minta ampunankepada-Ku, niscaya Aku mengampunimu dan Aku tidak peduli
Istighfâr ialah meminta maghfirah (ampunan) sementara maghfirah adalah perlindungan dari pengaruh buruk dosa-dosa.
Istighfâr banyak sekali disebutkan dalam al-Qur’ân, terkadang diperintahkan, terkadang Allâh memuji orang yang beristighfâr dan terkadang Allâh menyebutkan bahwa Dia mengampuni orang yang beristighfâr. Dan terbanyak Allâh menyebutkan istighfâr diiringi dengan taubat.
Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “…Dan mohonlah ampunan kepada Allâh. Sungguh, Allâh Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [al-Baqarah/2:199]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “Dan hendaklah kamu memohon ampunan kepada Rabb-mu dan bertaubat kepada-Nya…” [Hûd/11:3]
Terkadang Allâh Azza wa Jalla memuji orang-orang yang beristighfâr, misalnya dalam firman-Nya,
وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ
“…Dan orang yang memohon ampunan pada waktu sebelum fajar.” [Ali ‘Imrân/3:17]
Terkadang al-Qur’ân menyebutkan bahwa Allâh mengampuni orang-orang yang beristighfârkepada-Nya, seperti dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا
Dan barangsiapa berbuat kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian dia memohon ampunan  (kepada Allâh), niscaya dia akan mendapatkan Allâh Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [an-Nisâ’/4:110]
Seringkali kata istighfâr disebutkan beriringan dengan kata taubat. Ketika kedua kata ini beriringan, maka istighfâr itu artinya permohonan ampun dengan lisan, sedangkan taubat artinya berhenti dari dosa-dosa dengan hati dan seluruh organ tubuh.
Syarat-syarat taubat menurut para Ulama :
Berhenti dari semua dosa dan maksiatMenyesali perbuatan dosa yang dilakukan.Berkemauan keras dan bertekad untuk tidak mengulangi lagi perbuatan dosa tersebut.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ ۖ وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ كَبِيرٍ
 Dan hendaklah kamu memohon ampunan kepada Rabb-mu dan bertaubat kepada-Nya, niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik kepadamu sampai waktu yang telah ditentukan. Dan Dia akan memberikan karunia-Nya kepada setiap orang yang berbuat baik. Dan jika kamu berpaling, maka sungguh, aku takut kamu akan ditimpa adzab pada hari yang besar (Kiamat). [Hûd/11:3]
al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini mengatakan, “(yaitu) Aku memerintahkan kalian untuk beristighfâr (memohon ampunan) dari dosa-dosa yang telah lalu, dan bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla di masa-masa yang akan datang , dan teruslah begitu, (niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik kepada-mu) yaitu di dunia, (sampai waktu yang telah ditentukan. Dan Dia akan memberikan karunia-Nya kepada setiap orang yang berbuat baik) yaitu di akhirat.[8]
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “(Dan hendaklah kamu memohon ampunan kepada Rabbmu) yaitu mohon ampuan dari dosa-dosa yang telah engkau perbuat, (Dan bertaubat kepada-Nya) yaitu bertaubatlah pada masa kalian yang akan datang dengan kembali kepada-Nya, bertaubat dan kembali kepada-Nya dari apa-apa yang dibenci Allâh kepada yang dicintai dan diridhai-Nya.[9]
Syaikh ‘Abdul Mâlik Ramdhani berkata, “Aku berkata, ‘Dengan ini, menjadi jelas bagimu rahasia dikaitkannya taubat dengan istighfâr, seperti dalam firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, “Mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allâh dan memohon ampunan kepada-Nya ? Allâh Maha pengampun, Maha penyayang.” (QS. al-Mâidah/5:74).
Jadi, istighfâr adalah meninggalkan dosa-dosa yang telah lalu, sementara taubat adalah tidak terus menerus dalam perbuatan (dosa) pada waktu yang akan datang. Dan Allâh telah menggabungkan keduanya dalam satu ayat dalam firman-Nya :
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzhalimi diri sendiri, (segera) mengingat Allâh, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allâh? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui.” [Ali ‘Imrân/3:135][10]
Terkadang kata istighfâr disebutkan sendiri dan bisa membuahkan ampunan seperti disebutkan dalam hadits bab ini dan hadits-hadits yang semakna. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan istighfâr (bila disebutkan sendirian) adalah istighfâr yang diiringi taubat. Ada juga yang menyebutkan bahwa nash-nash istighfâr yang disebutkan sendirian itu mutlak, dengan syarat tidak terus-menerus dalam perbuatan dosa, sebagaimana disebutkan dalam surat Ali Imrân/3:135. Allâh telah menjanjikan ampunan bagi orang yang beristighfâr kepada-Nya dari dosa-dosanya dan tidak terus-menerus mengerjakannya. Jadi, nash-nash istighfâr yang masih bersifat mutlak itu dibawa pengertiannya ke makna ini
Dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
أَذْنَبَ عَبْدٌ ذَنْبًا ، فَقَالَ: اَللَّهُمَّ اغْفِرْلِيْ ذَنْبِيْ. فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَذْنَبَ عَبْدِيْ ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ . ثُمَّ عَادَ فَأَذْنَبَ ، فَقَالَ: أيْ رَبِّ اغْفِرْ لِيْ ذَنْبِيْ. فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: عَبْدِيْ أَذْنَبَ ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ . ثُمَّ عَادَ فَأَذْنَبَ ، فَقَالَ: أيْ رَبِّ اغْفِرْ لِيْ ذَنْبِيْ. فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَذْنَبَ عَبْدِيْ ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ ، اِعْمَلْ مَا شِئْتَ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكَ .
Seorang hamba mengerjakan dosa kemudian  berkata, ‘Ya Allâh, ampunilah aku.’ Allâh Azza wa Jalla berfirman, ‘Hamba-Ku mengerjakan dosa dan ia tahu bahwa ia mempunyai Rabb yang mengampuni dosa dan menyiksa karenanya.’ Kemudian hamba tersebut berbuat dosa lagi, lalu berkata, ‘Wahai Rabbku, ampunilah dosaku.’ Allâh Azza wa Jalla berfirman, ‘Hamba-Ku berbuat dosa dan ia tahu bahwa ia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menyiksa karenanya.’ Kemudian hamba tersebut berbuat dosa lagi, lalu berkata, ‘Wahai Rabbku, ampunilah dosaku.’ Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Hambaku berbuat dosa dan ia tahu bahwa ia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menyiksa karenanya, berbuatlah sesuka engkau, Aku telah mengampunimu.’”[11]
Maksudnya, orang tersebut selalu dalam kondisi seperti itu, jika ia berbuat dosa, ia beristighfâr yang disertai sikap tidak terus-menerus berbuat dosa.
Terkadang sikap terus menerus berbuat dosa menjadi penghalang terkabulnya do’a. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَيْلٌ لِلْمُصِرِّيْنَ الَّذِيْنَ يُصِرُّوْنَ عَلَى مَا فَعَلُوْا وَهُمْ يَعْلَمُوْن
Celakalah bagi orang-orang yang terus menerus mengerjakan apa yang telah mereka kerjakan (dosa) padahal mereka tahu.[12]
Istighfâr yang paling sempurna adalah istighfâr  yang disertai dengan sikap meninggalkan perbuatan dosa. Itulah taubat nashuuh (hakiki). Jika ada orang berkata, “Aku memohon ampunan kepada Allâh.” Namun hatinya tidak berkeinginan untuk berhenti dari dosa, maka ucapannya itu hanyalah do’a semata atau murni seperti orang yang berdo’a, “Ya Allâh, ampunilah aku.” Do’a tersebut baik dan ada harapan do’anya dikabulkan. Orang yang mengatakan bahwa itu taubatnya para pembohong, maka yang dimaksud ialah taubatnya ini bukan taubat yang diyakini kebanyakan manusia. Karena taubat seseorang tidak sah jika ia terus-menerus berbuat dosa.
Diriwayatkan dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Cukuplah seseorang dikatakan pembohong jika ia berkata, ‘Aku minta ampunan kepada Allâh,’ kemudian ia mengulangi dosanya.”
Istighfâr yang paling baik ialah pertama-tama seorang hamba menyanjung Allâh Subhanahu wa Ta’ala , kemudian mengakui dosa-dosanya, kemudian minta ampun kepada-Nya, seperti disebutkan hadits dari Syaddad bin Aus Radhiyallahu anhu . Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sayyidul istighfâr (istighfâr yang paling utama) ialah seorang hamba berkata :
اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ، وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْليِْ، فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلَّا أَنْتَ.
Ya Allâh, Engkau adalah Rabbku, tidak ada ilah yang berhak diibadahi kecuali Engkau. Engkaulah yang menciptakanku dan aku adalah hamba-Mu. Aku (yakin) dengan janji-Mu dan aku akan setia pada perjanjianku dengan-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan apa saja yang telah aku perbuat. Aku mengakui nikmat-Mu (yang diberikan) kepadaku, aku mengakui dosaku, oleh karena itu, ampunilah aku. Sesungguhnya tidak ada yang bisa mengampuni dosa kecuali Engkau.[13]
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma , bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu  berkata,
“Wahai Rasûlullâh, ajari aku do’a yang akan aku panjatkan dalam shalatku.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Katakanlah :
اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِيْ ظُلْمًا كَثِيْرًا، وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلَّا أَنْتَ، فَاغْفِرْ لِيْ مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ، وَارْحَمْنِيْ إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
‘Ya Allâh, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku dan tidak ada yang bisa mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau, karenanya, ampunilah dosa-dosaku dengan ampunan dari-Mu dan berilah rahmat kepadaku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’”[14]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَاللهِ إِنِّيْ لَأَسْتَغْفِرُ اللهَ وَأتُوْبُ إِلَيْهِ فِيْ الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِيْنَ مَرَّةً
Demi Allâh, aku sungguh minta ampunan kepada Allâh dan bertaubat kepada-Nya dalam satu hari lebih dari tujuh puluh kali.[15]
Dan dalam hadits dari al-Aghar al-Muzani Radhiyallahu anhu , bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّهُ لَيُغَانُ عَلَى قَلْبِيْ وَإِنِّيْ لَأَسْتَغْفِرُ اللهَ فِيْ الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ.
Sungguh hatiku ditutup (dari lalai dzikir) dan aku minta ampunan kepada Allâh dalam sehari sebanyak seratus kali[16]
Kesimpulannya, obat dosa-dosa ialah beristighfâr, diriwayatkan dari Abu Dzar Radhiyallahu anhu  berkata, “Sesungguhnya setiap penyakit mempunyai obat dan obat dosa ialah istighfâr.”[17]
Barangsiapa dosa-dosa dan kesalahannya banyak hingga tidak terhitung, hendaklah ia meminta ampunan kepada Allâh yang Maha mengetahui segala sesuatu. Allâh Azza wa Jalla firman-Nya :
يَوْمَ يَبْعَثُهُمُ اللَّهُ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا ۚ أَحْصَاهُ اللَّهُ وَنَسُوهُ ۚ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Pada hari itu mereka semuanya dibangkitkan oleh Allâh, lalu diberitakan-Nya kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Allâh menghitungnya (semua amal perbuatan itu), meskipun mereka telah melupakannya. Dan Allâh Maha menyaksikan segala sesuatu.  [al-Mujâdilah/58:6]
Ketiga, Tauhid Merupakan Faktor Terbesar Penyebab Ampunan
يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِيْ بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ، ثُمَّ لَقِيتَنيْ لَا تُشْرِكُ بِيْ شَيْئًا ، لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابهَا مَغْفِرَةً.
Hai anak Adam! Jika engkau datang kepadaku dengan membawa dosa-dosa hampir sepenuh bumi kemudian engkau bertemu dengan-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun, niscaya Aku datang kepadamu dengan memberikan ampunan sepenuh bumi.
Tauhid merupakan faktor terbesar penyebab ampunan. Barangsiapa tidak mempunyai tauhid, ia tidak mendapatkan ampunan. Barangsiapa membawa tauhid, sungguh ia membawa aspek terbesar penyebab ampunan. Allâh Azza wa Jalla berfiman :
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
Sesungguhnya Allâh tidak akan mengampuni dosa karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki…” [an-Nisâ’/4:48]
Barangsiapa datang dengan bertauhid dan membawa kesalahan-kesalahan seberat bumi, ia ditemui Allâh dengan ampunan seberat bumi pula, namun ini sesuai dengan kehendak Allâh Azza wa Jalla . Jika Dia berkehendak, Dia mengampuninya. Jika Dia berkehendak, Dia menyiksanya karena dosa-dosanya, namun dia tidak kekal di neraka dan akhirnya akan dimasukkan surga. Jika tauhid seorang hamba dan keikhlasan kepada Allâh sempurna, syarat-syaratnya ditunaikan dengan hati, lisan dan anggota tubuhnya, atau dengan hati dan lisannya ketika hendak meninggal dunia, maka itu semua menyebabkan dirinya mendapatkan ampunan dari dosa-dosa silamnya dan menghalanginya masuk neraka.
Jadi, barangsiapa mengisi hatinya dengan tauhid, maka semua yang bertentangan dengannya akan tersingkir. Ketika itulah, seluruh dosa dan kesalahan-kesalahannya akan sirna meski sebanyak buih di laut. Kesalahan-kesalahan itu bisa saja berubah menjadi kebaikan. Karena tauhid adalah penghancur terbesar dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan. Jika salah satu biji sawi tauhid diletakkan di atas gunung dosa atau kesalahan, pastilah tauhid mengubah dosa dan kesalahan tersebut menjadi kebaikan. Inilah diantara keutamaan tauhid.
FAWAA-ID HADITS
Keutamaan Adam Alaihissallam dan keturunannya. (al-Isrâ’/18: 70)Barangsiapa berdo’a kepada Allâh dan berharap kepada-Nya niscaya Allâh akan mengampuninya.Berdo’a harus diiringi dengan rasa harap.Luasnya karunia dan ampunan Allâh buat para hamba-Nya.Sekalipun dosa hamba itu besar dan banyak, maka ampunan Allâh itu lebih besar dan banyak.Keutamaan istighfâr dan taubatApabila manusia banyak berbuat dosa kemudian bertemu Allâh dengan tidak menyekutukan-Nya, maka Allâh akan mengampuninya.Tauhid yang ikhlas dan bersih dari syirik sebagai sebab terampunkannya semua dosa.Keutamaan dan besarnya ganjaran tauhid.Bantahan kepada Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar selain syirik.Menetapkan sifat kalam (berbicara) bagi Allâh Azza wa Jalla yang sesuai dengan kemuliaan-Nya.Penjelasan tentang makna dan konsekuensi “لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ” yaitu meninggalkan semua bentuk kesyirikan, yang besar dan kecil, dan tidak cukup hanya mengucapkan dengan lisan saja.Menetapkan tentang adanya kiamat, kebangkitan, hisab dan balasan.Menetapkan bahwa manusia akan bertemu dengan Allâh pada hari Kiamat.
MARAAJI’
Al-Qur’ânul Karîm dan terjemahnya.Tafsîrul Qur’ânil Azhîm, Ibnu Katsiir, tahqiq Saami Salamah.Taisîrul Karîmir Rahmân fi Tafsîri Kalâmil Mannân, Maktabah al-Ma’arif.Shahîh al-BukhâShahîh Muslim.Sunan at-Tirmidzi.Sunan Abu Dawud.Sunan an-Nasâ‘i.Sunan Ibnu MâjahMusnad Imam Ahmad.Mustadrak al-HâAl-Mu’jamul KabîAt-Ta’lîqâtul HisâAl-Adabul Mufrad.Shahîh al-Adabil Mufrad.Silsilatul Ahâdîts ash-ShahîHidâyatur Ruwât ila Takhrîji Ahâdîtsil Mashâbîh wal Misykât.Jâmi’ul ’Ulûm wal Hikam.Syarah al-Arba’in an-Nawawiyyah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.Qawâ’id wa Fawâ-id minal Arba’in an-Nawawiyyah.Al-Fawâ-id al-Mustanbathah minal Arba’in an-Nawawiyyah, ‘Abdurrahman bin Nâshir al-Barrak.Madârikun Nazhar fis Siyâsah, cet. IX th. 1430 H/2009 M, Darul Furqan
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIV/1431H/2011M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1]  Diringkas dari Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/402-418).
[2]  Shahih: HR. Ahmad (IV/267, 271, 276), Abu Dawud (no. 1479), at-Tirmidzi (no. 3247), Ibnu Mâjah (no. 3828).
[3] Hasan: HR. at-Tirmidzi (no. 3479) dan al-Hâkim (I/493). Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr(no. 245) dan Silsilatul Ahâdîtsish Shahîhah (no. 594).
[4]  Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 6339), Muslim (no. 2679), Ahmad (II/243) dari Abu Hurairah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
[5] Potongan hadits Abu Hurairah ini diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah (no. 910, 3847) dan Ibnu Hibbân (no. 865-at-Ta’lîqâtul Hisân).
[6]  Hasan shahih: HR. Ahmad (III/18), al-Bukhâri dalam al-Adabul Mufrad (no. 710), al-Hâkim (I/493) dari Abu Sa’id al-Khudri Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh al-Adabil Mufrad (no. 547). Diriwayatkan juga oleh at-Tirmidzi (no. 3573), dari ‘Ubadah bin Shamit Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Lihat Shahîhul Jâmi’ (5678).
[7] HR. Muslim (no. 2679), Ahmad (II/457-458), al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (no. 607), dan Ibnu Hibban (no. 893-at-Ta’lîqâtul Hisân).
[8]  Tafsîr al-Qur’anil ‘Azhim, (IV/303), tahqiq Saami Salamah.
[9]  Taisîrul Karîmir Rahmân fî Tafsîri Kalâmil Mannân (hlm. 385), cet. Maktabah al-Ma’arif.
[10]  Lihat Madârikun Nazhar fis Siyâsah (hlm. 453), cet. IX th. 1430 H/2009 M, Daarul Furqan.
[11]  Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 7507) dan Muslim (no. 2758).
[12] Shahih: HR. Ahmad dalam Musnad-nya (II/165 dan 219) dan al-Bukhâri dalam al-Adabul Mufrad (no. 380). Lihat Silsilatul Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 482).
[13]  HR. al-Bukhâri (no. 6306, 6323), Ahmad (IV/122-125), dan an-Nasa-i (VIII/279-280), dari Syaddad bin Aus Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
[14] HR. al-Bukhâri (no. 834, 6326, 7387, 7388) dan Muslim (no. 2705 (48)).
[15] HR. al-Bukhâri dalam Fat-hul Baari (no. 6307).
[16] HR. Muslim (no. 2702(4)).
[17]  HR. Hâkim (IV/242) dari Abu Dzar secara mauquf. Adz-Dzahabi menshahihkan dan menyetujuinya.