Rabu, 14 Agustus 2019

Syarah Hadist Arbain Nawawi 9


9. Syarah Hadits Arbain An Nawawi Hadits Ke 9
LAKSANAKAN PERINTAH, JAUHI LARANGAN DAN JANGAN BANYAK BERTANYA (3)
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dia berkata: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,’Apa saja yang aku larang terhadap kalian, maka jauhilah. Dan apa saja yang aku perintahkan kepada kalian, maka kerjakanlah semampu kalian. Sesungguhnya apa yang membinasakan umat sebelum kalian hanyalah karena mereka banyak bertanya dan menyelisihi Nabi-nabi mereka’.” [Diriwayatkan oleh al-Bukhâri dan Muslim].
Hadits di atas dengan redaksi seperti itu diriwayatkan oleh Muslim dan ath-Thahâwi[1] dari riwayat az-Zuhri dan Sa’îd bin al-Musayyib dan Abu Salamah dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Hadits di atas juga diriwayatkan dari beberapa jalan, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dengan lafazh:
ذَرُوْنِيْ مَا تَرَكْتُكُمْ، فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ سُؤَالُهُمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَاءِهِمْ، فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ.
Biarkan aku terhadap apa yang aku tinggalkan pada kalian, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa oleh pertanyaan dan penentangan mereka kepada nabi-nabi mereka. Jika aku melarang sesuatu terhadap kalian, jauhilah. Dan jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, kerjakanlah semampu kalian.
🍑SYARAH HADITS
1. LARANGAN BANYAK BERTANYA
Hadits-hadits di atas menunjukkan tentang larangan menanyakan hal-hal yang tidak perlu karena jawaban pertanyaan tersebut justru menyusahkan penanya, misalnya pertanyaan penanya apakah ia di neraka atau di surga? Apakah ayahnya bernasabkan kepadanya atau tidak? Hadits-hadits di atas juga menunjukkan larangan bertanya dengan maksud membuat bingung, tidak berguna dan sia-sia, serta mengejek seperti biasa dilakukan orang-orang munafik dan orang-orang selain mereka.
Contoh lain juga ialah menanyakan hal-hal yang disembunyikan Allah Ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya dan tidak memperlihatkannya kepada mereka, seperti pertanyaan tentang waktu terjadinya hari Kiamat, hakikat ruh, dan lain sebagainya.
Hadits-hadits di atas juga melarang kaum Muslimin menanyakan banyak hal tentang halal dan haram karena jawabannya dikhawatirkan menjadi turunnya perintah keras di dalamnya, misalnya bertanya tentang haji, apakah haji wajib setiap tahun atau tidak. Dalam Shahîh al-Bukhâri disebutkan hadits dari Sa’ad bin Abi Waqqâsh bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِيْنَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ، فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ.
Sesungguhnya kaum Muslimin yang paling besar dosanya ialah orang yang menanyakan sesuatu yang tidak diharamkan, kemudian sesuatu tersebut diharamkan dengan sebab pertanyaannya itu.[6]
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang li’an (suami-istri saling melaknat dengan sebab tuduhan berzina), (lihat an-Nûr/24 ayat 6-9) beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka dengan pertanyaan seperti itu hingga penanya mendapatkan musibah karenanya sebelum menjatuhkannya pada istrinya.[7]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang desas-desus (gossip), banyak bertanya, dan menghambur-hamburkan harta.[8]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya memberi keringanan kepada orang-orang Arab Badui dan orang-orang seperti mereka, misalnya delegasi-delegasi yang menghadap beliau guna mengambil (membujuk) hati mereka. Adapun Sahabat Muhajirin dan Anshar yang menetap di Madinah dan keimanan menancap kuat di hati mereka, maka mereka dilarang banyak bertanya.
Dalam Shahîh Muslim disebutkan hadits dari an-Nawwâs bin Sam’ân Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku tinggal bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah selama setahun, dan tidak ada yang menghalangiku untuk hijrah, melainkan bertanya. Karena, jika salah seorang dari kami berhijrah, maka tidak akan bisa bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[9]
Dalam Shahîh Muslim juga disebutkan hadits dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Kami dilarang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang sesuatu. Yang membuat kami senang ialah seseorang yang berakal dari penduduk lembah datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian ia bertanya kepada beliau sedang kami mendengarkannya.”[10]
Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma berkata, “Aku tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih baik daripada sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka hanya bertanya tentang dua belas masalah dan kesemuanya ada di dalam Al-Qur’ân; ‘Mereka bertanya kepadamu tentang minuman keras dan judi’ -al-Baqarah/2 ayat 219; ‘Mereka bertanya kepadamu tentang bulan Haram’ – al-Baqarah/2 ayat 217); ‘Mereka bertanya kepadamu tentang anak-anak yatim’ –al-Baqarah/2 ayat 220.”[11]
Terkadang para sahabat bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hukum sesuatu yang belum terjadi namun hal itu untuk diamalkan bila telah terjadi. Misalnya, mereka bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Kami akan bertemu musuh besok pagi. Kami tidak mempunyai pisau, bolehkah kami menyembelih dengan kayu?” Mereka juga bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang para penguasa yang beliau kabarkan sepeninggal beliau, tentang ketaatan kepada mereka, dan memerangi mereka. Dan Hudzaifah Radhiyallahu anhu bertanya kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang fitnah-fitnah dan apa yang mesti ia kerjakan pada zaman tersebut.[13]
🍑2. SEBAB-SEBAB KEBINASAAN UMAT TERDAHULU
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
ذَرُوْنِيْ مَا تَرَكْتُكُمْ، فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ…
(Biarkanlah aku terhadap apa yang aku tinggalkan kepada kalian. Sesungguhnya binasanya orang-orang sebelum kalian karena banyaknya pertanyaan dan penentangan mereka kepada nabi-nabi mereka …), menunjukkan tentang makruhnya dan tercelanya banyak bertanya. Namun sebagian orang menduga bahwa itu khusus untuk zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena dikhawatirkan terjadinya pengharaman sesuatu yang belum diharamkan, atau kewajiban sesuatu yang sulit dikerjakan, sedangkan itu semua tidak terjadi sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebab makruhnya banyak bertanya bukan karena sebab di atas, namun ada sebab lain, yaitu yang diisyaratkan Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma dalam perkataannya yang telah disebutkan sebelumnya, “Namun tunggulah. Jika Al-Qur’ân telah turun, maka tidaklah menanyakan suatu apa pun, melainkan kalian mendapatkan penjelasannya.”
Maksudnya bahwa semua yang dibutuhkan kaum Muslimin dalam agama mereka itu mesti akan dijelaskan Allah dalam kitab-Nya dan disampaikan Rasul-Nya dari-Nya. Setelah itu, siapa pun tidak perlu bertanya lagi karena Allah Ta’ala lebih tahu tentang kemashlahatan hamba-hamba-Nya daripada mereka. Jadi, apa saja yang di dalamnya terdapat petunjuk dan manfaat bagi kaum Muslimin, Allah Ta’ala pasti menjelaskannya kepada mereka tanpa didahului pertanyaan, seperti difirmankan Allah Ta’ala, “Allah menerangkan (hukum ini) kepada kalian agar kalian tidak sesat” – an-Nisâ`/4 ayat 176-, maka pada saat itu tidak butuh lagi bertanya tentang sesuatu, apalagi sesuatu yang belum terjadi dan tidak ada kebutuhan padanya. Justru kebutuhan yang penting ialah memahami apa yang telah dijelaskan Allah dan Rasul-Nya menurut pemahaman para sahabat lalu mengikutinya, dan mengamalkannya.
Pada hadits di atas, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan bahwa sibuk mengerjakan perintah dan menjauhi larangan beliau itu membuat orang tidak bertanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika aku melarang sesuatu terhadap kalian, jauhilah. Dan jika aku memerintahkan sesuatu pada kalian, kerjakanlah semampu kalian.” Yang harus diperhatikan seorang muslim ialah membahas apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya dilanjutkan berusaha keras memahaminya, memikirkan makna-maknanya, lalu membenarkannya jika hal tersebut termasuk hal-hal yang bersifat ilmiah. Jika hal tersebut termasuk hal-hal yang bersifat amaliyah, ia mencurahkan segenap tenaga untuk bersungguh-sungguh mengerjakan perintah-perintah yang mampu ia kerjakan dan menjauhi apa saja yang dilarang. Jadi, semua perhatiannya terfokus pada hal tersebut dan tidak kepada sesuatu yang lain. Seperti itulah keadaan para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dalam mencari ilmu yang bermanfaat dari Al-Qur`ân dan As-Sunnah.[14]
Namun jika perhatian pendengar ketika mendengar perintah dan larangan diarahkan kepada perkiraan teoritis dari perkara-perkara yang bisa terjadi atau tidak, maka itu termasuk hal yang dilarang dan membuat orang tidak serius mengikuti perintah. Seseorang bertanya kepada Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhumatentang mengusap Hajar Aswad. Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhumaberkata kepada orang tersebut, “Aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap Hajar Aswad dan menciumnya.” Orang tersebut berkata, “Bagaimana pendapatmu kalau aku tidak bisa melakukannya? Bagaimana pendapatmu kalau aku didesak?”
Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma berkata kepada orang tersebut: “Letakkan kata-kata ‘bagaimana pendapatmu’ di Yaman. Aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap Hajar Aswad dan menciumnya”.[15]
Maksud perkataan Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ialah hendaklah engkau hanya mempunyai semangat untuk mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak usah memperkirakan tidak akan mampu melakukannya atau mempersulitnya sebelum terjadi karena hal tersebut melemahkan semangat untuk mengikuti beliau. Sebab, mempelajari agama dan bertanya tentang ilmu itu akan dipuji jika untuk diamalkan, dan bukannya untuk perdebatan.
Diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu bahwasanya beliau menyebutkan sejumlah fitnah yang akan terjadi di akhir zaman, kemudian ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu berkata kepadanya, “Kapan itu terjadi, wahai ‘Ali?”
‘Ali bin Abi Thâlib menjawab:
إِذَا تُفُقِّهَ لِغَيْرِ الدِّيْنِ، وَتُعُلِّمَ لِغَيْرِ الْعَمَلِ، وَالْتُمِسَتِ الدُّنْيَا بِغَيْرِ الآخِرَةِ.
“Fitnah-fitnah tersebut terjadi jika fiqih diperdalam bukan karena agama, ilmu agama dipelajari bukan untuk diamalkan, serta kehidupan dunia dicari bukan untuk kepentingan akhirat”.[16]
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata, “Bagaimana dengan kalian jika fitnah terjadi pada kalian di mana padanya anak kecil menjadi dewasa, orang dewasa menjadi tua, fitnah tersebut dijadikan sebagai sunnah, dan jika fitnah tersebut dirubah pada suatu hari maka dikatakan, ‘Ini (merubah fitnah) adalah kemungkaran’.”
Orang-orang bertanya, “Kapan fitnah tersebut terjadi?” Ibnu Mas’ud menjawab:
إِذَا قَلَّتْ أُمَنَاؤُكُمْ، وَكَثُرَتْ أُمَرَاؤُكُمْ، وَقَلَّتْ فُقَهَاؤُكُمْ، وَكَثُرَ قُرَّاؤُكُمْ، وَتُفُقِّهَ لِغَيْرِ الدِّيْنِ، وَالْتُمِسَتِ الدُّنْيَا بِعَمَلِ الآخِرَةِ.
“Fitnah tersebut terjadi ketika orang-orang jujur dari kalian sangat sedikit, para pemimpin kalian banyak, fuqaha’ kalian sedikit, para qari` (pembaca Al-Qur`ân) kalian banyak, fiqih dikaji bukan karena agama, dan dunia dicari dengan amalan akhirat”.[17]
Karena itulah, banyak para sahabat dan tabi’in tidak suka menanyakan peristiwa-peristiwa yang belum terjadi dan tidak menjawabnya jika ditanya seperti itu.
Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhumaberkata, “Kalian jangan bertanya tentang sesuatu yang belum terjadi, karena aku mendengar ‘Umar bin al-Kaththab melaknat orang yang bertanya tentang sesuatu yang belum terjadi.”[18]
Jika Zaid bin Tsâbit Radhiyallahu anhu ditanya tentang sesuatu, ia berkata, “Sudahkah ini terjadi?” Orang-orang berkata, “Belum.” Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu berkata, “Biarkan hal tersebut hingga terjadi.”[19]
Masruq rahimahullah berkata, “Aku bertanya sesuatu kepada Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu anhu, kemudian ia berkata, ‘Apakah sebelumnya hal tersebut sudah terjadi?’ Aku menjawab, ‘Belum.’ Ubay bin Ka’ab berkata, ‘Biarkan kami hingga hal tersebut terjadi. Jika hal tersebut benar-benar terjadi, kami akan berijtihad mengeluarkan pendapat kami untukmu’.”[20]
Ibnu Wahb rahimahullah juga berkata, dari Imam Malik, “Aku dengar Malik mengecam sikap banyak bicara dan fatwa.”
Al-Haitsam bin Jamîl t berkata: Aku berkata kepada Imam Mâlik rahimahullah , “Wahai Abu ‘Abdillah, seorang yang mengetahui hadits apakah ia berdebat tentang hadits kepada orang lain?” Imâm Malik menjawab, “Tidak, ia hanya menyampaikan as-Sunnah, semoga diterima, jika tidak diterima, maka ia diam.”
Imam Mâlik rahimahullah berkata, “Perdebatan tentang ilmu itu membuat hati keras dan menimbulkan kedengkian.”[21]
Dalam hal ini, manusia terbagi menjadi beberapa kelompok berikut.
• Di antara pengikut ulama hadits ada orang yang menutup pintu pertanyaan sehingga fiqhnya sedikit dan ilmunya terbatas pada apa yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya saja. Karenanya, ia menjadi pengemban fiqh namun tidak faqih.
• Di antara fuqaha ahli ra`yu, ada orang yang membuka lebar-lebar kemunculan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjadi. Terkadang pertanyaan-pertanyaan tersebut terjadi dan terkadang tidak. Kemudian mereka sibuk mencari jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut, dan terlibat perdebatan di dalamnya sehingga hal tersebut melahirkan kekerasan hati, hawa nafsu, kebencian, permusuhan, dan kemarahan. Pada umumnya, hal tersebut disertai dengan niat mengalahkan lawan, mencari popularitas, dan mengambil simpati manusia. Ini jelas sesuatu yang dicela para ulama yang Rabbani, dan Sunnah menunjukkan tentang keburukan dan keharamannya.
• Adapun para fuqaha ahli hadits sekaligus mengamalkannya, sebagian besar semangat mereka ialah mencari makna-makna Kitabullah dan apa saja yang menjelaskannya, misalnya hadits-hadits shahîh dan perkataan para sahabat serta tabi’in. Mereka juga mencari makna-makna Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mengenali mana yang shahîh dan dha’if darinya, kemudian mempelajarinya, memahaminya, mengkaji makna-maknanya, mengenali perkataan para sahabat dan tabi’in di berbagai disiplin ilmu, dalam hal tafsir, hadits, masalah halal dan haram, prinsip-prinsip Sunnah, zuhud, dan lain-lain. Itulah metode-metode Imam Ahmad dan yang sejalan dengannya dari para ulama hadits yang Rabbani. Sibuk dengan aktifitas seperti itu membuat orang tidak lagi sibuk dengan sesuatu yang dipikirkan akal yang tidak ada gunanya dan belum tentu terjadi, namun justru perdebatan di dalamnya menimbulkan permusuhan dan ucapan yang tidak jelas sumbernya. Jika Imam Ahmad rahimahullah ditanya tentang salah satu dari masalah-masalah baru yang tidak akan terjadi, ia berkata: “Tinggalkan aku dari masalah-masalah baru yang diada-adakan seperti ini”.
Sungguh indah apa yang dikatakan Yunus bin Sulaiman as-Saqathi rahimahullah : “Aku melihat salah satu masalah, ternyata masalah tersebut adalah hadits dan ra`yu. Dalam hadits-hadits tersebut, aku temukan penyebutan Allah k , kerububiyyahan-Nya, keagungan-Nya, ‘Arasy, sifat Surga, sifat Neraka, para nabi dan rasul, halal dan haram, anjuran untuk silaturahmi, dan kumpulan sejumlah kebaikan. Kemudian pada ra`yu aku temukan makar, pengkhianatan, tipu muslihat, pemutusan silaturahmi, dan kumpulan sejumlah keburukan”.[22]
Ahmad bin Sibawaih rahimahullah berkata, “Barang siapa ingin mengetahui seluk-beluk ilmu kubur, ia harus membaca atsar-atsar. Barang siapa ingin mengetahui seluk-beluk ilmu roti, ia harus menggunakan akal.”[23]
Kesimpulannya, hendaklah seorang muslim tujuan (hidupnya) untuk mencari keridhaan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan mengetahui apa yang Dia turunkan kepada Rasul-Nya, meniti jalan beliau, mengamalkan apa yang Dia turunkan kepada Rasul-Nya, dan mengajak manusia kepadanya. Barang siapa berbuat seperti itu, Allah memberi bimbingan dan petunjuk kepadanya, mengilhamkan petunjuk kepadanya, mengajarinya apa yang belum ia ketahui, dan ia termasuk ulama yang dipuji dalam Kitabullah:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
Sesungguhnya yang takut kepada Allah hanyalah para ulama… [Fâthir/35:28].
Nafi` bin Yazid rahimahullah berkata, “Ada yang mengatakan bahwa orang-orang yang mendalam ilmunya ialah orang-orang yang tawadhu` kepada Allah, merendahkan diri kepada-Nya dalam keridhaan-Nya, tidak menjilat kepada orang-orang di atas mereka, dan tidak menghina orang-orang di bawah mereka.”[24]
Perkataan di atas didukung sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أَتَاكُمْ أَهْلُ الْيَمَنِ،هُمْ أَضْعَفُ قُلُوْبًا وأَرَقُّ أَفْئِدَةً: اْلإِيْمَانُ يَمَانٍ، وَالْفِقْهُ يَمَانٍ، وَالْحِكْمَةُ يَمَانِيَّةٌ.
Penduduk Yaman telah tiba di tempat kalian. Mereka adalah orang-orang yang paling lembut hatinya. Iman adalah Yaman, fiqh adalah Yaman, dan hikmah adalah Yaman.[25]
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut adalah isyarat beliau kepada Abu Musa al-Asy’ari dan orang-orang dari ulama penduduk Yaman yang sejalan dengannya. Sabda tersebut juga isyarat kepada Abu Muslim al-Khaulani, Uwais al-Qarni, Thawus, Wahb bin Munabbih, dan ulama-ulama Yaman lainnya. Mereka semua termasuk ulama Rabbani yang takut kepada Allah. Sebagian dari mereka lebih luas ilmunya tentang hukum-hukum Allah dan syariat-syariat agama-Nya daripada sebagian yang lain. Kelebihan mereka atas orang lain sama sekali bukan karena banyak perkataan yang tidak jelas tujuannya, pembahasan, dan perdebatan.
Seperti itu pula, Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu yang merupakan orang paling ahli tentang halal dan haram, serta dikumpulkan pada hari Kiamat di depan para ulama dalam jarak sejauh lemparan anak panah. Ilmunya luas bukan karena memperluas dan memperbanyak pertanyaan, namun karena ia tidak suka membicarakan sesuatu yang tidak terjadi, akan tetapi karena ia adalah orang yang mengetahui (mengenal) Allah dan prinsip-prinsip agama-Nya. Ditanyakan kepada Imam Ahmad: “Siapakah orang yang bisa kami tanya sepeninggalmu?” Imam Ahmad menjawab, “’Abdul-Wahhab al-Warraq.” Ditanyakan lagi kepada Imam Ahmad, “Ilmu ‘Abdul Wahhab al-Warraq itu tidak banyak,” Imam Ahmad berkata, “Orang shalih seperti dia itu akan diberi petunjuk untuk mendapatkan kebenaran.”[26]
Imam Ahmad rahimahullah ditanya tentang Ma’ruf al-Kurkhi rahimahullah, kemudian ia menjawab: “Pada dirinya ada pokok ilmu, yaitu takut kepada Allah.” Itu karena didasarkan kepada perkataan salah seorang generasi Salaf:
كَفَى بِخَشْيَةِ اللهِ عِلْمًا، وَكَفَى بِالاِغْتِرَارِ بِاللهِ جَهْلاً.
(Cukuplah takut kepada Allah itu sebagai ilmu dan terpedaya dari Allah itu sebagai kebodohan).
Pembahasan Perihal Ini Sangat Panjang
Kita kembali pada pembahasan awal tentang syarah hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu di atas. Kami katakan bahwa orang yang tidak sibuk dengan memperbanyak pertanyaan-pertanyaan di mana pertanyaan-pertanyaan seperti itu tidak ada dalam Al-Qur`ân dan As-Sunnah, lebih sibuk memahami firman Allah dan sabda Rasul-Nya dengan tujuan melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan, ia termasuk orang-orang yang melaksanakan perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di hadits tersebut dan mengerjakan konsekuensinya. Barang siapa tidak mempunyai perhatian untuk memahami apa yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, sibuk memperbanyak pertanyaan-pertanyaan yang terkadang terjadi dan tidak terjadi, dan membebani diri menyiapkan jawaban-jawabannya berdasarkan pendapatnya, ia dikhawatirkan menyalahi hadits tersebut, mengerjakan larangannya dan meninggalkan perintahnya.
Ketahuilah, penyebab terjadinya banyak masalah yang tidak mempunyai landasan Al-Qur`ân dan As-Sunnah ialah karena tidak adanya upaya mengerjakan perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya, dan meninggalkan larangan-larangan Allah dan Rasul-Nya. Jika seseorang yang ingin beramal bertanya tentang apa yang disyariatkan Allah mengenai amal tersebut kemudian ia mengerjakannya dan ia juga bertanya tentang apa yang dilarang Allah pada amal tersebut kemudian ia menjauhinya, maka masalah-masalah tersebut terjadi dalam batasan Al-Qur`ân dan As-Sunnah. Jika seseorang beramal karena pendapat dan hawa nafsunya, maka secara umum ia telah menyimpang dari apa yang disyariatkan Allah dan bisa jadi masalah-masalah tersebut sulit dikembalikan kepada hukum-hukum yang disebutkan dalam Al-Qur`ân dan As-Sunnah karena masalah-masalah tersebut sangat jauh dari hukum-hukum tersebut.[27]
Pertanyaan-pertanyaan yang dapat membinasakan ialah sebagai berikut.
1. Bertanya tentang hal-hal yang didiamkan oleh syariat dan tidak dijelaskannya, karena Allah Ta’ala yang berhak menjelaskan hal-hal yang membuat manusia bahagia di dunia dan akhirat.
2. Bertanya tentang hal-hal yang tidak ada manfaatnya dan tidak adanya kebutuhan. Karena, bisa jadi jawabannya tersebut akan berakibat buruk kepada orang yang bertanya.
3. Bertanya dengan tujuan untuk menghina, mengejek, memperolok-olok, dan kesia-siaan.
4. Banyak bertanya mengenai masalah-masalah yang belum terjadi.
5. Bertanya dengan pertanyaan yang bersifat memaksa, menyusahkan, dan mengada-ada. Sebab, terkadang jawabannya akan banyak sehingga sulit untuk mengamalkannya, sebagaimana yang terjadi pada Bani Israil ketika mereka disuruh untuk menyembelih seekor sapi betina.
6. Bertanya tentang hal-hal yang Allah Ta’ala sembunyikan dari para hamba-Nya dengan sebab adanya hikmah yang hanya diketahui oleh Allah Ta’ala saja, contohnya bertanya tentang rahasia takdir, waktu terjadinya hari Kiamat, hakikat ruh, dan yang sepertinya.
Adapun selain itu, maka bertanya tersebut dituntut menurut syariat. Allah Ta’ala berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
…Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. [an-Nahl/16:43].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
قَتَلُوْهُ قَتَلَهُمُ اللهُ! أَلَمْ يَكُنْ شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ.
Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membunuh mereka, bukankah yang menjadi obat kebodohan itu adalah bertanya. [28]
Di antara pertanyaan itu ada yang hukumnya fardhu ‘ain, seperti bertanya tentang hukum-hukum thaharah (bersuci), shalat, puasa, dan selainnya.[29]
Di antaranya juga ada yang hukumnya fardhu kifayah, yaitu bertanya untuk memperluas ilmu-ilmu agama seperti ilmu fara-idh (pembagian warisan) dan peradilan. Dan di antaranya juga ada yang hukumnya dianjurkan, seperti bertanya tentang amal-amal kebaikan dan amal-amal taqarrub yang berkisar pada hal-hal yang dianjurkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Wajib atas setiap muslim berusaha keras dengan sungguh-sungguh melaksanakan kewajiban dengan sempurna, berjuang melawan hawa nafsunya untuk taat kepada Allah dan istiqamah dalam melaksanakannya. Kemudian berusaha melaksanakan apa-apa yang ia mampu mengerjakannya dari amalan-amalan sunnah sehingga ia mendapatkan ganjaran dan pahala yang sempurna. Apabila kita melihat perjalanan hidup Salafush-Shalih, maka kita dapati mereka adalah orang-orang yang bersegera dalam berbuat kebajikan dan berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan.
Kesimpulannya, barang siapa mengerjakan apa saja yang diperintahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits tersebut, menjauhi apa saja yang beliau larang, dan sibuk dengan kedua hal tersebut, ia selamat di dunia dan akhirat. Barang siapa tidak seperti itu, sibuk dengan lintasan-lintasan hatinya dan apa yang ia anggap baik, ia jatuh ke dalam apa yang telah diperingatkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu seperti Ahli Kitab yang binasa karena banyaknya pertanyaan-pertanyaan mereka, penentangan mereka terhadap nabi-nabi mereka, serta tidak adanya kepatuhan dan ketaatan mereka kepada rasul-rasul mereka.
🍑3. MENJAUHI BERBAGAI LARANGAN DAN MENGERJAKAN BERBAGAI PERINTAH
Tentang sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ…
(Apa saja yang aku larang terhadap kalian, maka jauhilah. Dan apa saja yang aku perintahkan kepada kalian, maka kerjakanlah semampu kalian …).
Salah seorang ulama berkata: “Dari hadits tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa larangan itu lebih berat daripada perintah, karena tidak ada rukhshah (dispensasi) untuk mengerjakan salah satu dari larangan-larangan, sedangkan perintah dikaitkan sesuai dengan kemampuan.” Perkataan tersebut diriwayatkan dari Imam Ahmad.
Perkataan tersebut mirip dengan perkataan salah seorang ulama yang berkata: “Perbuatan-perbuatan baik itu dikerjakan oleh orang baik-baik dan orang jahat. Sedangkan maksiat itu hanya ditinggalkan (tidak dikerjakan) oleh orang yang benar (jujur).”[30]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
اِتَّقِ الْمَحَارِمَ، تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ…
Takutlah engkau kepada yang hal-hal yang haram, niscaya engkau menjadi orang yang paling hebat ibadahnya … [31]
Yang dimaksud dengan perkataan-perkataan yang mengutamakan meninggalkan hal-hal haram daripada pengerjaan ketaatan-ketaatan, ialah ketaatan-ketaatan yang bersifat sunnah. Jika tidak demikian, maka amal-amal perbuatan wajib itu lebih utama daripada meninggalkan hal-hal haram, karena amal-amal perbuatan adalah tujuan kepada dzatnya, sedang yang diminta (dituntut) dari hal-hal haram ialah meninggalkannya. Oleh karena itu, meninggalkan larangan-larangan tidak memerlukan niat, dan ini berbeda dengan pengerjaan amal-amal perbuatan. Oleh karena itu pula, terkadang meninggalkan amal-amal perbuatan itu menyebabkan kekafiran, misalnya meninggalkan tauhid dan rukun-rukun Islam atau sebagiannya yang telah dijelaskan sebelumnya. Ini berbeda dengan pengerjaan hal-hal haram yang tidak menyebabkan kekafiran dengan sendirinya.
Maimun bin Miran rahimahullah berkata, “Dzikir kepada Allah dengan lidah itu baik, namun lebih baik lagi jika seorang hamba mengingat Allah ketika bermaksiat kemudian ia berhenti darinya.”[32]
‘Umar bin ‘Abdul-‘Aziz rahimahullah berkata, “Takwa bukanlah dengan sekedar melaksanakan qiyamul-lail, puasa di siang hari, dan mengkombinasikan keduanya, namun takwa ialah mengerjakan apa saja yang diwajibkan Allah dan meninggalkan apa saja yang diharamkan Allah. Jika itu disertai dengan amal, maka itu adalah kebaikan yang digabungkan kepada kebaikan. Secara umum, perkataan para generasi Salaf di atas menunjukkan bahwa menjauhi hal-hal haram kendati sedikit, itu lebih utama daripada memperbanyak mengerjakan ketaatan-ketaatan Sunnah, karena meninggalkan hal-hal haram adalah wajib, sedang mengerjakan ketaatan-ketaatan Sunnah adalah Sunnah.”[33]
Mengerjakan perintah itu tidak terjadi kecuali dengan amal, sedangkan amal itu keberadaannya terkait dengan syarat-syarat dan sebab-sebab. Sebagian dari syarat-syarat dan sebab-sebab tersebut terkadang tidak mampu dikerjakan seseorang. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membatasinya dengan kemampuan.
Allah Ta’ala berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Maka bertakwalah kalian kepada Allah sesuai dengan kemampuan kalian …. [at-Taghâbun/64:16].
Allah Ta’ala berfirman tentang haji:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah …. [‘Ali ‘Imran/3:97].
Sedangkan larangan, tujuannya ialah ketiadaan amal-amal tersebut. Itulah prinsipnya, maksudnya ketiadaan larangan tersebut merupakan prinsip yang terjadi secara berkala. Itu sangat mungkin dan di dalamnya tidak ada yang tidak bisa dikerjakan. Di sini juga ada catatan, karena untuk mengerjakan kemaksiatan itu bisa jadi kuat. Oleh sebab itu, seseorang tidak bisa bersabar untuk menolaknya, padahal ia mampu ketika ia melakukan kemaksiatan tersebut. Ketika itulah, orang tersebut melakukan perjuangan ekstra keras. Bisa jadi perjuangan tersebut lebih berat bagi jiwa daripada perjuangan jiwa untuk mengerjakan ketaatan. Oleh karena itu, banyak sekali dijumpai orang yang berjuang keras kemudian mampu mengerjakan ketaatan-ketaatan, namun ia tidak sanggup meninggalkan hal-hal haram.
Identifikasi masalah ini bahwa Allah tidak membebani hamba-hamba-Nya dengan amal-amal perbuatan yang tidak sanggup mereka kerjakan. Allah juga menghilangkan banyak sekali amal-amal perbuatan dari mereka karena adanya kesulitan di dalamnya sebagai rukhshah (dispensasi) dan rahmat bagi mereka. Sedang larangan-larangan, Allah tidak memberi uzur kepada siapa pun untuk mengerjakannya, karena kuatnya penyeru dan syahwat kepadanya. Bahkan, Allah membebani hamba-hamba-Nya untuk meninggalkannya dalam semua kondisi. Dan sesungguhnya makanan-makanan haram boleh dimakan pada saat-saat darurat agar kehidupan tetap berlangsung dan bukan karena untuk menikmatinya atau karena syahwat.
Dari sini bisa diketahui kebenaran perkataan Imam Ahmad: “Sesungguhnya larangan itu lebih berat daripada perintah.” Diriwayatkan dari Tsauban dan selainnya, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اِسْتَقِيْمُوْا وَلَنْ تُحْصُوْا.
[Luruslah (istiqamah) kalian dan kalian tidak akan dapat mengetahui kadarnya][34], maksudnya, kalian tidak akan sanggup istiqamah secara keseluruhan (sempurna).
Al-Hakam bin Hazn al-Kulafi Radhiyallahu anhu berkata: Aku diutus menghadap kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengerjakan shalat Jum’at bersama beliau. Beliau berdiri bersandar pada tongkat atau panah, memuji Allah, dan menyanjung-Nya dengan kalimat-kalimat sederhana, baik, dan penuh berkah. Setelah itu, beliau bersabda,
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّكُمْ لَنْ تُطِيْقُوْا أَوْ لَنْ تَفْعَلُوْا كُلَّ مَا أُمِرْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ سَدِّدُوْا وَأَبْشِرُوْا.
“Wahai manusia, sesungguhnya kalian tidak akan sanggup –atau tidak akan mampu mengerjakan- seluruh apa yang aku perintahkan kepada kalian, namun berlaku luruslah dan berilah kabar gembira”.[35]
4. KEMUDAHAN TIDAK GUGUR DENGAN ADANYA KESULITAN
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ.
(Dan jika aku perintahkan sesuatu kepada kalian, kerjakanlah semampu kalian).
Adalah dalil bahwa orang yang tidak sanggup mengerjakan seluruh perintah dan hanya sanggup mengerjakan sebagiannya, maka ia telah mengerjakan apa yang bisa ia kerjakan. Ini bisa diberlakukan dalam banyak masalah, di antaranya:
1.Thaharah (bersuci). Jika seseorang tidak mampu berwudhu` karena ketiadaan air atau sakit di salah satu organ tubuhnya, maka ia bertayammum.
2. Shalat. Barang siapa tidak mampu shalat dengan berdiri, ia shalat dengan duduk. Jika ia tidak sanggup shalat dengan duduk, ia shalat dengan berbaring. Di Shahîh al-Bukhâri disebutkan hadits dari ‘Imran bin Hushain Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Shalatlah engkau dengan berdiri. Jika engkau tidak sanggup, shalatlah dengan duduk. Jika engkau tidak sanggup, shalatlah dengan berbaring”.[36]
3. Zakat fitri. Jika seseorang hanya mampu mengeluarkan setengah sha`, ia harus mengeluarkannya menurut pendapat yang benar.
4. Haji hanya wajib dikerjakan sekali seumur hidup bagi yang mampu.
5. Dalam ‘aqiqah, apabila seseorang tidak sanggup meng-‘aqiqahi anak laki-lakinya dengan dua ekor kambing, maka dia boleh meng-‘aqiqahinya dengan seekor kambing.
FAWÂ-ID HADITS (FAIDAH YANG DAPAT DIPETIK DARI HADITS DI ATAS)
1. Wajibnya menjauhi apa yang dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , berdasarkan sabda beliau: “Apa yang aku larang terhadap kalian, maka tinggalkanlah.” Dan firman Allah Ta’ala:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya. [al-Hasyr/59:7].
2. Yang dilarang itu mencakup sedikit dan banyaknya karena tidak dikatakan meninggalkannya, kecuali dengan meninggalkan sedikit dan banyaknya, contohnya beliau melarang kita dari riba`, maka mencakup sedikit dan banyaknya.
3. Bahwa menahan diri (menjauhi) itu lebih mudah daripada melakukan perbuatan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh agar menjauhi larangan secara keseluruhan karena menahan diri itu mudah.
4. Melaksanakan kewajiban hanyalah diwajibkan bagi orang-orang yang mampu melaksanakannya, berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ”Apa yang aku perintahkan kepada kalian, maka kerjakanlah semampu kalian”.
5. Bahwasanya manusia memiliki kemampuan dan kesanggupan dalam menjalankan perintah dan manjauhi larangan.
6. Apa yang dilarang dan diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah syariat, baik hal itu terdapat dalam Al-Qur`ân maupun tidak. Karena itu, hukum mengamalkannya sama dengan hukum mengamalkan Al-Qur`ân.
7. Banyak bertanya adalah sebab kebinasaan, terlebih pada masalah-masalah yang tidak mungkin untuk dicapai, seperti perkara-perkara ghaib, keadaan hari Kiamat, dan selainnya.
8. Umat-umat terdahulu dibinasakan karena mereka banyak bertanya dan dengan sebab mereka menentang nabi-nabi mereka.
9. Peringatan dari menentang para nabi, dan yang wajib bagi seorang muslim adalah mengikuti para nabi, meyakini bahwa mereka adalah para imam, hamba dari hamba-hamba Allah, yang Allah muliakan dengan risalah, dan meyakini bahwa penutup mereka adalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Allah utus untuk segenap manusia, syariatnya adalah agama Islam yang diridhai oleh Allah Ta’ala untuk para hamba-Nya, dan bahwasanya Allah tidak akan menerima dari seseorang agama selainnya.
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah adalah Islam … [‘Ali ‘Imran/3:19].
10. Di dalam hadits ini terdapat isyarat tentang ditekankannya menyibukkan diri dengan perkara-perkara yang penting dan bermanfaat yang dibutuhkan dengan segera.
_______
Footnote
[1]. Dalam Musykîlul-Âtsâr, no. 548.
[2]. HR Muslim, no. 1337. An-Nasâ`i, V/110, 111. Ahmad, II/508. Al-Baihaqi, VI/326. Ibnu Khuzaimah, no. 2508. Ath-Thahâwi dalam Musykîlul-Âtsâr, no. 1472. Ibnu Hibbân, no. 3696, 3697 – at-Ta’lîqâtul Hisân ‘alâ Shahîh Ibni Hibban. Muhammad bin Nashr al-Marwazi dalam Kitâbus-Sunnah, no. 110, Tahqîq: Syaikh Salim al-Hilali. Ad-Dâraquthni, II/534, no. 2668 dan II/535, no. 2670, dan Ibnu Jarir dalam Jâmi’ul-Bayân, no. 12808.
[3]. HR al-Bukhâri, no. 4621, dan Muslim, no. 2359.
[4]. HR al-Bukhâri, no. 6362, 7089, 7294. Muslim, 2359 (137), dan Ibnu Jarîr ath-Thabari, no. 12799.
[5]. HR al-Bukhâri, no. 4622, dan Ibnu Jarîr ath-Thabari, no. 12798.
[6]. HR al-Bukhâri, no. 7289. Muslim, no. 2358. Ahmad, I/176, 179. Abu Dâwud, no. 4610, dan Ibnu Hibbân, no. 110.
[7]. Lihat Musnad al-Imam Ahmad, II/19, 42. Shahîh Muslim, no. 1493. Sunan at-Tirmidzi, no. 1202, dan Shahîh Ibni Hibban, no. 4272.
[8]. HR al-Bukhâri, no. 1477, dan Muslim, no. 593, dari al-Mughîrah bin Syu’bah Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah membenci tiga hal terhadap kalian: gossip, menghambur-hamburkan harta, dan banyak bertanya.”
[9]. HR Muslim, no. 2553 (15).
[10]. HR Muslim, no. 12. An-Nasâ`i, IV/121, dan Ibnu Hibbân, no. 155.
[11]. HR ad-Dârimi, I/51, dan ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul-Kabîr, no. 12288. Menurut riwayat keduanya “tiga belas masalah”. Al-Haitsami dalam Majma’uz-Zawâ`id, I/158-159 menisbatkan hadits tersebut kepada ath-Thabrâni dan berkata: “Di dalam sanad tersebut terdapat Atha’ bin as-Saib yang merupakan perawi terpercaya. Perawi-perawi lainnya adalah perawi-perawi terpercaya”.
[12]. Dari Râfi’ bin Khadîj Radhiyallahu anhu . Diriwayatkan oleh al-Bukhâri, no. 2488, 2507, dan Muslim, no. 1968. Kelanjutan hadits tersebut ialah: “Apa saja yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan nama Allah padanya, maka makanlah (sembelihannya), asal bukan gigi dan kuku. Hal tersebut akan aku jelaskan kepada kalian. Adapun gigi, ia adalah tulang, sedangkan kuku adalah pisau orang Habasyah”.
[13]. Lihat Shahîh al-Bukhari, no. 7084.
[14]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, I/244.
[15]. HR at-Tirmidzi, no. 861. Diriwayatkan juga oleh al-Bukhâri, no. 1611, dan an-Nasâ`i, V/230-231.
[16]. Mushannaf ‘Abdur-Razzaq, no. 20743, dan al-Hakim, IV/451.
[17]. Mushannaf ‘Abdur-Razzaq, no. 20742. Diriwayatkan juga oleh ad-Dârimi, I/64, dan al-Hakim, IV/514, dari Ya’la yang berkata, al-A’masy berkata kepadaku, dari Syaqiq yang berkata: “Abdullah bin Mas’ud berkata dan seterusnya …”.
Atsar tersebut juga diriwayatkan dari ‘Amr bin Auf, dari Khalid bin ‘Abdullah, dari Yazid bin Abu Ziyad, dari Ibrahim, dari ‘Alqamah, dari ‘Abdullah bin Mas’ud. Dishahîhkan oleh Imam al-Albâni dalam kitabnya, Qiyâmu Ramadhân, hlm. 4.
[18]. Diriwayatkan oleh Abu Khaitsamah dalam Kitâbul-‘Ilmi, no. 75. Ad-Darimi, I/50, dan Ibnu ‘Abdil Barr, II/1067, no. 2067.
[19]. Diriwayatkan oleh ad-Darimi, I/50, dan Ibnu ‘Abdil Barr, II/1068, no. 2068.
[20]. Diriwayatkan oleh ad-Darimi, I/56, dan Ibnu ‘Abdil Barr, II/1065, no. 2057.
[21]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, I/248.
[22]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, I/248-249.
[23]. Lihat Tahdzîbul Kamâl (I/435), Siyar A’lâmin Nubalâ` (XI/7-8), dan Tadzkiratul Huffâzh, II/39, no. 475.
[24]. Diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir dalam Tafsîr-nya. Lihat Tafsîr Ibni Katsir, I/373.
[25]. HR al-Bukhâri, no. 4388, 4389. Muslim, no. 52 (82-84). At-Tirmidzi, no. 3935. Abu ‘Awanah, I/59-60, dan Ibnu Hibban, no. 7253, 7255-7256, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[26].Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, I/250-251.
[27]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, I/251-252.
[28]. HR Ahmad, I/330. Abu Dawud, no. 337. Al-Hakim, I/178, dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma. Lihat Shahîh Sunan Abi Dawud, II/161, no. 365. Syaikh Imam al-Albâni berkata, “Hadits hasan.”
[29]. Qawâ-id wa Fawâ-id minal al-Arba’în an-Nawawiyyah, hlm. 107-109.
[30]. Perkataan tersebut diriwayatkan dari Sahl bin ‘Abdullah at-Tusturi dalam Hilyatul-Auliâ`, X/221, no. 15032.
[31]. Hadits tersebut potongan hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad (II/310), at-Tirmidzi (no. 2305), dan al-Kharaithi dalam Makârimul-Akhlâq, hlm. 42, dari jalur Abu Thariq, dari al-Hasan al-Bashri, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Siapakah yang siap mengambil kalimat-kalimat ini kemudian mengamalkannya atau mengajarkannya kepada orang yang siap mengamalkannya?’ Aku (Abu Hurairah) berkata, ‘Aku, wahai Rasulullah,’ Rasulullah pun memegang tanganku lalu mengulang lagi sabda tersebut hingga lima kali. Setelah itu beliau bersabda, ‘Takutlah engkau kepada hal-hal haram, niscaya engkau menjadi orang yang paling hebat ibadahnya. Ridhalah dengan apa yang dibagikan Allah kepadamu, niscaya engkau menjadi orang yang terkaya. Berbuat baiklah kepada tetanggamu, niscaya engkau menjadi orang mukmin. Cintailah untuk manusia apa yang engkau cintai untuk dirimu, niscaya engkau menjadi orang muslim. Janganlah engkau banyak tertawa, karena banyak tertawa itu mematikan hati’.”
[32]. Hilyatul Auliyâ`, IV/90, no. 4848.
[33]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, I/254.
[34]. HR Ahmad, V/276-277, 282. Ad-Darimi, I/168, dan Ibnu Majah, no. 277, dari jalur Salim bin Abu al-Ja’d, dari Tsauban. Hadits tersebut dishahîhkan al-Hakim (I/130) dan disepakati adz-Dzahabi.
Diriwayatkan juga oleh Ahmad, V/282 dan ad-Darimi, I/168, dari jalur al-Walid bin Muslim, ia berkata, Ibnu Tsauban berkata kepadaku, Hasan bin Athiyah berkata kepadaku, bahwa Abu Kabsyah as-Saluli berkata kepadanya, bahwa ia mendengar Tsauban berkata dan seterusnya.
[35]. HR Ahmad, IV/212, dan Abu Dawud, no. 1096. Hadits tersebut hasan.
[36]. HR al-Bukhâri, no. 1117, dan Ibnu Hibban, no. 2413.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar