Rabu, 14 Agustus 2019

Syarah Arbain Nawawi hadits 1

1. Syarah Arbain Nawawi Ke 1

Peran Niat Dalam Amal

Oleh: Ust. Yazid bin Abdul Qodir Jawas 

Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh, Umar bin Khatab -Rodliallohu anhu- , beliau berkata, ” Aku mendengar Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam bersabda: ” Sesunggunya amal-amal itu (harus) dengan niat. Maka barangsiapa hijrahnya kepada Alloh Azza wa Jalla dan RosulNya, maka (pahala) hijrahnya (dinilai) kepada Alloh dan RosulNya, dan barangsiapa hijrahnya diniatkan untuk (kepentingan harta) dunia yang hendak dicapainya atau atau karena seorang wanita yang hendak dinikahinya, maka nilai hijrahnya sesuai dengan tujuan niat ia berhijrah.” [ HSR Bukhori dan Muslim]

Imam Ibnu Rajab Al Hambali -rahimahullah-(wafat 795 H) berkata,” hadits ini hadits fard ( gharib) hanya diriwayatkan oleh Yahya  bin Said Al Anshori dari Muhammad bin Ibrohim At Taimi dan Al Qomah bin Abi Waqosh Al Laitsi  dari Umar bin Khatab -Rodliallohu anhu- . Tidak ada jalan lain yang shahih selain jalan ini menurut pendapat Ali Ibnul Madini dan lainnya.”


Imam Al Khattabi berkata,” Aku tidak mengetahui adanya khilaf (perselisihan) di kalangan ahli hadits tentang masalah ini. Meskipun ada riwayat dari jalan Abu Said Al Khudri dan lainnya, akan tetapi tidak satupun yang shohih menurut para huffadh (imam-imam ahli hadits).” [lihat : Jamiul Uluw wal Hikam hal 7 dan Iqodhahul Himam hal 28]

Imam Bazar berkata,” Abu Ali bin As Sakan, Muhammad bin ‘Itab, Ibnul Jauzi dan selainnya mereka mengatakan bahwa tidak ada satupun hadits yang sah (tentang hadits Innamal ‘amalu bin niyat) dari seorang shohabat melainkan dari Umar bin Khathab saja.” [lihat At Talkhisul Habir 1/92]

Asbabul Wurud Hadits

Tentang asbabul wurud (sebab datangnya hadits) diriwayatkan bahwasannya ada seorang wanita bernama Ummu Qois sudah dilamar oleh seseorang dan dia tidak mau dinikahi sampai calon suaminya hijrah. Lalu ia hijtah dan kami menamakan orang tersebut dengan muhajir Ummu Qois. Kisah ini banyak ditulis dalam beberapa kitab, akan tetapi kisah ini tidak ada asalnya yang shahih. Wallahu ‘alam [lihat : Jamiul uluw Wal Hikam & Iqadhul Himam hal 37]


Imam Ibnu hajar Al Atsqolani -rahimahullah- berkata,”….tetapi tidak ada riwayat yang shahih bahwa hadits innamal amalu sebabnya karena itu (ummu Qois). Aku tidak melihat sedikitpun dari jalan-jalan hadits yang menyebutkan dengan jelas tentang masalah itu.” [Fathul Baari 1/10].


Syaikh Salim bin Ied Al Hilali membenarkan perkataan Ibnu rajab bahwa kisah asbabul wurud hadits diatas tidak benar [Iqadhul Himam Al Muntaqo min Jami’il Uluw Wal Hikam hal 37]

Kedudukan Hadits

Banyak perkataan para ulama tentang hadits ini, diantaranya :

 Imam An Nawawi -rahimahullah-  berkata ,” kaum muslimin telah ijma’ (sepakat) tentang tingginya hadits ini dan banyak manfaatnya.”

Imam Asy Syafii -rahimahullah- berkata,”Hadits ini merupakan sepertiga ilmu dan termasuk dalam tujuh puluh bab masalah fiqh.” [Syarah Shahih Muslim 13/53]

Imam Abdurrahman bin Mahdi (wafat 198 H) berkata,” hadits tentang niat termasuk dalam tiga puluh bab maslah ilmu [Al Asybah wan Nadhair hal 43]

beliau juga berkata,” Selayaknya bagi orang yang menyusun satu kitab, dimulai dengan hadits ini untuk mengingatkan para penuntut ilmu agar meluruskan dan memperbaiki niatnya.” [Syarh Shahih Muslim 13/53], Imam Bukhori pun memulai kitabnya dengan hadits ini.


Abu Abdillah berkata,” tidak ada satupun hadits yang mencakup (berbagai masalah) dan paling banyak manfaatnya melainkan hadits ini.” [tuhfatul Ahwadzi 5/286]


Abdurrahman bin Mahdi, Asy Syafii, Ahmad bin Hambal, Ali Ibnu Madini, Abu daud, At Tirmidzi, Ad Daraqutni, dan Hamzah Al Kinani. Semuanya bersepakat bahwa hadits ini adalah sepertiga ilmu. [Fathul Baari 1/10]


Sepertiga ilmu maknaya dijelaskan oleh Imam Ahmad bin Hambal sebagai berikut ,” Pokok-pokok Islam terdapat dalm tiga hadits, yaitu :

hadits Umar:” Innamal a’malu bin Niyyat”hadits Aisyah : “Man akhdatsa fii amrinaa hadzaa maa laisa fiihi”.hadits Nu’man bin Basyir :” Al Halalu bayyan wal Haraamu bayyan.”


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,” makna yang ditunjukan oleh hadits ini merupakan pokok penting dari prinsip-prinsip agama, bahkan merupakan pokok dari setiap amal.” [Majmu Fatawa18/249]


Sebagian ulama berpendapat bahwa pokok-pokok agama terdiri atas empat hadits dikarenakan melihat urgensi hadits tersebut.


Imam Asy Syaukani berkata,” hadits ini memiliki faedah yang banyak sekali dan tidak cukup untuk saya jelaskan disini. Meskipun hadits ini fard (gharib), selayaknya ditulis (dibahas) dalam satu kitab tersendiri.” [Nailul Authar 1/159]


Makna Hadits


-         Innama ‘amaalu  = (innama) susunan seperti ini menunjukkan pengertian hashr –arab-- /pembatasan, yang diartikan dengan “hanya”. Makna hashr ialah menetapkan hukum yang disebutkan dan menafikkan selainnya [lihat : Al Qowaid wal Fawaid minal Arbain An Nawawiyyah hal 25]


-         …al ’amaalu = arinya amal-amal, kata jamak yang diawali dengan alif lam –arab—yang menunjukkan arti istighraq yaitu berarti seluruh amal, yang dimaksud adalah amal-amal syar’i yang membutuhkan niat. Adapun yang tidak, seperti kebiasaan makan, minum, berpakaian dan lainnya atau seperti mengembalikan amanah dan tanggung jawab, atau menghilangkan najis, maka tidak membutuhkan niat. Akan tetapi ada ganjarannya bagi yang berniat untuk taqarrub kepada Alloh Azza wa Jalla [iqadhaul Himam Al Muntaqo min jamiuil Uluw wal Hikam hal 30-31].

Jadi maknanya setiap amal harus dengan niat dan tidak ada amal tanpa niat [lihat nailul Authar1/157]


-         ..anniyaat = jamak dari niyyat, yaitu hati yang menyengaja secara sadar terhadap apa yang dituju/dimaksud mengerjakannya.

Al Baidlowi berkata,” Niat adalah dorongan hati yang dilihat sesuai dengan suatu tujuan, berupa mendatangkan manfaat atau mendatangkan manfaat atau mudharat. [Fathul Baari 1/13].

Ada yang berpendapat bahwa niat berarti menuju sesuatu yang dibarengi dengan mengerjakannya. [lihat : Bahjatun Nadhirin 1/31 ]


-         innama likullimrii maa nawa : Sesungguhnya setiap orang akan memperoleh dari Alloh Azza wa Jalla sesuai dengan apa yang diniatkan. Jika ia berniali baik akan memperoleh kebaikan dan jika ia berniat jelek akan memperoleh balasan jelek [ Iqodhul Himam 31]


 “ barangsiapa yang hijrahnya kepada Alloh Azza wa Jalla dan RosulNya dan barangsiap yang hijrahnya karena dunia yang akan diperoleh atau wanita yang akan dinikahinya maka hijrahnya menurut apa yang ia hijrah kepadanya.”


Kata Ibnu Rajab Al Hambali,” ketika Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam menyebutkan bahwa amalan tergantung dengan niatnya. Baik atau buruk, dua kalimat ini merupakan dua kaidah yang mencakup dan merupakan contoh perbuatan yang bentuknya sama akan tetapi hasilnya berbeda. Rusaknya amal tergantung dari niat. Yang pertama adalah tajir (pedagang) dan yang kedua adalah khatib (peminang). Keduanya bukan muhajjir sebenarnya [lihat Iqadul Himam 36-37]


“menurut apa yang ia hijrah kepadanya”, hal ini menunjukkan jelek dan hinanya orang yang hijrah karena harta dan wanita.


‘Al Hijrah”= asal maknanya adalah  “at tarku” yaitu meninggalkan sesuatu. Sedangkan menurut Istilah Syar’i adalah pindah dari negeri kafir ke negeri Islam. Hijar ini oleh para ulama dibagi menjadi beberapa bagian. Hijrah tetap berlaku selama musuh masih diperangi sebagaimana taubat masih diterima sampai matahari dari barat. [ HR Ahmad 4/99, Abu daud 2479 dan Darimi 2/239 dengan derajat Shahih].


Penjelasan Hadits

Tidak diragukan lagi bahwa niat itu merupakan suatu neraca bagi sahnya suatu perbuatan dan niat adalah satu kehendak yang pasti sekalipun tidak disertai dengan amal.  maka dari itu kadang-kadang kehendak itu niat yang baik lagi terpuji dan kadang merupakan niat yang buruk lagi tercela. Hal ini tergantung kepada apa yang diniatkan dan juga tergantung kepada pendorong dan pemicunya, apakah untuk dunia semata ataukah untuk akherat ? Apakah untuk mencari keridloan Alloh Azza wa Jalla atau mencari pujian manusia ?

Sebagaimana sabda Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam “…Kemudian mereka dibangkitkan menurut niat mereka..” [HR Bukhori dan Muslim]


karena peranan niat dalam mengarahkan amal menentukan bentuk dan bobotnya, maka para ulama menyimpulkan banyak kaedah fiqh yang diambil dari hadits ini,yang merupakan kaedah yang luas. Diantara kaedah dalam fiqh tersebut adalah :” Suatu perkara tergantung dari tujuan niatnya.”


Niat dan Tujuan Syariat

Niat adalah ruh amal, inti dan sendinya. Amal itu mengikuti niat. Amal menjadi benar karena niat yang benar dan sebaliknya [lihat ‘I’lamul Muwaqi’in 4/199].

Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam telah menyampaikan dua kalimat yang dalam maknanya, yaitu “Sesungguhnya amal-amal itu bergantung niatnya dan seseorang memperoleh menurut apa yang diniatkannya.”


Dalam kalimat pertama Beliau menjelaskan bahwa amal tidak ada artinya tanpa niat. Sedangkan dalam kalimat kedua beliau menjelaskan bahwa orang yang melakukan suatu amal tidak memperoleh apa-apa kecuali menurut niatnya. Hal ini mencakup ; ibadah, muamalah, iman, nadzar, jihad dan lainnya.


Pengaruh niat terhadap sah atau tidaknya sudah dijelaskan di atas. Suatu amal Qurbah (untuk mendekatkan diri kepad Alloh Azza wa Jalla ) harus dilandasi kepada niat. Suatu tindakan/amalan tidak dikatakan suatu ibadah kecuali disertai dengan niat dan tujuan. Oleh karena itu meskipun seseorang menceburkan diri kedalam air tanpa niat mandi atau masuk ke kamar mandi semata untuk membersihkan diri atau sekedar menyegarkan tubuh, maka itu tidak termasuk Qurbah dan ibadah.


Contoh lain : Ada seseorang tidak makan seharian karena tidak ada makanan atau karena pantang makan karena akan menjalani proses operasi medis, maka ia tidak disebut orang yang melakukan ibadah puasa walaupun sama-sama tidak makan.


Seseorang yang berputar mengelilingi Ka’bah untuk mencari sesuatu yang jatuh atau atau mencari saudaranya tertinggal , maka orang tersebut tidak dikatakan melakukan ibadah thowaf walaupun sama-sama berputar mengelilingi Ka’bah.


Imam An Nawawi -rahimahullah-  menjelaskan,”Niat itu disyariatkan untuk beberapa hal berikut :


Pertama: untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat). Misalnya duduk dimasjid, ada yang berniat istirahat, ada juga yang berniat i’tikaf. Mandi dengan niat mandi junub berbeda dengan mandi yang hanya sekedar untuk membersihkan tubuh. yang membedakan diantara ibadah dan kebiasaan adalah niat.

Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam mengisyaratkan hal itu ketika ditanya tentang seorang lelaki yang berperang/jihad karena riya’ (ingin dilihat orang), karena fanatisme golongan, dan berperang hanya karena supaya dianggap pemberani. Yang mana yang berperang/berjihad di jalan Alloh Azza wa Jalla ? maka Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam menjawab, ”barangsiapa berperang dengan tujuan agar kalimat Alloh adalah yang paling tinggi maka itu fi sabilillah.” [Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam shahihnya dalam bab Kitabul Ilmi, Fathul Baari1/222 no 123 dan Muslim dalam Shahihnya dalam bab Kitabul Imarah no 1904, Sunan At Timidzino 1652]


Kedua : Untuk membedakan antara satu ibadah dengan ibadah lainnya. Misalnya seorang mengerjakan sholat empat rakaat. Apakah diniatkan sholat dhuhur ataukan sholat sunnat yang membedakan adalah niatnya. Demikian pula orang yang memerdekakan seorang hamba, apakah ia niatkan untuk membayar kafarah (tebusan) ataukah ia niatkan untuk nadzar atau lainnya. inilah pentingnya niat [ lihat : Syarah Arbai’n oleh Imam An Nawwawi hal 8].


Kata niat yang sering diulang-ulang dalam hadits Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam dan firman Alloh Azza wa Jalla terkadang dengan makna iradah dan terkadang pula dengan makna Qashd dan sejenisnya. Seperti dalam Al Qur’an Surat 3 ayat 152, dan Surat 17 ayat 18-19.


Pengaruh Niat Terhadap Hal-Hal yang  Mubah dan Kebiasaan

Karena besarnya pengaruh niat, maka hal-hal yang mubah dan kebiasaan dapat bernilai ibadah dan qurbah. Pekerjaan mencari rezki, pegawai, petani, berdagang, mengajar dan profesi lainnya dapat menjadi ibadah dan jihad fi sabilillah selagi pekerjaan itu dimaksudkan untuk menjaga dirinya dari hal-hal yang haram dan mencari yang halal serta tidak bertentangan dengan perintah atau larangan Alloh Azza wa Jalla dan RosulNya.


Begitu pula makan, minum, berpakaian jika diniatkan untuk ketaatan kepada Alloh Azza wa Jalla dan melaksanakan kewajiban kepada Nya. Orang yang mencari nafkah untuk menjaga dirinya agar tidak meminta-minta kepada orang lain dan juga untuk membiayai diri dan keluarganya, maka akan dibalas oleh Alloh Azza wa Jalla atas niatnya itu. [Qowaid wal Fawaid minal Arbain An Nawawiyah oleh Nazhim Muhammad Sulthon hal 32 cet. Darus Salafiyah 1408 H]


Seperti hadits Sa’ad bin Abi Waqash bahwa Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam bersabda,
”Sesungguhnya apabila engkau menafkahkan hartamu dan dengannya engkau mencari wajah Alloh, maka engkau akan diberi pahala lantaran nafkahmu itu sampaipun apa yang engkau suapkan ke mulut istrimu.” [HR Bukhori dalam Fathul Baari 1/136 dan Muslim 1628].


Imam Nawawi mengambil istimbath dari hadits diatas bahwa memberikan suapan kepada istri biasanya terjadi pada waktu bergurau dan ketika timbul syahwat dan yang demikian itu jelas, namun bila dilakukan untuk mencari ganjaran pahala, maka ia akan memperolehnya dengan keutamaan dari Alloh Azza wa Jalla. [Fathul Baari 1/137].

Imam As Suyuthi menjelaskan bahwa dalil yang paling tepat yang dijadikan dasar oleh para ulama bahwa seorang hamba akan mendapatkan ganjaran dengan niat yang baik dalam perkara yang mubah dan perkara adat kebiasaan ialah sabda Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam “..dan setiap orang mendapatkan menurut apa yang ia niatkan..” Niat ini akan diganjar bila diniatkan untuk taqorrub kepada Alloh Azza wa Jalla, sehingga bila tidak dengan tujuan itu, tidak akan diberi pahala…[lihat : Syarah Suyuthi atas Sunan Nasai, dinukil dari Qowaid Wa Fawaid minal Arbain hal 33].


Bahkan yang lebih mengagumkan lagi, nafsu seksual yang disalurkan seorang muslim kepada istrinya pun dapat mendatangkan pahala disisi Alloh Azza wa Jalla . Dalam sebuah hadits Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam bersabda,
”Dan dalam persetubuhan salah seorang diantara kalian dengan istrinya terdapat shodaqoh.” Mereka bertanya,’ Ya Rosululloh, apakah salah seorang diantara kami melampiaskan syahwatnya kepada istrinya mendapatkan pahala?’, Beliau menjawab.’bagaimanakah menurut pendapat kalian jika ia melampiaskan syahwatnya kepada yang haram, bukankah dia mendapatkan dosa? Begitu pula jika ia memenuhi syahwatnya pada yang halal, maka ia pun akan mendapat pahala.”[HR Muslim 1006]


Imam Nawawi  menjelaskan hadits ini, ”Didalam haits ini ada dalil bahwasanya perkara yang mubah dapat menjadi perbuatan taat dengan niat yang benar. Jima’ (hubungan suami istri) bisa menjadi ibadah jika diniatkan untuk memenuhi hak istri. Bergaul dengan cara yang baik yang diperintahkan Alloh Azza wa Jalla atau untuk mendapat anak yang shalih atau untuk menjaga diri dan istrinya agar tidak terjatuh pada perbuatan yang haram, atau mengkhayalkan yang haram, atau berkeinginan untuk ini atau untuk lainnya [lihat Syarah Shahih Muslim7/92]


Akan tetapi meskipun suatu perbuatan mubah dapat dijadikan amal ibadah yang mendekatkan pelakunya kepada Alloh Azza wa Jalla , namun tetap ia memiliki syarat-syarat yang ditentukan, yaitu : [ lihat Qoaid wa Fawaid minal Arbain AnNawawiyah hal 34-35]

Tidak boleh menjadikan perkara mubah sebagai qurbah (ibadah) pada bentuk dan dzatnya, sebagaimana orang menduga bahwa semata-mata berjalan, makan, berdiri atau berpakaian dapat mendekatkan diri kepada Alloh Azza wa Jalla , karena itu Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam mengingkari Abu Israil berdiri di terik panas matahari untuk memenuhi nadzarnya. Maka Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam menyuruh ia berbicara, berteduh, duduk dan menyempurnakan puasanya [HR Bukhori, Ahmad dan Abu Daud]Hendaknya yang mubah itu sebagai wasilah (sarana) untuk ibadah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- berkata,” Hendaknya yang mubah dikerjakan dalam rangka membantu diri untuk melaksanakan ketaatan.”Hendaknya seorang muslim memandang yang mubah dengan keyakinan bahwa hal itu benar dimubahkan oleh Alloh Azza wa Jalla .Hendaknya yang mudah itu tidak menyebabkan pelakunya celaka atau membahayakan dirinya sendiri.

Oleh karena itu barangsiapa yang berniat mendekatkan diri kepada Alloh Azza wa Jalla melalui amal-amal mubah, hendaknya ia pastikan ketentuan-ketentuan diatas supaya tidak menghalalkan segala cara agar bernilai di sisi Alloh Azza wa Jalla.


Niat Baik Tidak Dapat Mengubah yang Haram

Sebagaimana sudah diketahui oleh stiap muslim bahwa niat tidak dapat mempengaruhi yang haram. Sebaik apapun niatnya dan semulia apapun tujuannya, niat tidak dapat menghalalkan yang haram dan tidak melepaskan sifat kekotoran, karena memang inilah yang menjadi sebab pengharamannya.


Barangsiapa mengambil riba atau mencuri harta, atau mencari harta dengan cara bathil dengan niat untuk membangun mesjid atau mendirikan tenpat panti asuhan yatim atau mendirikan pesantren atau disedekahkan ke fakir miskin dan semisalnya maka niat baik ini tidak berpengaruh apa-apa serta tidak bisa meringankan dosa yang haram.


Praktek ini banyak terjadi di tengah umat, misalnya seorang mendepositokan uangnya di bank, lalu bunganya digunakan untuk membangun mesjid atau pesantren dan semisalnya, ini adalah suatu perbuatan yang layak dipertanyakan. Benarkah bunga bank yang haram digunakan untuk proyek kebaikan ?


Seorang pegawai mendapat uang sangat besar dari hasil manipulasi korupsi dan kolusi, atau seorang penjudi atau pelacur, lalu mereka berniat menolong anak yatim dan faqir miskin dari hasil pekerjaan yang haram, maka hukumnya tetap haram dan tidak meringankan dosa yang haram, dan tidak boleh digunakan untuk berbagai kegiatan kegiatan kebaikan. hasil keharaman tidak bisa dibersihkan dengan menshodaqohkan uang hasil perbuatan haram, namun harus keluar secara utuh dari yang haram itu Alloh Azza wa Jalla tidak akan menerima yang haram walaupun dengan niat yang baik. dari Abu Hurairoh -Rodliallohu anhu-  Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam bersabda,” Sesungguhnya Allah ta’ala itu baik, tidak menerima sesuatu kecuali dari yang baik.” 9HR Muslim 1015]


Harta yang haram bukan milik orang yang mendapatkannya. Karena itu tidak boleh ia bershodaqoh dengan uang tersebut, harta apapun yang dikeluarkan dari hasil bunga, curian, pelacuran, perdukunan, manupulasi dan semisalnya dari proses yang haram semua tidak diterima Alloh Azza wa Jalla .


Dari sini kita tahu bahwa Islam menolak prinsip Machiavelli, yakni  tujuan menghalalkan segala cara. Islam juga tidak menerima kecuali dari cara yang bersih untuk mencapai tujuan yang mulia. jadi niat yang baik harus disertai dengan cara yang benar dan baik.


Hukum Melafadzkan Niat

Niat tempatnya didalam hati, bukan dilisan dan diucapkan, hal ini berdasarkan kesepakatan ulama dan imam muslimin baik dalam hal bersuci, wudlu, sholat, zakat, puasa, haji dan ibadah lainnya. Meskipun lisanya mengucapkan yang berbeda dengan apa yang diniatkan dengan hatinya maka yang diperhitungkan adalah apa yang diniatkan dalam hati, bukan apa yang dilisankan. Walaupun dia mengucapkan dengan lisan bersama niat sedangkan niat belum sampai ke dalam hatinya, maka hal itu tidak cukup menurut kesepkan para ulama muslimin karena sesungguhnya niat adalah jenis tujuan dan kehendak yang pasti.


Al Qodli Abu Ar Rabi’ Sulaiman bin ‘Umar Asy Syafii berkata,” Melafadzkan niat di belakang imam bukan perkara sunnah, bahkan hukumnya makruh, sedangkan jika menggangu orang lain (yakni melafadzkan dengan lisan ketika sholat-red) maka hukumnya haram. barangsiapa mengatakan bahwa melafadzkan niat termasuk sunnah, maka dia salah dan tidak halal bagi siapapun berkata dalam agama Alloh Azza wa Jalla tanpa ilmu.” [lihat Al Qoulul Mubin fi Akhtha’il Mushollin hal 91-92 oleh Syaikh Masyhur Hasan Alu Salman cet IV darul Ibnul Qoyyim 1416H].


Abu Abdillah Muhammad bin Qosim At Tunisi Al Maliki berkata,” Niat termasuk amal hati dan melafadzkan niat adalah bid’ah. Disamping itu juga menggangu orang lain.” [lihat Al Qoulu Mubin]


Talafudh (melafadzkan) niat tidak pernah dicontohkan oleh Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam. Beliau tidak pernah ketika berwudlu membaca ”nawaitu raf’al hadatsil ashghor” dan juga tidak pula membaca "nawaitu wudlu’ai li rofil hadatsil asghori fadlu lillahi ta’alaa.”dan lafadz semisalnya, juga tidak pernah melafadz kan niat ketika hendak sholat, ”naiwaitu fardlu dhuhri arba’a rokaatin mustaqbilal qiblatin …” demikain pula niat yang dilisankan untuk ibadah lainnya.


Melafalkan niat tidak pernah diriwayatkan oleh seorangpun baik dengan riwayat shahih apalagi dhoif maupun mursal. Tidak seorangpun shohabat Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam  yang meriwayatkan dan tidak ada seorang tabi’in pun yang menganggap baik masalah ini dan tidak pula dilakukan oleh empat imam madzab, gnafi, Maliki, Syafii dan Ahmad –rahimakumulloh-


Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam tidak pernah melafadzkan niat meskipun hanya satu kali dalam setiap sholatnya dan tidak pula diriwayatkan oleh para khalifahnya. ini adalah petunjuk beliau dan sunah para Shohabat rodliallohu anhum dan tidak ada petunjuk yang lebih sempurna melainkan petunjuk Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam. [lihat Zadul Ma’ad fi haydi Khairil Ibad 1/201]


Imam As Suyuthi -rahimahullah- (wafat 921H) berkta, ”Diantara perkara yang termasuk bid’ah ialah was-was dalam sholat. Hal ini tidak pernah dilakukan Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam maupun Shohabat rodliallohu anhum, mereka tidak pernah mengucapkan sesuatu bersama niat sholat, selain hanya takbiratul ikhram saja.

Imam Asy Syafii berkata, ”orang yang was-was dalam niat sholat dan bersuci adalah orang-orang yang bodoh tentang syariat dan rusak pikirannya.” [lihat Al Amru bil Ittiba’ Wa Nahyu ‘anil Ibtida’ hal 296 tahqiq Syaikh MAshur Hasan AluSalman cet. Darul Ibnu Qoyyim 1416 H]


Sebab kekeliruan orang-orang yang mengaku bermadzab syafii adalah salah faham dalam memahami perkataan Imam Syafii. Imam Syafii mengatakan, ”Apabila seorang niat haji dan umroh sudah cukup meskipun tidak dilafadzkan, berbeda dengan sholat karena sholat itu tidak sah melainkan dengan ‘ucapan’.”


Imam An Nawawi -rahimahullah- berkata,”telah berkata para sahabat kami (ulama dari madzab syafii) : orang yang memahami bahwa ucapan itu (yakni: usholli) adalah keliru, karena bukan demikian maksud Imam Syafii -rahimahullah- , namun yang dimaksud ialah ucapan mulai sholat itu adalah takbiratul ihram.” [lihat Al Majmu Syarhul Muhadzdzab 3/277 cet. darul fikr, At Ta’alum hal 100 dn lihat Al Qoulul Mubin hal 93-94]


Jadi dengan demikian para ulama menfatwakan bahwa melafadhkan niat termasuk dalam bid’ah dan munkar dan jauh dari petunjuk Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam .


Alloh Azza wa Jalla berfirman,”Sungguh telah ada bagi kamu pada diri Rosululloh contoh teladan yang baik bagi orang yang mengharapkan Alloh dan hari akhir dan banyak menyebut nama Alloh.” [QS Al Ahzab 21].


Niat Yang Ikhlas Adalah Dasar Penerimaan Amal

Keberadaan niat harus disertai dengan menghilangkan segala keburukan, nafsu dan keduniaan. Niat harus dilandasi ikhlas karena Alloh Azza wa Jalla dalam setiap amal agar amal diterima Alloh Azza wa Jalla. Sebab setiap amal sholeh memiliki dua syarat yang tidak akan diterima disisi Alloh Azza wa Jalla kecuali dengan keduanya, yaitu:

Niat yang ikhlas dan benarittiba’, yaitu sesuai dengan contoh sunnah Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam .

Dengan syarat pertama, kebenaran batin akan terwujud dan dengan syarat kedua kebenaran lahir akan terwujud. tentang syarat pertama telah disebutkan dalam sabda Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam ..”innamaal ‘amaalu bin Niyyat “ Sesungguhnya amal-amal itu bergantung pada niatnya. Inilah yang menjadi timbangan batin/hati, Sedangkan syarat kedua isebutkan dalam hadits Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam, ”Barangsiapa mengerjakan suatu amal yang tidak ada padanya urusan kami (tidak mengikuti contoh kami), maka (amalan itu) tertolak.” [HR Muslim].


Alloh Azza wa Jalla telah menghimpun dua syarat ibadah tersebut dalam beberapa ayat, diantaraya:

“Dan siapakah orng yang lebih baik agamanya dari orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Alloh, sedangkan diapun mengerjakan kebaikan dan dia mengikuti agama Ibrohim yang lurus (QS An Nisa’ 125]


Menyerahkan dirinya kepada Alloh Azza wa Jalla artinya mengingklaskan amal kepada Alloh Azza wa Jalla, mengamalkan dengan iman dan mengharap ganjaran pahala dari Alloh Azza wa Jalla. Sdangkan berbuat baik artinya dalam beramal mengikuti apa yang disyariatkan Alloh Azza wa Jalla dan apa yang dibawa oleh Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam berupa petunjuk dan agama yang haq.


Dua syarat ini, apabila salah satu atau keduanya tidak dipenuhi, maka amal ini tidak sah. jadi harus ikhlas dan benar karena Alloh Azza wa Jalla . Ikhlas karena Alloh Azza wa Jalla dan benar karena mengikuti contoh Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam. lahirnya Ittiba’ sedngkan batinnya Ikhlas.


Bila hilang salah satu syarat ini maka amalnya rusak. Bila hilang keikhlasannya maka orang ini akan menjadi munafik dan riya’ kepada manusia. Sedangkan bila ittbanya hilang artinya dia tidak mengikuti petunjuk Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam maka orang ini sesat dan bodoh. [lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/616 cet darussalam]



Dari uraian diatas jelaslah bahwa pentingnya niat dalam amal. Niat haruslah ikhlas dan ikhlas semata tidak cukup dalam menjamin diterimannya suatu amal selalgi tidk sesuai dengan ketetapan syariat dan dibenarkan sunnah. Sebagaimana amal yang dilakukan sesuai dengan ketentuan syariat tidak akan diterima selagi tidak disertai dengan keikhlasan. Adapun amal akhirat yang tidak disertai dengan ikhlas, maka tidak ada bobotnya sama sekali dalam timbangan amal.


Faedah dan Pelajaran dari hadits ini

Niat termasuk iman, karena termasuk amalan hati.Wajib bagi setiap muslim mengetahui hukum-hukum dan kedudukan amal yang hendak dilakukan, disyariatkan atau tidak, wajib atau sunnah, karena amal tidak bisa lepas dari niat yang disyariatkan.Disyariatkan niat secara sadar dalam amal-amal taat.Amal tergantung dari niat, tentang sah dan  tidaknya sempurna dan kurangnya, taat dan maksiat.Niat tempatnya di hati bukan dilisan (dilafadzkan/diucapkan)melafadzkan niat termasuk bid’ahAmal harus sesuai dengan sunnah, karena ia termasuk syarat diterimanya amal.Niat yang baik tidak bisa menjadikan yang haram menjadi halal, yang mungkar menjadi ma’ruf, yang bid’ah menjadi sunnahBaiknya tujuan tidak bisa menghalalkan segala caraWajib berhati-hati dari riya’, sum’ah atau beramal karena ingin dipuji manusia.Manusia selalu digoda syaithon sehingga dapat merusak keikhlasan amalnyaWajib bagi muslimin untuk memperhatikan perbaikan hatinyaKeadilan Alloh Azza wa Jalla dalam memberikan ganjaran pahala dari amal-amal hambaNyaHijrah dari negeri syirik ke negeri Islam adalah ibadah yang utama bila diniatkan karena mencari wajah Alloh Azza wa Jalla dan wajib hijrah bagi yang tidak dapat melaksanakan ibadah kepada Alloh Azza wa Jalla .Keutamaan untuk hijarah kepada Alloh Azza wa Jalla dan RosulNyaHijrah tetap berlaku selama diperangi musuh-musuh Islam.Adapun hadits “ Tidak ada Hijrah sesudah fathul makkah (muttafaq alaihi), maksudnya adalah hijrah dari Makkah ke Madinah karena Makkah sudah menjadi Darul Islam (negara Islam.)


Allohu Ta’ala ‘Alam

Sumber : Salafy Edisi XX/1418 H, dari www.al-aisar.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar