Rabu, 14 Agustus 2019

Syarah Hadits Arbain Nawawi 26


26 SYARAH ARBAIN NAWAWI HADITS KE 26
SETIAP MANUSIA WAJIB BERSEDEKAH
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
عَنْ أَبِـيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللّٰـهِ صَلَّى اللّٰـهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : كُلُّ سُلَامَـى مِنَ النَّاسِ عَلَيْهِ صَدَقَةٌ كُلَّ يَوْمٍ تَطْلُعُ فِيْهِ الشَّمْسُ : تَعْدِلُ بَيْنَ اثْنَيْنِ صَدَقَةٌ ، وَتُعِيْنُ الرَّجُلَ فِـيْ دَابَّتِهِ فَتَحْمِلُهُ عَلَيْهَا ، أَوْ تَرْفَعُ لَهُ عَلَيْهَا مَتَاعَهُ صَدَقَةٌ ، وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ ، وَبِكُلِّ خُطْوَةٍ تَـمْشِيْهَا إِلَـى الصَّلاَةِ صَدَقَةٌ ، وَتُـمِيْطُ اْلأَذَىٰ عَنِ الطَّرِيْقِ صَدَقَةٌ. (رَوَاهُ الْـبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap persendian manusia wajib bersedekah pada setiap hari di mana matahari terbit di dalamnya: engkau berlaku adil kepada dua orang (yang bertikai/berselisih) adalah sedekah, engkau membantu seseorang menaikannya ke atasnya hewan tunggangannya atau engkau menaikkan barang bawaannya ke atas hewan tunggangannya adalah sedekah, ucapan yang baik adalah sedekah, setiap langkah yang engkau jalankan menuju (ke masjid) untuk shalat adalah sedekah, dan engkau menyingkirkan gangguan dari jalan adalah sedekah.’” [HR. al-Bukhâri dan Muslim]
SYARAH HADITS:
1. KEAGUNGAN CIPTAAN ALLAH AZZA WA JALLA
Allah Azza wa Jalla telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. [at-Tîn/95:4]
Dalam hadits dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma , Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّهُ خُلِقَ كُلُّ إِنْسَانٍ مِنْ بَنِـى آدَمَ عَلَـىٰ سِتِّيْنَ وَثَلاَثِ مِئَةِ مَفْصِلٍ : فَمَنْ كَبَّرَ اللّٰـهَ ، وَحَمِدَ اللّٰـهَ ، وَهَلَّلَ اللّٰـهَ ، وَسَبَّحَ اللّٰـهَ ، وَاسْتَغْفَرَ اللّٰـهَ ، وَعَزَلَ حَجَرًا عَنْ طَرِيْقِ النَّاسِ ، أَوْ شَوْكَةً ، أَوْ عَظْمًـا عَنْ طَرِيْقِ النَّاسِ ، وَأَمَرَ بِمَعْرُوْفٍ ، أَوْ نَـهَىٰ عَنْ مُنْكَرٍ ، عَدَدَ تِلْكَ السِّتِّيْنَ وَالثَّلَاثِ مِئَةِ السُّلَامَى ، فَإِنَّهُ يُمْسِيْ يَوْمَئِذٍ وَقَدْ زَحْزَحَ نَفْسَهُ عَنِ النَّارِ.
Sesungguhnya anak keturunan Adam diciptakan di atas 360 persendian. Barang-siapa bertakbir kepada Allah, memuji Allah, bertahlil kepada Allah, bertasbih kepada Allah, menyingkirkan batu dari jalanan kaum Muslimin, atau menyingkirkan duri, atau menyingkirkan tulang, atau menyuruh kepada kebaikan, atau melarang dari kemungkaran setara dengan jumlah 360 persendian, maka pada sore harinya ia menjauhkan dirinya dari neraka. [1]
Abu ‘Ubaid rahimahullah berkata, “Pada asalnya sulâma (persendian) ialah tulang di ujung kuku unta. Sepertinya makna hadits tersebut ialah setiap tulang anak keturunan Adam wajib bersedekah.”[2]
Abu ‘Ubaid rahimahullah mengisyaratkan bahwa sulâma adalah salah satu tulang kecil di unta kemudian ia mengungkapkannya untuk seluruh persendian manusia dan lain-lain. Sehingga makna hadits ini menurutnya, bahwa setiap persendian anak keturunan Adam wajib bersedekah.
Di dalam hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma disebutkan bahwa jumlah persendian manusia ialah 360 buah.[3]
2. WAJIB BERSYUKUR ATAS NIKMAT ALLAH AZZA WA JALLA
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Setiap persendian manusia wajib bersedekah.”
Makna hadits ini ialah bahwa penyusunan tulang-tulang dan kesempurnaannya termasuk nikmat-nikmat Allah Azza wa Jalla yang paling besar pada hamba-Nya. Oleh karena itu setiap tulang harus bersedekah; dan pemiliknya bersedekah mewakili setiap tulang yang ada pada dirinya, agar menjadi syukur atas nikmat tersebut.[4]
Allah Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الْإِنْسَانُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيمِ الَّذِي خَلَقَكَ فَسَوَّاكَ فَعَدَلَكَ فِي أَيِّ صُورَةٍ مَا شَاءَ رَكَّبَكَ
Wahai manusia! Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Rabb-mu Yang Maha Mulia? Yang telah menciptakanmu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang, dalam bentuk apa saja yang dikehendaki, Dia menyusun tubuhmu.” [al-Infithâr/82:6-8]
Allah Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ هُوَ الَّذِي أَنْشَأَكُمْ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۖ قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ
Katakanlah, “Dia-lah yang menciptakan kamu dan menjadikan pendengaran, penglihatan, dan hati nurani bagi kamu. (Tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.” [al-Mulk/67:23]
Allah Azza wa Jalla berfirman:
أَلَمْ نَجْعَلْ لَهُ عَيْنَيْن ِوَلِسَانًا وَشَفَتَيْنِ
Bukankah Kami telah menjadikan untuknya sepasang mata dan lidah serta sepasang bibir? [al-Balad/90:8-9]
Mujahid Radhiyallahu anhu berkata, “Nikmat-nikmat dari Allah Azza wa Jalla terlihat dengan jelas dan Allah Azza wa Jalla menegaskannya kepadamu agar engkau bersyukur.” [5]
Pada suatu malam Fudhail bin ‘Iyâdh membaca ayat tersebut (al-Balad/90:8-9) kemudian menangis. Ia ditanya: “Mengapa menangis?” Ia menjawab, “Apakah engkau pernah bermalam pada suatu malam dalam keadaan bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla yang telah menciptakan dua mata untukmu kemudian engkau melihat dengan keduanya? Apakah engkau pernah bermalam pada suatu malam dalam keadaan bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla yang telah menciptakan lidah untukmu sehingga engkau bisa berbicara dengannya?…” al-Fudhail mengulang-ulang contoh tersebut.[6]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَـا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ : الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
Dua nikmat di mana kebanyakan manusia tertipu dengan keduanya: kesehatan dan waktu luang.[7]
Ini semua termasuk nikmat-nikmat Allah Azza wa Jalla dan manusia akan ditanya tentang syukur terhadapnya pada hari Kiamat dan dimintai pertanggung jawaban,[8] seperti firman Allah Azza wa Jalla ”
ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ
Kemudian kamu benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang megah di dunia itu). [at-Takâtsur/102:8]
Maksudnya, Allah Azza wa Jalla menganugerahkan kepada hamba-hamba-Nya nikmat-nikmat yang tidak bisa mereka hitung, seperti firman Allah Azza wa Jalla :
وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ
Dan Dia telah memberikan kepadamu segala yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menghitungnya. Sungguh, manusia itu sangat zhalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” [Ibrâhîm/14:34]
Selain itu, Allah Azza wa Jalla menuntut mereka bersyukur dan meridhai syukur mereka. Ada yang berpendapat bahwa jika Allah Azza wa Jalla memberi salah satu nikmat kepada seorang hamba kemudian ia memuji Allah Azza wa Jalla atas nikmat tersebut, maka pujiannya kepada Allah Azza wa Jalla lebih baik daripada nikmat-Nya.
Para Ulama membenarkan bahwa pujian lebih baik daripada nikmat, karena yang dimaksud dengan nikmat-nikmat tersebut ialah nikmat-nikmat dunia, seperti kesembuhan, rezeki, kesehatan, dijaga dari hal-hal yang tidak mengenakkan dan lain sebagainya, sedangkan perkataan alhamdulillâh merupakan salah satu nikmat agama. Kedua nikmat tersebut: nikmat dunia dan nikmat agama adalah nikmat dari Allah Azza wa Jalla , namun nikmat agama kepada hamba-Nya dalam bentuk memberikan petunjuk untuk mensyukuri nikmat-nikmat-Nya dan memuji atas nikmat-nikmat-Nya itu lebih baik daripada nikmat-nikmat dunia yang Dia berikan kepada hamba-hamba-Nya. Karena jika nikmat-nikmat dunia tidak disikapi dengan syukur, maka nikmat dunia tersebut menjadi petaka, seperti dikatakan Ibnu Hâzim rahimahullah :
كُلُّ نِعْمَةٍ لاَ تُقَرِّبُ مِنَ اللّٰـهِ ؛ فَهِيَ بَلِيَّةٌ
Setiap nikmat yang tidak mendekatkan pemiliknya kepada Allah adalah petaka.[9]
Jadi, jika Allah Azza wa Jalla membimbing hamba-Nya untuk mensyukuri nikmat-nikmat dunia yang diberikan-Nya dengan pujian dan jenis-jenis syukur lainnya, maka nikmat itu lebih baik daripada seluruh nikmat dan lebih dicintai Allah Azza wa Jalla , karena Allah Azza wa Jalla mencintai puji-pujian, meridhai hamba-hamba-Nya yang jika makan lalu memuji Allah Azza wa Jalla atas nikmat makanan tersebut. Bagi orang-orang dermawan, sanjungan terhadap nikmat-nikmat, pujian atasnya, dan mensyukurinya, itu lebih mereka cintai daripada harta yang mereka berikan; karena mereka memberikan harta justru untuk mendapatkan sanjungan. Allah Azza wa Jalla adalah Dzat yang Maha Dermawan. Dia memberikan nikmat-nikmat-Nya kepada hamba-hamba-Nya dengan meminta mereka menyanjung nikmat-nikmat tersebut, menyebut-nyebutnya, memujinya, dan Dia meridhai itu semua sebagai syukur mereka atasnya. Meskipun itu semua berasal dari Allah Azza wa Jalla kepada mereka, Dia tidak membutuhkan syukur mereka; namun Dia menyukai yang dikerjakan hamba-hamba-Nya karena kebaikan, keberuntungan, dan kesempurnaan seorang hamba itu berada pada syukur.
Di antara karunia Allah Azza wa Jalla ialah bahwa Dia mengatas-namakan pujian dan syukur kepada hamba-hamba-Nya, kendati itu nikmat-Nya yang paling agung pada mereka. Ini seperti Allah Azza wa Jalla memberi harta kepada mereka; kemudian Dia meminjam sebagiannya dan memuji mereka karena tindakan mereka, padahal semua yang ada adalah milik Allah Azza wa Jalla dan merupakan karunia-Nya. Namun, karunia-Nya menghendaki hal yang demikian.[10]
Zhahir hadits ini menunjukkan bahwa syukur dengan sedekah itu wajib bagi seorang Muslim di setiap hari, namun syukur terbagi ke dalam dua tingkatan:
Pertama: Syukur Wajib.
Yaitu syukur dalam bentuk mengerjakan kewajiban-kewajiban dan menjauhi larangan-larangan. Syukur seperti ini wajib dan sudah cukup sebagai tanda syukur atas seluruh nikmat.
Salah seorang generasi Salaf berkata, “Syukur ialah meninggalkan kemaksiatan-kemaksiatan.” Salah seorang dari generasi Salaf lainnya mengatakan, “Syukur ialah tidak menggunakan salah satu nikmat untuk kemaksiatan.” [11]
Abu Hâzim az-Zâhid rahimahullah menyebutkan bahwa syukur ialah dengan seluruh anggota tubuh, menahan diri dari kemaksiatan-kemaksiatan; dan menggunakan semua organ tubuh untuk melakukan ketaatan-ketaatan. Setelah itu ia berkata, “Adapun orang bersyukur dengan lisannya, namun tidak bersyukur dengan seluruh organ tubuhnya, maka perumpamaannya seperti orang yang mempunyai pakaian; ia memegang ujungnya, namun tidak mengenakannya. Pakaian seperti itu tidak bermanfaat baginya dari panas, dingin, dan hujan.”[12]
Kedua: Syukur Sunnah.
Maksudnya seorang hamba mengerjakan ibadah-ibadah sunnah setelah mengerjakan ibadah-ibadah wajib dan menjauhi hal-hal yang diharamkan.
Ini adalah tingkatan para as-sâbiqûn (orang-orang yang terdahulu dalam kebaikan) yang didekatkan kepada Allah Azza wa Jalla . Tingkatan inilah yang telah disebutkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang telah disebutkan sebelumnya.[13]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersungguh-sungguh dalam shalat dan qiyâmul lail (shalat malam) hingga kedua kakinya bengkak. Ketika beliau ditanya, “Mengapa engkau berbuat seperti ini, padahal Allah Azza wa Jalla telah mengampuni dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفَلاَ أَكُوْنُ عَبْدًا شَكُوْرًا ؟
Apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang banyak bersyukur?[14]
Shalat Tahajjud adalah sunnah, namun beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap melaksanakannya sebagai rasa syukur kepada Allah Azza wa Jalla . Ada sebagian amal yang disebutkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wajib, baik fardhu ‘ain, seperti berjalan menuju shalat wajib berjama’ah, atau fardhu kifâyah, seperti amar ma’ruf nahi munkar, menolong orang yang kelaparan, dan adil terhadap manusia dalam memutuskan perkara mereka atau mendamaikan mereka.[15]
3. MENDAMAIKAN DUA PIHAK YANG SEDANG BERTIKAI (BERSELISIH)
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Engkau berlaku adil di antara dua orang (yang bertikai/berselisih) adalah sedekah.”
Maksudnya, berlaku adil dalam memberikan keputusan atau berlaku adil dalam mendamaikan dua orang yang sedang bermusuhan. Ini termasuk sedekah yang memiliki keutamaan yang besar karena kebaikannya dirasakan orang lain, dan dengannya luka-luka dalam masyarakat menjadi terkumpul sehingga menjadi bagaikan satu tubuh yang sehat dan selamat.
Tentang anjuran untuk mengerjakan amalan seperti ini terdapat pada banyak nash (dalil) yang harus disebutkan di sini; karena sebagian kaum Muslimin meremehkan masalah mendamaikan antara kaum Muslimin ketika terjadi permusuhan.[16] Padahal ishlâh (mendamaikan) orang berselisih termasuk seutama-utamanya sedekah. Mendamaikan dua orang yang sedang berselisih pahalanya sangat besar jika dilakukan dengan ikhlas. Allah Azza wa Jalla berfirman:
لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia, kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barangsiapa berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar.” [an-Nisâ’/4:114]
Maksudnya, kecuali pembicaraan rahasia orang yang berkata demikian.[17]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِأَفْضَلَ مِنْ دَرَجَةِ الصِّيَامِ ، وَالصَّلاَةِ ، وَالصَّدَقَةِ ؟ قَالُوْا : بَلَـى ، قَالَ : صَلاَحُ ذَاتِ الْبَيْنِ ، فَإِِنَّ فَسَادَ ذَاتِ الْبَيْنِ هِيَ الْـحَالِقَةُ ، لاَ أَقُوْلُ تَـحْلِقُ الشَّعَرَ ، وَلٰكِنْ تَـحْلِقُ الدِّيْنَ
Maukah aku beritahukan kepada kalian sesuatu yang lebih baik daripada derajat puasa, shalat, dan sedekah? Para Sahabat menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Mendamaikan hubungan (dua orang yang bertikai), karena kerusakan hubungan adalah pemotong. Aku tidak mengatakan memotong rambut, tetapi memotong agama.[18]
Maka mengadakan perdamaian di antara manusia adalah ibadah dan amal taqarrub oleh orang-orang yang bertakwa.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا ۚ وَالصُّلْحُ خَيْرٌ
Jika seorang wanita khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap tidak acuh, maka keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)…” [an-Nisâ’/4:128]
Ayat ini menunjukkan bahwa berdamai antara suami-istri lebih baik daripada berpisah (cerai). Sebab, perceraian menimbulkan banyak bahaya. Oleh karena itu, boleh bagi seorang istri menggugurkan haknya atau sebagian haknya dari suami baik berupa nafkah atau lainnya, jika ia khawatir suaminya akan pisah (cerai) darinya atau berpaling darinya.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ
Maka bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu [al-Anfâl/8:1]
Ayat ini menunjukkan diperintahkannya mengadakan perdamaian dan melarang saling menzhalimi dan saling bermusuhan.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا ۖ فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّىٰ تَفِيءَ إِلَىٰ أَمْرِ اللَّهِ ۚ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا ۖ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Dan apabila ada dua golongan orang Mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zhalim terhadap (golongan yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zhalim itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlaku adillah. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” [al-Hujurât/49:9]
Ayat ini memerintahkan untuk mengadakan perdamaian ketika terjadi perselisihan dan peperangan di antara kaum Mukminin.[19]
Dari Abu Bakrah Radhiyallahu anhu , bahwa pada suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di atas mimbar, saat bersama al-Hasan bin ‘Ali Radhiyallahu anhuma. Beliau sesekali melihat kepadanya dan sesekali melihat kepada manusia seraya bersabda:
إِنَّ ابْنِـيْ هٰذَا سَيِّدٌ ، وَلَعَلَّ اللّٰـهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيْمَتَيْنِ مِنَ الْـمُسْلِمِيْنَ
Sesungguhnya cucuku ini adalah pemimpin. Mudah-mudahan dengan perantaraannya Allah Azza wa Jalla mendamaikan antara dua kelompok yang besar dari kaum Muslimin.[20]
Apa yang beliau sabdakan pun terjadi; sehingga Allah Azza wa Jalla mendamaikan antara penduduk ‘Irak dan penduduk Syam setelah terjadi perang berkepanjangan (Perang Shiffin).
Dalam hadits ini terdapat isyarat yang agung tentang anjuran mendamaikan antara kaum Muslimin, meskipun dengan cara seseorang menyerahkan sebagian dari haknya. Oleh karena itulah, Allah Azza wa Jalla memuji al-Hasan bin ‘Ali Radhiyallahu anhuma, karena dia menyerahkan jabatannya kepada Mu’âwiyah bin Abi Sufyân sebagai khalifah, sehingga kedua kelompok bersatu di bawah kepemimpinan Mu’âwiyah.[21]
Dari Ummu Kultsûm binti ‘Uqbah bin Abi Mu’aith Radhiyallahu anhuma , ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِيْ يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ فَيَنْمِي خَيْرًا أَوْ يَقُوْلُ خَيْرًا
Tidak termasuk orang berdusta seseorang yang mendamaikan antara manusia, ia menyampaikan kebaikan (dengan maksud mendamaikan) atau mengatakan kebaikan.[22]
Para Ulama berkata, “Yang dimaksud dalam hadits ini, adalah menyampaikan kebaikan-kebaikan orang yang bertikai/berselisih dan diam (menutupi) tentang kejelekan orang tersebut. Ini tidak dikatakan dusta.”
Hadits ini menunjukkan disyari’atkannya mendamaikan antara manusia dan dibolehkannya berbohong dengan tujuan mendamaikan pihak yang bertikai atau berselisih.[23]
Imam ath-Thabari rahimahullah berkata, “Sebagian Ulama berpendapat bolehnya berbohong dengan maksud mengadakan perdamaian. Mereka berkata: “Dusta yang dicela hanyalah dusta yang mendatangkan mudharat atau dusta yang tidak ada maslahatnya sama sekali.”[24]
Imam al-Bukhâri rahimahullah berkata, “Tidak termasuk orang yang berdusta; seseorang yang mendamaikan antara manusia.”[25]
4. MENOLONG DAN MEMBANTU SESAMA MUSLIM
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Engkau membantu seseorang menaikkannya ke atas hewan tunggangannya atau engkau menaikkan barang bawaannya ke atas hewan tunggangannya adalah sedekah.”
Ini termasuk sedekah yang disyari’atkan sebagai kewajiban mensyukuri nikmat diberikannya persendian. Sehingga menolong seorang Muslim untuk naik ke atas kendaraannya atau membantunya mengangkat barang bawaannya ke atas kendaraannya termasuk sedekah. Demikian pula seorang Muslim diberikan ganjaran pahala atas setiap bantuan yang dilakukannya untuk saudaranya sesama Muslim. Allah Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk saling menolong dengan firman-Nya:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa. [al-Mâidah/5:2]
Sudah diketahui bersama bahwa tolong-menolong dapat menuntaskan berbagai kesulitan dan kesusahan. Seorang manusia tidak akan mampu mengerjakan semua urusannya tanpa bantuan saudaranya. Dan saling tolong-menolong dapat menyebarkan kecintaan antara kaum Muslimin, sedangkan Allah Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk saling cinta mencintai.[26]
Di antara contoh menolong orang lain yang merupakan bentuk sedekah ialah menunaikan hak-hak seorang Muslim atas seorang Muslim lainnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ : رَدُّ السَّلاِمِ ، وَعَيَادَةُ الْـمَرِيْضِ ، وَاتِّبَاعُ الْـجَنَازَةِ ، وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ ، وَتَشْمِيْتُ الْعَاطِسِ
Hak seorang Muslim atas Muslim yang lainnya ada lima: menjawab ucapan salam, menjenguk orang yang sakit, mengiringi jenazah, memenuhi undangan, dan mendoakan orang yang bersin.
Dalam riwayat Muslim disebutkan:
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ : قِيْلَ : مَا هُنَّ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ : إِذَا لَقِيْتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ ، وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ ، وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ ، وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللهَ فَشَمِّتْهُ ، وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ ، وَإِذَا مَاتَ فَاتْبَعْهُ
Hak orang Muslim atas Muslim lainnya ada enam.” Ditanyakan, “Apa saja keenam hak tersebut, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Jika engkau bertemu dengannya maka engkau mengucapkan salam kepadanya, jika ia mengundangmu maka engkau memenuhinya, jika ia meminta nasihat kepadamu maka nasihatilah dia, jika ia bersin kemudian memuji Allah maka doakan dia (dengan ucapan: yarhamukallâh), jika ia sakit maka jenguklah, dan jika ia meninggal dunia maka antarkan (jenazah)nya.”[27]
Di antara bentuk sedekah yang lainnya ialah berjalan untuk melaksanakan hak-hak manusia yang bersifat wajib. Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu berkata, “Barangsiapa berjalan karena hak saudaranya padanya untuk menunaikannya, maka setiap langkahnya adalah sedekah.”[28]
Jenis menolong sesama Muslim lainnya yang juga termasuk sedekah ialah memberikan tempo kepada orang yang berhutang yang mengalami kesulitan pembayaran utang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا ؛ فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ صَدَقَةٌ قَبْلَ أَنْ يَـحِلَّ الدَّيْنُ ، فَإِذَا حَلَّ الدَّيْنُ ، فَأَنْظَرَهُ بَعْدَ ذٰلِكَ ؛ فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلَهُ صَدَقَةٌ
Barangsiapa memberi tempo waktu kepada orang yang berutang yang mengalami kesulitan membayar utang, maka ia mendapatkan sedekah pada setiap hari sebelum tiba waktu pembayaran. Jika waktu pembayaran telah tiba kemudian ia memberi tempo lagi setelah itu kepadanya, maka ia mendapat sedekah pada setiap hari semisalnya.[29]
5. BERTUTUR KATA YANG BAIK
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Ucapan yang baik adalah sedekah.”
Masuk dalam ucapan yang baik ialah menjawab salam dan menolak orang yang minta-minta dengan perkataan yang baik. Kemudian berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla , mengucapkan perkataan yang benar, amar ma’ruf nahi munkar, memberikan syafâ’at (pertolongan) bagi orang yang membutuhkan terhadap penguasa, nasihat dan bimbingan, dan setiap perkataan dan ucapan yang dapat membuat orang lain bergembira dan menyatukan hati di atas setiap kebaikan dan petunjuk.[30]
Allah Azza wa Jalla berfirman:
قَوْلٌ مَعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى
Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi tindakan menyakiti [al-Baqarah/2:263]
Allah Azza wa Jalla berfirman:
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
Kepada-Nya-lah akan naik perkataan-perkataan yang baik dan amal kebajikan Dia akan mengangkatnya [Fâthir/35:10]
Allah Azza wa Jalla berfirman:
مَنْ يَشْفَعْ شَفَاعَةً حَسَنَةً يَكُنْ لَهُ نَصِيبٌ مِنْهَا
Barangsiapa memberikan pertolongan dengan pertolongan yang baik, niscaya dia akan memperoleh bagian dari (pahala)nya [an-Nisâ’/4:85]
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang mengajak untuk berkata yang baik dan menjaga lisan tetap dalam al-haq, keadilan, dan kebenaran.
6. KEUTAMAAN BERJALAN MENUJU MASJID UNTUK SHALAT BERJAMA’AH
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Setiap langkah yang engkau jalankan menuju shalat adalah sedekah.”
Hadits ini menganjurkan kita pergi ke masjid-masjid Allah Azza wa Jalla untuk berkumpul dan berjama’ah, mempelajari ilmu, memberikan nasihat, dan i’tikaf.[31] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ أَوْ رَاحَ أَعَدَّ اللّٰهُ لَهُ فِي الْجَنَّةِ نُزُلاً كُلَّمَا غَدَا أَوْ رَاحَ
Barangsiapa pergi di pagi hari atau di sore hari menuju masjid, maka Allah akan menyediakan baginya sebuah tempat tinggal di surga setiap kali ia pergi di pagi hari atau di sore hari (menuju masjid).[32]
Dari Jâbir bin ‘Abdillâh Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Bani Salimah ingin pindah ke dekat masjid, sedangkan tempat tersebut kosong. Ketika hal itu sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka beliau bersabda:
يَا بَنِيْ سَلِمَةَ ! دِيَارَكُمْ تُكْتَبْ آثَارُكُمْ
Wahai Bani Salimah! Tetaplah di pemukiman kalian karena langkah-langkah kalian akan dicatat.[33]
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Maksudnya, tetaplah di pemukiman kalian! Sebab, jika kalian tetap di pemukiman kalian, maka jejak-jejak dan langkah-langkah kalian yang banyak menuju ke masjid akan dicatat.”[34]
7. MENYINGKIRKAN GANGGUAN DARI JALAN
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Dan engkau menyingkirkan gangguan dari jalan adalah sedekah.”
Menghilangkan apa saja yang mengganggu jalan kaum Muslimin, baik berupa duri, pecahan kaca, batu besar, batang pohon yang menghalangi jalan; demikian juga, najis, kotoran, sampah-sampah, dan selainnya; maka menyingkirkan semua itu termasuk sedekah dan sebagai bukti nyata rasa syukur atas nikmat Allah Azza wa Jalla serta termasuk bagian dari iman. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَْلإِيْمَـانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً ، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلٰهَ إِلاَّ اللّٰـهُ ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْـحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ اْلإِيْمَـانِ
Iman memiliki lebih dari tujuh puluh cabang atau lebih dari enam puluh cabang, cabang; yang paling tinggi adalah perkataan: ‘Lâ ilâha illallâh’, yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (rintangan) dari jalan dan malu adalah salah satu cabang Iman.[35]
8. SHALAT DHUHA MEMENUHI TUNTUTAN UNTUK BERSYUKUR ATAS KESEMPURNAAN ANGGOTA BADAN
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يُصْبِحُ عَلَـىٰ كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ : فَكُلُّ تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةٌ ، وَكُلُّ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةٌ ، وَكُلُّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقًةٌ ، وَكُلُّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةٌ ، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوْفِ صَدَقَةٌ ، وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ ، وَيُجْزِءُ مِنْ ذٰلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَـى
Pada pagi hari, setiap persendian salah seorang dari kalian wajib bersedekah; setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, menyuruh berbuat baik adalah sedekah, melarang dari yang mungkar adalah sedekah, dan itu semua cukup dengan dua raka’at shalat Dhuha yang ia kerjakan.[36]
Dua raka’at shalat Dhuha mencukupi tasbîh, tahlîl, dan lain-lain, karena shalat adalah menggunakan seluruh organ tubuh dalam ketaatan dan ibadah. Jadi, shalat Dhuha cukup sebagai tanda syukur atas kesempurnaan seluruh organ tubuh, sedang bentuk sedekah sebelumnya: tasbîh, tahlîl, dan lain-lain, sebagian besar darinya hanya menggunakan salah satu organ tubuh, oleh karenanya, sedekah tidak sempurna dengannya hingga seseorang mengerjakan sedekah sejumlah persendian badan, yaitu 360 seperti disebutkan dalam hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma .[37]
9. MENGIKHLASKAN NIAT DALAM SEMUA SEDEKAH[38]
Niat yang ikhlas hanya kepada Allah Azza wa Jalla dalam setiap amal kebaikan; dan sedekah yang disebutkan dalam hadits ini atau yang lainnya adalah syarat untuk mendapatkan pahala. Allah Azza wa Jalla berfirman:
لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia, kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barangsiapa berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar.” [an-Nisâ’/4:114]
Fawâ-id hadits:
1. Keagungan ciptaan Allah Azza wa Jalla , yaitu menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
2. Setiap hari manusia wajib bersedekah; karena setiap manusia berada di pagi hari dengan nikmat Allah Azza wa Jalla .
3. Wajib bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla atas segala nikmat-Nya dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi maksiat.
4. Matahari berputar mengelilingi bumi, karena ia terbit dari timur dan terbenam di barat, dengan itu terjadilah pergantian siang dan malam.
5. Keutamaan berlaku adil di antara dua orang, baik adil dalam memberikan keputusan maupun adil dalam mengadakan perdamaian. Dengan keadilan inilah tegaknya langit dan bumi.
6. Anjuran untuk mendamaikan antara manusia dengan adil serta bermuamalah bersama mereka dengan akhlak yang mulia.
7. Seorang Muslim dianjurkan untuk membantu saudaranya sesama Muslim; karena pertolongan kepada saudara sesama Muslim itu adalah sedekah.
8. Anjuran untuk mengucapkan perkataan-perkataan yang baik.
9. Kata sedekah dimutlakkan untuk setiap perbuatan baik.
10. Pintu-pintu kebaikan yang mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla banyak sekali; dan ini menunjukkan luasnya rahmat Allah Azza wa Jalla .
11. Hadits ini menganjurkan kita untuk mengerjakan amalan-amalan yang wajib dan yang sunnah karena ia merupakan sebab kecintaan Allah Azza wa Jalla dan didekatkan kepada-Nya.
12. Dianjurkan mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla dengan berbagai macam amal ketaatan.
13. Keutamaan berjalan menuju masjid untuk melaksanakan shalat.
14. Wajibnya shalat berjama’ah di masjid bagi laki-laki.
15. Menyingkirkan gangguan dari jalan adalah sedekah.
16. Meletakkan atau melemparkan gangguan di jalan adalah perbuatan dosa dan pelanggaran.
17. Haramnya membuat kerusakan di muka bumi.
18. Penentuan jumlah sendi-sendi manusia, yaitu 360 sendi.
MARAJI’
1. Al-Qur`ân dan terjemahnya.
2. Tafsîr Ibni Katsîr.
3. Shahîh al-Bukhâri.
4. Shahîh Muslim
5. Musnad Imam Ahmad
6. Sunan Abu Dâwud
7. Sunan at-Tirmidzi
8. Sunan an-Nasâi
9. Sunan Ibnu Mâjah
10. Shahîh Ibnu Hibbân (at-Ta’lîqâtul Hisân).
11. Sunan al-Baihaqi.
12. Syarhus Sunnah lil Baghawi.
13. Fathul Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri.
14. Syarah Shahîh Muslim lin Nawawi.
15. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqîq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhîm Bâjis.
16. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, karya Syaikh al-Albâni.
17. Qawâ’id wa Fawâ-id minal ‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nâzhim Muhammad Sulthân.
18. Al-Wâfi fî Syarhil Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.
19. Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn.
20. Bahjatun Nâzhirîn Syarh Riyâdhish Shâlihîn karya Syaikh Sâlim bin ’Ied al-Hilâly
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Shahîh: HR. Muslim (no. 1007).
[2]. Lihat Lisânul ‘Arab 7/349 dan Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/74
[3]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/74-75
[4]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/75
[5]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/75
[6]. Ibid.
[7]. Shahîh: HR. al-Bukhâri no. 6412, Ahmad 1/258, 344, at-Tirmidzi no. 2304, Ibnu Mâjah no. 4170, ad-Dârimi 2/297, al-Hâkim 4/306, Ibnul Mubârak dalam az-Zuhd no. 1, dan selainnya.
[8]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/76
[9]. Hilyatul Auliyâ’ 3/266, no. 3908
[10]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/82-83
[11]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/83-84
[12]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunya dalam Asy-Syukr no. 129 dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ 3/279-280, no. 3963
[13]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/85
[14]. Shahîh: HR. al-Bukhâri no. 1130, 4836, 6471, Muslim no. 2819, Ahmad 4/251, at-Tirmidzi no. 412, an-Nasâ-i 3/219, Ibnu Mâjah no. 1419, dan Ibnu Hibbân no. 311 dari al-Mughîrah bin Syu’bah.
[15]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/85
[16]. Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id hlm. 231
[17]. Lihat Tafsîr Ibni Katsîr 2/412
[18]. Shahîh: HR. Ahmad 6/444-445, Abu Dâwud no. 4919, at-Tirmidzi no. 2509, al-Bukhâri dalam Al-Adâbul Mufrad no. 391, Ibnu Hibbân no. 5070/ At-Ta’lîqâtul Hisân, al-Baihaqi dalam Al-Jâmi’ li Syu’abil Îmân (no. 10578), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah no. 3538, dan selainnya. Lihat Ghâyatul Marâm no. 414. Lafazh ini milik at-Tirmidzi.
[19]. Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id hlm. 232
[20]. Shahîh: HR. al-Bukhâri no. 2704
[21]. Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id hlm. 233
[22]. Shahîh: HR. al-Bukhâri no. 2692 dan Muslim no. 2605.
[23]. Lihat Fathul Bâri 5/299-300 dan Qawâ’id wa Fawâ-id hlm. 234
[24]. Fathul Bâri 5/300
[25]. Shahîh al-Bukhâri, kitab: Ash-Shulh, bab 2 dan Fathul Bâri 5/299
[26]. Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id hlm. 234
[27]. Shahîh: HR. al-Bukhâri no. 1240, Muslim no. 2162, Ahmad 2/372, 412, 540, dan Ibnu Hibbân no. 241, 242 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[28]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/90
[29]. Shahîh: HR. Ahmad 5/351, 360, Ibnu Mâjah no. 2418, dan al-Hâkim 2/29 dari Buraidah Radhiyallahu anhu
[30]. Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id hlm. 234-235
[31]. Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id hlm. 235
[32]. Shahîh: HR. al-Bukhâri no. 662 dan Muslim no. 669
[33]. Shahîh: HR. Muslim no. 665 (281)
[34]. Syarh Shahîh Muslim lin Nawawi 5/169
[35]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 9) dan Muslim (no. 35). Lafazh ini milik Muslim dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[36]. Shahîh Muslim (no. 720).
[37]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/86).
[38]. Untuk pembahasan lebih lengkap tentang sedekah, keutamaan sedekah, adab-adab sedekah, sedekah yang paling utama, siapa yang berhak menerima sedekah dan tidak, dll. Silakan baca buku penulis “Sedekah Sebagai Bukti Keimanan dan Penghapus Dosa” Penerbit Pustaka at-Taqwa-Sya’ban 1430 H/Agustus 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar