Rabu, 14 Agustus 2019

Syarah Arbain Nawawi Ke 4


4. Syarah Arbain Nawawi Ke 4
PROSES PENCIPTAAN MANUSIA DAN DITETAPKANNYA AMALAN HAMBA (1)
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قالَ: حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ: إنَّ أَحَدَكُم يُجْمَعُ خلقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ، فَوَاللهِ الَّذِيْ لاَ إِلَهَ غُيْرُهُ، إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا. (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ)
Dari Abu ‘Abdir-Rahman ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuturkan kepada kami, dan beliau adalah ash-Shadiqul Mashduq (orang yang benar lagi dibenarkan perkataannya), beliau bersabda,”Sesungguhnya seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah (bersatunya sperma dengan ovum), kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) seperti itu pula. Kemudian menjadi mudhghah (segumpal daging) seperti itu pula. Kemudian seorang Malaikat diutus kepadanya untuk meniupkan ruh di dalamnya, dan diperintahkan untuk menulis empat hal, yaitu menuliskan rizkinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagianya. Maka demi Allah yang tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Dia, sesungguhnya salah seorang dari kalian beramal dengan amalan ahli surga, sehingga jarak antara dirinya dengan surga hanya tinggal sehasta, tetapi catatan (takdir) mendahuluinya lalu ia beramal dengan amalan ahli neraka, maka dengan itu ia memasukinya. Dan sesungguhnya salah seorang dari kalian beramal dengan amalan ahli neraka, sehingga jarak antara dirinya dengan neraka hanya tinggal sehasta, tetapi catatan (takdir) mendahuluinya lalu ia beramal dengan amalan ahli surga, maka dengan itu ia memasukinya”. [Diriwayatkan oleh al Bukhari dan Muslim]
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini diriwayatkan oleh
1. Imam al Bukhari dalam Shahih-nya, pada kitab Bada-ul Khalq, Bab Dzikrul Mala-ikah (no. 3208), kitab Ahaditsul Anbiya` no. 3332. Lihat juga hadits no. 6594 dan 7454.
2. Imam Muslim dalam Shahih-nya, pada kitab al Qadar no. 2643.
3. Imam Abu Dawud no. 4708.
4. Imam at-Tirmidzi no. 2138.
5. Imam Ibnu Majah no. 76.
SYARAH (PENJELASAN) HADITS
Hadits ini mengandung beberapa pelajaran berharga, sebagai berikut:
1. Tahapan Penciptaan Manusia.
Dalam hadits ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang awal penciptaan manusia di dalam rahim seorang ibu, yang berawal dari nuthfah (bercampurnya sperma dengan ovum), ‘alaqah (segumpal darah), lalu mudhghah (segumpal daging). Allah Ta’ala berfirman:
“Hai manusia, kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur); maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepadamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampai pada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah” [al Hajj/22:5]
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tentang tahapan penciptaan manusia di dalam rahim seorang ibu. Oleh karena itu, apabila ada seseorang yang ragu tentang dibangkitkannya manusia dari kuburnya dan ragu tentang dikumpulkannya manusia di padang Mahsyar pada hari Kiamat, maka Allah memerintahkan untuk mengingat dan melihat bagaimana seorang manusia diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, Dia mengembalikan manusia (dari mati menjadi hidup kembali) lebih mudah daripada menciptakannya.
Juga firman-Nya:
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik. Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari Kiamat” [al Mu’minun/23:12-16].
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan bahwa Adam -manusia pertama-diciptakan dari saripati tanah, kemudian manusia-manusia sesudahnya diciptakan-Nya dari setetes air mani.
Adapun tahapan penciptaan manusia di dalam rahim adalah sebagai berikut:
Pertama. Allah menciptakan manusia dari setetes air mani yang hina yang menyatu dengan ovum, Allah Ta’ala berfirman:
ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهُ مِن سُلَالَةٍ مِّن مَّاءٍ مَّهِينٍ ٣٢:٨
“Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). [as-Sajdah/32:8]
أَلَمْ نَخْلُقكُّم مِّن مَّاءٍ مَّهِينٍ ٧٧:٢٠
“Bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang hina”. [al Mursalat/77:20].
خُلِقَ مِن مَّاءٍ دَافِقٍ يَخْرُجُ مِن بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ
“Dia diciptakan dari air yang terpancar (yaitu mani). Yang keluar dari tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan”. [ath-Thariq/86: 6-7].
Bersatunya air mani (sperma) dengan sel telur (ovum) di dalam rahim ini disebut dengan nuthfah.
Kedua : Kemudian setelah lewat 40 hari, dari air mani tersebut, Allah menjadikannya segumpal darah yang disebut ‘alaqah.
خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ ٩٦:٢
“Dia telah menciptakan manusia dengan segumpal darah”. [al ‘Alaq/96:2].
Ketiga : Kemudian setelah lewat 40 hari -atau 80 hari dari fase nuthfah- fase ‘alaqah beralih ke fase mudhghah, yaitu segumpal daging. Allah Ta’ala berfirman:
ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِن مُّضْغَةٍ مُّخَلَّقَةٍ
“Kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna”. [al Hajj/22:5].
ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ ۚ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ ٢٣:١٤
“Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik”. [al Mu’minun/23:14].
Keempat : Kemudian setelah lewat 40 hari -atau 120 hari dari fase nuthfah- dari segumpal daging (mudhghah) tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan daging yang bertulang, dan Dia memerintahkan malaikat untuk meniupkan ruh padanya serta mencatat empat kalimat, yaitu rizki, ajal, amal dan sengsara atau bahagia. Jadi, ditiupkannya ruh kepada janin setelah ia berumur 120 hari.
2. Peniupan Ruh.
Para ulama sepakat, bahwa ruh ditiupkan pada janin ketika janin berusia 120 hari, terhitung sejak bertemunya sel sperma dengan ovum. Artinya, peniupan tersebut ketika janin berusia empat bulan penuh, masuk bulan kelima. Pada masa inilah segala hukum mulai berlaku padanya. Karena itu, wanita yang ditinggal mati suaminya menjalani masa ‘iddah selama empat bulan sepuluh hari, untuk memastikan bahwa ia tidak hamil dari suaminya yang meninggal, agar tidak menimbulkan keraguan ketika ia menikah lagi lalu hamil.
Ruh adalah sesuatu yang membuat manusia hidup dan ini sepenuhnya urusan Allah, sebagaimana yang dinyatakan dalam firman-Nya, yang artinya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: “ruh itu termasuk urusan tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. [al Isra`/17:85]
3. Wajibnya Beriman Kepada Qadar.
Hadits ini menunjukkan, bahwa Allah Subahanhu wa Ta’ala telah mentakdirkan nasib manusia sejak di alam rahim. Pada hakikatnya, Allah telah mentakdirkan segala sesuatu sejak 50.000 tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كَتَبَ اللهُ مَقَادِيْرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ.
“Allah telah mencatat seluruh takdir makhluk lima puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi” [1].
Kemudian di alam rahim, Allah Ta’ala pun memerintahkan malaikat untuk mencatat kembali empat kalimat, yaitu rizki, ajal, amal, sengsara atau bahagia.
– Rizki.
Allah Yang Maha Pemurah telah menetapkan rizki bagi seluruh makhluk-Nya, dan setiap makhluk tidak akan mati apabila rizkinya belum sempurna. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rizkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)”.[Hud/11:6].
“Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rizkinya sendiri. Allah-lah yang memberi rizki kepadanya juga kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. [al Ankabut/29:60].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ وَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوْتَ حَتَّى تَسْتَوْفِي رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللهَ وَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ خُذُوْا مَا حَلَّ وَدَعُوْا مَا حَرُمَ.
“Wahai manusia, bertakwalah kepada Allah dan sederhanalah dalam mencari nafkah. Karena sesungguhnya seseorang tidak akan mati hingga sempurna rizkinya. Meskipun (rizki itu) bergerak lamban. Maka, bertakwalah kepada Allah dan sederhanalah dalam mencari nafkah, ambillah yang halal dan tinggalkan yang haram”.[2]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan penjelasan tentang rizki ini dengan perumpamaan yang sangat mudah dipahami, dan setiap orang hendaknya dapat mengambil pelajaran darinya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ؛ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا.
“Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Dia akan memberi kalian rizki sebagaimana Dia memberikan rizki kepada burung, yang pergi pagi dalam keadaan lapar dan pulang dalam keadaan kenyang”.[3]
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berjalan mencari maisyah (pekerjaan/usaha) untuk mendapatkan rizki. Allah Ta’ala berfirman:
“Dia-lah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. [al-Mulk/67:15].
Rizki akan mengejar manusia, seperti maut yang mengejarnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
إِنَّ الرِّزْقَ لَيَطْلُبُ الْعَبْدَ كَمَا يَطْلُبُهُ أَجَلُهُ.
“Sesungguhnya rizki akan mengejar seorang hamba seperti ajal mengejarnya”.[4]
– Ajal.
Allah Maha Kuasa untuk menghidupkan makhluk, mematikan, dan membangkitkannya kembali. Dan setiap makhluk tidak mengetahui berapa jatah umurnya, juga tidak mengetahui kapan serta dimana akan dimatikan oleh Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman:
“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”. [ali ‘Imran/3:145]
Ajal makhluk Allah sudah tercatat, tidak dapat dimajukan atau diundurkan. Allah Ta’ala berfirman:
“Tiap-tiap umat mempunyai ajal (batas waktu); maka apabila telah datang waktu (ajal)nya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun, dan tidak dapat (pula) memajukannya”. [al A’raf/7: 34].
-Amal.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mencatat amal-amal setiap makhluk-Nya, baik dan buruknya. Akan tetapi setiap makhluk Allah pasti akan beramal, amal baik atau pun amal buruk. Dan Allah dan Rasul-Nya memerintahkan para hamba-Nya untuk beramal baik.
– Celaka atau Bahagia.
Yang dimaksud “celaka” dalam hadits ini ialah, orang yang celaka dengan dimasukkannya ke neraka. Sedangkan yang dimaksud “bahagia”, yaitu orang yang sejahtera dengan dimasukkannya ke dalam surga. Hal ini telah tercatat sejak manusia berusia 120 hari dan masih di dalam rahim, yaitu apakah ia akan menjadi penghuni neraka atau ia akan menjadi penghuni surga. Akan tetapi, “celaka” dan “bahagia” seorang hamba tergantung dari amalnya selama hidupnya.
Tentang keempat hal tersebut, tidak ada seorang pun yang mengetahui hakikatnya. Oleh karenanya, tidak boleh bagi seseorang pun enggan untuk beramal shalih, dengan alasan bahwa semuanya telah ditakdirkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Memang benar, bahwa Allah telah mentakdirkan akhir kehidupan setiap hamba, namun Dia Yang Maha Bijaksana juga menjelaskan jalan-jalan untuk mencapai kebahagiaan. Sebagaimana Allah Yang Maha Pemurah telah mentakdirkan rizki bagi setiap hamba-Nya, namun Dia juga memerintahkan hamba-Nya keluar untuk mencarinya.
Apabila ada yang bertanya, untuk apalagi kita beramal jika semuanya telah tercatat (ditakdirkan)?
Maka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan hal ini ketika menjawab pertanyaan Sahabat Suraqah bin Malik bin Ju’syum Radhiyallahu ‘anhu. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اِعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ، أَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ السَّعَادَةِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ وَأَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الشَّقَاءِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ.
“Beramallah kalian, karena semuanya telah dimudahkan oleh Allah menurut apa yang Allah ciptakan atasnya. Adapun orang yang termasuk golongan orang-orang yang berbahagia, maka ia dimudahkan untuk beramal dengan amalan orang-orang yang berbahagia. Dan adapun orang yang termasuk golongan orang-orang yang celaka, maka ia dimudahkan untuk beramal dengan amalan orang-orang yang celaka”.[5]
Orang yang beramal baik, maka Allah akan memudahkan baginya untuk menuju surga. Begitu pun orang yang beramal keburukan, maka Allah akan memudahkan baginya untuk menuju neraka. Hal ini menunjukkan tentang kesempurnaan ilmu Allah, juga sempurnanya kekuasaan, qudrah dan iradah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Meskipun setiap manusia telah ditentukan menjadi penghuni surga atau menjadi penghuni neraka, namun setiap manusia tidak dapat bergantung kepada ketetapan ini, karena setiap manusia tidak ada yang mengetahui apa-apa yang dicatat di Lauhul Mahfuzh. Kewajiban setiap manusia adalah berusaha dan beramal kebaikan, serta banyak memohon kepada Allah agar dimasukkan ke surga.
Meskipun setiap manusia telah ditakdirkan oleh Allah Ta’ala demikian, akan tetapi Allah tidak berbuat zhalim terhadap hamba-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
مَّنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا ۗ وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ ٤١:٤٦
“Barangsiapa yang mengerjakan amal yang shalih, maka (pahala-nya) untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang berbuat jahat, maka (dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hamba(Nya)”. [Fushshilat/41:46].
Setiap manusia diberi oleh Allah berupa keinginan, kehendak, dan kemampuan. Manusia tidak majbur (dipaksa oleh Allah). Allah Ta’ala berfirman:
لِمَن شَاءَ مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ ٨١:٢٨
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ ٨١:٢٩
“(Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam”. [at-Takwir/:28-29].
Orang yang ditakdirkan oleh Allah untuk menuju surga, maka dia pun akan dimudahkan oleh Allah untuk melakukan amalan-amalan shalih. Begitu juga orang yang ditakdirkan oleh Allah untuk menuju neraka, maka dia pun dimudahkan oleh Allah untuk melakukan amalan-amalan kejahatan.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XI/1428H/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. HR Muslim no. 2653 (16) dan at-Tirmidzi no. 2156, Ahmad (II/169), Abu Dawud ath-Thayalisi no. 557, dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash Radhiyallahu ‘anhuma. Lafazh ini milik Muslim.
[2]. HR Ibnu Majah no. 2144, Ibnu Hibban no. 1084, 1085-Mawarid, al Hakim (II/4), dan Baihaqi (V/264), dari Sahabat Jabir Radhiyallahu ‘anhuma. Dishahihkan oleh al Hakim dan disetujui oleh adz-Dzahabi. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Silsilah al Ahadits ash-Shahihah no. 2607.
[3]. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/30 dan 52), at-Tirmidzi no.2344, Ibnu Majah no. 4164, Ibnu Hibban no. 730, Ibnul Mubarak di dalam kitab az-Zuhd no. 559, al-Hakim (IV/318), al Baghawi dalam Syarhus-Sunnah no. 4108, Abu Nu’aim dalam kitab al Hilyah (X/69), dan lain-lainnya. Dari Sahabat ‘Umar bin al Khaththab. At-Tirmidzi berkata,”Hasan shahih.” Al Hakim juga menilai hadits ini shahih, dan disetujui oleh adz-Dzahabi.
[4]. HR Ibnu Hibban (1087-Mawarid) dan lainnya, dari Sahabat Abud-Darda’. Hadits ini memiliki penguat dari Sahabat Jabir yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliya`. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al Albani dalam Silsilah al-Ahadiits ash-Shahihah no. 952.
[5]. HR al Bukhari no. 4949 dan Muslim no. 2647.
***
PROSES PENCIPTAAN MANUSIA DAN DITETAPKANNYA AMALAN HAMBA (2)
4. Yang Menjadi Penentu Adalah Amal Seseorang di Akhir Kehidupannya.
Selanjutnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan dua keadaan manusia di akhir hayatnya.
Pertama, ada seseorang yang beramal dengan amalan ahli surga, akan tetapi di akhir hayatnya justru ia beramal dengan amalan ahli neraka, yang dengan itu ia pun masuk neraka.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ فِيْمَا يَرَى النَّاسُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ وَإِنَّهُ لَمِنْ أَهْلِ النَّارِ، وَيَعْمَلُ فِيْمَا يَرَى النَّاسُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ، وَإِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِخَوَاتِيْمِهَا.
Sesungguhnya ada seorang hamba yang beramal dengan amalan ahli Surga menurut apa yang tampak di hadapan manusia, (namun) sebenarnya dia adalah penghuni Neraka, ada seorang hamba beramal dengan amalan ahli Neraka menurut apa yang tampak di hadapan manusia, (namun) sebenarnya dia adalah penghuni Surga. Sesungguhnya amal-amal itu tergantung daripada akhirnya.[6]
Maksudnya, seseorang yang beramal dengan amalan ahli surga dalam pandangan manusia. Hal ini ada beberapa keadaan.
– Dalam pandangan manusia, kaum munafik pun beramal dengan amalan ahli surga, seperti shalat, zakat, shadaqah dan lainnya, akan tetapi hatinya benci terhadap Islam, maka di akhir hayatnya dia akan beramal dengan amalan ahli neraka, yang dengan amalnya itu ia akan masuk neraka.
– Orang yang beramal dengan amalan ahli surga, akan tetapi ia riya’ (ingin dilihat dan dipuji oleh manusia), yang karenanya Allah menghapuskan ganjaran amalannya.
– Orang yang pada masa hidupnya beramal dengan amalan ahli surga, akan tetapi di akhir hayatnya ia tergoda, sehingga ia pun beramal dengan amalan ahli neraka, yang dengan itu ia masuk neraka.
– Orang yang beramal dengan amalan ahli surga, akan tetapi di akhir hayatnya ia tidak sanggup menghadapi ujian.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (no. 112 (179)) dan lainnya, bahwasanya ada seorang sahabat yang berperang di jalan Allah dengan gagah berani dan banyak membunuh orang-orang kafir, hingga para sahabat lainnya yang melihatnya berkata,”Pada hari ini, tidak ada seorang pun dari kami yang mendapatkan pahala sebagaimana ganjaran orang itu,” akan tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَمَا إِنَّهُ مِنْ أَهْلِ النَّارِ.
(Akan tetapi, sesungguhnya ia termasuk penghuni neraka). Kemudian seorang sahabat yang selalu menyertainya mengabarkan, bahwa orang tersebut bunuh diri karena tidak bersabar atas luka yang dideritanya.
– Orang yang beramal dengan amalan ahli surga, akan tetapi di akhir hayatnya ia mengucapkan kata-kata kufur, yang dengan itu ia masuk neraka.
Kedua. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan keadaan kedua, yaitu orang yang beramal dengan amalan ahli neraka, akan tetapi di akhir hayatnya ia beramal dengan amalan ahli surga, yaitu bertaubat kepada Allah, yang dengan itu ia pun masuk surga.
Dalam hal ini ada beberapa contoh.
– Seseorang yang selama hidupnya berada dalam kekafiran, akan tetapi sesaat di akhir hayatnya ia bertaubat dan masuk Islam, yang dengan itu Allah menghapuskan semua dosanya dan memasukkanya ke dalam surga. Hal ini termasuk indahnya Islam, bahwasanya orang kafir yang telah melakukan berbagai perbuatan dosa lalu ia masuk Islam, maka seluruh dosanya dihapuskan oleh Allah.
Hal ini sebagaimana kisah ‘Amr bin ‘Ash, yang pada masa kafirnya banyak melakukan kejahatan, kezhaliman dan sangat membenci Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga ia berkata,
وَلاَ أَحَبَّ إِلَيَّ أَنْ أَكُوْنَ قَدِ اسْتَمْكَنْتُ مِنْهُ فَقَتَلْتُهُ.
[Tidak ada yang lebih aku sukai melainkan aku dapat menjumpainya (yakni Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) lalu aku membunuhnya], akan tetapi, ketika Allah memberikan hidayah Islam ke dalam hatinya, ‘Amr pun segera menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seraya menjulurkan tangannya untuk membai’at beliau. Rasul pun menjulurkan tangannya. Namun, ‘Amr menarik tangannya kembali. Seketika, maka ditanyakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Ada apa denganmu, wahai ‘Amr?”
“Aku mengajukan syarat,” jawab ‘Amr.
Rasul bertanya,”Apa syaratmu?”
‘Amr menjawab,”Asalkan dosaku diampunkan,” maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda:
أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ اْلإِسْلاَمَ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ، وَأَنَّ الْهِجْرَةَ تَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهَا، وَأَنَّ الْحَجَّ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ.
“Tidakkah engkau ketahui, bahwasanya Islam menghapuskan (dosa) sebelumnya? Sesungguhnya, hijrah (dari Mekkah ke Madinah) menghapuskan (dosa) sebelumnya, dan sesungguhnya haji menghapuskan (dosa) sebelumnya”
Setelah itu berubahlah karakter ‘Amr bin ‘Ash Radhiyallahu ‘anhu, sehingga ia berkata:
وَمَا كَانَ أَحَدٌ أَحَبَّ إِلَيَّ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“Tidak ada seorang pun yang lebih aku cintai selain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam” [7].
– Orang yang berbuat banyak dosa lalu ia bertaubat.
Sebagaimana kisah seseorang yang telah membunuh 99 jiwa, lalu ia mendatangi seorang rahib untuk menanyakan, apakah masih ada pintu taubat baginya? Namun rahib itu menjawab, bahwa tidak ada pintu taubat baginya, maka dibunuhlah rahib itu, sehingga genap 100 jiwa yang telah dibunuhnya.
Kemudian, ia mendatangi seorang ulama untuk menanyakan hal yang sama. Ulama tersebut menjawab, bahwa masih ada pintu taubat baginya, dengan syarat ia harus meninggalkan kampung asalnya yang penuh kejahatan, dan menuju suatu daerah yang di sana banyak orang rajin beribadah.
Maka berangkatlah orang tersebut menuju daerah yang ditunjukkan ulama tadi. Namun, di tengah perjalanan, kematian terlebih dahulu menjemput nyawanya. Lalu Malaikat Rahmat dan Malaikat Adzab berebut untuk membawa nyawa orang tersebut, hingga datanglah malaikat berwujud manusia yang memberikan solusi dengan cara mengukur jalan yang telah ditempuhnya. Ternyata jarak ke arah daerah yang ditujunya lebih dekat sehasta. Maka, dibawalah nyawanya oleh Malaikat Rahmat.[8]
Allah Ta’ala telah mengampuni seluruh dosanya dan memasukkannya ke dalam urga, padahal ia belum melakukan amal kebaikan apapun selain perjalanannya tersebut. Sungguh, rahmat dan ampunan Allah sangatlah luas.
– Seseorang yang baru masuk Islam lalu meninggal ketika berjihad di jalan Allah.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al Bukhari dan lainnya, bahwa ada seseorang yang melihat kaum Muslimin berperang, lalu ia pun ingin ikut berperang. Maka disiapkanlah baju besi, kemudian ia mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata,”Wahai Rasulullah, apakah aku masuk Islam terlebih dahulu, ataukah aku berperang?” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhnya masuk Islam terlebih dahulu. Setelah mengucapkan syahadat, ia pun berperang sehingga ia tewas terbunuh. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَمِلَ قَلِيْلاً وَأُجِرَ كَثِيْرًا.
“Dia beramal sedikit, namun diganjar yang besar (surga)”.[9]
Ketahuilah-semoga Allah merahmati kita semua- hadits ini menunjukkan, bahwa amal tergantung pada akhirnya. Oleh karena itu, kita tidak boleh tertipu dengan amal-amal yang telah kita kerjakan. Kita tidak boleh berkeyakinan, bahwa banyaknya amal yang telah dilakukan menjamin kita akan masuk surga. Akan tetapi, yang harus dilakukan adalah, agar kita senantiasa memohon kepada Allah, sehingga memasukkan diri kita ke dalam surga dan dijauhkan dari api neraka, serta memohon agar amal-amal kita diterima oleh-Nya. Hendaknya seorang muslim berada dalam dua keadaan, yaitu khauf (takut) dan raja’ (harap). Sebagaimana tidak boleh pula memastikan bahwa seseorang tidak akan mendapat petunjuk, atau mengatakan bahwa seseorang tidak akan diampunkan oleh Allah Ta’ala.
Imam Ahmad meriwayatkan, ada seseorang yang mengatakan kepada seorang pendosa: “Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu atau Allah tidak akan memasukkanmu ke surga,” maka Allah mengutus Malaikat untuk mencabut arwah keduanya, lalu Allah berkata kepada pendosa itu: “Pergi dan masuklah ke surga dengan rahmat-Ku,” lalu Dia berkata kepada seorang lagi,
أَكُنْتَ بِي عَالِمًا أَكُنْتَ عَلَى مَا فِي يَدِي خَازِنًا اذْهَبُوا بِهِ إِلَى النَّارِ.
“Apakah engkau lebih mengetahui daripada Aku? Apakah engkau mengetahui perbendaharaan yang ada di tangan-Ku? Lalu Allah berkata, “Bawalah ia ke neraka.”
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَوَالَّذِي نَفْسِ أَبِي الْقَاسِمِ بِيَدِهِ لَتَكَلَّمَ بِالْكَلِمَةِ أَوْبَقَتْ دُنْيَاهُ وَآخِرَتَهُ.
“Demi Rabb, yang jiwa Abul Qasim berada di tangan-Nya, sungguh ia telah mengucapkan satu kalimat yang menghancurkan dunia dan akhiratnya”.[10]
Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditegur langsung oleh Allah Ta’ala dikarenakan beliau mendo’akan keburukan dalam qunut nazilah bagi Shafwan bin Umayyah, Suhail bin ‘Amr, dan al Harits bin Hisyam ketika perang Uhud. Allah Ta’ala berfirman:
لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ ٣:١٢٨
“Tidak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengadzab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zhalim”. [ali ‘Imran/3:128].
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri juga tidak mengetahui tentang akhir hayat seseorang. Bahkan, ketiga orang yang beliau do’akan dengan keburukan karena permusuhan mereka terhadap Islam, pada akhirnya mereka bertaubat dan masuk Islam di akhir hayatnya, yaitu pada saat Fat-hul Makkah.
FAWA-ID (FAIDAH-FAIDAH) HADITS
1. Dianjurkan berdo’a agar ditetapkan dalam agama. Sebagaimana do’a yang sering dibaca oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ.
“Wahai Rabb yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agama-Mu”. [11]
2. Dianjurkannya untuk selalu berlindung kepada Allah dari su-ul khatimah (akhir kehidupan yang jelek).
3. Wajib bagi seorang hamba agar tidak tertipu dengan amal kebaikannya. Bahkan, wajib baginya untuk selalu berada antara khauf (takut) dan raja’ (harap).
4. Sesungguhnya amal-amal sebagai sebab seseorang masuk ke dalam surga atau neraka.
5. Wajibnya bersyukur terhadap seluruh nikmat Allah yang agung dan besar. Seperti nikmat diciptakannya manusia sebagai sebaik-baik makhluk oleh Allah. Dan Allah Ta’ala menciptakan makhluk-Nya sesuai dengan kehendak-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
هُوَ الَّذِي يُصَوِّرُكُمْ فِي الْأَرْحَامِ كَيْفَ يَشَاءُ ۚ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ ٣:٦
“Dia-lah yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana dikehendaki-Nya. Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. [ali ‘Imran/3:6].
6. Sesungguhnya sengsara dan bahagianya seorang hamba tidak ada yang mengetahuinya kecuali hanya Allah Azza wa Jalla.
7. Bersumpah atas berita yang benar (berfungsi) untuk menguatkan keyakinan orang yang mendengarnya. Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersumpah dengan mengucapkan:
فَوَاللهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ…
“Maka demi Allah yang tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Dia”.
8. Dianjurkannya merasa tenang dengan rizki yang telah Allah karuniakan, dan merasa puas atas rizki dengan diiringi usaha yang benar.
Walaupun Allah telah menetapkan rizki bagi kita, akan tetapi kita tetap wajib berusaha untuk mencarinya. Hal ini menjadi sebab untuk mendapatkan rizki. Kemudian, sekecil apapun rizki yang kita dapatkan, maka harus disyukuri. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ.
“Sungguh berbahagia orang yang masuk Islam, diberikan rizki yang cukup, dan qana’ah (merasa puas) dengan apa yang Allah berikan”. [12]
Apabila timbul godaan setan yang membuat kita tidak puas terhadap rizki yang telah kita dapatkan, maka kita harus melihat yang ada di bawah kita, yaitu keadaan yang lebih buruk.
9. Kehidupan itu di tangan Allah. Seorang hamba tidak akan mati sehingga telah sempurna rizki dan umurnya.
10. Amal-amal, yang baik maupun yang buruk, hanya sebagai tanda, bukan suatu kepastian. Maksudnya, amal-amal kebaikan seseorang tidak dapat memastikan bahwa orang tersebut sebagai ahli surga. Sebagaimana amal-amal keburukan juga tidak dapat memastikan seseorang sebagai ahli neraka.
11. Hikmah diciptakannya manusia dalam beberapa fase merupakan bentuk kasih-sayang Allah kepada seorang ibu.
12. Dalam hadits ini terdapat pernyataan bahwa dibangkitkannya manusia adalah haq (benar). Allah telah menciptakan manusia dari setetes air mani yang hina, dan Allah Maha Kuasa untuk mematikan dan membangkitkannya kembali.
13. Beberapa permasalahan tentang janin.
Pertama: Bagaimana hukum aborsi (menggugurkan kandungan) sesudah berusia 120 hari (sesudah ditiupkannya ruh) atau sebelumnya?
Para ulama sepakat, bahwa menggugurkan kandungan yang telah berusia 120 hari adalah perbuatan haram, termasuk pembunuhan, dan berdosa besar. Jadi, para ulama sepakat bahwa aborsi setelah ruh ditiupkan ke dalam janin adalah haram. Bahkan mereka menganggap, aborsi merupakan tindak pidana yang tidak boleh dilakukan seorang muslim. Aborsi merupakan kejahatan terhadap manusia dalam bentuknya yang utuh. Karenanya, jika dalam melakukan aborsi, janin keluar dalam keadaan hidup dan kemudian mati, maka dikenakan diyat (denda yang sudah ditentukan ukurannya). Jika keluar dalam keadaan mati, maka dendanya lebih ringan.
Hukum ini juga berlaku untuk aborsi sebelum masa peniupan ruh. Setidaknya ini adalah pendapat hampir seluruh ulama. Karena penciptaan manusia pada dasarnya dimulai sejak sperma membuahi sel telur (ovum) sebagaimana yang diisyaratkan oleh hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِذَا مَرَّ بِالنُّطْفَةِ اِثْنَتَانِ وَأَرْبَعُوْنَ لَيْلَةً، بَعَثَ اللهُ إِلَيْهَا مَلَكًا فَصَوَّرَهَا، وَخَلَقَ سَمْعَهَا وَبَصَرَهَا، وَجِلْدَهَا، وَلَحْمَهَا، وَعِظَمَهَا….
“Ketika nuthfah sudah berusia empat puluh dua hari, maka Allah mengutus Malaikat untuk membentuknya, menciptakan telinga, mata, kulit, daging dan tulangnya…” [13]
Ada ulama yang berpendapat bolehnya menggugurkan kandungan sebelum berusia 120 hari. Sebagian mengatakan boleh dan sebagian mengatakan haram. Namun pendapat yang rajih (benar) adalah haram. Ada ulama yang mengqiyaskannya dengan azl [14], yang walaupun dibolehkan, tetapi disebut oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
ذَلِكَ الْوَأْدُ الْخَفِيُّ.
“Itu adalah pembunuhan yang tersembunyi”. [15]
Pada hakikatnya ‘azl tidak sama dengan aborsi atau mengubur bayi hidup-hidup. Karena aborsi merupakan kejahatan terhadap sesuatu yang sudah ada.
Kehidupan itu sendiri mempunyai beberapa tahapan. Tahapan pertama, bertemunya sel sperma dengan ovum dalam rahim. Oleh karena itu, merusak sel sperma dengan ovum merupakan kejahatan. Jika telah berubah menjadi segumpal darah, maka tingkat kejahatannya bertambah berat. Apabila sudah menjadi segumpal daging dan telah ditiupkan ruh, maka kejahatan itu semakin bertambah berat. Kemudian kejahatan yang paling berat, yaitu ketika janin tersebut telah lahir menjadi bayi yang bernyawa. Syaikh al ‘Utsaimin menjelaskan haramnya aborsi (menggugurkan kandungan), meskipun janin belum ditiupkan ruh.
Kedua: Bagaimana hukum menggugurkan kandungan karena adanya kemudharatan, setelah berusia 120 hari atau sebelumnya?
Para ulama sepakat, menggugurkan kandungan yang telah berusia 120 hari adalah perbuatan haram, termasuk pembunuhan, dan berdosa besar walaupun kondisi ibu atau kondisi janin dinyatakan sakit. Namun apabila usia kandungan belum berusia 120 hari dan kondisi ibu atau kondisi janin dinyatakan sakit oleh dokter, maka para ulama membolehkannya karena keadaannya darurat.
Ketiga: Bagaimana jika seorang ibu keguguran, apakah ia tergolong nifas ataukah tidak?
Apabila usia kandungan lebih dari 120 hari lalu si ibu keguguran, maka berlaku hukum nifas baginya, yaitu tidak boleh shalat, puasa, bercampur dengan suaminya, dan lainnya. Apabila usia kandungan kurang dari 120 hari (sebelum ditiupkannya ruh), maka perlu dilihat janinnya, apakah sudah berbentuk ataukah masih berbentuk gumpalan darah (daging).
Apabila janin sudah terbentuk, maka berlaku hukum nifas baginya. Dan apabila belum berbentuk, maka darahnya bukan darah nifas, namun disebut darah rusak. Dia harus mandi, wajib shalat dan boleh bercampur dengan suaminya.
Keempat: Bagaimana hukum janin yang gugur setelah berusia 120 hari (telah ditiupkan ruh), apakah ia dishalatkan ataukah tidak?
Para ulama menjelaskan, janin tersebut tetap dishalatkan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَالسِّقْطُ يُصَلَّى عَلَيْهِ وَيُدْعَى لِوَالِدَيْهِ بِالْمَغْفِرَةِ وَالرَّحْمَةِ.
“(Bayi yang lahir dalam keadaan gugur, maka dishalatkan dan dido’akan bagi kedua orang tuanya dengan ampunan dan rahmat)[17], dan hukum menshalatnya adalah sunnah, tidak wajib.
Kelima: Bagaimana hukumnya anak yang sempat terlahir namun meninggal, apakah ia juga berhak mendapat warisan?
Para ulama menjelaskan, apabila si bayi sempat menangis, maka ia berhak mendapatkan warisan. Namun jika tidak menangis, maka ia tidak mendapat warisan. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لاَ يَرِثُ الصَّبِيُّ حَتَّى يَسْتَهِلَّ صَارِخًا، وَاسْتِهْلاَلُهُ أَنْ يَصِيْحَ أَوْ يَعْطِشَ أَوْ يَبْكِيَ.
“Seorang anak tidak dapat menerima warisan hingga ia lahir menjerit, dan (tanda) kelahirannya adalah apabila ia menjerit, bersin atau menangis”.[18]
Wallahu a’lam bish-shawab.
Maraji` :
1. Shahih al Bukhari.
2. Shahih Muslim.
3. Sunan Abu Dawud.
4. Sunan at-Tirmidzi.
5. Sunan an-Nasa-i.
6. Sunan Ibnu Majah.
7. Musnad Ahmad bin Hanbal.
8. Az-Zuhd, ‘Abdullah Ibnul Mubarak.
9. Shahih Ibnu Khuzaimah.
10. Shahih Ibnu Hibban.
11. Mawariduzh-Zham’an ila Zawa-id Ibnu Hibban, al Hafizh Nuruddin bin Abi Bakr al Haitsami.
12. Syarhus-Sunnah, Imam al Baghawi.
13. Al Mustadrak, Imam al Hakim.
14. Hilyatul-Auliya`, Abu Nu’aim.
15. Mu’jamul-Kabir dan al Ausath, Imam ath-Thabrani.
16. Syarah Shahih Muslim, Imam an-Nawawi.
17. Fat-hul Bari Syarah Shahih al Bukhari, al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani.
18. Jami’ul-‘Ulum wal-Hikam, al Hafizh Zainuddin Abul Faraj ‘Abdur-Rahman bin Syihabuddin al Baghdadi ad-Dimasyqi yang terkenal dengan Ibnu Rajab (wafat th. 755 H), tahqiq Syu’aib al Arnauth dan Ibrahim Bajis, Cet. VIII, Th. 1419H, Muassasah ar-Risalah.
19. Silsilah al Ahadits ash-Shahihah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani.
20. Shahih al Jami’ish-Shaghir, Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani.
21. Shahih at-Tirmidzi, Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani.
22. Qawa-id wa Fawa-id minal Arba’in an-Nawawiyyah, Nazhim Muhammad Sulthan, Cet. I, Th. 1408H, ad Daar as-Salafiyyah.
23. Al Waafi fi Syarhil-Arba’in an-Nawawiyah, Dr. Musthofa al Bughah dan Muhyidin Mosto, Cet. VIII, Th. 1413H, Maktabah Darut-Turats.
24. Syarah Arba’in an-Nawawiyyah, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, Cet. III, Th. 1425H, Daar ats-Tsurayya, di bawah pengawasan Mu-assasah Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin al Khairiyyah.
25. Dan kitab-kitab lainnya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XI/1428H/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[6]. HR al Bukhari no. 6493, 6607; Muslim no. 112 dan Ahmad (V/332).
[7]. Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim no. 121 (192).
[8]. Hadits ini diriwayatkan oleh al Bukhari no. 3470 dan Muslim no. 2766.
[9]. Diriwayatkan oleh al Bukhari no. 2808 dan Muslim no. 1900.
[10]. Diriwayatkan oleh Ahmad (II/323) dengan sanad hasan.
[11]. HR at-Tirmidzi no. 3522, Ahmad (VI/302, 315) dari Sahabat Ummu Salamah dan al Hakim (I/525) dari Sahabat an-Nawwas bin Sam’an, dishahihkan dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Lihat juga Shahih at-Tirmidzi (III/171 no. 2792). Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha berkata: “Doa itu merupakan doa Nabi yang paling banyak (dibaca)”.
[12]. Diriwayatkan oleh Muslim no. 1054 (125), Ahmad (II/168), al-Hakim (IV/123) dan lainnya, dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu ‘anhu.
[13]. Diriwayatkan oleh Muslim no. 2645, ath-Thabrani dalam Mu’jamul-Kabir no. 3044, dari Sahabat Hudzaifah bin Asid Radhiyallahu ‘anhu.
[14]. ‘Azl adalah coitus interuptus. Maksudnya menumpahkan air mani di luar rahim isteri ketika bersetubuh.
[15]. Diriwayatkan oleh Muslim no. 1442 (141).
[16]. Misalnya adanya gangguan kesehatan yang membahayakan si ibu atau janin tersebut berdasarkan pemeriksaan beberapa dokter yang muslim atau muslimah, amanah dan ahli di bidangnya.
[17]. Diriwayatkan oleh Ahmad (IV/248), Abu Dawud no. 3180, dan yang lainnya.
[18]. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 2761 dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul-Ausath no. 4596. Hadits ini shahih. Lihat penjelasan Syaikh al Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah di juz pertama halaman 284.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar