Rabu, 14 Agustus 2019

Syarah Hadits Arbain Nawawi 28 bag 2


28 (2). SYARAH HADITS ARBAIN KE 28
WASIAT PERPISAHAN (2)
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
JAUHILAH PERBUATAN BID’AH !
Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَإِيّـَاكُمْ وَمُـحْدَثَاتِ اْلأُمُـوْرِ فَـإِنَّ كُـلَّ مُـحْدَثَةٍ بِدْعَـةٌ
Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru (dalam agama), karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid‘ah
Yang dimaksud di sini adalah perkara-perkara baru yang diada-adakan dalam urusan agama, bukan dalam urusan dunia. Sebab, perkara-perkara baru yang diada-adakan dalam urusan dunia ada yang bermanfaat dan itu merupakan kebaikan dan ada pula yang berbahaya dan itu merupakan keburukan. Sedangkan perkara-perkara baru yang diada-adakan dalam agama adalah buruk. Allah Azza wa Jalla berfirman
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلٰمَ دِينًا  ۚ 
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” [al-Mâ`idah/5:3]
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا بَـقِيَ شَيْءٌ يُـقَرِّبُ مِنَ الْجَـنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
Tidak tertinggal sesuatu pun yang mendekatkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka, kecuali telah dijelaskan semuanya kepada kalian.[27]
Dalam hadits di atas disebutkan, “Setiap perkara yang baru adalah bid’ah” maka apakah yang dimaksud dengan bid’ah?
DEFINISI BID’AH
Imam asy-Syâthibi rahimahullah (wafat th. 790 H) mengatakan,[28]
اَلْبِدْعَةُ: طَرِيْقَةٌ فِـي الدِّيْنِ مُـخْتَرَعَةٌ ، تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا الْـمُبَالَغَةُ فِـي التَّعَبُّدِ لِلّٰـهِ سُبْحَانَهُ
Bid’ah adalah cara baru dalam agama yang dibuat menyerupai syari’at dengan maksud untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Azza wa Jalla .
Artinya, bid’ah adalah cara baru yang dibuat tanpa ada contoh dari syari’at. Sebab, bid’ah adalah sesuatu yang keluar dari apa yang telah ditetapkan dalam syari’at.
Ungkapan “menyerupai syari’at” sebagai penegasan bahwa sesuatu yang diada-adakan dalam agama itu pada hakekatnya tidak ada dalam syari’at, bahkan bertentangan dengan syari’at dari beberapa sisi, seperti mengharuskan cara dan bentuk tertentu yang tidak ada dalam syari’at. Juga mengharuskan ibadah-ibadah tertentu yang dalam syari’at tidak ada ketentuannya.
Ungkapan “untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Azza wa Jalla ”, adalah pelengkap makna bid’ah. Sebab, demikian itulah tujuan para pelaku bid’ah, yaitu menganjurkan untuk tekun beribadah, karena manusia diciptakan Allah Azza wa Jalla hanya untuk beribadah kepada-Nya sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” [adz-Dzâriyât/51:56]
Seakan-akan orang yang membuat bid’ah melihat bahwa maksud dalam membuat bid’ah adalah untuk beribadah sebagaimana maksud ayat tersebut. Dia merasa bahwa apa yang telah ditetapkan dalam syari’at tentang undang-undang dan hukum-hukum belum mencukupi sehingga dia berlebih-lebihan dan menambahkan serta mengulang-ulanginya.[29]
Imam al-Hâfizh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah (wafat th. 795 H) mengatakan, “Yang dimaksud dengan bid’ah adalah apa yang tidak memiliki dasar hukum dalam ajaran syari’at yang menunjukkan keabsahannya. Adapun yang memiliki dasar dalam syari’at yang menunjukkan kebenarannya, maka secara syari’at tidaklah dikatakan sebagai bid’ah, meskipun secara bahasa dikatakan bid’ah. Maka setiap orang yang membuat-buat sesuatu lalu menisbatkannya kepada ajaran agama, namun tidak memiliki landasan dari ajaran agama yang bisa dijadikan sandaran, berarti itu adalah kesesatan. Ajaran Islam tidak ada hubungannya dengan bid’ah semacam itu. Tak ada bedanya antara perkara yang berkaitan dengan keyakinan, amalan ataupun ucapan, lahir maupun bathin.
Terdapat beberapa riwayat dari sebagian Ulama Salaf yang menganggap baik sebagian perbuatan bid’ah, padahal yang dimaksud tidak lain adalah bid’ah secara bahasa, bukan menurut syari’at.
Contohnya adalah ucapan ‘Umar bin al-Khaththâb Radhiyallahu anhu ketika beliau mengumpulkan kaum Muslimin untuk melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan (shalat Tarawih) dengan mengikuti satu imam di masjid. Ketika beliau Radhiyallahu anhu keluar, dan melihat mereka shalat berjamaah. Maka, beliau Radhiyallahu anhu berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah yang semacam ini.”[30]
Tidak diragukan lagi bahwa setiap bid’ah dalam agama adalah sesat dan haram, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
وإياكم ومحدثات الأمور، فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
“Jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru. Karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.”[31]
Juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya,
مَنْ أَحْدَثَ فِـيْ أَمْرِنَا هٰذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini, sesuatu yang bukan bagian darinya, maka ia tertolak.[32]
Kedua hadits di atas menunjukkan bahwa perkara baru yang dibuat-buat dalam agama ini adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat dan tertolak. Bid’ah dalam agama itu diharamkan. Namun tingkat keharamannya berbeda-beda tergantung jenis bid’ah itu sendiri.
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak didasari atas perintah kami maka amalannya tertolak.[33]
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang mengatakan amalan bid’ah itu tertolak karena tidak terpenuhinya salah satu syarat dari dua syarat diterimanya ibadah, yaitu mutâba’ah (mengikuti contoh Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ). Syarat diterimanya ibadah ada dua: Pertama, niat ikhlas karena Allah Azza wa Jalla dan kedua, sesuai dengan Sunnah; yakni sesuai dengan Kitab-Nya atau yang dijelaskan Rasul-Nya dan Sunnahnya, jika salah satunya tidak dipenuhi, maka amalnya tersebut tidak bernilai shalih dan tertolak, hal ini ditunjukkan dalam firman-Nya
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صٰلِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah dia mengerjakan amal shalih dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabb-nya. [al-Kahfi/18:110]
Dalam ayat ini, Allah Azza wa Jalla memerintahkan agar menjadikan amal itu bernilai shalih, yaitu sesuai dengan Sunnah Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kemudian memerintahkan agar orang yang mengerjakan amal shalih itu mengikhlaskan niatnya karena Allah Azza wa Jalla semata, tidak menghendaki selain-Nya.[34]
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata dalam tafsirnya [35] , “Inilah dua landasan amalan yang diterima: Pertama, ikhlas karena Allah Azza wa Jalla dan Kedua, sesuai dengan Sunnah Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”
Menjelaskan tentang bahaya bid’ah dan ahlul bid’ah kepada umat tidaklah termasuk memecah belah persatuan kaum Muslimin, bahkan menjelaskan bahaya bid’ah dan membantah ahlul bid’ah termasuk dalam kategori jihad. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Orang yang membantah ahlul bid’ah adalah mujahid, sampai Yahya bin Yahya berkata, ‘Membela Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih utama daripada jihad (fî sabîlillâh).’”[36]
SETIAP BID’AH ADALAH SESAT
Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Dan setiap bid’ah adalah sesat
Sabda beliau di atas termasuk dari jawami’ul kalim beliau di mana tidak ada sesuatu pun yang keluar darinya, dan merupakan kaidah agung dalam prinsip-prinsip agama. Sabda beliau tersebut mirip dengan sabda beliau,
مَنْ أَحْدَثَ فِـيْ أَمْرِنَا هٰذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini, sesuatu yang bukan bagian darinya, maka ia tertolak.[37]
Jadi, siapa saja yang mengada-ada perkara-perkara baru dan menisbatkannya kepada agama padahal tidak memiliki landasan hukum di agama, maka itu merupakan kesesatan dan agama berlepas diri darinya, baik dalam masalah keyakinan, perbuatan, atau perkataan yang tampak maupun perkataan yang tersembunyi.[38]
Imam Mâlik bin Anas Radhiyallahu anhu mengatakan:
مَنِ ابْتَدَعَ فِـي اْلإِسْلاَمِ بِدْعَةً يَرَاهَا حَسَنَةً ، فَقَدْ زَعَمَ أَنَّ مُـحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَـانَ الرِّسَالَـةَ ، ِلأَنَّ اللّٰـهَ يَـقُولُ : ۚ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا, فَـمَـا لَـمْ يَـكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا ، فَـلاَ يَكُوْنُ الْيَوْمَ دِيْنًا.
Barangsiapa yang mengadakan suatu bid’ah dalam Islam yang ia pandang hal itu baik (bid’ah hasanah), maka sungguh dia telah menuduh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhianati risalah agama ini. Karena sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah berfirman: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu…” (al-Mâ`idah/5:3) Maka, sesuatu yang pada hari itu (pada masa beliau masih hidup) bukanlah ajaran agama, maka hari ini pun sesuatu itu bukanlah ajaran agama.[39]
Maksud dari كُلُّ بِدْعَةٍ adalah semua bid’ah. Tidak ada kataكُلُّ بِدْعَةٍ yang bermakna sebagian bid’ah. Apakah Sebagian sesat dan sebagian tidak??!!. Apabila kita bawakan hadits yang lain, yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasâ`i, dari Sahabat Jâbir Radhiyallahu anhu :
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
Setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.[40]
Maka akankah mereka mengatakan bahwa ada kesesatan yang tempatnya di Surga?? Semua kesesatan tempatnya adalah Neraka. Kullu dhalâlah fin naar, artinya setiap kesesatan tempatnya di Neraka. Kullu bid’atin dhalâlah, artinya setiap bidah adalah sesat. Sama-sama menggunakan kata kullu. Ada sebagian orang yang memahami kata kullu dalam “كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ” itu sebagian bid’ah, tetapi ketika mereka mengartikan “كُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ” tidak diartikan sebagian kesesatan tempatnya di Neraka, tetapi semua kesesatan tempatnya di Neraka. Inilah cara berfikir mereka yang kontradiksi. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga difahami Sahabat demikian, yaitu semua perbuatan bid’ah dalam agama adalah sesat. ‘Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata,
اِتَّبِعُوْا وَلاَ تَبْتَدِعُوْا فَقَدْ كُفِيْتُمْ ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Hendaklah kalian mengikuti dan janganlah kalian berbuat bid’ah. Sungguh kalian telah dicukupi (dengan Islam ini), dan setiap bid’ah adalah sesat. [41]
‘Abdullâh bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma berkata,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
Setiap bid’ah itu sesat, meskipun manusia memandang baik.[42]
Imam Abu Muhammad al-Hasan bin ‘Ali bin Khalaf al-Barbahâri rahimahullah (beliau adalah Imam Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah pada zamannya, wafat th. 329 H) berkata: “Jauhilah setiap perkara bid’ah sekecil apa pun, karena bid’ah yang kecil lambat laun akan menjadi besar. Demikian pula kebid’ahan yang terjadi pada umat ini berasal dari perkara kecil dan remeh yang mirip kebenaran sehingga banyak orang terpedaya dan terkecoh, lalu mengikat hati mereka sehingga susah untuk keluar dari jeratannya dan akhirnya mendarah daging lalu diyakini sebagai agama. Tanpa disadari, pelan-pelan mereka menyelisihi jalan lurus dan keluar dari Islam.”[43]
Imam Sufyân ats-Tsauri rohimahullah (wafat th. 161 H) berkata,
اَلْبِدْعَةُ أَحَبُّ إِلَـى إِبْلِيْسَ مِنَ الْـمَعْصِيَةِ، وَالْـمَعْصِيَةُ يُتَابُ مِنْهَا وَالْبِدْعَةُ لاَ يُتَابُ مِنْهَا
Perbuatan bid’ah lebih dicintai oleh Iblis daripada kemaksiyatan. Pelaku kemaksiyatan masih mungkin ia untuk bertaubat dari kemaksiyatannya sedangkan pelaku kebid’ahan sulit untuk bertaubat dari kebid’ahannya.[44]
Di antara contoh bid’ah yang dianggap baik oleh manusia antara lain :
1. Bid’ah khawârij, yaitu memberontak kepada penguasa kaum Muslimin yang zhalim dan mengkafirkan pelaku dosa besar.
2. Bid’ah Syi’ah, yaitu meyakini bahwa mushaf kaum Muslimin adalah kurang dan yang benar adalah mushaf yang ada pada mereka yang disebut dengan mushaf Fathimah, nikah mut’ah (kawin kontrak), mengkafirkan para Sahabat, dan lainnya.
3. Bid’ah Jahmiyah, yaitu mengingkari sifat-sifat Allah Azza wa Jalla , mengatakan bahwa al-Qur`ân adalah makhluk, meyakini bahwa Allah Azza wa Jalla ada di mana-mana, dan lain-lain.
4. Bid’ah Murji’ah, yaitu mereka berpendapat bahwa amal tidak masuk dalam iman, iman tidak bertambah dan berkurang, dan lain-lain.
5. Bid’ah Mu’tazilah, yaitu mereka mengatakan bahwa pelaku dosa besar berada di satu kedudukan di antara dua kedudukan yakni tidak Muslim tidak juga kafir, dan lain-lain.
6. Bid’ah kaum Shufi dan para penyembah kubur, yaitu tawassul dengan kuburan dan orang shalih yang telah meninggal dunia, dzikir berjama’ah, dan lain-lain.
7. Merayakan maulid (hari kelahiran) Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
8. Merayakan Isrâ’ Mi’râj.
9. Merayakan tahun baru Hijriyyah.
10. Tahlilan dan mengirimkan pahala bacaan al-Qur`ân kepada orang yang sudah mati.
11. Shalat Nishfu Sya’ban.
12. Dan bid’ah-bid’ah lainnya yang sangat banyak.
SETIAP KESESATAN TEMPATNYA DI NERAKA
Dalam riwayat an-Nasâ`i [45] dari Jâbir bin ‘Abdillâh Radhiyallahu anhu , Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
Dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka
Yang harus diperhatikan mengenai hadits ini bahwa kita tidak boleh memastikan orang yang berbuat bid’ah dan maksiyat itu tempatnya di Neraka. Kita tidak punya hak sama sekali. Sebagaimana kita juga tidak boleh memastikan orang yang berbuat ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla , tempatnya di Surga. Kecuali orang-orang yang telah ditentukan oleh Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sabda beliau di atas merupakan ancaman yang terdapat di dalam banyak hadits dan ayat al-Qur`ân sebagaimana yang disebutkan oleh para Ulama. Artinya orang yang melakukan perbuatan bid’ah diancam masuk Neraka. Adapun memastikan dia masuk Neraka, maka tidak boleh dilakukan dan sangat berbahaya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t mengatakan, “Seseorang yang berilmu terkadang menyebutkan ancaman terhadap sesuatu yang dipandangnya sebagai perbuatan dosa, padahal dia mengetahui bahwa orang yang menakwilnya diampuni dan tidak terkena ancaman. Tetapi dia menyebutkan hal itu untuk menjelaskan bahwa perbuatan dosa mengakibatkan mendapatkan siksa. Dia hanya mengingatkan untuk menghalangi manusia dari perbuatan yang dipandangnya sebagai dosa.”[46]
Beliau rahimahullah juga berkata, “Karena nash-nash ancaman bentuknya umum, maka kita tidak menyatakan dengannya kepada orang tertentu bahwa dia termasuk penghuni Neraka. Sebab memungkinkan tidak berlakunya hukum yang ditetapkan pada orang yang melakukannya karena adanya penghalang yang kuat seperti taubat, atau kebaikan-kebaikan yang menghapuskan keburukan, atau musibah-musibah yang menghapuskan dosa, atau syafa’at yang diterima, dan lain-lain.”[47]
Maka sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Setiap kesesatan tempatnya di Neraka,” adalah sifat bagi amal yang dilakukan seseorang dan sifat bagi buah amal yang dilakukannya, jika tidak disusuli dengan taubat dan meninggalkannya.
Kemudian sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “…di Neraka.” Tidak mengharuskan kekal di dalam Neraka atau berada lama di dalamnya. Tetapi seseorang masuk Neraka sesuai maksiat yang dilakukannya, baik bentuknya bid’ah maupun selainnya.
Berdasarkan hal ini, berlaku hukum lain, yaitu menghalalkan sesuatu yang diharamkan agama. Barangsiapa menghalalkan suatu bid’ah atau selainnya dari perbuatan maksiat dengan menghalalkan dalam hatinya padahal dia mengetahui dan mengakui bahwa sesuatu yang dilakukan tidak memiliki dasar dalam Sunnah, bahkan dia mengetahui bahwa tindakannya itu merupakan bentuk “mengoreksi” syariat maka ketika itu ia berada di dalam Neraka karena dia kufur.
Imam ath-Thahawi rahimahullah dalam kitab ‘akidahnya (hlm. 316-disertai syarah Ibnu Abil ‘Izz) mengatakan, “Kita tidak mengkafirkan seorang pun dari Ahlul Kiblat (kaum Muslimin) karena perbuatan dosa selama ia tidak menghalalkannya.”
Dan tidak diragukan lagi bahwa bid’ah adalah dosa yang sangat jelas dan maksiat yang sangat nyata. Dan dalil-dalil yang mengecamnya dan memerintahkan untuk menjauhinya sangat banyak sekali.[48]
FAWAA-ID (PELAJARAN DARI HADITS INI)
1. Disyari’atkan memberikan nasehat. Akan tetapi, hendaknya dilakukan pada tempatnya dan jangan terlalu sering agar tidak membosankan.
2. Nasehat atau wasiat perpisahan biasanya menyentuh hati.
3. Nasehat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam semuanya bermanfaat dan menyentuh hati para Sahabat.
4. Boleh bagi seseorang untuk meminta nasehat dari orang alim (Ulama), dan dalam hal ini apabila ada sebabnya, yakni seseorang membutuhkan nasehat.
5. Wasiat yang paling baik adalah wasiat takwa kepada Allah Azza wa Jalla .
6. Seseorang akan mencapai takwa kepada Allah Azza wa Jalla apabila ia menuntut ilmu syar’i, mengamalkannya, dan mentauhidkan Allah Azza wa Jalla dan menjauhkan syirik.
7. Takwa adalah melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla dan menjauhkan larangan-Nya. Perintah yang paling besar adalah mentauhidkan Allah Azza wa Jalla dan larangan yang terbesar adalah syirik.
8. Takwa mempunyai keutamaan yang sangat banyak.
9. Wajib mendengar dan taat kepada ulil amri (penguasa) dari kaum Muslimin dalam hal yang ma’ruf.
10. Tidak boleh taat kepada ulil amri dalam hal maksiyat.
11. Perintah taat kepada ulil amri meskipun dia seorang hamba sahaya (budak), menunjukkan pentingnya taat kepada ulil amri.
12. Di antara mukjizat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau mengabarkan akan terjadinya perpecahan dan perselisihan di tengah-tengah kaum Muslimin.
13. Jalan selamat dari perpecahan dan perselisihan adalah berpegang kepada al-Qur`ân dan Sunnah Nabi n serta memahaminya sebagaimana yang difahami oleh para Sahabat Radhiyallahu anhum.
14. Keutamaan Khulâfaur Râsyidin.
15. Keutamaan para Sahabat Radhiyallahu anhum , karena mereka adalah orang-orang yang berserah diri kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya.
16. Baiknya hati para Sahabat Radhiyallahu anhum, karena mereka takut kepada Allah Azza wa Jalla .
17. Wajib atas setiap Muslim mempelajari Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
18. Kita wajib mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnahnya Khulafâ`ur Râsyidin serta berpegang teguh dengan keduanya.
19. Kita wajib waspada dan hati-hati kepada setiap perkara yang baru yang tidak ada asalnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
20. Setiap perkara yang baru yang diada-adakan dalam agama adalah bid’ah.
21. Semua bid’ah adalah sesat, tidak ada bid’ah hasanah dalam Islam dan tidak ada juga pembagian bid’ah menjadi lima (hasanah, mubah, makruh, haram, dan wajib). Yang mengatakan semua bid’ah sesat adalah Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau adalah orang yang paling tahu tentang Islam, paling fasih berbahasa Arab, dan paling jujur.
22. Semua kesesatan tempatnya di Neraka.
23. Menjelaskan tentang bahaya bid’ah kepada ummat tidak termasuk memecah belah kaum Muslimin, namun termasuk dalam kategori amar ma’ruf nahi munkar.
24. Tidak boleh memastikan para pelaku bid’ah dengan masuk Neraka karena kita tidak tahu akhir kehidupannya. Bisa jadi ia bertaubat dari perbuatan bid’ahnya tersebut.
25. Bid’ah merusak hati, akal, dan agama.
Wallâhu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XIII/1431/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[27]. Shahîh: HR. ath-Thabrâni dalam Al-Mu’jamul Kabîr 2/155-156, no. 1647 dari Sahabat Abu Dzar al-Ghifâri z . Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah no. 1803
[28]. Al-I’tishâm hlm. 43, Abu Ishâq Ibrâhîm bin Mûsa bin Muhammad al-Gharnathi asy-Syathibi, tahqîq Syaikh Masyhûr Hasan Salmân, cet. II-Dâr al-Atsariyah, 1428 H.
[29]. Lihat ‘Ilmu Ushûlil Bida’ hlm. 24-25 oleh Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hâmid.
[30]. Shahîhul Bukhâri no. 2010. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/128
[31]. Hasan shahîh: HR. Abu Dâwud no. 4607, at-Tirmidzi no. 2676, Ahmad 4/126-127 dan Ibnu Mâjah no. 42, 43, 44, dari Sahabat Irbâdh bin Sâriyah z .
[32]. Shahîh: HR. al-Bukhâri no. 2697 dan Muslim no. 1718, dari ‘Aisyah x .
[33]. Shahîh: HR. Muslim no. 1718 (18)).
[34]. Lihat at-Tawassul Anwâ’uhu wa Ahkâmuhu oleh Fadhîlatus Syaikh Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni, cet. III, Dârus Salafiyyah, th. 1405 H.
[35]. Tafsîr Ibnu Katsîr 5/205, tahqîq Sami Salamah.
[36]. Majmû’ Fatâwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah 4/13.
[37]. Shahîh: HR. al-Bukhâri no. 2697 dan Muslim no. 1718, dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhum .
[38]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/128
[39]. Al-I’tishâm 1/62 tahqîq Syaikh Masyhûr Hasan Salmân, cet. II Dâr al-Atsyariyyah, th. 1428 H.
[40]. Shahîh: HR. an-Nasâ`i 3/189 dari Jâbir Radhiyallahu anhu .
[41]. Diriwayatkan oleh ad-Dârimi 1/69, al-Lâlikâ`i dalam Syarah Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah 1/96, no. 104, ath-Thabrâni dalam Mu’jamul Kabîr no. 8770, dan Ibnu Baththah dalam al-Ibânah no. 175.
[42]. Riwayat al-Lâlikâ`i dalam Syarah Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah 1/104, no. 126, Ibnu Baththah al-‘Ukbari dalam al-Ibânah no. 205. Lihat ‘Ilmu Ushûlil Bida’ hlm. 92
[43]. Syarhus Sunnah lil Imâm al-Barbahary no. 7, tahqîq Khâlid bin Qâsim ar-Raddadi, cet. 2/Dârus Salaf, th. 1418 H.
[44]. Riwayat al-Lâlikâ`i dalam Syarah Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah no. 238.
[45]. HR. an-Nasâ`i 3/189 dengan sanad shahîh. Di shahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Irwâ-ul Ghalîl 3/73, no. 608 dan Khuthbatul Hâjah hlm. 50, cet. I Maktabah al-Ma’ârif, th. 1421 H.
[46]. Majmû’ Fatâwâ 23 /305
[47]. Ibid 4/484
[48]. Lihat ‘Ilmu Ushûl Bida’ hlm. 103-105

Tidak ada komentar:

Posting Komentar