Rabu, 14 Agustus 2019

Syarah Hadits Arbain Nawawi 34

34 AMAR MA’RÛF NAHI MUNKAR MENURUT AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله

عَنْ  أَبِيْ سَعِيْدٍ الْـخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ؛ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّـى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : «مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ ، فَإِنَ لَـمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْـمَـانِ».

Dari Abu Sa’îd al-Khudri Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya (kekuasaannya); jika ia  tidak mampu, maka dengan lidahnya (menasihatinya); dan jika ia tidak mampu juga, maka dengan hatinya (merasa tidak senang dan tidak setuju), dan demikian itu adalah selemah-lemah iman.’”

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh :

Muslim (no. 49).Ahmad (III/10, 20, 49, 52-53, 54).Abu Dâwud (no. 1140, 4340).an-Nasâ’i (VIII/111-112).at-Tirmidzi (no. 2172).Ibnu Mâjah (no. 1275, 4013).‘Abdurrazzâq dalam al-Mushannaf (no. 5649).Abu ‘Awanah (I/35).Ibnu Hibbân (no. 306, 307) dalam at-Ta’lîqâtul Hisân.Abu Ya’la (no. 1005, 1198).al-Baihaqi dalam Sunannya (III/296-297) dan dalam Syu’abul Iimân (no. 7153).ath-Thayâlîsi dalam Musnadnya(no. 2310).Ibnu Mandah dalam al-Iimân (no. 179-182).Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ (VII/304, no. 10611; X/27, no. 14387).

Hadits yang semakna juga diriwayatkan dari banyak jalur.

SYARAH HADITS
Hadits di atas menunjukkan kewajiban mengingkari kemungkaran sesuai dengan kemampuan. Pengingkaran terhadap kemungkaran hukumnya wajib, karena orang yang hatinya tidak mengingkari kemungkaran, menunjukkan iman telah hilang dari hatinya.[1]

1. Definisi Amar Ma’rûf Nahi Munkar
Definisi al-Ma’ruf
ar-Râghib al-Ashfahani t (wafat th. 425 H) mengatakan, “al-Ma’rûf adalah satu nama bagi setiap perbuatan yang diketahui kebaikannya oleh akal atau syari’at, sedangkan al-munkaradalah apa yang diingkari oleh keduanya.”[2]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H) mengatakan, “al-Ma’rûfadalah satu nama yang mencakup segala yang dicintai oleh Allâh, berupa iman dan amal shalih.”[3]

Sedang menurut syari’at, al-ma’rûf adalah segala hal yang dianggap baik oleh syari’at, diperintah melakukannya, dipuji dan orang yang melakukannya dipuji pula. Segala bentuk ketaatan kepada Allâh masuk dalam pengertian ini. al-Ma’rûf yang paling utama adalah mentauhidkan Allâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beriman kepada-Nya.[4]

Definisi al-Munkar
al-munkar adalah segala yang dilarang oleh syari’at atau segala yang menyalahi syari’at.[5]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t mengatakan, “al-Munkar adalah satu nama yang mencakup segala yang di larang Allâh.”[6]

Ketika menerangkan sifat umat Islam,  Imam asy-Syaukâni rahimahullah mengakatakan, “Sesungguhnya mereka menyuruh kepada (perbuatan) yang ma’rûf dalam syari’at ini dan melarang dari yang mungkar. Dan yang dijadikan tolok ukur bahwa sesuatu itu ma’rûf atau mungkar adalah al-Kitab (al-Qur’ân) dan as-Sunnah.”[7]

Dari penjelasan ini, jelas bahwa menentukan suatu keyakinan, perkataan atau perbuatan itu ma’rûf atau munkar bukanlah hak pelaku amar ma’rûf nahi munkar. Namun semua itu dikembalikan kepada penjelasan al-Qur’ân dan as-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih.[8]

2. Keutamaan Amar Ma’rûf Nahi Munkar
Imam Ibnu Qudâmah al-Maqdisi t (wafat th. 689 H) mengatakan, “Ketahuilah, bahwa amar ma’rûf nahi munkar adalah poros yang paling agung dalam agama. Ia merupakan tugas penting yang karenanya Allâh mengutus para Nabi. Andaikan tugas ini ditiadakan, maka akan muncul kerusakan di mana-mana dan dunia akan hancur.”[9]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata, “Amar ma’rûf nahi munkar merupakan penyebab Allâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menurunkan kitab-kitab-Nya dan mengutus para Rasûl-Nya, serta bagian inti agama.”[10]

Di antara keutamaan amar ma’rûf nahi munkar yaitu:

Termasuk kewajiban paling penting dalam Islam.Sebagai sebab keutuhan, keselamatan dan kebaikan bagi masyarakat.Menghidupkan hati.Sebagai faktor yang bisa mengundang pertolongan, kemuliaan dan kekuasaan di bumi.Amar ma’rûf nahi munkar termasuk shadaqah.Menolak marabahaya.Orang yang mencegah dari perbuatan mungkar akan diselamatkan oleh Allâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .Amar ma’rûf nahi mungkar termasuk sifat-sifat orang mukmin yang shalih.Amar ma’rûf nahi munkar adalah jihad yang paling utama.Amar ma’rûf nahi munkar termasuk sebab dosa diampuni.Amar ma’rûf nahi munkar adalah perkataan yang paling baik dan seutama-utama amal.

3. Akibat dan Pengaruh Jelek Meninggalkan Amar Ma’rûf Nahi Munkar

Mendapat laknat Allâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , celaan dan kehinaanKerusakan akan semakin parah.Mendapat hukuman dari Allâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .Dikuasai oleh musuh-musuh Islam.Do’a tidak dikabulkan.Akan dibinasakan oleh Allâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .Akan dimintai pertanggung jawabannya pada hari kiamat.Jatuh dalam kebinasaan, membuat hati sakit atau bahkan mematikannya.

4. Hukum Mengingkari Kemungkaran
Mengingkari kemungkaran dengan tangan dan lisan itu ada dua :

Pertama, Fardhu kifayah.
Allâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berfirman,

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh (berbuat) yang ma’rûf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” [Ali ‘Imrân/3:104]

Mengenai tafsir ayat ini, al-Hâfizh Ibnu Katsir  t mengatakan, “Maksud ayat ini ialah hendaklah ada segolongan dari umat ini yang siap memegang peran ini (amar ma’rûf nahi munkar)…”[11]

Imam Ibnul ‘Arabi berkata, “Ayat ini dan ayat berikutnya merupakan dalil bahwa amar ma’rûf nahi munkar itu fardhu kifâyah…”[12]

Oleh karena itu wajib bagi ulil amri (pemerintah) untuk menunjuk sejumlah orang yang memiliki kemampuan dan persiapan untuk menjalankan tugas ini. Karena ada beberapa perbuatan mungkar yang tidak bisa diubah kecuali oleh sejumlah orang tertentu yang memiliki ilmu, pemahaman yang benar dan sikap hikmah. Misalnya untuk membantah firqah Bâthiniyah (shufiyah) dan menjelaskan kekeliruan keyakinan mereka dan lainnya. Apabila lembaga ini menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya maka gugurlah kewajiban dari yang lainnya.[13]

Pengingkaran kemungkaran dengan tangan dan lisan, wajib dilakukan sesuai kemampuan.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا عُمِلَتِ الْـخَطِيْئَةُ فِـي الْأَرْضِ كَانَ مَنْ شَهِدَهَا كَرِهَهَا وَقَالَ مَرَّةً : أَنْكَرَهَا كَمَنْ غَابَ عَنْهَا وَمَنْ غَابَ عَنْهَا فَرَضِيَهَا كَانَ كَمَنْ شَهِدَهَا

Jika sebuah kesalahan dilakukan di muka bumi, maka orang yang melihatnya kemudian membencinya (Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: lalu mengingkarinya)sama seperti orang  yang tidak melihatnya sementara orang tidak melihatnya namun merestuinya maka sama seperti orang yang melihatnya.[14]

Kedua, Fardhu ‘ain.
Keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya, “Barangsiapa di antarakalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya…,” menunjukkan bahwa mengingkari kemungkaran wajib atas setiap individu yang memiliki kemampuan serta mengetahui kemungkaran atau melihatnya.[15]

Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya amar ma’rûf nahi munkaradalah fardhu kifâyah kemudian terkadang menjadi fardhu ‘ain jika pada suatu keadaan dan kondisi tertentu tidak ada yang mengetahuinya kecuali dia.”[16]

Jadi, orang yang melihat kesalahan kemudian membencinya dengan hati, sama seperti orang yang tidak melihatnya namun tidak mampu mengingkarinya dengan lisan dan tangannya. Sementara orang yang tidak melihat kesalahan itu kemudian merestuinya, ia sama seperti orang yang melihatnya, namun tidak mengingkarinya padahal ia mampu mengingkarinya. Karena merestui kesalahan-kesalahan termasuk perbuatan haram yang paling buruk serta menyebabkan pengingkaran dalam hati tidak dapat dilaksanakan padahal pengingkaran dengan hati merupakan kewajiban bagi setiap muslim dan tidak gugur dari siapa pun dalam semua kondisi.[17]

Dari penjelasan dapat diketahui bahwa mengingkari kemungkaran dengan hati adalah wajib bagi setiap Muslim dalam semua kondisi, sedang mengingkarinya dengan tangan dan lidah itu sesuai dengan kemampuan.[18] Sebagaimana dalam hadits Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَا مِنْ قَوْمٍ يُعْمَلُ فِيْهِمْ بِالْـمَعَاصِيْ يَقْدِرُوْنَ عَلَـى أَنْ يُغَيِّرُوْا ثُمَّ لَا يُغَيِّرُوْا إِلَّا يُوْشِكُ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللهُ مِنْهُ بِعِقَابٍ.

Tidaklah suatu kaum yang dikerjakan ditengah-tengah mereka  berbagai kemaksiatan yang mampu mereka mencegahnya namun tidak mereka cegah, melainkan Allâh pasti akan menurunkan hukuman kepada mereka semua.[19]

Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللهَ لَيَسْأَلُ الْعَبْدَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَقُوْلَ : مَا مَنَعَكَ إِذْ رَأَيْتَ الْـمُنْكَرَ أَنْ تُنْكِرَهُ؟ فَإِذَا لَقَّنَ اللهُ عَبْدًا حُجَّتَهُ  قَالَ :يَا رَبِّ ، رَجَوْتُكَ ، وَفَرِقْتُ مِنَ النَّاسِ.

Sesungguhnya Allâh pasti bertanya kepada seorang hamba pada hari Kiamat hingga Dia bertanya, ‘Apa yang menghalangimu dari mengingkari sebuah kemungkaran jika engkau melihatnya?’ Jika Allâh telah mengajarkan hujjah kepada hamba-Nya tersebut, hamba tersebut berkata, ‘Rabb-ku, aku berharap kepada-Mu, dan aku tinggalkan manusia.[20]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  juga bersabda dalam khutbahnya,

أَلَا لَا يَمْنَعَنَّ رُجُلًا هَيْبَةُ النَّاسِ أَنْ يَقُوْلَ بِحَقٍّ إِذَا عَلِمَهُ

Ingatlah, janganlah sekali-kali rasa segan kepada manusia menghalangi seseorang untuk mengatakan kebenaran jika ia mengetahuinya.

Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu  menangis kemudian berkata, “Sungguh, demi Allah, kita melihat banyak hal kemudian kita segan.”

Hadits ini diriwayatkan juga oleh Ahmad dengan tambahan,

فَإِنَّهُ لَا يُقَرِّبُ مِنْ أَجَلٍ وَلَا يُبَاعِدُ مِنْ رِزْقٍ أَنْ يُقَالَ بِحَقٍّ أَوْ يُذْكَرَ بِعَظِيْمٍ

Karena mengucapkan yang haq atau mengingatkan tentang suatu yang besar tidak mendekatkan kepada ajal dan  tidak menjauhkan dari rezeki.[21]

Hadits tersebut ditafsirkan bahwa penghalang untuk mengingkari kemungkaran itu hanya sekedar segan dan bukannya takut yang menghapus kewajiban mengingkari kemungkaran.[22]

Bagaimana hukum mengingkari kemungkaran kepada penguasa?
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الْـجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ (وفي رواية: عَدْلٍ) عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ.

Jihad terbaik ialah mengatakan kalimat yang haq (dalam riwayat lain: adil) kepada pemimpin yang zhalim.[23]

Sa’id bin Jubair Radhiyallahu anhu berkata, “Aku berkata kepada Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma, ‘Aku memerintah kebaikan kepada penguasa dan melarangnya dari kemungkaran?’ Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma menjawab, ‘Jika engkau takut dia membunuhmu, jangan engkau lakukan.’ Aku mengulangi perkataanku itu tadi, namun Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma menjawab seperti jawaban semula. Aku mengulangi perkataanku namun Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma tetap berkata seperti semula dan berkata, ‘Jika engkau memang harus melakukannya, maka kerjakan secara empat mata dengannya.’[24]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلَا يُبْدِهِ عَلَانِيَةً ، وَلكِنْ يَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَ إِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ

Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkan dengan terang-terangan. Hendaklah ia pegang tangannya lalu menyendiri dengannya. Jika penguasa itu mau mendengar nasihat itu, maka itu yang terbaik dan bila si penguasa itu enggan (tidak mau menerima), maka sungguh ia telah melaksanakan kewajibannya[25]

Sedangkan membelot dari penguasa dengan mengangkat pedang (senjata) maka dikhawatirkan menimbulkan sejumlah fitnah yang menyebabkan pertumpahan darah kaum Muslimin. Jika seseorang ingin maju mengingkari kemungkaran para penguasa namun pada saat yang sama dikhawatirkan tindakannya akan membawa dampak negatif kepada keluarga dan tetangganya, maka ia sebaiknya tidak melakukannya. Karena tindakannya akan menimbulkan gangguan bagi orang lain. Itulah yang dikatakan oleh Fudhail bin ‘Iyâdh t dan yang lainnya.  Jika seseorang khawatir dirinya dibunuh, atau dicambuk, atau dipenjara, atau diborgol, atau diasingkan, atau hartanya dirampas, dan ancaman-ancaman lainnya, maka kewajiban menyuruh para penguasa melakukan kebaikan dan melarang mereka dari kemungkaran menjadi gugur darinya. Ini ditegaskan para imam, diantaranya Imam Mâlik rahimahullah, Ahmad rahimahullah, Ishâq rahimahullah  dan lain-lain.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan kaidah ini dengan memberikan contoh dalam pernyataan beliau, “Barangsiapa meneliti fitnah besar dan kecil yang terjadi dalam Islam, dia akan tahu bahwa fitnah itu disebabkan karena melalaikan pokok kaidah ini dan tidak sabar dalam (mengingkari) kemungkaran. Menuntut hilangnya kemungkaran, tetapi lahir darinya kemungkaran yang lebih besar. Dahulu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat satu kemungkaran besar di Makkah dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa mengubahnya. Bahkan ketika Allâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam taklukkan Makkah menjadi negeri Islam, Beliau bertekad mengubah Ka’bah dan mengembalikannya sesuai pondasi bangunan Nabi Ibrahim Alaihissallam, tetapi tercegah (walaupun Beliau mampu) oleh kekhawatiran munculnya keburukan yang lebih besar, yaitu khawatir orang-orang Quraisy tidak bisa menerimanya karena mereka baru masuk Islam dan meninggalkan kekufuran. Oleh karena itu, tidak diizinkan mengingkari penguasa dengan tangan, karena menimbulkan kemungkaran yang lebih  besar.”[26]

5. Tingkatan Dalam Mencegah Kemunkaran
Amar ma’rûf nahi munkar memiliki tingkatan yang harus diketahui oleh pelakunya sehingga apa yang dilakukannya sesuai dengan tuntutan syari’at dan adab-adab yang mesti diperhatikan. Tingkatan ini telah diterangkan oleh para Ulama dahulu dan yang sekarang, dan mereka senantiasa menasihati para pelaku amar ma’rûf nahi mungkar dengannya.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya syari’at ini berdiri di atas pondasi hikmah dan kemaslahatan dunia-akhirat bagi hamba-hamba Allah. Syari’at ini, seluruhnya adil, rahmat, maslahat dan hikmah. Maka setiap masalah yang keluar dari prinsip keadilan kepada kezhaliman, dari rahmat ke lawannya, dari maslahat ke mafsadat dan dari hikmah kepada kekerasan, maka itu tidak termasuk syari’at meskipun dimasukkan ke dalamnya dengan sebab takwil. Syari’at adalah cermin keadilan Allâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap hamba-Nya, rahmat-Nya diantara hamba-hamba-Nya, pemeliharaan-Nya di bumi dan hikmah Allah yang merupakan petunjuk paling sempurna yang membuktikan keberadaan Allâh Azza wa Jalla dan kejujuran Rasûl-Nya.”[27]

Beliau rahimahullah juga berkata, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mensyari’atkan kepada ummatnya untuk mengingkari kemungkaran agar terealisasi perbuatan ma’rûf yang dicintai Allâh dan Rasûl-Nya. Apabila mengingkari kemungkaran menimbulkan sesuatu yang lebih mungkar daripadanya dan lebih dimurkai oleh Allâh dan Rasûl-Nya maka tidak diperbolehkan untuk mengingkarinya meskipun Allâh membenci dan memurkai pelakunya. Ini seperti mengingkari para raja dan pemimpin dengan cara memberontak kepada mereka, karena hal itu adalah sumber dari setiap kejelekan dan fitnah sampai akhir masa.”[28]

Beliau rahimahullah melanjutkan, “Menghilangkan kemungkaran memiliki empat tingkatan“:

Kemungkarannya hilang dan digantikan dengan lawannya, yaitu kebaikan.Kemungkaran berkurang meskipun tidak hilang seluruhnya.Kemungkaran hilang digantikan dengan kemungkaran yang semisalnya.Kemungkaran tersebut digantikan dengan kemungkaran yang lebih berat (lebih besar).

Tingkatan yang pertama dan kedua disyari’atkan (untuk dilakukan). Tingkatan yang ketiga –tentang kebolehannya masuk ke area ijtihad-, dan tingkatan yang keempat haram (untuk dilakukan).

Berikut tingkatan mengubah kemungkaran yang harus diketahui :

Mengetahui kemungkaran.Mengingkari kemungkaran dengan tangan dan syarat-syaratnya.

Tingkatan ini disyaratkan dengan adanya kekuasaan, kemampuan, hikmah, pemahaman, dan jauh dari hawa nafsu.

Mengingkari kemungkaran dengan lisan dan tahapan-tahapannya.

Tahapan pertama, memberikan pengertian dan pelajaran dengan lemah lembut.
Tahapan kedua, melarang dengan cara memberikan pelajaran dan nasihat.
Tahapan ketiga, tegas dalam memberikan nasihat.
Tahapan keempat, mengancam dan menakut-nakuti dengan adzab Allâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Mengingkari kemungkaran dengan hatiMengingkari kemungkaran dengan pedang atau senjata

6. Perbedaan Tingkatan Tanggung Jawab Manusia Dalam Mengingkari Kemungkaran
Telah disebutkan sebelumnya bahwa Allâh Azza wa Jalla mewajibkan semua kita melakukan amar ma’rûf nahi munkar sesuai dengan kemampuan. Tetapi yang perlu diperhatikan ialah manusia itu berbeda-beda tingkatannya dalam kewajiban ini. Seorang muslim yang awam (minim ilmu) wajib mengerjakan kewajiban ini sesuai kemampuannya. Ia harus menyuruh istri dan anak-anaknya dengan perkara-perkara agama yang telah diketahuinya.

Sedang para ulama memiliki kewajiban yang tidak dimiliki selain mereka karena mereka adalah pewaris para nabi. Jika mereka meremehkan tugas ini maka berbagai kekurangan akan menimpa umat ini, sebagaimana terjadi pada Bani Israil.

Sementara kewajiban pemerintah pada tugas ini sangat besar karena mereka memiliki kekuatan yang dapat memaksa banyak orang untuk kembali dari kemungkaran. Sebab orang yang terpengaruh dengan nasihat dan wejangan itu sangat sedikit. Apabila pemerintah menyepelekan tugas ini, maka ini merupakan bencana besar karena akan menyebabkan tersebarnya kemungkaran serta para pelaku kebatilan dan kefasikan semakin berani melakukan aksi-aksi batil  mereka terhadap orang-orang yang berpegang pada kebenaran dan orang-orang yang mengadakan perbaikan.[29]

7. Mengingkari Kemungkaran yang Terlihat dan Sudah Diketahui Sebagai Kemungkaran
Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran.”

Ini menunjukkan bahwa pengingkaran kemungkaran itu terkait dengan penglihatan. Jika kemungkaran itu tersembunyi dan tidak terlihat, namun seseorang mengetahuinya, maka -dalam sebagian besar riwayat dari Imam Ahmad- orang yang mengetahuinya ini tidak boleh menyelidikinya dan memeriksa sesuatu yang ia ragukan. Di riwayat lain disebutkan dari Imam Ahmad bahwa orang tersebut harus menyingkapnya jika terbukti. Contoh, jika seseorang mendengar suara lagu yang diharamkan atau alat-alat hiburan dan ia mengetahui sumber suara itu, maka ia  harus mengingkarinya. Karena kemungkarannya telah terbukti dan ia tahu tempatnya, sehingga sama seperti ia melihat langsung. Itu ditegaskan Imam Ahmad dan beliau berkata, “Jika ia tidak mengetahui tempat kemungkaran, maka tidak terkena kewajiban untuk mengingkari.”

Adapun memanjat tembok untuk mengetahui orang-orang yang berkumpul dalam kemungkaran, maka ini dibenci para imam, seperti Sufyân ats-Tsauri dan lain-lain, karena tindakan tersebut masuk dalam kategori memata-matai yang dilarang. Dikatakan kepada Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu, “Celaka Walid bin ‘Uqbah, jenggotnya meneteskan minuman keras.” Ibnu Mas’ûd z berkata, “Allâh melarang kita memata-matai.”[30]

8. Mengingkari Kemungkaran Dengan Hati
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah iman yang paling lemah.”

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللهُ فِـي أُمَّةٍ قَبـْلِي إِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّوْنَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُوْنَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُوْنَ بِأَمْرِهِ، ثُمَّ إِنَّهَا تَـخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوْفٌ يَقُوْلُوْنَ مَا لَا يَفْعَلُوْنَ ، وَيَفْعَلُوْنَ مَا لَا يُؤْمَرُوْنَ ، فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ ، وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ ، وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ ، وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ الْإِيْمَـانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ.

Tidak ada seorang nabi pun yang diutus Allâh pada salah satu umat sebelumku melainkan ia mempunyai pengikut setia dan orang-orang yang mengambil sunnahnya dan mengikuti perintahnya. Kemudian setelah itu, datang generasi-generasi yang mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan dan mengerjakan apa yang tidak diperintahkan. Barangsiapa melawan mereka dengan tangannya, ia orang mukmin. Barangsiapa melawan mereka dengan lisannya, ia orang mukmin. Dan barangsiapa melawan mereka dengan hatinya, ia orang mukmin. Dan di belakang itu tidak ada iman sebesar biji sawi pun.[31]

Ini menunjukkan bahwa amar ma’rûf nahi munkar termasuk bagian dari iman. Sabda beliau tersebut juga menunjukkan  bahwa orang yang sanggup mengerjakan salah satu bagian dari iman itu lebih baik daripada orang yang meninggalkannya dan tidak sanggup mengerjakannya.[32]

Mengingkari kemungkaran dengan tangan dan lisan, baik yang hukumnya fardhu ‘ain atau fardhu kifayah adalah sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan. Adapun mengingkari kemungkaran dengan hati adalah fardhu ‘ain yang tidak bisa gugur bagaimana pun keadaannya. Hati yang tidak mengetahui perbuatan ma’rûf dan tidak mengingkari kemungkaran adalah hati yang kosong dan hampa dari iman. Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu mendengar orang berkata, “Binasalah orang yang tidak menyuruh kepada kebaikan dan tidak melarang dari kemungkaran,” kemudian Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata :

هَلَكَ مَنْ لَـمْ يَعْرِفْ قَلْبُهُ الْـمَعْرُوْفَ وَيُنْكِرُ قَلْبُهُ الْـمُنْكَرَ

Binasalah orang yang hatinya tidak mengetahui kebaikan dan tidak mengingkari kemungkaran.[33]

Maksud beliau Radhiyallahu anhu ialah bahwa mengetahui perbuatan ma’rûf dan kemungkaran dengan hati itu adalah kewajiban yang tidak gugur dari siapa pun. Adapun dengan tangan dan lisan sesuai dengan kemampuan. Dan ridha terhadap kemungkaran adalah dosa dan kesalahan yang paling jelek. Tanggung jawab seorang hamba tidak hilang dengan mengingkari kemungkaran dengan hati sampai ia benar-benar tidak mampu mengingkari kemungkaran dengan tangan dan lisan dengan sebab bahaya yang mengancam badan atau harta serta ia tidak mempunyai kemampuan menanggung bahaya tersebut.

Faedah mengingkari kemungkaran dengan hati itu sangat sedikit, sedangkan faedah mengingkari kemungkaran dengan tangan dan lisan itu sangat banyak.[34]

9. Mengingkari Kemungkaran yang Telah Disepakati Sebagai Kemungkaran
Kemungkaran yang wajib kita hilangkan ialah kemungkaran yang telah disepakati kaum muslimin sebagai kemungkaran seperti syirik, menyekutukan Allâh Azza wa Jalla , menyembah kubur, berdo’a dan meminta kepada selain Allâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sihir, datang ke dukun ramal, mengada-ada perkara yang baru dalam agama yang tidak ada contoh dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , atau bid’ah, riba, zina, minum khamr (minuman keras), tabarruj (bersolek bagi wanita untuk selain mahramnya), meninggalkan shalat dan yang sepertinya.

Adapun perkara-perkara yang masih diperselisihkan di antara ulama tentang hukum haram atau wajibnya, maka perlu ada perincian. Jika perselisihan dalam permasalahan itu lemah dan hujjah para ulama yang mengharamkannya kuat, maka orang yang melakukan perbuatan yang diperselisihkan hukumnya ini boleh diingkari. Namun jika perselisihan pendapat dalam masalah itu tajam, susah untuk memilih pendapat yang kuat dan tarjih hanya mampu dilakukan oleh para ulama yang berkompeten (mumpuni), maka orang yang melakukan perbuatan seperti ini –wallâhu a’lam– tidak boleh diingkari.[35]

Berkaitan dengan masalah kemungkaran yang jelas menyalahi nash dan bukan masalah ijtihâdiyah maka hal ini harus diingkari. Sebab betapa banyak bid’ah, syirik, maksiat dan kemungkaran yang dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin dianggap masalah khilâfiyahdan ijtihâdiyah, padahal perbuatan tersebut adalah syirik, bid’ah dan menyimpang.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Orang yang menyalahi dan menyelisihi al-Qur’ân dan Sunnah yang masyhur atau menyalahi kesepakatan generasi Salaf maka tidak diterima udzur (alasan)nya, maka diberlakukan muamalah terhadapnya seperti muamalah terhadap ahlul bid’ah yaitu wajib mengingkari mereka.”[36]

10. Kaidah-kaidah Amar Ma’rûf Nahi Munkar

Syari’at adalah pokok dalam menetapkan amar ma’rûf nahi munkar
Sesungguhnya yang menjadi timbangan dan tolok ukur dalam menentukan sesuatu itu ma’rûf atau munkar adalah Kitâbullâh dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang menjadi kesepakatan Salafush Shalih, dan bukan perkara-perkara yang menyelisihi syari’at namun dianggap baik oleh manusia.Memiliki ilmu dan bashirah tentang hakikatamar ma’rûf nahi munkar

Syaikh ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz rahimahullah berkata kepada para da’i yang mengajak manusia ke jalan Allâh dan pelaku amar ma’rûf nahi munkar, “Hendaklah engkau berada di atas bayyinah dalam dakwahmu, maksudnya berada di atas ilmu. Jangan engkau menjadi orang yang tidak tahu terhadap apa yang engkau dakwahkan:

قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي

Katakanlah (Muhammad), ‘Inilah jalanku ! Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allâh dengan bashirah (ilmu)…” [Yûsuf/12:108]

Maka harus ada ilmu, karena ilmu adalah wajib. Karena itu jauhilah olehmu berdakwah di atas kebodohan, jauhilah olehmu berbicara tanpa ilmu, karena orang yang tidak tahu itu hanya bisa menghancurkan dan tidak bisa membangun serta hanya bisa merusak  dan tidak bisa memperbaiki.

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sesungguhnya bekal pertama yang harus dimiliki oleh para da’i yang mengajak ke (jalan) Allâh Azza wa Jalla ialah hendaklah ia berada di atas ilmu dari Kitabullah dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih. Adapun dakwah tanpa ilmu maka itu adalah dakwah di atas kebodohan, sedang dakwah di atas kebodohan maka lebih besar bahayanya daripada manfaatnya, karena seorang da’i telah menempatkan dirinya sebagai seorang pembimbing dan pendidik; apabila ia bodoh maka ia menjadi orang yang sesat dan menyesatkan. Wal’iyâdzu billâh.”[37]

Mendahulukan yang paling penting sebelum yang penting.

Sesungguhnya memulai dengan perkara yang paling penting kemudian yang penting merupakan kaidah yang harus ada dalam melaksanakan kewajiban amar ma’rûf nahi munkar. Yaitu hendaklah pelaku amar ma’rûf nahi munkar memulai dengan memperbaiki yang ushûl (pokok-pokok) ‘aqidah. Jadi, pertama kali ia menyuruh untuk mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla semata dan melarang perbuatan syirik, bid’ah, dan khurafat; Kemudian ia menyuruh untuk mendirikan shalat, mengeluarkan zakat; kemudian menyuruh untuk melakukan kewajiban-kewajiban lainnya dan meninggalkan perbuatan-perbuatan haram, kemudian menyuruh untuk melaksanakan sunnah-sunnah dan meninggalkan perkara-perkara yang dimakruhkan.

Memikirkan dan menimbang antara maslahat dan mafsadat

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata menjelaskan kaidah ini, “Amar ma’rûf tidak boleh menghilangkan kema’rufan lebih banyak, atau mendatangkan kemungkaran yang lebih besar. Nahi munkar tidak boleh mendatangkan kemungkaran yang lebih besar atau menghilangkan kema’rufan yang lebih kuat daripadanya.”[38]

Syari’at Islam dibangun di atas kaidah mendatangkan maslahat (kebaikan) dan menyempurnakannya serta mencegah mafsadat (kerusakan) dan menghilangkan atau meminimalisirnya. Oleh karena itu, diantara kaidah penting dalam amar ma’rûf nahi munkar ialah memperkirakan maslahat sehingga disyaratkan dalam amar ma’rûf nahi munkar agar tidak menimbulkan mafsadat yang lebih besar dari kemungkaran atau yang sepertinya. Apabila mengingkari kemungkaran menimbulkan kemungkaran yang lebih besar maka kewajiban mengingkari kemungkaran itu menjadi gugur bahkan tidak boleh dilakukan.

11. Memperhatikan Sikap Hikmah dalam Mengingkari Kemungkaran dan Menyuruh kepada Perbuatan Ma’ruf
Allâh Ta’ala berfirman :

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ

Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pengajaran yang baik dan bantahlah (berdebatlah) mereka dengan cara yang baik…” [an-Nahl/16:125]

Di antara bentuk hikmah ialah memperhatikan keadaan orang yang akan kita perintah dan kita larang. Maka di satu kesempatan harus dengan lemah lembut dan bersikap halus sebagaimana firman Allâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

اذْهَبَا إِلَىٰ فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَىٰ ﴿٤٣﴾ فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, karena dia benar-benar telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.” [Thâhâ/20:43-44])

Dan pada kesempatan lainnya digunakan sikap tegas dan keras. Allâh Azza wa Jalla :

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ

Wahai Nabi! Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka…” [at-Taubah/9:73]

Oleh karena itu, orang yang mengemban tugas ini wajib memiliki sifat-sifat tertentu. Imam Sufyân ats-Tsauri rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh melakukan amar ma’rûf dan nahi munkar kecuali orang yang memiliki tiga sifat: (1) lemah-lembut dalam menyuruh dan melarang, (2) adil dalam menyuruh dan melarang, dan (3) mengetahui sesuatu yang ia perintahkan dan yang ia larang.”[39]

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Semua manusia butuh sikap lemah lembut dalam amar ma’rûf bukan sikap keras kecuali terhadap orang yang memperlihatkan kefasikan, maka sikap keras tidak diharamkan terhadapnya.”

Beliau rahimahullah juga berkata, “Jika sahabat-sahabat Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu berjalan melewati suatu kaum yang mereka lihat melakukan sesuatu yang mereka benci, mereka mengatakan, “Pelan-pelanlah kalian, semoga Allâh merahmati kalian. Pelan-pelanlah kalian, semoga Allâh merahmati kalian.”[40]

12. Pelaku Amar Ma’rûf Nahi Munkar Hendaklah Menjadi Teladan Bagi Orang Lain
Menjadi contoh teladan yang baik bagi orang lain merupakan sifat dan perilaku yang harus ada pada diri da’i dan pelaku amar ma’rûf nahi munkar. Karena pengaruh mencontoh dan taklid kepadanya mempunyai nilai yang besar dalam jiwa orang yang diseru dan diajak. Oleh karena itulah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah teladan yang baik dan panutan yang shalih sehingga manusia mengikuti beliau dalam perkataan dan perbuatannya. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Sungguh, telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” [al-Ahzâb/33:21]

Apabila perbuatan pelaku amar ma’rûf nahi munkar menyalahi perkataannya maka bahayanya tidak hanya mengancam dirinya sendiri bahkan biasanya mengancam orang lain karena ia menjadi teladan yang buruk bagi masyarakatnya.[41]

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

Mengapa kamu menyuruh orang lain mengerjakan kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca kitab (Taurat)? Tidakkah kamu mengerti? [al-Baqarah/2:44]

Jangan sampai kita menjadi seperti orang yang diceritakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya :

يُـجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فِـي النَّارِ فَيَدُوْرُ كَمَـا يَدُوْرُ الْـحِمَـارُ بِرَحَاهُ ، فَيَجْتَمِعُ أَهْلُ النَّارِ عَلَيْهِ فَيَقُوْلُوْنَ : يَا فُلَانُ مَا شَأْنُكَ، أَلَيْسَ كُنْتَ تَأْمُرُ بِالْـمَعْرُوْفِ وَتَنْهَانَا عَنِ الْـمُنْكَرِ ؟ قَالَ : كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْـمَعْرُوْفِ وَلَا آتِيْهِ ، وَأَنْهَاكُمْ عَنِ الْـمُنْـكَرِ وَآتِيْهِ.

Seseorang didatangkan pada hari Kiamat, lalu dilemparkan ke Neraka sehingga usus-ususnya keluar di dalam Neraka, lalu dia berputar-putar seperti berputarnya keledai di batu gilingannya. Penghuni Neraka berkumpul mengelilinginya dan mereka berkata, ‘Wahai fulan! Ada apa denganmu? Bukankah dulu engkau menyuruh kami melakukan kebaikan dan melarang kami dari kemungkaran?’ Dia menjawab, ‘Dulu aku menyuruh kalian melakukan kebaikan namun aku sendiri tidak melakukannya, dan dulu aku melarang kalian dari kemungkaran namun aku sendiri melakukannya.[42]

13. Bahaya Meninggalkan Amar Ma’rûf Nahi Munkar
Apabila kaum muslimin, baik penguasa, Ulama, maupun rakyat, meremehkan dan meninggalkan tugas amar ma’rûf nahi munkar, maka kehinaan dan perbuatan keji akan tersebar dan orang-orang yang fasik akan menguasai orang-orang yang shalih. Sehingga kebenaran dianggap kebatilan dan kebatilan dianggap kebenaran. Ini menyebabkan umat Islam akan mendapatkan malapetaka, di antaranya :[43]

Dijauhkan dari rahmat Allâh sebagaimana Ahlul Kitâb ketika mereka meninggalkan tugas penting ini. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Orang-orang kafir dari Bani Israil telah dilaknat melalui lisan (ucapan) Dâwud dan ‘Isa putera Maryam. Yang demikian itu karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka tidak saling mencegah dari perbuatan mungkar yang selalu mereka perbuat. Sungguh, amat buruk apa yang mereka perbuat.” [al-Mâidah/5:78-79]

Akan mendapat kebinasaan di dunia. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُوْدِ اللهِ وَالْوَاقِعِ فِيْهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اِسْتَهَمُوْا عَلَى سَفِيْنَةٍ ، فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلَاهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا ، فَكَانَ الَّذِيْنَ فِـيْ أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ الْـمَـاءِ مَرُّوْا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ ، فَقَالُوْا : لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِـيْ نَصِيْبِنَا خَرْقًا وَلَـمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا ، فَإِنْ يَتْرُكُوْهُمْ وَمَا أَرَادُوْا هَلَكُوْا جَمِيْعًا ، وَإِنْ أَخَذُوْا عَلَى أَيْدِيْهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيْعًا.

Perumpamaan orang-orang yang tegak di atas batas-batas Allâh (melaksanakan hukum-hukum Allah) dan orang-orang yang jatuh (melanggar) batas-batas Allâh seperti satu kaum yang berundi (mengundi pembagian tempat) di atas perahu. Sebagian mendapat tempat di atas dan sebagian di bawah. Adapun orang-orang yang berada di bawah apabila mereka ingin mengambil air mereka mesti melewati orang-orang yang berada di atas, dan mereka mengatakan, ‘Seandainya kita lobangi perahu ini, kita tidak akan mengganggu orang yang berada di atas kita.’ Seandainya orang-orang yang berada di atas membiarkan orang-orang yang berada di bawah melobangi perahu, maka akan binasalah semuanya. Dan seandainya mereka memegang tangan (melarang) orang-orang yang berada di bawah melakukan hal itu, maka selamatlah yang berada di atas dan di bawah semuanya.[44]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوُا الظَّالِـمَ فَلَمْ يَأْخُذُوْا عَلَى يَدَيْهِ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللهُ بِعِقَابٍ مِنْهُ.

Sungguh, apabila manusia melihat pelaku kezhaliman (kemungkaran), tetapi tidak menghentikan (mengubahnya) dengan tangannya, hampir saja Allâh meratakan adzab kepada mereka.[45]

Tidak dikabulkannya do’a. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَالَّذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْـمَعْرُوْفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْـمُنْكَرِ أَوْ لَيُوْشِكَنَّ اللهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ، ثُمَّ تَدْعُوْنَهُ فَلَا يُسْتَجَابُ لَكُمْ.

Demi Rabb yang jiwaku berada di tangan-Nya. Hendaklah kalian menyuruh berbuat kebaikan dan mencegah dari kemungkaran, atau kalau tidak, hampir saja Allâh menurunkan adzab-Nya kepada kalian, kemudian kalian berdo’a kepada-Nya, namun do’a kalian tidak dikabulkan.[46]

Jika seorang hamba terjatuh dalam kemungkaran maka ia telah menjerumuskan dirinya sendiri untuk mendapatkan hukuman dari Allâh Azza wa Jalla dan kemurkaan-Nya, karena itu, wajib atas seorang muslim menyelamatkan saudaranya dari hukuman dan kemurkaan Allâh yaitu dengan melarangnya dari kemungkaran yang dilakukannya. Dan ini adalah bentuk kasih sayang kepadanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

اَلرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ، اِرْحَمُوْا مَنْ فِـي الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِـي السَّمَـاءِ…

Orang-orang yang menyayangi orang lain, mereka disayangi oleh (Allâh) Yang Maha Penyayang. Maka sayangilah orang yang berada di bumi niscaya kalian disayangi oleh (Allâh) yang berada di langit…[47]

Karena Allâh-lah yang berhak ditaati, tidak boleh dimaksiati, wajib diingat tidak boleh dilupakan, wajib disyukuri tidak boleh diingkari, dan dibela dengan jiwa dan harta dari pelanggaran-pelanggaran yang Dia haramkan. Barangsiapa memperhatikan tingkatan tersebut dan tingkatan  sebelumnya, maka gangguan apa saja yang ia temui di jalan Allâh menjadi kecil tidak bermakna dan tidak tertutup kemungkinan ia malah berdoa untuk orang yang mengganggunya, seperti disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang nabi yang dipukuli kaumnya kemudian ia mengusap darah dari wajahnya sambil berkata, “Rabb-ku, ampunilah kaumku, karena mereka tidak tahu.”[48]

FAWAA-ID HADITS

Hadits ini menunjukkan bahwa amar ma’rûf nahi munkar termasuk bagian dari iman. karena itulah Imam Muslim mengeluarkan hadits ini dalam Kitâbul Iimân, bab: Penjelasan bahwa Amar ma’rûf Nahi Munkar termasuk Iman.Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan mandat kepada seluruh umatnya untuk mengingkari kemungkaran, berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran…”Tidak boleh mengingkari suatu perbuatan hingga yakin bahwa perbuatan itu Ini ditinjau dari dua sisi; pertama, yakin bahwa itu kemungkaran, dan kedua, yakin bahwa itu mungkar bagi diri pelakunya. Sebab terkadang ada sesuatu yang memang mungkar pada dzatnya tetapi tidak disebut kemungkaran bagi pelakunya. Contohnya makan dan minum di siang hari bulan Ramadhan. Hukum asalnya adalah mungkar, tetapi terkadang tidak menjadi mungkar bagi pelakunya misalnya ia makan karena sakit yang menyebabkan dia boleh buka, atau ia sebagai musafir, atau ia sedang haid atau nifas.Tangan adalah alat untuk mencegah kemungkaran karena biasanya tanganlah yang digunakan untuk mengerjakan sesuatu.Seseorang yang tidak mampu mengubah kemungkaran dengan tangan dan lisannya maka ia wajib mengubahnya dengan hatinya yaitu dengan membencinya dan bertekad jika suatu mampu mengubahnya dengan tangan atau lisannya maka ia akan melakukannya.Tidak ada kesusahan dalam agama. Maksudnya kewajiban dalam agama itu dilaksanakan dengan syarat mampu.Mengingkari kemungkaran dengan tangan tidak boleh dilakukan oleh setiap orang pada setiap kemungkaran, karena berpotensi menimbulkan banyak kerusakan dan bahaya.Mengingkari kemungkaran dilakukan dengan tangan, lisan, dan hati. Dan mengingkari kemungkaran dengan hati konsekuensinya adalah meninggalkan tempat kemungkaran.Iman adalah amal dan niat. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan tingkatan ini termasuk iman. Mengingkari dengan tangan dan lisan adalah amal, sedang hati adalah niat dan ia termasuk perbuatan hati.Orang yang khawatir bahaya menimpa diri, harta atau keluarganya, kewajibannya mengingkari kemungkaran dengan tangan dan lisannya menjadi gugur.Mengingkari kemungkaran mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Islam bahkan dapat menyamai ganjaran generasi pertama, bila terpenuhi syarat dan ketentuannya.Mengingkari kemungkaran dengan lisan sama dengan dakwah di jalan Allâh, dilakukan dengan perkataan yang hak, lemah lembut, memberikan nasihat dan pelajaran yang baik.Kemungkaran dan maksiat di muka bumi sangat banyak, karena itu wajib bagi setiap da’i atau ustadz untk mencegahnya.Orang yang tidak mengingkari kemungkaran dengan hatinya, maka ia akan binasa. Sebagaimana yang dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu an hu.Bahaya meninggalkan amar ma’rûf nahi munkar sangat besar, di antaranya ialah dijauhkan dari rahmat Allâh, mendapatkan hukuman, tidak dikabulkannya do’a, dan lain-lain.[49]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIV/1430H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/245)
[2] Mufradât fî Gharîbil Qur’ân (hlm. 561)
[3] Iqtidhâ’ush Shirâtil Mustaqîm (I/106) tahqiq Dr. Nashir bin ‘Abdul Karîm al-‘Aql.
[4] Haqîqatul Amri bil Ma’rûf wan Nahyi ‘anil Munkar (hlm. 11).
[5] Lihat al-Kabâir wash Shaghâir ‘Anwâ’uha wa Ahkâmuha (hlm. 205).
[6] Iqtidhâ’ush Shirâtil Mustaqîm (I/106).
[7] Irsyâdul Fuhûl (I/247) tahqiq Dr. Sya’bân Muhammad Ismâ’îl.
[8] Lihat al-Qâ’idatul Muhimmah fil Amri bil Ma’rûf wan Nahyi ‘anil Munkar fî Dhau-il Kitâbi was Sunnah (hlm. 6-7) karya Dr. Hamûd bin Ahmad ar-Ruhaili, dengan diringkas.
[9] Mukhtashar Minhâjil Qâshidîn (hlm. 156).
[10] Al-Amru bil Ma’rûf wan  Nahyu ‘anil Munkar (hlm. 30) tahqiq Abu ‘Abdillah Muhammad bin Sa’id bin Ruslan.
[11]  Tafsîr Ibni Katsîr (II/91).
[12]  Ahkâmul Qur’ân (I/292).
[13]  Qawâ’id wa Fawâ-id (hlm. 287) dengan diringkas.
[14] Hasan: HR. Abu Dâwud (no. 4345) dari al-‘Urs bin ‘Amirah al-Kindi Radhiyallahu anhu. Dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam Hidâyatur Ruwât (no  5069).
[15]  Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id (hlm. 288).
[16] Syarah Shahiih Muslim (II/23).
[17]  Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/245).
[18] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/246).
[19] Shahih: HR. Abu Dâwud (no. 4338) dan ini lafadznya, Ahmad (I/2, 5, 7), at-Tirmidzi (no. 2168, 3057), Ibnu Mâjah (no. 4005), dan Ibnu Hibbân (no. 304, 305). Lihat Takhrîj Hidâyatur Ruwât (IV/485, no. 5070).
[20] Shahih: HR. Ahmad (III/27,29), Ibnu Mâjah (no. 4017), al-Humaidi dalam Musnadnya(no.739) dan Ibnu Hibbân (no. 7324- at-Ta’lîqâtul Hisân). Lihat Silsilatul Ahâdîtsish Shahîhah (no. 929).
[21]  Shahih: HR. Ahmad (III/5, 19, 44, 47, 50, 53, 71, 87, 92), at-Tirmidzi (no. 2191), Ibnu Mâjah (no. 4007), dan Ibnu Hibbân (no. 275, 278-at-Ta’lîqâtul Hisân), al-Hâkim (IV/506), Abu Dâwud at-Thayâlisi (no 2265,2270), dan Abu Ya’la (no 1207),Dishahihkan oleh syaikh al-Albâni dalam at-Ta’lîqâtul Hisân ‘ala Shahîh ibni Hibbân(no 275,278) dan dalam Silsilah al-ahâdîts ash-Shahîhah (no 168).
[22]  Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/248).
[23] Shahih: HR. Abu Dâwud (no. 4344), at-Tirmidzi (no. 2174), dan Ibnu Mâjah (no. 4011) dari Abu Sa’id al-Khudri t. Diriwayatkan juga oleh Ahmad (V/251, 656), Ibnu Mâjah (no. 4012), ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul Kabîr (VIII/282, no. 8081), dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 2473), dan selainnya dari Shahabat Abu Umamah Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilatul Ahâdîtsis Shahîhah (no. 491).
[24] Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/248).
[25] Shahih: HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (II/507-508, bab Kaifa Nashîhatur Ra’iyyah lil Wulât, no. 1096, 1097, 1098), Ahmad (III/ 403-404) dan al-Hâkim (III/290) dari Shahabat ‘Iyâdh bin Ghunm Radhiyallahu anhu.
[26] I’laamul Muwaqqi’iin (IV/338-339). Lihat Dhawaabith al-Amri bil Ma’ruf wan Nahyi ‘anil Munkar (hlm. 39-40).
[27] I’laamul Muwaqqi’iin (IV/337).
[28] I’laamul Muwaqqi’iin (IV/338).
[29]  Lihat Qawaa’id wa Fawaa-id (hlm. 288-289).
[30]  Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam al–Mushannaf (no. 18945), Abu Dawud (no. 4890), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabiir (no. 9741), dan al-Baihaqi (VIII/334) dengan sanad yang shahih.
[31]  Shahih: HR. Muslim (no. 50 (80)) dan Ahmad (I/458), Abu ‘Awanah (I/35-36), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabiir (no. 9784), dan Ibnu Mandah dalam Kitaabul Iimaan (no. 184) dari Shahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu.
[32] Lihat Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam (II/253).
[33]  Atsar shahih: Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabiir (IX/no. 8564) dan Ibnu Abi Syaibah dalam al–Mushannaf (no. 38577). Imam al-Haitsami berkata dalam Majma’uz Zawaa-id (VII/275), “Rawi-rawinya adalah rawi-rawi kitab ash-Shahiih.”
[34] Lihat Qawaa’id wa Fawaa-id (hlm. 289).
[35]  Lihat Qawâ’id wa Fawâ’id (hlm. 290-291).
[36]  Lihat Majmû’ Fatâwâ (20/214; 24/172).
[37]  Zâdud Dâ’iyah (hlm. 7-8) dengan diringkas.
[38]  Al-Amru bil Ma’rûf wan Nahyu ‘anil Munkar (hlm. 48) karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[39]  Lihat Qawâ’id wa Fawâ’id (292-293).
[40]  Jâmi’ul ‘ulûm wal hikam (II/256).
[41]  Lihat Haqîqatul Amri bil Ma’rûf (hlm. 81-82) dengan diringkas.
[42] Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 3267) dan Muslim (no. 2989).
[43] Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id (hlm. 294).
[44] Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 2493, 2686), at-Tirmidzi (no. 2173), Ahmad (4/268, 269, 270), al-Baihaqi (10/91) dan al-Baghawi (no. 4151), dari Shahabat an-Nu’mân bin Basyir z.
[45] Shahih: HR. Abu Dâwud (no. 4338), at-Tirmidzi (no. 2168, 3057), Ibnu Mâjah (no. 4005), dan selainnya dari Shahabat Abu Bakar ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu. Dishahihkan oleh Syaikh Albâni dalam Silsilatul Ahâdîtsis Shahîhah (no. 1564).
[46] Hasan: HR. Ahmad (V/388-389) dan at-Tirmidzi (no. 2169), dari Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiyallahu anhu. Dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam Hidâyatur Ruwât ‘ala Takhrîjil Ahâdîts Mashâbîh wal Misykât (no. 5068).
[47] Shahih: HR. Ahmad (II/160), Abu Dâwud (no. 4941), at-Tirmidzi (no. 1924), al-Hâkim (IV/159), dan selainnya dari ‘Abdullah bin ‘Amr z .
[48] Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 3477), dan selainnya dari Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu.
[49] Untuk lebih lengkapnya, silakan lihat Buku ‘Amar Ma’rûf Nahi Munkar’ karya Yazid bin Abdul Qadîr Jawas, cet. II, Pustaka At-Taqwa, th. 2009 M.

Read more https://almanhaj.or.id/12342-amar-maruf-nahi-munkar-menurut-ahlus-sunnah-wal-jamaah.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar