27 SYARAH HADITS ARBAIN KE 27
KEBAIKAN DAN DOSA
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
عَنِ النَّوَّاسِ بْنِ سَمْعَانِ اْلأََنْصَارِيِّ ، قَالَ : سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللّٰـهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْبِرِّ وَاْلإِثْمِ ، فَقَالَ : اَلْبِرُّ حُسْنُ الْـخُلُقِ ، وَاْلإِثْمُ مَا حَاكَ فِـيْ صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ. (رَوَاهُ مُسْلِمٌ) وَعَنْ ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيِّ قَالَ : قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، أَخْبِرْنِـيْ بِمَـا يَـحِلُّ لِـيْ وَ يَـحْرُمُ عَلَيَّ ؟ قَالَ : فَصَعَّدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَوَّبَ فِيَّ النَّظَرَ ، فَقَالَ : اَلْبِرُّ مَا سَكَنَتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ ، وَاْلإِثْمُ مَا لَـمْ تَسْكُنْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَلاَ يَطْمَئِنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ ، وَإِنْ أَفْتَاكَ الْـمُفْتُوْنَ
Dari an-Nawwâs bin Sam’ân Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebajikan dan dosa, maka beliau menjawab, “Kebajikan adalah akhlak yang baik dan dosa adalah apa yang membuat bimbang (ragu) hatimu dan engkau tidak suka dilihat (diketahui) oleh manusia.” [HR. Muslim]
Dan dari Abu Tsa’labah al-Khusyani, ia berkata: Aku berkata, “Wahai Rasulullâh! Jelaskan apa saja yang halal dan haram bagiku.” Beliau bersabda, “Kebajikan ialah apa saja yang apa saja yang menjadikan jiwa tenang dan hati menjadi tenteram. Dan dosa ialah apa saja yang menjadikan jiwa tidak tenang dan hati tidak tenteram kendati para pemberi fatwa berfatwa kepadamu.” [HR. Ahmad][1]
TAKHRIJ HADITS:
Hadits an-Nawwâs bin Sam’ân Radhiyallahu anhu shahîh, diriwayatkan oleh:
1. Muslim no. 2553 dan ini lafazhnya.
2. Ahmad IV/182.
3. At-Tirmidzi no. 2389.
4. Ad-Dârimi II/322.
5. Al-Bukhâri dalam al-Adabul Mufrad no. 295, 302.
6. Ibnu Hibbân no. 398-at-Ta’lîqâtul Hisân.
7. Al-Hâkim II/14.
At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahîh.” Dan al-Hâkim berkata, “Hadits ini shahîhul isnâd (sanadnya shahîh).”
Hadits an-Nawwâs bin Sam’ân Radhiyallahu anhu shahîh, diriwayatkan oleh:
1. Muslim no. 2553 dan ini lafazhnya.
2. Ahmad IV/182.
3. At-Tirmidzi no. 2389.
4. Ad-Dârimi II/322.
5. Al-Bukhâri dalam al-Adabul Mufrad no. 295, 302.
6. Ibnu Hibbân no. 398-at-Ta’lîqâtul Hisân.
7. Al-Hâkim II/14.
At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahîh.” Dan al-Hâkim berkata, “Hadits ini shahîhul isnâd (sanadnya shahîh).”
Hadits Abu Tsa’labah al-Khusyani shahîh, diriwayatkan oleh:
1. Ahmad (IV/194)
2. Ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul Kabîr XXII/no. 585.
Lihat Shahîhul-Jâmi’ish Shaghîr no. 2881
1. Ahmad (IV/194)
2. Ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul Kabîr XXII/no. 585.
Lihat Shahîhul-Jâmi’ish Shaghîr no. 2881
SYARAH HADITS
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu bahwa ia berkata:
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu bahwa ia berkata:
إِنَّ اْلإِثْمَ حَوَّازُ الْقُلُوْبِ ، فَمَـا حَزَّ فِيْ قَلْبِ أَحَدِكُمْ شَيْءٌ فَلْيَدَعْهُ
Sesungguhnya dosa itu membekas di hati. Jika ada sesuatu yang membekas di hati seorang di antara kalian maka tinggalkanlah.[2]
Hadits-hadits di atas mengandung penafsiran tentang kebaikan dan dosa. Dan sebagian hadits tersebut memuat tentang halal dan haram. Di hadits an-Nawwâs bin Sam’ân, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menafsirkan kebaikan dengan akhlak yang baik.
1. PENGERTIAN اَلْبِرُّ “AL-BIRRU” (KEBAJIKAN)
Al-birru artinya ath-thâ’ah wash shidq (ketaatan dan kejujuran). Para Ulama berkata: al-birru bisa bermakna menyambung hubungan kekeluargaan, bersikap lemah lembut, mengajak kepada kebaikan, bersikap baik dalam berteman dan bersahabat, juga bermakna ketaatan. Semua perkara ini merupakan himpunan dari akhlak yang mulia.[3] Imam Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah berkata, “Al-Birru adalah satu kata yang mencakup setiap perbuatan baik dan perkara-perkara kebajikan, dan ini adalah pengertian yang mencakup. Di dalam hadits an-Nawwâs bin Sam’ân, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendefinisikan al-birru (kebaikan) dengan akhlak yang baik. Sedangkan dalam hadits (Abu Tsa’labah al-Khusyani), Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendefinisikan al-birru (kebaikan) dengan sesuatu yang membuat jiwa menjadi tenteram.”[4]
Al-birru artinya ath-thâ’ah wash shidq (ketaatan dan kejujuran). Para Ulama berkata: al-birru bisa bermakna menyambung hubungan kekeluargaan, bersikap lemah lembut, mengajak kepada kebaikan, bersikap baik dalam berteman dan bersahabat, juga bermakna ketaatan. Semua perkara ini merupakan himpunan dari akhlak yang mulia.[3] Imam Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah berkata, “Al-Birru adalah satu kata yang mencakup setiap perbuatan baik dan perkara-perkara kebajikan, dan ini adalah pengertian yang mencakup. Di dalam hadits an-Nawwâs bin Sam’ân, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendefinisikan al-birru (kebaikan) dengan akhlak yang baik. Sedangkan dalam hadits (Abu Tsa’labah al-Khusyani), Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendefinisikan al-birru (kebaikan) dengan sesuatu yang membuat jiwa menjadi tenteram.”[4]
Para Ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan al-birru (kebaikan), karena kebaikan dikonotasikan dengan dua pengertian:
Pertama: Mempergauli manusia dengan cara berbuat baik kepada mereka. Bisa saja, kebaikan diartikan khusus, yaitu berbakti kepada kedua orang tua. Jadi, kebaikan adalah berbakti kepada kedua orang tua. Namun, biasanya kebaikan diartikan dengan berbuat baik kepada manusia secara umum. Ibnul Mubârak t menulis buku yang beliau beri judul Kitâbul Birri wash Shilah (Kitab tentang Kebaikan dan Silaturahmi).
Demikian pula dalam Shahîh al-Bukhâri dan Jâmi’ at-Tirmidzi terdapat pembahasan tentang al-birr wash shilah (kebaikan dan silaturahmi). Kitab-kitab tersebut membahas tentang berbuat baik kepada manusia secara umum dan berbakti kepada kedua orang tua lebih didahulukan daripada orang lain.[5]
Kedua: Makna al-birru (kebaikan) yang kedua ialah mengerjakan kebaikan yang tampak dan tersembunyi, misalnya firman Allah Azza wa Jalla :
وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا ۖ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ ۗ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
“…Tetapi kebajikan itu adalah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari Akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” [al-Baqarah/2: 177]
Kebaikan menurut makna kedua ini mencakup seluruh ketaatan yang tersembunyi, seperti beriman kepada Allah Azza wa Jalla , para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan para rasul-Nya. Begitu juga seluruh ketaatan yang terlihat seperti berinfak dengan harta yang dicintai Allah Azza wa Jalla , mendirikan shalat, membayar zakat, menepati janji, sabar terhadap takdir seperti sakit dan kemiskinan, dan sabar terhadap ketaatan-ketaatan seperti sabar ketika bertemu musuh.[6]
Jika kata al-birru (kebaikan) digabung dengan kata takwa, seperti terdapat dalam firman Allah Azza wa Jalla :
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ
“…Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa…” [al-Mâidah/5:2]
Maka makna al-birru (kebaikan) tersebut ialah mempergauli manusia dengan baik dan yang dimaksud dengan takwa di dalamnya ialah melaksanakan ibadah kepada Allah Azza wa Jalla dengan mengerjakan ketaatan-ketaatan dan menjauhi hal-hal yang Dia haramkan. Atau bisa jadi, yang dimaksud dengan kebaikan itu ialah mengerjakan kewajiban-kewajiban dan yang dimaksud dengan takwa ialah menjauhi hal-hal yang diharamkan.
Dan firman Allah Azza wa Jalla :
وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“…Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan…” [al-Mâidah/5:2]
Bisa jadi, yang dimaksud dengan kata dosa dalam ayat tersebut ialah kemaksiatan-kemaksiatan, sedang yang dimaksud dengan kata permusuhan ialah menzhalimi manusia. Atau bisa jadi yang dimaksud dengan kata dosa tersebut ialah sesuatu yang diharamkan seperti zina, pencurian, meminum minuman keras dan yang dimaksud dengan kata permusuhan pada ayat tersebut ialah melebihi sesuatu yang diizinkan kepada sesuatu yang dilarang dikerjakan dari hal-hal yang jenisnya diizinkan, misalnya membunuh orang yang boleh dibunuh karena qishâsh dan membunuh orang yang tidak boleh dibunuh, mengambil zakat melebihi yang diwajibkan, mencambuk melebihi jumlah yang diperintahkan, dan lain sebagainya.”[7] Wallâhu a’lam.
2. KEDUDUKAN AKHLAK
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Kebajikan adalah akhlak yang baik.”
Maknanya ialah akhlak yang baik merupakan perkara kebajikan yang paling besar (paling agung). Ini sama seperti sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Kebajikan adalah akhlak yang baik.”
Maknanya ialah akhlak yang baik merupakan perkara kebajikan yang paling besar (paling agung). Ini sama seperti sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
اَلْـحَجُّ عَرَفَةُ
Haji itu (wukuf) di ‘Arafah.[8]
Maksudnya, wukuf di ‘Arafah itu adalah rukun haji yang paling besar dan haji tidak sah tanpa mengerjakannya.[9]
Al-Hâfizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Bisa jadi, jawaban Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di hadits an-Nawwâs bin Sam’ân Radhiyallahu anhu itu mencakup seluruh perbuatan tersebut, karena terkadang yang dimaksudkan dengan akhlak yang baik itu ialah berakhlak dengan akhlak syari’at dan beradab kepada Allah Azza wa Jalla sebagaimana yang Allah Azza wa Jalla ajarkan kepada para hamba-Nya dalam al-Qur`ân, seperti difirmankan Allah Azza wa Jalla tentang Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur.” [al-Qalam/68:4]
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata:
كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنُ
Akhlak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah al-Qur`ân.[10]
Maksudnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berakhlak dengan akhlak al-Qur`ân kemudian mengerjakan apa saja yang diperintahkan al-Qur`ân dan menjauhi apa saja yang dilarangnya. Jadi, mengamalkan al-Qur`ân itu adalah akhlak layaknya watak yang tidak terpisahkan. Ini termasuk akhlak yang paling mulia dan paling indah. Ada yang mengatakan bahwa agama seluruhnya adalah akhlak.”[11]
Imam Ibnul Mubârak rahimahullah berkata tentang akhlak yang mulia:
هُوَ بَسْطُ الْوَجْهِ ، وَبَذْلُ الْـمَعْرُوْفِ ، وَكَفُّ اْلأَذَى
Yaitu wajah yang berseri, berbuat kebaikan, dan menahan diri dari mengganggu orang lain.”[12]
3. FITRAH MANUSIA MENCINTAI KEBAJIKAN DAN KEBENARAN
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Tsa’labah Radhiyallahu anhu , “Apa saja yang menyebabkan jiwa menjadi tenang dan hati menjadi tenteram”. Dalam salah satu riwayat disebutkan, “Apa saja yang menyebabkan hati menjadi senang.”
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Tsa’labah Radhiyallahu anhu , “Apa saja yang menyebabkan jiwa menjadi tenang dan hati menjadi tenteram”. Dalam salah satu riwayat disebutkan, “Apa saja yang menyebabkan hati menjadi senang.”
Ini menunjukkan bahwa Allah Azza wa Jalla menciptakan hamba-hamba-Nya agar mengetahui kebenaran, merasa senang dengannya, dan menerimanya. Ini juga menunjukkan bahwa Allah Azza wa Jalla menciptakan tabi’at mereka mencintai kebenaran dan tidak menyukai kebathilan. Hal ini masuk juga dalam firman Allah Azza wa Jalla dalam hadits qudsi di hadits ‘Iyâdh bin Himar:
وَإِنِّـيْ خَلَقْتُ عِبَادِيْ حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ ، وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِيْنُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِيْنِهِمْ ، وَحَرَّمَتْ عَلَيْهِمْ مَا أَحْلَلْتُ لَـهُمْ وَأَمَرَتْهُمْ أَنْ يُشْرِكُوْا بِـيْ مَا لَـمْ أُنْزِلْ بِهِ سُلْطَانًا
Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku semuanya dalam keadaan lurus, dan sungguh, setan datang kepada mereka lalu mengalihkan mereka dari agama mereka, mengharamkan kepada mereka apa saja yang Aku halalkan bagi mereka, dan menyuruh mereka mempersekutukan-Ku dengan sesuatu yang tidak Aku turunkan keterangan tentangnya.”[13]
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ ؛ كَمَـا تُنْتَجُ الْبَهِيْمَةُ بَهِيْمَةً جَمْعَاءَ. هَلْ تُـحِسُّوْنَ فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ ؟
Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam) kemudian kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi orang Yahudi, Nasrani, dan Majusi. Seperti hewan yang dilahirkan dari hewan sempurna; apakah kalian merasakan ada yang terpotong pada organ tubuhnya?
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, “Jika kalian mau silakan baca:
فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
“…(Sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia menciptakan manusia menurut (fitrah) itu…” [ar-Rûm/30:30] [14]
Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla menamakan apa saja yang Dia perintahkan sebagai kebaikan dan apa saja yang Dia larang sebagai kemungkaran.[15] Allah Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan…” [an-Nahl/16:90]
Allah Azza wa Jalla berfirman tentang sifat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
“…Dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka…” [al-A’râf/7:157]
Allah Azza wa Jalla juga menjelaskan bahwa hati kaum Mukminin menjadi tenteram dengan berdzikir kepada-Nya. Jadi, hati yang dimasuki cahaya iman dan senang dengan keimanan itu menjadi tenteram dengan kebenaran, damai dengannya, menerimanya, serta jauh dari kebatilan, membenci kebatilan itu, dan tidak menerimanya.[16]
Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu berkata, “…Jauhkan diri kalian dari perkara-perkara yang baru (yang diada-adakan dalam agama) karena setiap yang baru adalah bid’ah….” (Kemudian) beliau berkata, “Terimalah kebenaran jika engkau mendengarnya, karena di atas kebenaran itu terdapat cahaya.”[17]
Ini menunjukkan bahwa kebenaran dan kebatilan tidak terlihat samar bagi orang Mukmin yang mempunyai bashîrah (ilmu yang yakin). Namun, ia mengetahui kebenaran dengan cahaya yang ada padanya kemudian hatinya menerima kebenaran itu dan lari dari kebatilan kemudian menghindarinya dan tidak mengenalnya.[18]
Termasuk dalam makna ini ialah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
سَيَكُوْنُ فِـيْ آخِرِ أُمَّتِيْ أُنَاسٌ يُحَدِّثُوْنَكُمْ مَـا لَـمْ تَسْمَعُوْا أَنْتُمْ وَلاَ آبَاؤُكُمْ ، فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُمْ
“Pada akhir zaman akan ada kaum yang berbicara kepada kalian dengan sesuatu yang tidak pernah kalian dengar dan tidak pula pernah didengar nenek moyang kalian. Maka hati-hatilah terhadap mereka.”[19]
Maksudnya, mereka membawa sesuatu yang ditolak hati kaum Mukminin dan tidak dikenal jiwa mereka. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Dan tidak pula pernah didengar nenek moyang kalian.” Adalah isyarat bahwa sesuatu yang dikenal kuat kaum Mukminin kendati berganti zaman adalah kebenaran dan apa saja yang terjadi setelah itu di antara hal-hal yang ditolak hati itu tidak ada kebaikan di dalamnya.
Hadits Abu Tsa’labah Radhiyallahu anhu dan hadits-hadits yang semakna menunjukkan keharusan kembali kepada hati jika perkara-perkara samar terjadi. Apa saja yang disenangi hati dan dada maka merupakan kebenaran dan halal, sedang kebalikannya adalah dosa dan haram.
5. اَلإِثْمُ (DOSA)
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits an-Nawwâs bin Sam’ân, “Dosa adalah apa saja yang membuat bimbang (ragu) hatimu dan engkau tidak suka dilihat (diketahui) oleh manusia.”
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits an-Nawwâs bin Sam’ân, “Dosa adalah apa saja yang membuat bimbang (ragu) hatimu dan engkau tidak suka dilihat (diketahui) oleh manusia.”
Sabda beliau ini hanya bagi orang yang hatinya bersih dan sehat. Baginya, semua yang menyesakkan jiwanya adalah perbuatan dosa dan ia tidak suka jika diketahui manusia.
Adapun orang yang tidak taat kepada Allah Azza wa Jalla dan hati mereka telah menjadi keras, maka mereka tidak akan peduli, atau malah berbangga diri ketika melakukan kemungkaran dan dosa. Pembicaraan di sini tidak bersifat umum yang berlaku bagi setiap orang, tetapi khusus bagi mereka yang memiliki hati yang sehat dan bersih.[20]
Sabda beliau di atas merupakan isyarat bahwa dosa ialah sesuatu yang meresap di dada, berupa kesempitan, kekalutan, stres, dan dada tidak senang kepadanya. Kendati demikian, dosa tersebut ditolak manusia, dalam arti mereka menolaknya jika mereka melihatnya. Ini tingkatan tertinggi pengetahuan terhadap dosa ketika perkara-perkara samar terjadi. Jadi, dosa ialah sesuatu yang ditolak manusia.[21]
Termasuk dalam pengertian ini ialah perkataan Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu :
مَا رَآهُ الْـمُؤْمِنُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ ، وَمَا رَآهُ الْـمُؤْمِنُوْنَ قَبِيْحًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ قَبِيْحٌ
Apa saja yang dipandang baik oleh kaum Mukminin, maka itu baik di sisi Allah Azza wa Jalla dan apa saja yang dipandang buruk oleh kaum Mukminin, maka itu buruk di sisi Allah Azza wa Jalla.[22]
Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Dosa ialah perbuatan yang menyebabkan pelakunya layak mendapatkan celaan.”[23]
Ibnu Hajar al-Haitami berkata, “Al-Itsmu (dosa) ialah satu kata yang mencakup untuk setiap perbuatan buruk dan jelek, baik yang besar maupun yang kecil.”
Dosa memiliki dua tanda:[24]
Pertama: Tanda yang berasal dari dalam jiwa, yaitu seseorang merasakan kegelisahan dan kegoncangan di dalam jiwanya serta lari dan membencinya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Pertama: Tanda yang berasal dari dalam jiwa, yaitu seseorang merasakan kegelisahan dan kegoncangan di dalam jiwanya serta lari dan membencinya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
…وَاْلإِثْمُ مَا حَاكَ فِـيْ نَفْسِكَ …
“…Dosa ialah apa yang membuat bimbang (ragu/tidak tenang) di jiwamu…”
Maknanya: dosa ialah sesuatu yang meresap di dada, berupa kesempitan, kekalutan, stres, dan dada tidak senang dan tidak merasa tenteram kepadanya.[25]
Maknanya: dosa ialah sesuatu yang meresap di dada, berupa kesempitan, kekalutan, stres, dan dada tidak senang dan tidak merasa tenteram kepadanya.[25]
Kedua: Tanda yang berasal dari luar jiwa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
…وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ
“…Dan engkau tidak suka manusia melihatnya.”
Suatu perbuatan yang tidak suka jika dilihat oleh orang yang memiliki keutamaan adalah tanda dari dosa, dengan syarat bahwa pendorong ketidaksukaannya itu adalah karena agama, bukan karena adat kebiasaan.
Jika terkumpul dalam suatu perbuatan: (1) ketidaksukaan (kebencian) dilihat oleh manusia dan (2) kegoncangan, kekalutan jiwa, serta hati tidak merasa tentram dengan perbuatan itu, maka ini adalah tingkatan yang paling jelas dalam mengetahui dosa, terutama ketika terjadi kesamaran.[26]
6. WAJIB TUNDUK KEPADA WAHYU MESKIPUN JIWA TIDAK MENYUKAINYA
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Tsa’labah al-Khusyani Radhiyallahu anhu , “Kendati para pemberi fatwa berfatwa kepadamu.”
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Tsa’labah al-Khusyani Radhiyallahu anhu , “Kendati para pemberi fatwa berfatwa kepadamu.”
Maksudnya, setiap hal yang meresahkan dada, membuat seseorang menjadi ragu ragu, bimbang dan tidak tenang adalah dosa, kendati orang lain berfatwa kepadanya bahwa itu bukan dosa. Ini tingkatan kedua, yaitu sesuatu yang ditolak oleh pelakunya, dan bukan oleh orang lain, serta pelakunya menganggapnya sebagai dosa. Hal itu apabila pelakunya termasuk orang-orang yang beriman, dan pemberi fatwa tersebut berfatwa kepadanya hanya berdasarkan dugaan atau kecenderungan kepada hawa nafsu saja tanpa didukung dalil syar’i.
Namun, jika pemberi fatwa mempunyai dalil syar’i, maka peminta fatwa wajib taat kepada pemberi fatwa kendati dadanya tidak senang kepadanya. Contoh dalam kasus ini ialah keringanan-keringanan (rukhshah) syar’i seperti tidak puasa di perjalanan dan sakit, mengqashar shalat di perjalanan, dan lain-lain di antara hal-hal yang dada orang-orang bodoh tidak suka kepadanya. Ketidaksukaan mereka tidak ada artinya.
Buktinya, terkadang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh para Sahabat mengerjakan hal-hal yang tidak disukai hati mereka namun mereka menolak mengerjakannya, akibatnya beliau marah karena sikap mereka tersebut, misalnya beliau menyuruh mereka merubah haji mereka menjadi umrah [27] kemudian perintah beliau tersebut tidak disukai beberapa orang dari mereka yang tidak menyukainya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan mereka menyembelih hewan kurban mereka dan bertahallul dari umrah al-Hudaibiyyah, namun mereka tidak menyukai perintah beliau tersebut. Mereka juga tidak menyukai perdamaian beliau dengan orang-orang Quraisy dengan syarat beliau pulang tanpa melakukan umrah pada tahun al-Hudaibiyyah dan siapa saja dari orang-orang Quraisy yang datang kepada beliau maka beliau harus memulangkannya. [28]
Kesimpulannya, apa saja yang di dalamnya terdapat nash syar’i, maka tidak ada kata lain bagi orang Mukmin kecuali taat kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya.[29] Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang Mukmin dan perempuan yang Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan satu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” [al-Ahzâb/33:36]
Orang Mukmin sudah sepatutnya menerima perintah syar`i dengan lapang dada dan ridha, karena apa saja yang disyari’atkan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya wajib diimani, diridhai, dan diterima.[30] Allah Azza wa Jalla berfirman:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Rabb-mu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hâkim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuh hati.” [an-Nisâ’/4:65]
7. MEMINTA FATWA KEPADA HATI KETIKA TERJADI KESAMARAN
Adapun sesuatu yang di dalamnya tidak terdapat nash dari Allah Azza wa Jalla , Rasul-Nya, dan dari orang-orang yang ucapannya layak diikuti, yaitu para Sahabat dan generasi Salaf, maka jika di dalam jiwa orang yang tenteram, hatinya beriman, hatinya terbuka kepada cahaya ma’rifat dan keyakinan terdapat sesuatu, goncang di dadanya karena adanya syubhat, dan tidak mendapatkan orang yang memberi fatwa berupa keringanan di dalamnya, namun yang ada adalah orang yang berfatwa berdasarkan akalnya, ilmu dan agamanya tidak mumpuni, dan ia dikenal menuruti keinginan hawa nafsu, maka orang Mukmin kembali kepada hati meskipun orang tidak berilmu berfatwa.
Adapun sesuatu yang di dalamnya tidak terdapat nash dari Allah Azza wa Jalla , Rasul-Nya, dan dari orang-orang yang ucapannya layak diikuti, yaitu para Sahabat dan generasi Salaf, maka jika di dalam jiwa orang yang tenteram, hatinya beriman, hatinya terbuka kepada cahaya ma’rifat dan keyakinan terdapat sesuatu, goncang di dadanya karena adanya syubhat, dan tidak mendapatkan orang yang memberi fatwa berupa keringanan di dalamnya, namun yang ada adalah orang yang berfatwa berdasarkan akalnya, ilmu dan agamanya tidak mumpuni, dan ia dikenal menuruti keinginan hawa nafsu, maka orang Mukmin kembali kepada hati meskipun orang tidak berilmu berfatwa.
Imam Ahmad rahimahullah dan lain-lain mencela orang-orang sufi yang membicarakan waswas dan lintasan jiwa karena perkataan mereka tentang hal-hal tersebut tidak berpatokan kepada dalil syar’i dan justru berpatokan kepada akal saja dan perasaan, sebagaimana ia mengecam pembahasan halal haram hanya dengan mengandalkan pendapat akal tanpa dalil syar’i.
Adapun mengembalikan perkara-perkara syubhat kepada hal-hal yang membekas di hati, maka itu ditunjukkan oleh nash-nash nabawiyyah dan fatwa-fatwa para Sahabat.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِيْنَةٌ ، وَالْكَذِبَ رِيْبَةٌ
Kejujuran itu ketentraman dan dosa itu keragu-raguan.
Jadi, kejujuran berbeda dengan kedustaan, karena hati senang kepada kejujuran, mengenalnya, membenci kebohongan, dan menolaknya, seperti dikatakan ar-Rabî’ Khaitsam, “Sesungguhnya hadits mempunyai cahaya seperti cahaya siang yang engkau kenal dan kedustaan itu mempunyai kegelapan seperti kegelapan malam yang engkau tidak mengenalnya.”[31]
FAEDAH HADITS
1. Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberikan jawâmi’ul kalim, yaitu perkataan yang sedikit kalimatnya, tetapi memiliki makna yang sangat banyak dan luas.
1. Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberikan jawâmi’ul kalim, yaitu perkataan yang sedikit kalimatnya, tetapi memiliki makna yang sangat banyak dan luas.
2. Kalimat al-birru (اَلْبِرُّ) mencakup semua kebaikan, dan kalimat al-itsmu (اَْلإِثْمُ) mencakup semua kejelekan.
3. Dosa mempunyai dua tanda: (1) keraguan, kebimbangan, dan kegoncangan hati dan (2) tidak suka dilihat oleh manusia.
4. Anjuran untuk berakhlak mulia, kapan saja seseorang berakhlak baik maka ia telah melakukan kebajikan.
5. Bahwa seorang Mukmin yang hatinya bersih dan sehat maka perbuatan dosa itu dapat menggoncangkan (membuat tidak tenang) jiwanya meskipun ia tidak tahu bahwa itu perbuatan dosa.
6. Seorang Mukmin tidak senang jika dosanya dilihat oleh manusia, sedangkan orang yang fâjir (jahat) yang melewati batas justru malah senang jika dosanya dilihat oleh manusia.
7. Bolehnya berfatwa kepada hati dan jiwa, tetapi orang yang berfatwa dan kembali kepada hati dan jiwanya ini adalah orang yang istiqâmah (lurus agamanya) dengan mentauhidkan Allah Azza wa Jalla dan mengamalkan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
8. Jangan manusia tertipu dengan fatwa manusia, terlebih ketika pada dirinya didapatkan keraguan dalam hatinya.
Banyak manusia meminta fatwa kepada orang alim atau penuntut ilmu lalu dijawab. Tetapi kemudian ia menjadi bingung dan ragu. Apakah bagi orang yang bertanya kemudian bingung ini boleh bertanya kepada orang alim lainnya? Jawabnya: boleh, bahkan hal itu wajib baginya, apabila ia ragu dan bimbang dengan jawaban orang ‘alim yang pertama yang tidak punya dalil.
Banyak manusia meminta fatwa kepada orang alim atau penuntut ilmu lalu dijawab. Tetapi kemudian ia menjadi bingung dan ragu. Apakah bagi orang yang bertanya kemudian bingung ini boleh bertanya kepada orang alim lainnya? Jawabnya: boleh, bahkan hal itu wajib baginya, apabila ia ragu dan bimbang dengan jawaban orang ‘alim yang pertama yang tidak punya dalil.
9. Rujukan dalam syari’at Islam adalah dalil, bukan berdasarkan apa yang populer di tengah-tengah manusia. Sebab, terkadang sesuatu itu menjadi populer padahal sesuatu itu tidak benar.
10. Hadits ini menunjukkan kedudukan hati dan meminta fatwa kepadanya.
11. Hadits ini mengisyaratkan kedudukan hati yang agung, jika hati itu baik, istiqâmah, memahami prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah agama, maka keputusan hukum hati tersebut dalam perkara yang diragukan (samar) adalah benar. Maka apa yang menjadikan hatinya tenteram adalah kebenaran dan apa yang dibencinya adalah dosa dan kejahatan.
12. Mukjizat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di mana beliau memberitahukan kepada orang yang bertanya tentang pertanyaan yang akan diajukan kepada beliau.
13. Kebenaran dan kebatilan perkaranya tidak akan tersamar bagi seorang Mukmin yang memiki bashîrah (ilmu yang yakin).
14. Hadits ini bukanlah sebagai dalil bagi kaum Shufi yang menggunakan ilham-ilham dan kasyf sebagai dalil dalam mengetahui berbagai hukum.
15. Kembali kepada hati ketika terjadi kesamaran, yang dengannya hati menjadi tenang dan tenteram.
16. Keinginan keras para Shahabat Radhiyallahu anhum untuk mengetahui kebajikan dan dosa serta halal dan haram.
MARAJI’
1. Al-Qur`ân dan terjemahnya.
2. Shahîh al-Bukhâri.
3. Shahîh Muslim
4. Musnad Imam Ahmad
5. Sunan Abu Dâwud
6. Sunan at-Tirmidzi
7. Sunan an-Nasâ`i
8. Sunan Ibnu Mâjah
9. Shahîh Ibnu Hibbân (at-Ta’lîqâtul Hisân).
10. Syarah Shahîh Muslim lin Nawawi.
11. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqîq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhîm Bâjis.
12. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah.
13. Qawâ’id wa Fawâ-id minal ‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nâzhim Muhammad Sulthân.
14. Al-Wâfi fî Syarhil Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.
15. Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn.
16. Bahjatun Nâzhirîn Syarh Riyâdhish Shâlihîn.
17. Al-Arba’în an-Nawawiyyah tahqîq Abu Muhammad ’Isham bin Mar’i.
1. Al-Qur`ân dan terjemahnya.
2. Shahîh al-Bukhâri.
3. Shahîh Muslim
4. Musnad Imam Ahmad
5. Sunan Abu Dâwud
6. Sunan at-Tirmidzi
7. Sunan an-Nasâ`i
8. Sunan Ibnu Mâjah
9. Shahîh Ibnu Hibbân (at-Ta’lîqâtul Hisân).
10. Syarah Shahîh Muslim lin Nawawi.
11. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqîq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhîm Bâjis.
12. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah.
13. Qawâ’id wa Fawâ-id minal ‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nâzhim Muhammad Sulthân.
14. Al-Wâfi fî Syarhil Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.
15. Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn.
16. Bahjatun Nâzhirîn Syarh Riyâdhish Shâlihîn.
17. Al-Arba’în an-Nawawiyyah tahqîq Abu Muhammad ’Isham bin Mar’i.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Adapun hadits berikut yang terdapat di dalam al-Arba’în an-Nawawiyyah, hadits no. 27 sesudah hadits an-Nawwâs bin Sam’ân di atas, yaitu hadits Wâbishah adalah dha’îf (lemah):
وَعَنْ وَابِصَةَ بْنِ مَعْبَدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ؛ قَالَ : أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللّٰـهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ : جِئْتَ تَسْأَلُ عَنِ الْبِرِّ وَاْلإِثْمِ ؟ قُلْتُ : نَعَمْ ، قَالَ : اِسْتَفْتِ قَلْبَكَ ، اَلْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ ، وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ ، وَاْلإِ ثْمُ مَا حَاكَ فِـيْ النَّفْسِ ، وَتَرَدَّدَ فِـي الصَّدْرِ ، وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ قَالَ الشَّيْخُ رَحِمَهُ اللهُ : حَدِيْثٌ حَسَنٌ ، رَوَيْنَاهُ فِـيْ مُسْنَدَي اِلإَمَامَيْنِ أَحْمَدَ وَالدَّارِمِيِّ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ
Dan dari Wâbishah bin Ma’bad Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka beliau bersabda, ‘Engkau datang untuk bertanya tentang kebajikan dan dosa?’ Aku menjawab, ‘Ya.’ Beliau bersabda, ‘Mintalah fatwa kepada hatimu. Kebajikan ialah apa yang membuat tenteram jiwa dan hatimu dan dosa ialah apa saja yang mengoncangkan di jiwa dan meragukan di dada, kendati manusia berfatwa kepadamu.’” Diriwayatkan oleh Ahmad IV/228, ad-Dârimi II/245-246, Abu Ya’la no. 1583, 1584, dan ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul Kabîr XXII/no. 403
Syaikh (Imam an-Nawawi) rahimahullah berkata, “Hadits hasan, kami meriwayatkannya dari Musnad Imam Ahmad dan Musnad ad-Dârimi dengan sanad hasan.”
Hadits di atas dha’îf jiddan (sangat lemah) karena memiliki tiga ‘illat (penyakit):
1. Di dalam sanadnya ada perawi bernama az-Zubair Abu `Abdissalâm termasuk rawi yang majhûl (tidak dikenal). Imam adz-Dzahabi berkata tentangnya, “Tidak dikenal.” (Mîzânul I’tidâl IV/548, no. 10384)
2. Ayyûb bin ‘Abdillâh bin Mikraz adalah perawi yang majhûlul hâl (tidak diketahui identitasnya). Imam Ibnu ‘Adi berkata tentangnya, “Ia memiliki hadits yang tidak dapat diikuti.” Al-Hâfizh berkata, “Mastûr.” Mîzânul I’tidâl I/290, no. 1087 dan Taqrîbut Tahdzîb no. 618.
3. Hadits ini munqathi’ (terputus sanadnya). Wallâhu a’lam.
[2]. Diriwayatkan oleh ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul Kabîr IX/no. 4748. Imam al-Haitsami rahimahullah berkata, “Diriwayatkan oleh ath-Thabrâni semuanya, sanad rawi-rawinya tsiqât.” Majma’uz Zawâid I/176.
[3]. Lihat Syarh Shahîh Muslim XVI/111.
[4]. Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id hlm. 239.
[5]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam II/97.
[6]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam II/98-99.
[7]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam II/98.
[8]. Shahîh: HR. At-Tirmidzi no. 2975, Ibnu Mâjah no. 3015, dan lainnya.
[9]. Lihat Qawâ’id wa Fawâid hlm. 241.
[10]. Shahîh: HR. Muslim no. 746, Abu Dâwud no. 1342, dan Ibnu Hibbân no. 2542-at-Ta’lîqâtul Hisân.
[11]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam II/99.
[12]. Sunan at-Tirmidzi no. 2005.
[13]. Shahîh: HR. Muslim no. 2865.
[14]. Shahîh: HR. al-Bukhâri no. 1359 dan Muslim no. 2658 dari Abu Hurairah z .
[15]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam II/100.
[16]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam II/100.
[17]. Diriwayatkan oleh Abu Dâwud (no. 4611) dengan sanad shahîh. Diriwayatkan juga oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ I/296, no. 785, 786.
[18]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam II/100.
[19]. Shahîh: HR. Muslim no. 6, Ibnu Hibbân no. 6766, dan al-Hâkim I/103.
[20]. Lihat Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah lisy Syaikh Ibni ‘Utsaimîn hlm. 294-295.
[21]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam II/101.
[22]. Hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad I/379, ath-Thayâlisi no. 243, ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul Kabîr no. 8583, al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah no. 105, Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ I/460, no. 1297, dan al-Hâkim III/78-79.
[23]. Tafsîr al-Qurthubi II/20. Dinukil dari Qawâ’id wa Fawâ-id hlm. 239.
[24]. Lihat Qawâ’id wa Fawâid hlm. 240.
[25]. Lihat al-Wâfi fî Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah hlm. 205.
[26]. Lihat Qawâ’id wa Fawâid hlm. 240.
[27]. Diriwayatkan dari Nabi n bahwa beliau memerintahkan perubahan haji menjadi umrah kepada empat belas Shahabat: ‘Aisyah, Hafshah, ‘Ali bin Abi Thâlib, Fathimah binti Rasulullah n , ‘Asma’ binti Abu Bakar, Jâbir bin ‘Abdillâh, Abu Sa’id al-Khudri, al-Barâ’ bin ‘Azib, ‘Abdullâh bin ‘Umar, Anas bin Mâlik, Abu Mûsa al-Asy’ari, ‘Abdullâh bin ‘Abbâs, Sabrah bin Ma’bad al-Juhani, dan Surâqah bin Mâlik al-Mudlaji.” Lihat Zâdul Ma’âd fî Hadyi Khairil ‘Ibâd II/178-186.
[28]. Silakan baca kisah lengkapnya dalam Shahîh al-Bukhâri no. 2731, 2732.
[29]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam II/102.
[30]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam II/103.
[31]. Al-Maudhû’aat I/103 karya Ibnul Jauzi.
_______
Footnote
[1]. Adapun hadits berikut yang terdapat di dalam al-Arba’în an-Nawawiyyah, hadits no. 27 sesudah hadits an-Nawwâs bin Sam’ân di atas, yaitu hadits Wâbishah adalah dha’îf (lemah):
وَعَنْ وَابِصَةَ بْنِ مَعْبَدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ؛ قَالَ : أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللّٰـهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ : جِئْتَ تَسْأَلُ عَنِ الْبِرِّ وَاْلإِثْمِ ؟ قُلْتُ : نَعَمْ ، قَالَ : اِسْتَفْتِ قَلْبَكَ ، اَلْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ ، وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ ، وَاْلإِ ثْمُ مَا حَاكَ فِـيْ النَّفْسِ ، وَتَرَدَّدَ فِـي الصَّدْرِ ، وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ قَالَ الشَّيْخُ رَحِمَهُ اللهُ : حَدِيْثٌ حَسَنٌ ، رَوَيْنَاهُ فِـيْ مُسْنَدَي اِلإَمَامَيْنِ أَحْمَدَ وَالدَّارِمِيِّ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ
Dan dari Wâbishah bin Ma’bad Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka beliau bersabda, ‘Engkau datang untuk bertanya tentang kebajikan dan dosa?’ Aku menjawab, ‘Ya.’ Beliau bersabda, ‘Mintalah fatwa kepada hatimu. Kebajikan ialah apa yang membuat tenteram jiwa dan hatimu dan dosa ialah apa saja yang mengoncangkan di jiwa dan meragukan di dada, kendati manusia berfatwa kepadamu.’” Diriwayatkan oleh Ahmad IV/228, ad-Dârimi II/245-246, Abu Ya’la no. 1583, 1584, dan ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul Kabîr XXII/no. 403
Syaikh (Imam an-Nawawi) rahimahullah berkata, “Hadits hasan, kami meriwayatkannya dari Musnad Imam Ahmad dan Musnad ad-Dârimi dengan sanad hasan.”
Hadits di atas dha’îf jiddan (sangat lemah) karena memiliki tiga ‘illat (penyakit):
1. Di dalam sanadnya ada perawi bernama az-Zubair Abu `Abdissalâm termasuk rawi yang majhûl (tidak dikenal). Imam adz-Dzahabi berkata tentangnya, “Tidak dikenal.” (Mîzânul I’tidâl IV/548, no. 10384)
2. Ayyûb bin ‘Abdillâh bin Mikraz adalah perawi yang majhûlul hâl (tidak diketahui identitasnya). Imam Ibnu ‘Adi berkata tentangnya, “Ia memiliki hadits yang tidak dapat diikuti.” Al-Hâfizh berkata, “Mastûr.” Mîzânul I’tidâl I/290, no. 1087 dan Taqrîbut Tahdzîb no. 618.
3. Hadits ini munqathi’ (terputus sanadnya). Wallâhu a’lam.
[2]. Diriwayatkan oleh ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul Kabîr IX/no. 4748. Imam al-Haitsami rahimahullah berkata, “Diriwayatkan oleh ath-Thabrâni semuanya, sanad rawi-rawinya tsiqât.” Majma’uz Zawâid I/176.
[3]. Lihat Syarh Shahîh Muslim XVI/111.
[4]. Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id hlm. 239.
[5]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam II/97.
[6]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam II/98-99.
[7]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam II/98.
[8]. Shahîh: HR. At-Tirmidzi no. 2975, Ibnu Mâjah no. 3015, dan lainnya.
[9]. Lihat Qawâ’id wa Fawâid hlm. 241.
[10]. Shahîh: HR. Muslim no. 746, Abu Dâwud no. 1342, dan Ibnu Hibbân no. 2542-at-Ta’lîqâtul Hisân.
[11]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam II/99.
[12]. Sunan at-Tirmidzi no. 2005.
[13]. Shahîh: HR. Muslim no. 2865.
[14]. Shahîh: HR. al-Bukhâri no. 1359 dan Muslim no. 2658 dari Abu Hurairah z .
[15]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam II/100.
[16]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam II/100.
[17]. Diriwayatkan oleh Abu Dâwud (no. 4611) dengan sanad shahîh. Diriwayatkan juga oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ I/296, no. 785, 786.
[18]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam II/100.
[19]. Shahîh: HR. Muslim no. 6, Ibnu Hibbân no. 6766, dan al-Hâkim I/103.
[20]. Lihat Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah lisy Syaikh Ibni ‘Utsaimîn hlm. 294-295.
[21]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam II/101.
[22]. Hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad I/379, ath-Thayâlisi no. 243, ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul Kabîr no. 8583, al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah no. 105, Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ I/460, no. 1297, dan al-Hâkim III/78-79.
[23]. Tafsîr al-Qurthubi II/20. Dinukil dari Qawâ’id wa Fawâ-id hlm. 239.
[24]. Lihat Qawâ’id wa Fawâid hlm. 240.
[25]. Lihat al-Wâfi fî Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah hlm. 205.
[26]. Lihat Qawâ’id wa Fawâid hlm. 240.
[27]. Diriwayatkan dari Nabi n bahwa beliau memerintahkan perubahan haji menjadi umrah kepada empat belas Shahabat: ‘Aisyah, Hafshah, ‘Ali bin Abi Thâlib, Fathimah binti Rasulullah n , ‘Asma’ binti Abu Bakar, Jâbir bin ‘Abdillâh, Abu Sa’id al-Khudri, al-Barâ’ bin ‘Azib, ‘Abdullâh bin ‘Umar, Anas bin Mâlik, Abu Mûsa al-Asy’ari, ‘Abdullâh bin ‘Abbâs, Sabrah bin Ma’bad al-Juhani, dan Surâqah bin Mâlik al-Mudlaji.” Lihat Zâdul Ma’âd fî Hadyi Khairil ‘Ibâd II/178-186.
[28]. Silakan baca kisah lengkapnya dalam Shahîh al-Bukhâri no. 2731, 2732.
[29]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam II/102.
[30]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam II/103.
[31]. Al-Maudhû’aat I/103 karya Ibnul Jauzi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar