Selasa, 05 Agustus 2014

TASAWUF O TASAWUF

TASAWUF O TASAWUF

Imam Syafi'i rahimahullah berkata : "Seandainya seorang menjadi sufi (bertasawwuf) di pagi hari, niscaya sebelum datang waktu Zhuhur, engkau tidak dapati dirinya, kecuali menjadi orang bodoh". (al-Manâqib lil Baihaqi 2/207)

Beberapa catatan tentang tasawuf

1. Aqidah Islam telah menetapkan Allâh Azza wa Jalla menciptakan makhluk-makhluk-Nya dari 'adam (tidak ada sebelumnya), tidak dari Dzat-Nya dan bahwa semesta alam ini bukan khaliq (pencipta). Inilah aqidah yang dibawa al-Qur`an dan Hadits-hadits Nabi.

Sementara dalam kamus Sufi, diyakini bahwa segala yang ada di alam ini merupakan perwujudan Dzat Allâh Azza wa Jalla dengan aqidahnya yang dikenal dengan wihdatul wujud, kesatuan wujud.

2. Aqidah Islam berdasarkan nash-nash al-Qur`ân dan Hadits telah menentukan abahwa Allâh Azza wa Jalla berada di atas langit, bersemayam di atas Arsy sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ

(Yaitu) Rabb yang Maha Pemurah yang istiwa di atas 'Arsy [Thâhâ/20:5]

Sementara dalam ilmu Tasawuf diajarkan bahwa Allâh Azza wa Jalla berada dimana-mana.

3. Aqidah Islam menyatakan bahwa kenabian mutlak merupakan keutamaan yang Allâh Azza wa Jalla anugerahkan kepada insan yang Allâh kehendaki. Kenabian dan kerasulan tidak datang melalui keinginan nabi dan rasul yang bersangkutan atau atas permintaan mereka kepada Allah. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

اللَّهُ يَصْطَفِي مِنَ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا وَمِنَ النَّاسِ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ

Allah memilih utusan-utusan-(Nya) dari malaikat dan dari manusia. Sesungguhnya Allâh Maha Mendengar lagi Maha Melihat [al-Hajj/22:75]

Dalam hal ini, tokoh Sufi memandang kenabian dapat diraih melalui ketekunan melakukan riyadhah, sampai seorang tokoh Sufi, Ibnu Sab'in[3] mengatakan, "Ibnu Aminah (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah membatasi sesuatu yang lingkupnya luas ketika mengatakan, "Tidak ada nabi sepeninggalku".

4. Aqidah Islam menegaskan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan nabi serta rasul yang lain juga manusia-manusia seperti orang-orang yang lain dan masih berkewajiban menjalankan syariat. Akan tetapi, Allâh Azza wa Jalla memilih mereka dan mengutamakan mereka di atas kebanyakan orang sebagai utusan-utusan-Nya.

Adapun golongan Sufi berpandangan bahwa Nabi Muhammad sumber terciptanya makhluk-makhluk yang lain (keyakinan ini dikenal dengan aqidah Nur Muhammadi). Mereka pun membawakan hadits-hadits palsu yang menyatakan jika tidak ada Muhammad maka alam semesta ini tidak akan pernah ada . Mereka pun memandang manusia bila sudah mencapai derajat tertentu tidak terkena kewajiban menjalankan syariat Islam.

5. Sumber hukum aqidah Islam hanya dua: al-Qur`ân dan Hadits shahih, tidak ada sumber ketiga atau keempat dan seterusnya…Sementara itu, kaum Sufi memiliki sumber aqidah yang lain yang dikenal dengan istilah al-kasyf dan al-faidh. Mereka secara nyata meyakininya sebagai landasan keyakinan.

6. Aqidah Islam menjunjung tinggi tauhîdullâh dan datang untuk memberantas syirik dengan seluruh jenisnya dan praktek penyembahan kepada selain Allâh Azza wa Jalla . Sedangkan pada ajaran Tasawuf, praktek syirik sangat kentara dalam bentuk meminta kepada penghuni kubur, istighotsah kepada orang-orang yang telah mati, pengagungan kuburan dan lain-lain.

7. Aqidah Islam telah menetapkah hanya Allâh saja yang mengetahui alam gaib. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ

Katakanlah: "Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah", dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan [an-Naml/27:65]

Dalam hal ini, kaum Sufi menyatakan bahwa syaikh-syaikh tarekat memiliki kemampuan meneropong dan mengetahui alam gaib melalui jalan kasyf, dan menurut mereka lagi, mereka meemperoleh ilmu itu dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Masih banyak keyakinan mereka lainnya yang jelas-jelas berseberangan dengan aqidah yang dibawa oleh Rasûlullâh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Pendek kata, ajaran Tasawuf berdiri di atas landasan-landasan berikut:
• Membagi agama menjadi lahir yang diketahui oleh orang-orang awam dan batin yang hanya dimengerti oleh kaum khos (orang-orang khusus saja)
• Memegangi kasyf dan dzauq dalam penetapan masalah-masalah aqidah dan ibadah
• Melegalkan praktek syirik dan bahkan melakukan pembelaan untuknya
• Menshahihkan hadits melalui jalan kasyf
• Beramal berdasarkan hasil mimpi
• Beribadah dengan dasar dzauq dan wajd
• Menyebarkan hadits-hadits lemah dan palsu dan mengamalkannya.
• Membiasakan dzikir jama'i dan beribadah dengan menari-nari diiringi oleh suara-suara alunan bunyi seruling dan alat-alat musik lainnya. Bahkan penulis kitab Ihya Ulumuddin menulis satu bab di dalamnya dukungannya terhadap ‘ibadah’ dengan tarian dan musik disertai penjelasan tentang adab-adab dan menetapkan bahwa musik lebih menggelorakan hati daripada al-Qur`ân dari tujuh aspek. [al-Ihyâ:2/325-328].

Demikian point-point prinsip aqidah yang diajarkan dalam ilmu Tasawuf dan diyakini kalangan Sufi. Semoga Allâh Azza wa Jalla menjauhkan kita dari segala kerusakan dalam keyakinan kita. Wallâhu a’lam.

Dikutip dari at-Tauhîd fî Masîratil ‘Amalil Islami bainal Wâqi wal Ma`mûl, ‘Abdul Azîz bin ‘Abdullâh al-Husaini, pengantar Nashir bin ‘Abdul Karîm al-‘Aql, Cet I, Th. 1419H, Darul Qasim. hlm. 25-33.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04-05/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

IDUL FITRI : MUSIM TUKAR UANG, TUKAR EMAS TELAH TIBA, AWAS RIBA MENGINTAI

IDUL FITRI : MUSIM TUKAR UANG, TUKAR EMAS TELAH TIBA, AWAS RIBA MENGINTAI

Allah mengharamkan riba

Dalam surat Ar-Ruum Allah ta’ala berfirman:
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُون
“Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (QS. Ar-Ruum: 39)

Dalam surat An-Nisaa, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا – وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) Dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS. An-Nisaa’: 160-161)

Hadits tentang riba

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah bahwa Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
{ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ }
“Hindarilah tujuh hal yang membinasakan.” Ada yang bertanya: “Apakah tujuh hal itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa dengan cara yang haram, memakan riba, memakan harta anak yatim, kabur dari medan perang, menuduh berzina wanita suci yang sudah menikah karena kelengahan mereka. “
Diriwayatkan oleh imam Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu bahwa ia menceritakan:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan riba, juru tulis transaksi riba, dua orang saksinya, semuanya sama saja.”
Diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu bahwa ia menceritakan: Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
{ رَأَيْتُ اللَّيْلَةَ رَجُلَيْنِ أَتَيَانِي فَأَخْرَجَانِي إِلَى أَرْضٍ مُقَدَّسَةٍ فَانْطَلَقْنَا حَتَّى أَتَيْنَا عَلَى نَهَرٍ مِنْ دَمٍ فِيهِ رَجُلٌ قَائِمٌ وَعَلَى وَسَطِ النَّهَرِ رَجُلٌ بَيْنَ يَدَيْهِ حِجَارَةٌ فَأَقْبَلَ الرَّجُلُ الَّذِي فِي النَّهَرِ فَإِذَا أَرَادَ الرَّجُلُ أَنْ يَخْرُجَ رَمَى الرَّجُلُ بِحَجَرٍ فِي فِيهِ فَرَدَّهُ حَيْثُ كَانَ فَجَعَلَ كُلَّمَا جَاءَ لِيَخْرُجَ رَمَى فِي فِيهِ بِحَجَرٍ فَيَرْجِعُ كَمَا كَانَ فَقُلْتُ مَا هَذَا فَقَالَ الَّذِي رَأَيْتَهُ فِي النَّهَرِ آكِلُ الرِّبَا }
“Tadi malam aku melihat dua orang lelaki, lalu keduanya mengajakku pergi ke sebuah tanah yang disucikan. Kamipun berangkat sehingga sampai ke satu sungai yang berair darah. Di situ terdapat seorang lelaki sedang berdiri. Di tengah sungai terdapat seorang lelaki lain yang menaruh batu di hadapannya. Ia menghadap ke arah lelaki yang ada di sungai. Kalau lelaki di sungai itu mau keluar, ia melemparnya dengan batu sehingga terpaksa lelaki itu kembali ke dalam sungai darah. Demikianlah seterusnya setiap kali lelaki itu hendak keluar, lelaki yang di pinggir sungai melempar batu ke mulutnya sehingga ia terpaksa kembali lagi seperti semula. Aku bertanya: “Apa ini?” Salah seorang lelaki yang bersamaku menjawab: “Yang engkau lihat dalam sungai darah itu adalah pemakan riba.”

Riba bisa terjadi pada jual beli atau tukar menukar barang.

Jual beli yang riba bisa dengan 1. tambahan nilai barang (riba fadhl) atau 2. dengan penundaan pembayaran pada barang komoditi (riba nasi'ah) dan 3. dengan hutang piutang (riba qordh)

Rosulullah shollahu 'alaihi wasallam bersabda
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ
“Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1584)

Contoh riba nasi-'ah : dalam masalah tukar menukar uang –karena uang dapat dianalogikan dengan emas dan perak-. Sufyan ingin menukarkan uang kertas Rp.100.000,- dengan pecahan Rp.1000,- kepada Ahmad. Akan tetapi karena Ahmad pada saat itu hanya memiliki 60 lembar Rp.1000,- , maka 40 lembarnya lagi dia serahkan satu jam kemudian setelah terjadinya akad. Penundaan ini termasuk dalam riba nasi’ah.

Riba al qardh dapat dicontohkan dengan meminjamkan uang seratus ribu lalu disyaratkan mengambil keuntungan ketika pengembalian. Keuntungan ini bisa berupa materi atau pun jasa. Ini semua adalah riba dan pada hakekatnya bukan termasuk mengutangi. Karena yang namanya mengutangi adalah dalam rangka tolong menolong dan berbuat baik.

Para ulama telah memberikan sebuah kaedah yang mesti kita perhatikan berkenaan dengan hutang piutang. Kaedah yang dimaksud adalah:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا
“Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan (keuntungan), maka itu adalah riba.” (Lihat Al Majmu’ Al Fatawa, 29/533; Fathul Wahaab, 1/327; Fathul Mu’in, 3/65; Subulus Salam, 4/97)

Ibnu Qudamah membawakan sebuah fasal:
وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ يَزِيدَهُ ، فَهُوَ حَرَامٌ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ .
“Setiap piutang yang mensyaratkan adanya tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama.”

Lalu bagaimanakah dengan uang kertas (mata uang)? Apakah juga berlaku hukum riba?

Jawabannya: Iya, keduanya dihukumi sama dengan emas dan perak. Sehingga ada beberapa ketentuan yang berlaku tatkala ingin menukar mata uang sebagaimana berlaku pada emas dan perak. Ketentuan tersebut adalah:
1. Tidak dibolehkan sama sekali untuk menukarkan uang kertas yang sama –seperti menukar rupiah dan rupiah- atau menukarkan uang kertas dengan yang beda jenis –seperti menukar dolar dan rupiah- dengan cara pembayaran diutang (kredit).
2. Tidak dibolehkkan untuk menukarkan uang yang sama dengan cara melebihkan sebagian dari yang lain, seperti menukarkan seratus ribu rupiah dengan seratus sepuluh ribu rupiah, ini tidak diperbolehkan.
3. Boleh menukarkan uang kertas yang berbeda jenis -misal dolar dan rupiah- dengan melebihkan salah satunya, asalkan dilakukan secara kontan (tunai). (Lihat penjelasan Fatwa Al Lajnah Ad Da’imah, 13/442, no. 3291)

Dampak riba

[Pertama] Memakan Riba Lebih Buruk Dosanya dari Perbuatan Zina
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
دِرْهَمُ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةِ وَثَلاَثِيْنَ زَنْيَةً
“Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia mengetahui, lebih besar dosanya daripada melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih mengatakan bahwa hadits ini shahih)

[Kedua] Dosa Memakan Riba Seperti Dosa Seseorang yang Menzinai Ibu Kandungnya Sendiri.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الرِبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرُّجُلُ أُمَّهُ وَإِنْ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ
“Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri. Sedangkan riba yang paling besar adalah apabila seseorang melanggar kehormatan saudaranya.” (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih dilihat dari jalur lainnya)

[Ketiga] Tersebarnya riba merupakan “pernyataan tidak langsung” dari suatu kaum bahwa mereka berhak dan layak untuk mendapatkan adzab dari Allah Ta’ala
Tersebarnya riba merupakan “pernyataan tidak langsung” dari suatu kaum bahwa mereka berhak dan layak untuk mendapatkan adzab dari Allah ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا ظَهَرَ الزِّناَ وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ
“Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh Allah.” (HR. Al Hakim. Beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan lighoirihi)

Wahai pedagang, belajarlah dahulu sebelum berdagang

Umar radhiyallahu ‘anhu berkata,
لَا يَتَّجِرْ فِي سُوقِنَا إلَّا مَنْ فَقِهَ أَكْلَ الرِّبَا .
“Janganlah seseorang berdagang di pasar kami sampai dia paham betul mengenai seluk beluk riba.”

‘Ali bin Abi Tholib rodhiallahu anhu mengatakan,
مَنْ اتَّجَرَ قَبْلَ أَنْ يَتَفَقَّهَ ارْتَطَمَ فِي الرِّبَا ثُمَّ ارْتَطَمَ ثُمَّ ارْتَطَمَ
“Barangsiapa yang berdagang namun belum memahami ilmu agama, maka dia pasti akan terjerumus dalam riba, kemudian dia akan terjerumus ke dalamnya dan terus menerus terjerumus.” (Mughnil Muhtaj, 6/310)

Malam yang lebih baik dari lailatul qodr

Malam yang lebih baik dari lailatul qodr

ليلة خير من ليلة القدر !:

عن ابن عمر -رضي الله عنهما- : أن النبي -صلى الله عليه و سلم- قال : ( ألا أنبئكم بليلة أفضل من ليلة القدر ، حارس حرس في أرض خوف لعله أن لا يرجع إلى أهله ) .
رواه الحاكم في المستدرك و غيره.
و صححه العلامة الألباني الصحيحة 2811

Dari ibnu umar rodhiallahu anhuma, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabdaِ,
“Maukah kalian saya beri tahu suatu malam yang lebih utama daripada malam lailatul qodar, yaitu suatu malam yang dilalui oleh seseorang yang berjaga-jaga di negeri yang diselimuti ketakutan, yang bisa jadi ia tidak akan kembali ke keluarganya.”

HR Al Hakim dalam al mustadrak dan lainnya, dan hadits ini diahahihkan oleh allamah al albani dalam ash-shohihah 2811

و عن أبي هريرة أنه كان في الرباط ففزعوا إلى الساحل ثم قيل : لا بأس فانصرف الناس ، و أبو هريرة واقف فمر به إنسان فقال : ما يوقفك يا أبا هريرة ؟!
فقال : سمعت رسول الله -صلى الله عليه و سلم- يقول :
( موقف ساعة في سبيل الله خير من قيام ليلة القدر عند الحجر الأسود ) .
رواه ابن حبان في صحيحه و غيره .
و صححه العلامة الألباني في الصحيحة 1068

Berkata abu hurairoh rodhiallahu anhu, saya mendengar rosulullah shollahu alaihi wasallam bersabda, berhenti sejenak (untuk berjaga, ribath) di jalan allah lebih baik dari sholat pada lailatul qodr di hajar aswad.

HR ibnu hibban dalam shohihnya dan selainnya dan dishohihkan al-albani dalam ash-shohihah 1068

BENARKAH MASJIDIL HAROM MEMPUNYAI KONDISI KHUSUS, JIKA SESEORANG TIDAK MENGGUNAKAN SUTROH SHOLAT ?

BENARKAH MASJIDIL HAROM MEMPUNYAI KONDISI KHUSUS, JIKA SESEORANG TIDAK MENGGUNAKAN SUTROH SHOLAT ?

Sekelompok ahli ilmu mengecualikan Masjidil Haram, mereka membarikan keringanan kepada orang melewati diantara orang yang shalat. Mereka berpendapat bahwa wanita dan yang lainnya melewati  diantara orang yang shalat tidak memutuskan shalatnya.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata di ‘Mugni, 2/40. Tidak mengapa menunaikan shalat di Mekkah tanpa sutrah. Diriwayatkan hal itu dari Ibnu Zubair, ‘Atho’ dan Mujahid. Al-Atsram berkata, dikatakan kepada Ahmad:”Seseorang shalat di Mekkah tanpa membuat sutrah sedikitpun juga?, beliau mengatakan, sungguh telah diriwayatkan dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam bahwa beliau (pernah) shalat tanpa sutrah antara beliau dengan orang-orang yang thawaf. Ahmad berkomentar, karena Mekkah tidak seperti lainnya. Mekkah seakan-akan (mempunyai hukum ) khusus.

Ibnu Abi Imarah mengatakan:”Saya melihat Ibnu Zubair datang menunaikan shalat. Sementara orang-orang yang thawaf antara beliau dan ka’bah. Seorang wanita melewati diantara beliau, ditungguhnya sampai lewat kemudian beliau menaruh dahinya di tempat kaki (wanita). Diriwayatkan Hanbal di kitab ‘Al-Manasik’. Al-Mu’tar berkata, saya mengatakan kepada Thowus: “Seseorang menunaikan shalat –yakni di Mekkah- kemudian ada yang lewat laki-laki dan wanita diantara beliau, maka beliau berpendapat bahwa negeti ini (Mekkah) mempunyai kondisi tidak seperti negara lain. Hal itu dikarenakan orang banyak yang datang ke Mekkah untuk menyelesaikan manasiknya dan penuh sesak. Kalau orang yang shalat mencegahnya orang yang melewati diantara dia, maka dirasa berat bagi oranga-orang. Selesai dengan ringkasan.

Syekh Ibnu Baz rahimahullah ditanya: “Sungguh saya dapatkan hadits yang tetap (shoheh) dan ini teksnya, jikalau salah satu diantara kamu semua dalam shalat. Kemudian lewat di depanmu keledai, anjing hitam atau wanita, maka shalatnya batil (tidak sah). Kalau teks hadits ini shoheh, bagaimana pendapat anda terkait dengan orang-orang yang shalat di Masjidl Haram, para wanita yang sedang thawaf melewati di depan meraka (yang sedang shalat)?. Beliau menjawab, hadits itu shoheh. Nabi sallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Akan memutuskan shalat seorang muslim dikala antara dia tidak ada (pembatas) seperti keranda unta, yaitu wanita, keledai dan anjing hitam. HR. Imam Muslim di shohehnya. Kalau ada yang lewat diantara orang shalat atau antara dia dengan sutrahnya anjing, keledai atau wanita. Masing-masing bisa memutuskan shalatnya. Begini adanya hadits dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam. Dan ini adalah pendapat yang terkuat diantara ahli ilmu, dimana dalam hal itu ahli ilmu berbeda pendapat. Diantara mereka mentakwilkan maksudnya adalah memutuskan pahala atau memutuskan kesempurnaan. Akan tetapi yang benar adalah memutuskan shalat bahwa hal itu membatalkan (shalat). Akan tetapi yang terjadi di Masjidil Haram, itu dimaafkan menurut ahli ilmu. Karena Masjidil Haram, seseorang tidak memungkinkan menghalanginya dikarenakan penuh sesak apalagi pada musim haji, maka hal ini yang dimaafkan di dalam Masjidil Haram dikecualikan dari keumuman hadits. Apa yang terjadi dengan lewatnya sebagian wanita atau para wanita thawaf diantara orang-orang shalat dalam masjidil haram, tidak berpengaruh dan shalatnya tetap sah. Baik yang sunnah maupun yang wajib. Hal ini yang menjadi acuan bagi ahli ilmu. Selesai dari kitab ‘Fatawa Syekh Baz, 17/152.

Para ulama’ di AL-Lajnah Ad-Daimah Lil ifta’ ditanya:”Apakah diperbolehkan melewati diantara orang yang shalat di masjidi?

Mereka menjawab:”Diharamkan melewati diantara orang yang shalat. Baik dia membuat sutrah maupun tidak, berdasarkan keumuman hadits ‘“Kalau sekiranya orang yang melewati diantara orang shalat mengetahui apa yang (akan menimpanya), maka berdiri selama empat puluh lebih baik dibandingkan melewati diantara (orang shalat). Sekelompok dari kalangan ahli fiqih mengecualikan hal itu, shalat di Masjidil Haram. Maka diberi keringan orang-orang melewati diantara (orang shalat). Dalam riwayat dari Al-Matlab bahwa beliau mengatakan, Saya melihat Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam ketika selesai dari tujuh (putaran thawaf) melangkah sampai searah rukun. Antara beliau dan Tsaqifah kemudian shalat dua rakaat di sisi pinggir tempat thawaf (sementara itu) tidak ada antara beliau dengan thawaf apapun. Hadits ini meskipun lemah sanadnya, akan tetapi dikuatkan dengan apa yang ada dalam atsar (masalah seperti itu). dan berdasarkan keumuman dalil mengangkat kepayahan, karena melarang (orang) melewati diantara orang shalat di Masjidil Haram susah dan seringkali ada masyaqqah (kerepotan).  Fatawa AL-Lajnah Ad-Daimah, 7/82.

Akan tetapi seyogyanya jangan meremehkan masalah sutrah meskipun dalam keramaian, dikala urusannya memungkinkan. Sebagaimana juga tidak selayaknya meremehkan lewat diantara orang yang shalat kecuali waktu terpaksa.

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya, Apa hukum orang yang melewati di depan orang shalat terutama di Masjidil Haram baik dari kalangan wanita maupun laki-laki dan memutuskan shalatnya?, beliau menjawab: “Bagi laki-laki tidak memutuskan shalat, akan tetapi seseorang diperintahkan untuk menghalanginya. Sementara wanita, kalau wanita yang sudah balig, (dapat) memutuskan shalat kalau dia melewati antara anda dan sutarah anda. Atau antara anda dengan tempat sujud anda. Kalau anda tidak mempunyai sutrah (pembatas shalat) baik di Masjidil Haram atau masjid lainnya. Kecuali kalau seseorang tidak mendapatkan tempat kecuali di tempat lewatan orang seperti di pintu-pintu, ini dikarenakan terpaksa, maka shalatnya tidak terputus. Karena kalau dia menolak (menghalangi) orang, maka akan banyak gerakan dalam shalatnya (yang bisa) membatalkan shalat. Penanya (berkata), bagaimana kalau mereka berjalan agak jauh dikit. Syekh (menjawab), kalau mereka berjalan agak jauh dibelakang tempat sujudnya, ini tidak apa-apa. Selesai dari ‘Liqa’ AL-Bab Al-Maftuh, 86/11.

Wallahu’alam .

http://islamqa.info/id/96912

HADITS INI PAS UNTUK DIRENUNGKAN KHORIJI TAKFIRI

HADITS INI PAS UNTUK DIRENUNGKAN KHORIJI TAKFIRI

يَكُونُ بَعْدِى أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ ». قُلْتُ : كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ :« تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ ». رَوَاهُ مُسْلِمٌ

“Akan ada setelahku pemimpin-pemimpin yang tidak mengambil petunjukku dan tidak mengikuti sunnahku, dan akan ada pemimpin yang hatinya bagaikan hati setan pada tubuh manusia.” Aku berkata, “Apa yang harus aku lakukan wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Mendengar dan taat kepada pemimpin walaupun tubuhmu dipukul dan hartamu diambil, tetaplah mendengar dan taat.” (HR Muslim).

Tidak mengambil petunjuk nabi dan tidak mengikuti sunnah nabi ini sesuai tuduhan tuduhan mereka pada  pemimpin muslim dengan tuduhan kejam nan keji, seperti tuduhan toghut, tidak berhukum allah, bersekutu dengan kafir karena  bekerjasama dengan pemimpin negara kafir, dsb.

Tuduhan yang dipaksakan mengikuti hawa nafsu, kedangkalan ilmu, terlalu terburu buru nan serampangan. T e r l a l u

RUMUS KLASIK ALA KHOWARIJ KHOBITS

RUMUS KLASIK ALA KHOWARIJ KHOBITS

Kaidah khowarij melazimkan (mengkonsekwensikan) jika tidak berhukum allah atau melanggar hukum allah, maka ia kafir, jika kafir maka pasti masuk neraka, jika masuk neraka, ia kekal didalamnya.

Dalil secara mentah mudah didapat, tanpa ditelaah, tanpa perincian, tanpa ada cara dan tahapan pengkafirkan, langsung, ala thul ... Kafir.

Namun benarkah ?? 1000 % salah.

Simaklah hadits berikut ini.

رواه مسلم في صحيحه (191) عن يزيد الفقير قال: ((كنتُ قد شَغَفَنِي رأيٌ من رأي الخوارج، فخرجنا في عِصابةٍ ذوي عدد نريد أن نحجَّ، ثمَّ نخرجَ على الناس، قال: فمررنا على المدينة فإذا جابر بن عبد الله يُحدِّث القومَ ـ جالسٌ إلى ساريةٍ ـ عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، قال:

فإذا هو قد ذكر الجهنَّميِّين، قال: فقلتُ له: يا صاحبَ رسول الله! ما هذا الذي تُحدِّثون؟ والله يقول: {إِنَّكَ مَن تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُ}، و {كُلَّمَا أَرَادُوا أَن يَخْرُجُوا مِنْهَا أُعِيدُوا فِيهَا}، فما هذا الذي تقولون؟ قال: فقال: أتقرأُ القرآنَ؟ قلتُ: نعم! قال: فهل سمعت بمقام محمد عليه السلام، يعني الذي يبعثه فيه؟ قلتُ: نعم! قال: فإنَّه مقام محمد صلى الله عليه وسلم المحمود الذي يُخرج اللهُ به مَن يُخرج. قال: ثمَّ نعتَ وضعَ الصِّراط ومرَّ الناس عليه، قال: وأخاف أن لا أكون أحفظ ذاك. قال: غير أنَّه قد زعم أنَّ قوماً يَخرجون من النار بعد أن يكونوا فيها، قال: يعني فيخرجون كأنَّهم عيدان السماسم، قال: فيدخلون نهراً من أنهار الجنَّة فيغتسلون فيه، فيخرجون كأنَّهم القراطيس. فرجعنا، قلنا: وَيْحَكم! أَتَروْنَ الشيخَ يَكذِبُ على رسول الله صلى الله عليه وسلم؟! فرجعنا، فلا ـ والله! ـ ما خرج منَّا غيرُ رَجل واحد، أو كما قال أبو نعيم ))

diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya (191) dari yazid al faqir, berkata: (( Dulu aku pernah terpengaruh dan begitu menyukai suatu pemikiran dari pemikiran Khawarij, lalu kami keluar bersama sekelompok orang banyak dengan maksud melaksanakan haji. Kami pun keluar (membaur bersama) manusia. Kemudian tatkala kami melewati Madinah, kami mendapati Jabir bin ‘Abdullah –radhiyallahu ‘anhuma- yang tengah duduk bersama para musafir seraya mengabarkan hadits dari Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wassalam- kepada orang-orang, dan dia menyebutkan tentang al-jahannamiyun (orang-orang yang dikeluarkan dari neraka).

Aku pun berkata kepada Jabir bin ‘Abdullah, “Wahai shahabat Rasulullah, apa yang sedang kau bicarakan ini? Padahal Allah berfirman …:
رَبَّنَا إِنَّكَ مَنْ تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُ
“Wahai Rabb kami, sesungguhnya siapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh telah Engkau hinakan dia.” (QS. Ali ‘Imran: 192)
…  juga firman Allah:
كُلَّمَا أَرَادُوا أَنْ يَخْرُجُوا مِنْهَا أُعِيدُوا فِيهَا
“Setiap kali mereka (para penghuni neraka) hendak keluar daripadanya, mereka dikembalikan (lagi) ke dalamnya.” (QS. As-Sajdah: 20)
… lalu apa yang sedang kalian katakan ini?”

Maka Jabir bin ‘Abdullah –radhiyallah ‘anhuma- pun berkata, “Apakah kau membaca al-Quran?”
Aku menjawab, “Ya, aku membaca al-Quran.”
Jabir bin ‘Abdullah berkata, “Lantas apakah kau mendengar tentang kedudukan Muhammad ‘alaihi as-salam? Yakni kedudukan yang beliau diberi wewenang di dalamnya?”
Aku menjawab, “Ya.”
Jabir bin ‘Abdullah berkata, “Maka sesungguhnya itulah kedudukan Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang terpuji, yang dengan kedudukan itulah Allah (mengizinkan) untuk mengeluarkan orang yang dikeluarkan (dari neraka).”

Kemudian Jabir bin ‘abdullah menjelaskan tentang letak shirath dan (bagaimana) manusia melintasinya. Aku khawatir tidak menghafalnya, hanya saja Jabir mengatakan bahwa ada orang-orang yang dikeluarkan dari neraka setelah mereka berada di dalamnya, yakni dia mengatakan, “Lalu mereka dikeluarkan (dari neraka) seakan-akan mereka itu potongan kayu dan biji-bijian kering yang telah dijemur, lalu mereka dimasukkan ke sebuah sungai dari sungai-sungai surga dan dicucilah mereka di situ, lalu dikeluarkan lagi seakan-akan mereka itu kertas yang putih.” Lalu kami pun kembali (kepada pemahaman yang benar), lalu kami mengatakan, “Celakalah kalian! Apakah kalian pikir Syaikh itu (Jabir bin ‘Abdullah) akan berdusta atas nama Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Dan kami kembali (ke kampung halaman), dan demi Allah, tidaklah ada yang keluar dari kelompok kami kecuali seorang lelaki saja. Atau sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Nu’aim))

وأبو نعيم هو الفضل بن دكين هو أحد رجال الإسناد، وهو يدلُّ على أنَّ هذه العصابةَ ابتُليت بالإعجاب برأي الخوارج في تكفير مرتكب الكبيرة وتخليده في النار، وأنَّهم بلقائهم جابراً رضي الله عنه وبيانه لهم صاروا إلى ما أرشدهم إليه،
dan Abu Nu’aim itu adalah al-Fadhl bin Dakin, salah seorang perawi dalam sanad hadits ini.
Kelompok tersebut berangkat untuk melaksanakan ibadah haji sambil terfitnah oleh pemahaman yang salah. Pemahaman salah yang dimaksud adalah bahwa pelaku dosa besar itu tidak akan keluar dari neraka. Kelompok tersebut (yang memengaruhi Yazid al-Faqir) membawa ayat-ayat yang datang mengenai orang-orang kafir untuk dikenakan juga kepada kaum Muslimin. Pemahaman ini termasuk di antara aqidah Khawarij. Kelompok ini tadinya bermaksud menampakkan aqidah batil tersebut kepada manusia seusai haji. Akan tetapi dalam perjalanan yang berkah tersebut, Allah memberikan taufiq kepada mereka untuk bertemu dengan Jabir bin ‘Abdullah al-Anshari –radhiyallahu ‘anhuma- sehingga menjadi jelaslah bagi mereka tentang rusaknya pemahaman mereka serta ditunjukkan kepada mereka jalan yang lurus.

  وتركوا الباطلَ الذي فهموه، وأنَّهم عدلوا عن الخروج الذي همُّوا به بعد الحجِّ، وهذه من أعظم الفوائد التي يستفيدها المسلم برجوعه إلى أهل العلم.
Dan meninggalkan kesalahan yang dipahaminya dan mereka mengubah pikiran dari mengeluarkan pemikiran batil yang menimpa mereka setelah haji, dan ini salah satu manfaat terbesar yang didapatkan seorang muslim dengan kembalinya ia kepada ahlul ilmi.

Mendulang Pelajaran Akhlaq dari pertemuan keluarga Bani Abdul Aziz Rohimahullah

[Mendulang Pelajaran Akhlaq dari pertemuan keluarga Bani Abdul Aziz Rohimahullah (semoga allah menyayanginya) Pondok Mutiara Sidoarjo, Ahad, 2 Agustus 2014]

Membiasakan sunnah sunnah yang dianggap remeh

1. Menjadi kebiasaan pak aji rohimahullah (mbah abdul aziz) untuk datang ke masjid tiap hari jum'at jam 10. Rupanya beliau ingin mengambil keutamaan ini berdasar hadits rosulullah sholallahu alaihi wasallam.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anh bersabda :

عَلَى كُلِّ بَابٍ مِنْ أَبْوَابِ الْمَسْجِدِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ مَلَكَانِ يَكْتُبَانِ الْأَوَّلَ فَالْأَوَّلَ ... فَإِذَا قَعَدَ الْإِمَامُ طُوِيَتِ الصُّحُفُ

“Pada setiap pintu dari pintu-pintu masjid pada hari Jum’at terdapat dua orang malaikat yang mencatat orang-orang yang terlebih dahulu berangkat... Jika imam (khatib) telah keluar (naik ke mimbar), maka buku catatan para malaikat ditutup.” (HR. Ibnu Khuzaimah no. 1770, Ibnu Hibban no. 2774, dan An-Nasai dalam as-sunan al-kubra no. 11907, hadits shahih)

Dalam penjelasannya terhadap perkara ini, Abu Umamah dalam sebuah hadits yang dihasankan oleh Syaikh al Albani, dari Abu Ghalib, pernah ditanya :

“Wahai Abu Umamah, bukankah orang yang datang sesudah imam menaiki mimbar (juga) mendapatkan shalat Jum'at?” Ia menjawab, “Tentu... tetapi ia tidak termasuk golongan yang dicatat dalam buku catatan.”

Keutamaan lainnya mendatangi masjid di awal waktu pada hari Jum’at dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

إِذَا كَانَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ وَقَفَتْ الْمَلَائِكَةُ عَلَى أَبْوَابِ الْمَسْجِدِ فَيَكْتُبُونَ الْأَوَّلَ فَالْأَوَّلَ فَمَثَلُ الْمُهَجِّرِ إِلَى الْجُمُعَةِ كَمَثَلِ الَّذِي يُهْدِي بَدَنَةً ثُمَّ كَالَّذِي يُهْدِي بَقَرَةً ثُمَّ كَالَّذِي يُهْدِي كَبْشًا ثُمَّ كَالَّذِي يُهْدِي دَجَاجَةً ثُمَّ كَالَّذِي يُهْدِي بَيْضَةً فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ وَقَعَدَ عَلَى الْمِنْبَرِ طَوَوْا صُحُفَهُمْ وَجَلَسُوا يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ

"Jika tiba hari Jum'at, maka para Malaikat berdiri di pintu-pintu masjid, lalu mereka mencatat orang yang datang lebih awal sebagai yang awal. Perumpamaan orang yang datang paling awal untuk melaksanakan shalat Jum'at adalah seperti orang yang berkurban unta, kemudian yang berikutnya seperti orang yang berkurban sapi, dan yang berikutnya seperti orang yang berkurban kambing, yang berikutnya lagi seperti orang yang berkurban ayam, kemudian yang berikutnya seperti orang yang berkurban telur. Maka apabila imam sudah muncul dan duduk di atas mimbar, mereka menutup buku catatan mereka dan duduk mendengarkan dzikir (khutbah)." (HR. Ahmad dalam Musnadnya no. 10164)

Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dalam hadits yang diriwayatkan dari Aus bin Aus Radliyallah 'Anhu, bersabda:

مَنْ غَسَّلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاغْتَسَلَ ثُمَّ بَكَّرَ وَابْتَكَرَ وَمَشَى وَلَمْ يَرْكَبْ وَدَنَا مِنْ الْإِمَامِ فَاسْتَمَعَ وَلَمْ يَلْغُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ عَمَلُ سَنَةٍ أَجْرُ صِيَامِهَا وَقِيَامِهَا

 “Barangsiapa mandi pada hari Jum'at, berangkat lebih awal (ke masjid), berjalan kaki dan tidak berkendaraan, mendekat kepada imam dan mendengarkan khutbahnya, dan tidak berbuat yang sia-sia, maka dari setiap langkah yang ditempuhnya dia akan mendapatkan pahala puasa dan qiyamulail setahun.” (HR. Abu Dawud no. 1077, al-Nasai no. 1364 Ahmad no. 15585. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih al-Jami’, no. 6405)

Hadits-hadits di atas menggambarkan betapa tingginya keutamaan yang didapat dengan menyegerakan diri mendatangi masjid pada hari Jum’at. Sedemikian tingginya sehingga layaknya seperti memperbandingkan antara berkurban seeokor unta dengan sebutir telur. Menyegerakan mendatangi masjid sebelum shalat Jum’at juga bisa mengantarkan seseorang mendapatkan kesempurnaan pahala shalat Jum’at, seperti pahala orang-orang yang melaksanakan puasa dan qiyamullail selama setahun.

Karenanya, tidaklah mengherankan dalam sebuah riwayat yang ditulis oleh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan dijelaskan bahwa sesungguhnya pada abad-abad pertama Islam, hari Jumat itu disambut seperti layaknya hari raya bagi kaum muslimin. Dimana, pagi hari setelah terbit fajar, jalan-jalan sudah ramai dengan orang-orang yang berpakaian bagus, memakai wangi-wangian, dan mereka bergegas menuju masjid.

“Mereka berjalan menuju masjid jami' seperti halnya hari raya, hingga akhirnya kebiasaan itu hilang.” Lalu dikatakan, “Bid'ah pertama yang dilakukan dalam Islam adalah tidak berangkat pagi-pagi menuju masjid.” (Abu Syamah seperti dikutif Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan dalam Akhtha' al Mushalliin -- Edisi Indonesia: Kesalahan-kesalahan dalam shalat, hal. 236)

2. Beliau rajin Memberi sedekah amal jariyah, Menyantuni anak anak yatim, memberi sedekah pada fakir miskin yang selalu dilakukan beliau rohimahullah bukan saja membekas anak anak beliau, tetapi juga pada orang orang lain (masyarakat sekitar) yang kelak menceritakan pada anak keturunannya, sebagai contoh akhlaq yang baik untuk diteladani. Dalam hadits disebutkan tentang orang yang meninggalkan kebiasaan baik, maka ketika kebiasaan itu diikuti orang lain, maka orang pertama tadi akan mendapat pahala yang sama tanpa dikurangi.

Imam Muslim meriwayatkan hadits sebagai berikut:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍِ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ

Artinya: “Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah segala amalannya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat baginya dan anak shalih yang selalu mendoakannya.” (HR Imam Muslim)

Dalam Shahih Muslim juga disebutkan hadits sebagai berikut:

عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

Artinya: “Dari Jarir bin Abdullah dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mengadakan kebiasaan yang baik dalam Islam, lalu kebiasaan baik tersebut diikuti oleh orang-orang sesudahnya, maka akan dicatat untuknya pahala sebanyak yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikit pun pahala yang mereka peroleh. Sebaliknya, barang siapa mengadakan kebiasaan yang buruk dalam Islam, lalu kebiasaan buruk tersebut diikuti oleh orang-orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa sebanyak yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa yang mereka peroleh sedikit pun.” (HR Imam Muslim).

Hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Huroiroh radhiallahu 'anhu, ia berkata:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَحَثَّ عَلَيْهِ فَقَالَ رَجُلٌ عِنْدِي كَذَا وَكَذَا، قَالَ فَمَا بَقِيَ فِي الْمَجْلِسِ رَجُلٌ إِلاَّ تَصَدَّقَ عَلَيْهِ بِمَا قَلَّ أَوْ كَثُرَ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَنِ اسْتَنَّ خَيْرًا فَاسْتُنَّ بِهِ كَانَ لَهُ أَجْرُهُ كَامِلاً وَمِنْ أُجُوْرِ مَنِ اسْتَنَّ بِهِ وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا وَمَنِ اسْتَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً فَاسْتُنَّ بِهِ فَعَلَيْهِ وِزْرُهُ كَامِلاً وَمِنْ أَوْزَارِ الَّذِي اسْتَنَّ بِهِ وَلاَ يُنْقَصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا

"Datang seorang lelaki kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Nabipun memotivasi untuk bersedekah kepadanya. Maka ada seseorang yang berkata, "Saya bersedekah ini dan itu". Maka tidak seorangpun yang ada di majelis kecuali bersedekah terhadap lelaki tersebut baik dengan sedikit maupun banyak. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Barang siapa yang "istanna"/merintisi kebaikan lalu diikuti maka baginya pahalanya secara sempurna dan juga pahala orang-orang yang mengikutinya serta tidak berkurang pahala mereka sama sekali. Dan barang siapa yang merintis sunnah yang buruk lalu diikuti maka baginya dosanya secara sempurna dan dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sama sekali" (HR Ibnu Maajah no 204 dan dishahihkan oleh Al-Albani)

3 Hal yang kecil saja diperhatikan, apalagi yang besar.

Sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam:

إِنَّ مِنْ وَرَائِكُمْ أَيَّامَ الصَّبْرِ، لِلْمُتَمَسِّكِ فِيْهِنَّ يَوْمَئِذٍ بِمَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرَ خَمْسِيْنَ مِنْكُمْ. قَالُوْا: يَا نَبِيَّ اللهِ أَوْ مِنْهُمْ؟ قَالَ: بَلْ مِنْكُمْ. (رواه المروازي في السنة

“Sesungguhnya di belakang kalian nanti ada hari-hari sabar bagi orang-orang yang pada waktu itu berpegang dengan apa yang kalian ada di atasnya. Mereka akan mendapatkan pahala lima puluh kali dari kalian”. Para shahabat berta-nya: “Wahai nabi Allah, apakah lima puluh kali pahalanya dari mereka?” beliau shalallahu 'alaihi wa sallam menjawab: “Bahkan dari kalian”. (HR. Marwazi dalam As-Sunnah)

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

فَإِنَّ مِنْ وَرَائِكُمْ أَيَامًا الصَّبْرِ فِيْهِنَّ مِثْلُ الْقَبْضِ عَلَى الْجَمْرِ لِلْعَامِلِ فِيْهِنَّ مِثْلُ أَجْرِ خَمْسِيْنَ رَجُلاً يَعْمَلُوْنَ مِثْلُ عَمَلِكُمْ. قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَجْرُ خَمْسِيْنَ مِنَّا أَوْ مِنهُمْ؟ قَالَ: بَلْ أَجْرُ خَمْسِيْنَ مِنْكُمْ. (رواه الترمذي وأبو داود وابن ماجه وابن حبان والحاكم وصححه ووافقه الذهبي

Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari dimana orang yang sabar ke-tika itu seperti memegang bara api. Me-reka yang mengamalkan sunnah pada hari itu akan mendapatkan pahala lima puluh kali dari kalian yang mengamal-kan amalan tersebut. Para Shahabat bertanya: “Mendapatkan pahala lima puluh kali dari kita atau dari mereka?” Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam menjawab: “Bahkan lima puluh kali pahala dari kalian”. (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Hakim. Dan dishahihkan oleh Imam Hakim dan disepakati oleh Dzahabi)

“Manusia akan senantiasa berada di atas jalan yang lurus selama mereka mengikuti jejak Nabi.” (HR. Al Baihaqi, Miftahul Jannah, no. 197).
 
Shahabat ‘Urwah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Mengikuti sunnah-sunnah Nabi adalah tonggak penegak agama.” (HR. Al Baihaqi, Miftahul Jannah, no. 198).
 
Salah seorang tabi’in bernama Ibnu Sirin mengatakan: “Dahulu mereka mengatakan: selama seseorang berada di atas jejak Nabi, maka ia berada di atas jalan yang lurus.” (HR. Al Baihaqi, Miftahul Jannah, no. 200)

4 Seperti orang terasing, tapi beruntunglah orang yang dianggap terasing.

إنَّ اْلإِسْلاَمَ بَدَأَ غَرِيْبًا وَسَيَعُوْدُ غَرِيْبًا كَمَا بَدَأَ، فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ. (رواه مسلم)

Sesungguhnya Islam bermula dengan keasingan dan akan kembali asing se-perti permulaannya, maka berbahagia-lah orang-orang yang asing. (HR. Muslim).

بَدَأَ الإِسلامُ غريبًا، وسَيَعُودُ غريبًا كما بدَأَ ، فطُوبَى للغرباءِ

“Islam muncul dalam keadaan asing, dan akan kembali asing seperti saat  kemunculannya. Maka beruntunglah orang-orang yang asing”. (HR. Muslim)

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ  « إِنَّ الإِسْلاَمَ بَدَأَ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ ». قَالَ قِيلَ وَمَنِ الْغُرَبَاءُ قَالَ النُّزَّاعُ مِنَ الْقَبَائِلِ. قال الشيخ الألباني : صحيح دون قال قيل

“Sesungguhnya Islam muncul dalam keadaan asing, dan akan kembali asing seperti saat  kemunculannya. Maka beruntunglah orang-orang yang asing”. Seseorang bertanya : “Siapakah orang-orang yang asing itu ya Rasulullah e ? “Mereka yang “menyempal” (berseberangan) dari kaumnya”, jawab Rasulullah   (HR. Ibnu Majah, Ahmad & Ad Darimi dinyatakan Shahih oleh Syaikh Al Albani )

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ  قَالَ «إِنَّ الدِّينَ بَدَأَ غَرِيبًا وَيَرْجِعُ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ الَّذِينَ يُصْلِحُونَ مَا أَفْسَدَ النَّاسُ مِنْ بَعْدِى مِنْ سُنَّتِى ». قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

“Sesungguhnya Islam muncul dalam keadaan asing, dan akan kembali asing seperti saat  kemunculannya. Maka beruntunglah orang-orang yang terasing”. Seseorang bertanya : “Siapakah orang-orang yang asing itu ya Rasulullah  ? “Orang-orang yang selalu memperbaiki (melakukan ishlah) di saat manusia merusak sunnah-sunnah ku”, jawab Rasulullah e  (HR. At Tirmidzi, dinyatakan Hasan Shahih oleh Imam At Tirmidzi)

« طُوبَى لِلْغُرَبَاءِ ». فَقِيلَ مَنِ الْغُرَبَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « أُنَاسٌ صَالِحُونَ فِى أُنَاسِ سَوْءٍ كَثِيرٍ مَنْ يَعْصِيهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيعُهُمْ » ﴿رَوَاهُ أحمد ﴾ تعليق شعيب الأرنؤوط : حسن لغيره مكرر

“Beruntunglah orang-orang yang terasing”. Seseorang bertanya : “Siapakah orang-orang yang terasing itu ya Rasulullah  ? “Orang-orang shalih yang berada di antara orang-orang jahat yang jumlahnya banyak sekali. Yang menentang mereka lebih banyak dibandingkan yang mengikuti ”, jawab Rasulullah   (HR. Ahmad, dinyatakan Hasan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth)

فَقِيلَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا الْغُرَبَاءُ؟ قَالَ :”الَّذِينَ يُصْلِحُونَ عِنْدَ فَسَادِ النَّاسِ

“Siapakah orang-orang yang terasing itu ya Rasulullah ? “Orang-orang yang selalu memperbaiki (amar ma’rur dan nahi munkar) di saat manusia dalam keadaan rusak”, jawab Rasulullah   (HR. Thabrani, dengan periwayat yang terpercaya /shahih)

Ahmad dan Ath-Thabrani dari Abdullah bin Amru, ia berkata; Pada suatu hari saat matahari terbit aku berada di dekat Rasulullah saw., lalu beliau bersabda:

«يَأْتِي قَوْمٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ نُورُهُمْ كَنُورِ الشَّمْسِ، قَالَ أَبُو بَكْرٍ: نَحْنُ هُمْ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: لاَ وَلَكُمْ خَيْرٌ كَثِيرٌ وَلَكِنَّهُمْ الْفُقَرَاءُ وَالْمُهَاجِرُونَ الَّذِينَ يُحْشَرُونَ مِنْ أَقْطَارِ اْلأَرْضِ، ثم قَالَ: طُوبَى لِلْغُرَبَاءِ، طُوبَى لِلْغُرَبَاءِ، قِيْلَ مَنْ الْغُرَبَاءُ؟ قَالَ: نَاسٌ صَالِحُونَ فِي نَاسِ سَوْءٍ كَثِيرٍ مَنْ يَعْصِيهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيعُهُمْ»

Akan datang suatu kaum kepada Allah pada hari kiamat nanti. Cahaya mereka bagaikan cahaya matahari. Abu Bakar berkata, “Apakah mereka itu kami wahai Rasulullah?” Rasulullah bersabda, “Bukan, tapi kalian mempunyai banyak kebaikan. Mereka adalah orang-orang fakir yang berhijrah. Mereka berkumpul dari berbagai penjuru bumi.” Kemudian beliau bersabda, “Kebahagian bagi orang-orang yang terasing, kebahagiaan bagi orang-orang yang terasing.” Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah orang-orang yang terasing itu?” Beliau saw. bersabda, “Mereka adalah orang-orang shalih, yang jumlahnya sedikit di antara manusia yang buruk. Orang yang menentang mereka lebih banyak dari pada orang yang menaatinya.” (Al-Haitsami berkata hadits ini dalam Al-Kabir mempunyai banyak sanad. Para perawinya shahih).

Semarang, 3 agustus 2014, Akhukum fillah, abu fatima anas assidawy

Perincian tafsir ibnu abbas rodhiallahu anhuma dalam ayat ومن لم يحكم بما انزل الله فاولئك هم الكافرون

Perincian tafsir ibnu abbas rodhiallahu anhuma dalam ayat
ومن لم يحكم بما انزل الله فاولئك هم الكافرون

1 Dalam tafsir imam abdurrozaq ash-shon'ani, sebagaimana dalam tafsir ibnu katsir 2/97, ibnu abbas berkata,
حي به كفر
Padanya ada kekufuran

Didalam jami'ul bayan oleh at-tobari, melengkapi keterangan seluruhnya dari ibnu abbas, dari penjelasan Ibnu thowus berkata,
وليس كمن كفر بالله والملائكته وكتبه ورسله
Dan bukan seperti kafir terhadap allah, kitab2nya,  rosul2nya.

Sanadnya sahih

2 Dalam jami'ul bayan at-tobari 6/265, berkata ibnu abbas
حي به كفر، وليس كمن كفر بالله والملائكته وكتبه ورسله
Padanya ada kekufuran, dan bukan seperti kafir terhadap allah, kitab2nya,  rosul2nya.

Dan dalam riwayat at-tobari 265/6, berkata ibnu abbas
اذا فعل ذالك، فهو به كفر، وليس كمن كفر بالله واليوم الاخر، وبكذا وكذا
Jika demikian, maka dia berbuat kufur tapi bukan seperti kafir pada allah, hari akhir, dan dengan ini itu.

Sanadnya hasan

3 Berkata al hafidz ibnu nasr dalam ta'dzim qodar  as-sholat no 573, ibnu abbas berkata
كفر لا ينقل عن الملة
Kufur tapi tidak keluar dari al millah (islam)

Sanadnya hasan

4 berkata imam ibnu abil hatim dalam tafsirnya, sebagaimana dalam tafsir ibnu katsir 2/97, ibnu abbas berkata
ليس بالكفر الذى يذهبون اليه
Bukanlah menjadi kafir yang mengeluarkan darinya (islam)

Sanadnya hasan

5 Al hakim dalam al mustadraknya 2/313/,  meriwayatkan atsar lainnya, juga al baihaqi dalam sunan al kubro 8/20, dari jalan ali bin harb, dari sufyan dgn lafadznya,  ibnu abbas berkata
انه ليس بالكفر الذى يذهبون اليه، انه ليس كفر ينقل عن الملة،( ومن لم يحكم بما انزل الله فاولئك هم الكافرون )، كفر دون كفر
Maksudnya bukanlah kekafiran yang mengeluarkannya darinya (islam), bukanlah kekafiran yang mengeluarkannya dari al millah (islam), ((dan siapa yang tidak berhukum dengan hukum allah,maka mereka termasuk orang orang kafir)), maksudnya kufur dibawah kekafiran.

Dari jalan said bin mansur, dan al firbabi, dan ibnul mundzir, dan ibnu abi hatim ada tambahan
... وظلم دون ظلم، وفسق دون فسق
Dan dzolim dibawah dibawah kedzoliman, dan fasiq dibawah kefasiqan

Sanadnya sahih

6 berkata imam ibnu jarir dalam tafsirnya 6/265  ibnu abbas berkata
من جحد ما انزل الله، فقد كفر، و من اقر به ولم يحكم فهو ظالم فاسق
Dan barang siapa yang ingkar dengan apa yang diturunkan allah, maka kafir, dan barang siapa mengikrarkannya dan tidak berhukum maka dia dzolim fasiq.

7 dalam addur al-mantsur 3/88, ibnu mundzir berkata, ibnu abbas berkata
نعمة قوم انتم، ان كان ما كان فى حلو، فهو لكم، وما كان من مر، فهو لاهل كتاب، كانه يرى ان ذالك ليس فى المسلمين : ومن لم يحكم بما انزل الله فاولئك هم الكافرون
Sebaik nikmat suatu kaum adalah kalian, jika ia ada dalam keindahan maka itu untuk kalian, dan jika ada dalam kejelekan maka ia untuk ahlul kitab, seperti yang kalian lihat  bahwa ia bukan untuk muslimin, ((dan siapa yang tidak berhukum dengan hukun allah, maka ia kafir))

Sanad terkait dengan sanad lain yang perawinya tsiqoh.

8 Dalam addur al-mantsur 3/83, ibnu abbas berkata
انما نزل الله :  ومن لم يحكم بما انزل الله فاولئك هم الكافرون، والظالمون، والفاسقون، هى اليهود الخاصه
Sesungguhnya allah menurunkan ayat : (dan siapa yang tidak berhukum dengan hukum allah,maka mereka termasuk orang orang kafir, juga orang orang dzolim, juga orang orang fasiq), maka itu untuk orang yahudi saja.

Dalam riwayat muslim no 1700, dan sunan abi dawud no 4448 dan musnad imam ahmad no 286/4
هى فى الكفار كلها
Ia semuanya untuk orang kafir saja.

http://alhalaby.com/play.php?catsmktba=3310