Jumat, 04 Desember 2020

Asy'ariyah menyelisihi pemahaman sahabat

 Asy'ariyah menyelisihi pemahaman sahabat


Pemahaman Asy'ariyah menyelisihi pemahaman sahabat, Tabi'in dan dan tabi'ut tabi'in dalam perkara tauhid asma wassifat, dimana Asy'ariyah merubah makna dan menyelewengkan dengan makna yang salah. Sebagian pengikut Asy'ariyah juga tidak mengimani sifat al uluw dan istiwa Allah yang dalilnya sangat banyak dari ayat, hadits, Atsar para sahabat. Mereka tidak tahu bahwa menolak sifat yang ditetapkan Allah ini berarti masuk golongan JAHMIYYAH. 


Berkata abu bakar bin furok al ashbahaniy. Wafat 406 H :

...لأن استواءه على العرش سبحانه ليس على معنى التمكن والاستقرار،

karena istiwanya diatas arsy, maha suci allah, bukan berdasarkan makna bertempat dan istaqarra (berada di atas),

 بل هو على معنى العلو بالقهر والتدبير وارتفاع الدرجة بالصفة، على الوجه الذي يقتضي مباينة الخلق. اهـ

tapi yg demikian berdasarkan makna tinggi dengan menguasai dan mengurus segala urusan dan terangkat derajat dengan sebab sifat, berdasarkan sisi yg menghendaki makna membedakan dengan mahluk.

kitab musykilul hadits wa bayanuhu. Hal. 389


Asy'ariyah mengakui sifat khobariyah yang datang lewat dalil dan menetapkannya, menurut https://islam.nu.or.id/post/read/94112/benarkah-asyariyah-menolak-banyak-sifat-allah-i


Walaupun menetapkan tapi mereka ubah, mereka tolak makna sesuai yang datang sesuai wahyu dan merubah dengan makna lain yang tidak sesuai. 


Ketika istawa (menetap tinggi) diubah menjadi istaula (menguasai), berarti meyakini ADA PENGUASA LAIN SELAIN ALLAH YANG MENGUASAI ARSY, LALU ALLAH KALAHKAN PENGUASA ITU, INI BERARTI MENGAKUI ADA TUHAN SELAIN ALLAH, INILAH  KESYIRIKAN. 


Konsekwensi dari pemahaman ini juga :

1 Menolak (Ta'thil) makna yang sesuai yang datang 

2 Merubah makna (Tahrif) sesuai pemahaman yang diinginkan. 


Padahal Allah berfirman 

Allah Ta’ala berfirman :

يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَن مَّوَاضِعِهِ

“Mereka mentahrif dari makna sesungguhnya“ (An Nisaa’:46). Ungkapan yang digunakan Al Qur’an tentu lebih utama dan lebih menunjukkan kepada makna yang dimaksud.



IJMA SEJAK ZAMAN SAHABAT 


Bahwa Allah istiwa diatas langit dan menetapkan semua sifat yang datang. 


Al-Imam Al-Auzaa’i rahimahullah (wafat 157 H)

قال عالم عصره إمام أهل الشام الأوزاعي (ت ١٥٧) : كنا والتابعون متوافرون نقول أن الله تعالى فوق عرشه ونؤمن بما وردت به السُّنة من صفاته


Al-Auzaa’i berkata : “Ketika kami dahulu –dan para tabi’in masih banyak-kami berkata : Sesungguhnya Allah di atas arsyNya, dan kita beriman dengan sifat-sifatNya yang datang dalam sunnah” (Al-Asmaa’ was sifaat li Al-Baihaqi 2/304 no 865, Al-‘Uluw li Al-‘Aliy Al-‘Adziim li Adz-Dzahabi 2/940 no 334, dan sanadnya dinyatakan Jayyid (baik) oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 13/406-407)


Ishaq bin Rahuwaih (wafat 238H) berkata :


قال الله تعالى {الرحمن على العرش استوى} إجماع أهل العلم أنه فوق العرش استوى ويعلم كل شيء في أسفل الأرض السابعة


“Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ‘Ar Rahman ber-istiwa di atas Arsy’, ini adalah ijma para ulama yaitu bahwa Allah ber-istiwa di atas Arsy, dan Allah mengetahui segala sesuatu hingga di bawah bumi yang ke tujuh” (Al ‘Uluw li ‘Aliyyil Ghaffar, no. 179).


Imam Abu Hanifah (wafat 148 H) رحمه الله تعالىٰ berkata,

"Allah سبحانه و تعالىٰ ada di langit, tidak di bumi."

Kemudian ada seseorang yang bertanya,

"Tahukah anda Allah ﷻ berfirman : 'Wahuwa ma'akum - Dan Allah bersama kalian?'"

Beliau رحمه الله تعالىٰ menjawab,

"Ungkapan itu seperti kamu menulis surat kepada seseorang : 'Aku akan selalu bersamamu.' Padahal kamu jauh darinya."

(Al-Asma' was Shifat, II/170)


Beliau رحمه الله تعالىٰ juga berkata,

"Dalam berdo'a kepada Allah سبحانه و تعالىٰ kita memanjatkan do'a ke atas, bukan ke bawah."

(al-Fiqh al-Absath, hal. 51)


Beliau رحمه الله تعالىٰ juga berkata,

"Barangsiapa yang berkata, 'Aku tidak tahu Rabbku itu dimana, di langit atau di bumi.' Maka orang itu kafir. Demikian pula orang yang berkata, 'Rabbku di atas 'Arsy, namun aku tidak tahu 'Arsy itu di langit atau di bumi.'"

(al-Fiqh al-Absath, hal. 46)



Imam Malik (wafat 179 H) رحمه الله تعالىٰ pernah ditanya,

"Wahai Abu 'Abdillah, Allah Yang Maha Pengasih bersemayam di atas 'Arsy."

(QS. Thahaa [20] : 5)


Maka bagaimana Dia bersemayam?'

Maka mendengar pertanyaan itu Imam Malik رحمه الله تعالىٰ pun marah seraya menjawab,

"Istiwa'-nya Allah ma'lum (sudah diketahui maknanya), dan kaifiyat (cara bersemayamnya) tidak dapat dicapai nalar (tidak diketahui), dan beriman kepadanya wajib, dan bertanya tentang hal tersebut adalah perkara bid'ah."

Kemudian Imam Malik رحمه الله تعالىٰ memerintahkan orang itu agar dikeluarkan dari majelis beliau."


Riwayat lain daripada imam Malik 

(ي أبي رحمه الله حدثنا سريج بن النعمان حدثنا عبدالله بن نافع قال كان مالك بن أنس يقول الايمان قول وعمل ويقول كلم الله موسى وقال مالك الله في السماء وعلمه في كل مكان لا يخلو منه شيء

Telah menceritakan kepadaku ayahku rahimahullah : Telah menceritakan kepada kami Suraij bin An-Nu’maan : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Naafi’, ia berkata : “Maalik bin Anas pernah berkata : ‘Iman itu adalah perkataan dan perbuatan, Allah berbicara kepada Muusaa, Allah berada di langit dan ilmu-Nya ada di setiap tempat – tidak ada sesuatupun yang luput dari-Nya” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah, hal. 280 no. 532; shahih].



Imam Asy-Syafi'iy (wafat 205 H) رحمه الله تعالىٰ berkata,

"Berbicara tentang sunnah yang menjadi pegangan saya, sahabat-sahabat saya, begitu pula para ahli hadits yang saya lihat dan saya ambil 'ilmu mereka, seperti Sufyan, Malik bin Anas dll, adalah menetapkan seraya bersaksi bahwa tidak ada Rabb yang berhak diibadahi selain Allah, serta bersaksi bahwa Allah itu di atas 'Arsy di langit, dan dekat dengan makhluk-Nya, terserah kehendak Allah, dan Allah itu turun ke langit terdekat (dunia) kapan Allah berkehendak."



Imam Ahmad bin Hanbal (wafat 241H)رحمه الله تعالىٰ berkata,

"Kami mengimani bahwa Allah سبحانه و تعالىٰ ada di atas 'Arsy bagaimana yang Dia berkehendak dan seperti apa yang Dia kehendaki, tanpa batasan dan sifat yang dipakai oleh seseorang untuk mensifati dan membatasi sifat itu."

(Dar'u Ta'arudh Al-'Aql wan Naql, II/30)


Baca yang lain 

https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/08/ijma-ulama-sejak-sahabat-tentang.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/08/kibar-syafiiyah-itsbat-allah-istiwa-di.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/08/atsar-sahabat-bahwa-allah-istiwa-diatas.html


https://maktabahabufateema.blogspot.com/2020/08/perkataan-as-salaf-dan-ahlul-ilmi-dalam.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar