Sabtu, 05 Desember 2020

Kontradiksi Asy'ariyah bag 2

 Kontradiksi Asy'ariyah bag 2


Asy'ariyah dalam perkara asma wassifat terbagi menjadi 3 tahapan pemahaman sesuai kondisi pemahaman pendirinya yakni Abul Hasan Al Asy’ari.


1 Tahap Asy’ari mutazilah (Asy’ariyyah mutaqodimin), pemikiran ini memahami sifat allah menurut mutazilah Jahmiyah, mereka menetapkan tapi tidak mengakui maknanya, umumnya tidak mengakui semua sifat Allah, menyelisihi dalil Qur'an dan Sunnah.


Pemahaman ini dianut sejak kecil, diasuh oleh ayah tirinya yang seorang ulama mutazilah, Ali Al Jubai, lahir besar di basrah (260 H) sebagai pusat perkembangan mutazilah waktunya itu. 


Pemahaman ini meyakini juga Allah berada dimana mana, Allah ada di dalam bumi, dan menyalahkan siapa saja yang meyakini allah istiwa di atas Arsy dengan tuduhan mujassimah musyabbihah.


Keyakinan ini serupa dengan Jahmiyah yang dikafirkan para ulama, mereka bangkit membela Allah dengan menulis buku buku seperti rodd alal Jahmiyyah seperti ad Darimi, al Bukhori, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, dll yang umumnya ulama ahlul Hadits.


Kisah taubatnya dari pemikiran Mu’tazilah ini sangat populer. Beliau melepas pakaiannya seraya berkata: “Aku melepaskan keyakinan Mu’tazilah dari pemikiranku, seperti halnya aku melepaskan jubah ini dari tubuhku,” kemudian beliau melepas jubah yang dikenakannya. Secara simbolis, itu merupakan pernyataan bahwa beliau berlepas diri dari pemikiran Mu’tazilah dan dari kaum Mu’tazilah. Ahli sejarah negeri Syam, Al Hafizh Abul Qasim Ali bin Hasan bin Hibatillah bin Asakir Ad Dimasyq (wafat tahun 571) dalam kitab At Tabyin menceritakan peristiwa tersebut: Abu Ismail bin Abu Muhammad bin Ishaq Al Azdi Al Qairuwani, yang dikenal dengan sebutan Ibnu ‘Uzrah bercerita, Abul Hasan Al Asy’ari adalah seorang yang bermadzhab Mu’tazilah. Dan memegang madzhab ini selama 40 tahun. Dalam pandangan mereka, beliau adalah seorang imam. Kemudian beliau menghilang selama lima belas hari. Secara tiba-tiba, beliau muncul di masjid Jami’ kota Bashrah. Dan setelah shalat Jum’at, beliau naik ke atas mimbar seraya berkata,”Hadirin sekalian. Aku menghilang dari kalian selama beberapa hari, karena ada dalil-dalil yang bertentangan dan sama kuatnya, namun aku tidak mampu menetapkan mana yang hak dan mana yang batil. Dan aku tidak mampu membedakan mana yang batil dan mana yang hak. Kemudian aku memohon petunjuk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka Dia memberiku petunjuk, dan aku tuangkan ke dalam bukuku ini. Dan aku melepaskan semua aqidah (keyakinan) yang dulu aku pegang, sebagaimana aku membuka bajuku ini.” Kemudian beliau membuka bajunya dan membuangnya, lalu memberikan bukunya tersebut kepada para hadirin.


Abul hasan Asy'ari pada tahap mutaqodimin ini sudah terkenal sebagai imam mutazilah, memiliki banyak pengikut. 


2 Tahap Asy'ari bertaubat dari mutazilah (Asy'ariyah kullabiyah). Dalam tahap ini Abul hasan setelah merenung dalil dalil Qur’an dan Sunnah lantas membuang pemikiran mutazilah dan bertaubat. Dalam masa ini abul hasan banyak membantah mutazilah yang dulu diyakini dengan buku buku yang banyak tersebar. 


Sayangnya, dalam membantah mutazilah beliau menggunakan pemahaman kullabiyah, yakni meyakini dan menetapkan sifat Allah SEBAGIAN SAJA, sesuai dengan rasio akal yang banyak bergantung dengannya. Tahap ini meyakini sifat khobariyah yang 7 yaitu sifat Ma'ani, seperti ilmu, irodah, qudroh, hayyah, bashor, kalam, sama'. Mereka sendiri khilaf pada sifat baqo, takwin, qodam sebagian menyebutnya juga, al idrook. 


وينظر: "شرح الصاوي على الجوهرة "، ص141 ، "حواشي على شرح الكبرى" (206-209) ، "التحقيق التام في علم الكلام" ، للشيخ الظواهري (93-97) .


Dan menolak menetapkan sifat Dzatiyah (tangan, wajah, kaki dll) 


Dalam menentukan sifat itu Yang menggunakan rasio akal. Tahap pemahaman ini menggunakan takwil sifat, sepertiga istaula atau istila', dan mentakwil sifat lainnya. 


Tahap ini banyak terpengaruh dengan pemahaman Muhammad Ibnu Kullab, yang sangat bertentangan dengan mutazilah dari berbagai sisi, kullabiyah sebenarnya ingin membela aqidah tapi menggunakan sarana ilmu kalam yang berdasarkan akal rasio, sehingga juga terjebak pada kesalahan kesalahan akal manusia yang tidak sempurna. Kullabiyah juga menolak al Qur'an sebagai Kalamullah, makan banyak ulama pada zamannya memberikan peringatan kesalahan paham ini, seperti imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Khuzaimah dll. 


Pada tahap ini pemahaman beliau dikenal sebagai Asy'ariyah, meski ini tahapan sementara tapi sudah kandung tersebar dan terkenal di seluruh dunia islam, dikala runtuh nya khilafah Abbasiyah, kaum muslimin banyak peperangan dengan Nasrani dan pasukan tartar mongol, hingga di kerajaan Bani Saljuk dipakai resmi dan diteruskan pada masa Bani Mamluk. 


Pada zaman khilafah Abbasiyah masih ada, pemahaman Asy'ariyah dibenci oleh seluruh kaum muslimin dan para ulama banyak yang memberi peringatan kesalahan bahkan menyesatkan dan mengkafirkan. 


Di masa Daulah Umayyah dan Daulah Abbasiyah selama 750 tahun. Kaum muslimin dan pemerintahnya berpegang teguh di atas Manhaj Salaf di dalam memahami sifat-sifat Allah. 


Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan:

قال البيهقي: ولم يكن في الخلفاء قبله من بني أمية وبني العباس خليفة إلا على مذهب السلف ومنهاجهم

“Al-Baihaqi berkata: “Tidak ada satu khalifah pun sebelum al-Makmun dari kalangan Daulah Umayyah dan Daulah Abbasiyah kecuali berada di atas Madzhab dan Manhaj Salaf.” (Al-Bidayah wan Nihayah: 10/365)..


Pada masa Khalifah al-Qadir billah (khalifah ke-26 Daulah Abbasiyah, wafat tahun 422 H). Beliau juga berpegang kepada Madzhab Salaf. Abu Bakar al-Khathib al-Baghdadi rahimahullah menyatakan:

وعرف بها عند كل أحد مع حسن المذهب وصحة الاعتقاد وكان صنف كتابا في الأصول ذكر فيه فضائل الصحابة على ترتيب مذهب أصحاب الحديث

“Al-Qadir billah dikenal oleh setiap orang dengan banyaknya amal shalih disertai madzhab yang baik dan kesahihan akidah. Beliau juga menulis sebuah kitab tentang ‘Ushul’. Beliau menerangkan keutamaan para sahabat dalam kitab tersebut menurut urutan Madzhab Ahlul Hadits…dst.” (Tarikh Baghdad: 4/37).


Di antara akidah Khalifah al-Qadir billah yang pernah dibacakan di hadapan para ulama di Baghdad adalah:

وأنه خلق العرش لا لحاجة واستوى عليه كيف شاء لا استواء راحة وكل صفة وصف بها نفسه أو وصفه بها رسوله فهي صفة حقيقة لا صفة مجاز وكلام الله غير مخلوق أنزله على رسوله

“Dan bahwa Allah menciptakan Arsy bukan karena kebutuhan. Allah bersemayam di atasnya dengan tatacara yang dikehendaki-Nya, bukan bersemayam untuk beristirahat. Setiap sifat yang mana Allah menyifati diri-Nya dengan sifat tersebut, atau disifati oleh Rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam, maka itu merupakan sifat yang hakiki bukan sifat majazi. Firman Allah bukanlah makhluk, diturunkan oleh-Nya kepada rasul-Nya.” (Al-Uluw lil Aliyyil Ghaffar: 245).


Di masa Khalifah al-Qadir billah ini, ajaran Asy’ariyah menjadi ajaran yang dibenci oleh kaum muslimin. Al-Qadhi Abu Bakar al-Baqilani -yang menjadi tokoh ajaran Asy’ariyah ini- sangat tidak nyaman dengan sikap al-Imam Abu Hamid al-Isfarayni asy-Syafi’i (wafat tahun 406 H) rahimahullah yang bermanhaj Salaf.


Al-Imam Abu Ishaq asy-Syairazi asy-Syafi’i berkata:

كان أبو بكر الباقلاني يخرج إلى الحمام مبرقعا خوفا من الشيخ أبي حامد الإسفرائيني

“Adalah Abu Bakar al-Baqilani keluar menuju tempat pemandian dengan memakai cadar karena takut terhadap asy-Syaikh Abu Hamid al-Isfarayni.” (Al-Aqidah al-Ishfahaniyah: 59).


Tentang Abu Hamid Ahmad ibn Abi Thahir Al-Isfirãini rahimahullah (wafat:406 H), Berkata Abul-Hasan Al-Karkhi Asy-Syafii:


ﻭﻛﺎﻥ اﻟﺸﻴﺦ ﺃﺑﻮ ﺣﺎﻣﺪ اﻹﺳﻔﺮاﺋﻴﻨﻲ ﺷﺪﻳﺪ اﻹﻧﻜﺎﺭ ﻋﻠﻰ اﻟﺒﺎﻗﻼﻧﻲ ﻭﺃﺻﺤﺎﺏ اﻟﻜﻼﻡ


Asy-Syaikh Abu Hamid Al-Isfirãini adalah seorang yang sangat keras pengingkarannya terhadap Al-Baqillani dan orang-orang ahli kalam…


Dan (Dar’u Ta’ãrudh Al-‘Aql wan-Naql:2/96, Al-Fatawa Al-Kubra:6/600


Abu Ahmad bin Muhamad bin Ali bin Muhammad Al-Karji, lebih dikenal dengan sebutan Al-Qashshab rahimahullah (360H) berkata dalam Al-I'tiqad Al-Qadiri yang ditulis untuk Amirul Mukminin Al-Qadir bi Amrillah, tahun 433H yang direkomendasi oleh para ulama saat itu dan kemudian risalah Al-Qadiriah ini diisi ke penjuru negeri:


" لا يوصف إلا بما وصف به نفسه أو وصفه به نبيه، وكل صفة وصف بها نفسه، أو وصفه بها نبيه، فهي صفة حقيقية لا صفة مجاز ، ولو كانت صفة مجاز لتحتم تأويلها ، ولقيل : معنى البصر كذا ، ومعنى السمع كذا ، ولفسرت بغير السابق إلى الأفهام ، فلما كان مذهب السلف إقرارها بلا تأويل ، علم أنها غير محمولة على المجاز، وإنما هي حق بيّن " انتهى نقلا عن " المنتظم" لابن الجوزي في المنتظم في حوادث سنة 433هـ ، "سير أعلام النبلاء" (16/213).


 "(Allah) tidak disifati kecuali dengan sifat yang telah Dia tetapkan untuk diri-Nya sendiri atau sifat yang telah ditetapkan oleh nabi-Nya. Sifat yang telah Dia tetapkan untuk diri-Nya sendiri atau yang ditetapkan oleh Rasul-Nya adalah hakikat, bukan sifat majaz. Seandainya sifat-sifat itu majaz, maka dia harus ditakwil. Maka harus dikatakan, 'Makna bashar (melihat) adalah begini, makna 'sam'u' (mendengar) adalah begitu... dan harus ditafsirkan dengan sesuatu yang terpikirkan oleh pemahaman sebelumnya. Karena mazhab salaf menetapkan sifat-sifat Allah tanpa takwil, maka dapat disimpulkan bahwa sifat-sifat tersebut tidak dapat dipahami sebagai majaz (kiasan), akan tetapi dia merupakan hakikat yang jelas." (Dikutip dari kitab Al-Muntazam, Ibnu Jauzi dalam Al-Muntazam dalam kejadian tahun 433, Siyar A'lam An-Nubala, 16/213)



3 Tahap Asy'ari rujuk ke manhaj salaf, mengikuti pemahaman salaf 3 generasi, beliung hijrah ke Baghdad dimana bantai bermukim ulama sunni salafi, pengikut hambali (zaman itu mereka yang beraqidah salaf dijuluki hambali). 


Selama di Baghdad Beliau bertemu dengan Al Barbahari Al Syafi'i penulis syarhussunnah dan menimba ilmu salaf dengan para ulama lainnya. 


Abu Abdillah al-Hamrani berkata:


لما دخل الأشعري إلى بغداد جاء إلى البربهاري فجعل يقول: رددت على الجبائي وعلى أبي هاشم ونقضت عليهم وعلى اليهود والنصارى والمجوس وقلت لهم وقالوا وأكثر الكلام في ذلك فلما سكت قال البربهاري: ما أدري مما قلت قليلاً ولا كثيراً ولا نعرف إلا ما قاله أبو عبد الله أحمد بن حنبل قال: فخرج من عنده وصنف كتاب ” الإبانة ” فلم يقبله منه ولم يظهر ببغداد إلى أن خرج منها


“Ketika Abul Hasan al-Asy’ari memasuki Baghdad, beliau mendatangi al-Imam al-Barbahari (wafat tahun 328 H). Beliau mengatakan: “Aku telah membantah al-Juba’i dan Abu Hasyim. Aku telah membantah mereka. Aku juga telah membantah Yahudi, Nasrani dan Majusi. Aku berkata kepada mereka demikian dan demikian…dst. Ketika beliau diam, maka giliran al-Imam al-Barbahari berkata: “Aku tidak mengenal pendapatmu sedikit ataupun banyak kecuali pendapat al-Imam Ahmad bin Hanbal.” Al-Hamrani berkata: “Kemudian Abul Hasan al-Asy’ari keluar dari majelis al-Barbahari dan menulis kitab ‘al-Ibanah an Ushulid Diyanah’. Al-Barbahari masih tidak mau menerimanya. Beliau tidak muncul di Baghdad sampai kemudian keluar dari Baghdad.” (Thabaqat al-Hanabilah li Ibni Abi Ya’la: 2/16, al-Maqshadul Arsyad li Ibni Muflih: 1/329, Siyar A’lamin Nubala’: 15/90 dan al-Wafi bil Wafayat lish Shafadi: 4/173)


Ditandai dengan ditulisnya buku al Ibanah, maqolat islamiyin juga risalah ahli saghr. Di antara pernyataan al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari rahimahullah dalam ‘al-Ibanah’ adalah:


قولنا الذي نقول به وديانتنا التي ندين بها التمسك بكتاب الله ربنا عز و جل وبسنة نبينا محمد صلى الله عليه و سلم وما روى عن السادة الصحابة والتابعين وأئمة الحديث ونحن بذلك معتصمون وبما كان يقول به أبو عبد الله أحمد بن محمد بن حنبل – نضر الله وجهه ورفع درجته وأجزل مثوبته – قائلون…الخ


“Pendapat yang kami pegangi dan agama yang mana kami beragama dengannya adalah: berpegang teguh dengan Kitab Allah Rabb kami azza wajalla, dengan sunnah Nabi kami Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan juga dengan riwayat dari para pembesar sahabat, tabiin dan para imam ahlul hadits. Kami berpegang teguh dengan itu semuanya. Dan kami juga berpendapat dengan pendapat al-Imam Ahmad bin Hanbal –semoga Allah menjadikan wajah beliau berseri, mengangkat derajat beliau dan memperbanyak pahala beliau-…dst.” (Al-Ibanah an Ushulid Diyanah: 20).


Abul-Hasan Al-Asy’ariy berkata dalam Risalah ahlisaghr 


وأجمعوا . . أنه فوق سماواته على عرشه دون أرضه ، وقد دل على ذلك بقوله : {أأمنتم من في السماء أن يخسف بكم الأرض}، وقال : {إليه يصعد الكلم الطيب والعمل الصالح يرفعه}. وقال : {الرحمن على العرش استوى}، وليس استواءه على العرش استيلاء كما قال أهل القدر، لأنه عز وجل لم يزل مستوليا على كل شيء


“Dan mereka (para ulama Ahlus-Sunnah) bersepakat..... bahwasannya Allah berada di atas langit-langit-Nya, di atas ‘Arsy-Nya, bukan di bumi-Nya. Dan hal itu ditunjukkan melalui firman-Nya : ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu’ (QS. Al-Mulk : 16). Dan Allah berfirman : ‘Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya’ (QS. Faathir : 10). Allah berfirman : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang ber-istiwaa’ di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5). Dan bukanlah yang dimaksud istiwaa’-nya Allah di atas ‘Arsy itu adalah istilaa’ (menguasai) sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang Qadariyyah. Karena Allah ‘azza wa jalla senantiasa berkuasa atas segala sesuatu” [Risaalatun ilaa Ahlits-Tsaghr oleh Abul-Hasan Al-Asy’ariy, hal. 231-234, tahqiq : ‘Abdullah bin Syaakir Al-Junaidiy; Maktabah Al-‘Uluum wal-Hikam, Cet. 2/1422 H].


Kata Imam Abul Hasan Asy'ari dalam kitabnya Maqalat Islamiyyin jil. 1 hlm 236 :


 اختلف المعتزلة في ذلك، فقال قائلون: البارئ بكل مكان، بمعنى أنه مدبر لكل مكان...والقائلون بهذا القول جمهور المعتزلة أبو هزيل والجعفراني والإسكافي ومحمد بن عبد الوهاب الجبائي. وقال قائلون: البارئ لا في مكان، بل هو على ما لم يزل. وهو قول هشام الفوطي وعباد بن سليمان وأبي زفر وغيرهم من المعتزلة. وقالت المعتزلة في قول الله عزوجل (طه: 5) الرحمن على العرش استوىيعني استولى


Maksudnya: Mazhab Muktazilah telah berbeda pendapat dalam masalah ini. Berkata sebahagiannya, Allah berada dimana-mana. Bermaksud mentadbir di setiap tempat. Pendapat ini dipegang oleh Jumhur Muktazilah, Abu Huzail, al-Ja’farani, al-Iskafi dan Muhammad bin Abdul Wahab al-Jubbaie. Sebagian pula berkata Allah tidak bertempat. Pendapat ini ialah pendapat Hisyam al-Fuwathi, Abbad bin Sulaiman, Abi Zufar dan yang lainnya dikalangan muktazilah. Muktazilah berpendapat perkataan Istiwa’ di dalam Firman Allah surah Thoha ayat 5 yang bermaksud Al-Rahman beristiwa’ di atas Arasy ialah bermaksud Istaula iaitu berkuasa. (Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Musollin” jilid 1. halaman 236) 


Dalam pembahasan tempat, beliau mengatakan 


143 - أقوال مثبتي أنه في مكان

1 - وقال قائلون: هو جسم خارج من جميع صفات الجسم ليس بطويل ولا عريض ولا عميق ولا يوصف بلون ولا طعم ولا مجسة ولا شيء من صفات الأجسام وأنه ليس في الأشياء ولا على العرش إلا على معنى أنه

فوقه غير مماس له وأنه فوق الأشياء وفوق العرش ليس بينه وبين الأشياء أكثر من أنه فوقها.

2 - وقال هشام بن الحكم: أن ربه في مكان دون مكان وأن مكانه هو العرش وأنه مماس للعرش وإن العرش قد حواه وحده.

3 - وقال بعض أصحابه: أن البارئ قد ملأ العرش وأنه مماس له.

4 - وقال بعض من ينتحل الحديث: أن العرش لم يمتلئ به وأنه يقعد نبيه عليه السلام معه على العرش.

5 - وقال أهل السنة وأصحاب الحديث: ليس بجسم ولا يشبه الأشياء وأنه على العرش كما قال -عز وجل-: {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى} [طه: 5] ولا نقدم بين يدي الله في القول بل نقول استوى بلا كيف وأنه نور كما قال تعالى: {اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ} [النور: 35] وأن له وجهاً كما قال الله: {وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ} [الرحمن: 27] وأن له يدين كما قال: {خَلَقْتُ بِيَدَيَّ} [ص: 75] وأن له عينين كما قال: {تَجْرِي بِأَعْيُنِنَا} [القمر: 14] وأنه يجيء يوم القيامة هو وملائكته كما قال: {وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفّاً صَفّاً} [الفجر: 22] وأنه ينزل إلى السماء الدنيا كما جاء في الحديث1 ولم يقولوا شيئاً إلا ما وجدوه في الكتاب أو جاءت به الرواية عن رسول الله صلى الله عليه وسلم.

6 - وقالت المعتزلة: أن الله استوى على عرشه بمعنى استولى.


Qoul yang dijadikan dalil bahwa Allah bertempat.

1 sebagian berkata : dia adalah jism yang terpisah disifati kebanyakan jism, tidak panjang atau lebar, dalam, tidak berwarna, juga makanan, tidak kiasan atau diserupakan sesuatu, tidak di arsy melainkan maknanya diatas arsy, tidak bersinggungan dengan sesuatu, Dia diatas segala sesuatu diatas arsy, tidak ada apapun diantara sesuatu yang lebih darinya, sesungguhnya Dia diatas segalanya...

5 Ahlusunnah dan ashabul hadits mereka berkata : bukanlah menyerupakan dengan tubuh (makhluk) dan tidak menyerupakan Dia dengan apapun, dan Dia diatas Arsy sebagaimana Firman Allah sendiri {Ar-Rahman istiwa diatas arsy} [Toha 5]

Kamis tidak ingin mendahului Allah dalam perkataan, bahkan kami katakan istiwa Allah tidak diketahui, bahwa Allah itu cahaya sebagaimana firman {Allah cahaya langit dan bumi}[An-Nur 35]

dan Dia memiliki wajah sebagaiman firman {Dan tetap kekal wajah tuhanmu} [Ar Rohman 27]

Dan Dia memiliki 2 tangan sebagaimana firman {Kuciptakan dengan kedua tanganku} [Shof 75]

Dan Dia memiliki 2 mata sebagaimana firman {yang berlayar dengan pengawasan mata kami} [Qomar 14]

Dan Dia datang bersama malaikat Nya pada hari kiamat sebagaimana firman {Dan Tuhanmu datang sambil malaikat berbaris} [Fajri 22]

Dan Dia turun di sepertiga malam sebagaimana dalam hadits, dan tidak berkata apapun kecuali bersandar pada Qur'an dan apa yang datang riwayat dari rosul shollallohu'alaihiwasallam.

6 Mu'tazilah berkata : bahwa Allah istiwa di arsy maknanya adalah istaula (menguasai).

(Maqalat Islamiyin, bab pembahasan tempat)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar