Pandangan para ulama bahwa sifat sifat Allah itu hakikat bukan majas
Akan kami kutipkan di sini sejumlah ucapan mereka. Di antaranya;
1- Imam Utsman bin Said Ad-Darimy rahimahullah (280 H) berkata,
ونحن قد عرفنا بحمد الله تعالى من لغات العرب هذه المجازات التي اتخذتموها دُلسة وأُغلوطة على الجهال ، تنفون بها عن الله حقائق الصفات بعلل المجازات ، غير أنا نقول : لا يُحكم للأغرب من كلام العرب على الأغلب ، ولكن نصرف معانيها إلى الأغلب حتى تأتوا ببرهان أنه عنى بها الأغرب ، وهذا هو المذهب الذي إلى العدل والإنصاف أقرب ، لا أن تعترض صفات الله المعروفة المقبولة عند أهل البصر فنصرف معانيها بعلة المجازات " انتهى من "نقض الرادرمي على بشر المريسي" (2/755).
"Kami telah mengetahui, alhamdulillah, dari bahasa Arab bentuk-bentuk kiasan (majaz) yang mereka jadikan landasan dengan keliru dari orang-orang bodoh yang dengan itu mereka menafikan hakikat sifat-sifat dengan alasan bahwa sifat-sifat itu adalah majaz (kiasan). Maka kami katakana, "Jangan hukumi sebuah kalimat dengan makna lain dalam bahasa Arab sebagai makna asal. Akan tetapi kita pahami dengan makna asal hingga ada dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dari kata tersebut adalah maknanya yang lain. Inilah mazhab yang adil dan lebih dekat pada kebenaran. Jangan sampai menolak sifat-sifat Allah yang telah dikenal dan diterima oleh mereka yang berpandangan lurus, namun kita alihkan maknanya dengan alasan majaz." (Naqdu Ad-Darimi Ala Bisyri Al-Muraisy, 2/755)
2- Imam Abu Ja'far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari rahimahullah (310H) berkata,
فإن قال لنا قائل : فما الصواب في معاني هذه الصفات التي ذكرت ، وجاء ببعضها كتاب الله عز جل ووحيه، وجاء ببعضها رسول الله صلى الله عليه وسلم ؟ قيل: الصواب من هذا القول عندنا: أن نثبت حقائقها على ما نعرف من جهة الإثبات ونفي التشبيه ، كما نفى عن نفسه جل ثناؤه فقال : ( ليس كمثله شيء وهو السميع البصير ) إلى أن قال : " فنثبت كل هذه المعاني التي ذكرنا أنها جاءت بها الأخبار والكتاب والتنزيل على ما يُعقل من حقيقة الإثبات ، وننفي عنه التشبيه فنقول : يسمع جل ثناؤه الأصوات ، لا بخرق في أذن ، ولا جارحة كجوارح بني آدم . وكذلك يبصر الأشخاص ببصر لا يشبه أبصار بني آدم التي هي جوارح لهم. وله يدان ويمين وأصابع ، وليست جارحة ، ولكن يدان مبسوطتان بالنعم على الخلق ، لا مقبوضتان عن الخير ، ووجه لا كجوارح بني آدم التي من لحم ودم. ونقول : يضحك إلى من شاء من خلقه ، لا تقول: إن ذلك كشر عن أنياب ، ويهبط كل ليلة إلى سماء الدنيا " انتهى من "التبصير في معالم الدين" ص (141-145) .
"Jika ada ada seseorang yang bertanya kepada kami, 'Mana yang benar dalam masalah makna sifat-sifat yang telah disebutkan, sebagian dinyatakan dalam wahyu (Al-Quran) dan sebagian dinyatakan oleh sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam?' Ada yang mengatakan bahwa pendapat yang benar di kalangan kami tentang masalah ini adalah; Kita menetapkannya sebagai hakikat sebagaimana yang kita ketahui, baik dari sisi itsbat (penetapan) ataupun nafy tasybih (tidak menyerupai) sebagaimana hal itu ditiadakan oleh Allah Ta'ala sendiri, "Tidak ada suatupun yang menyerupainya, Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat)." Hingga beliau berkata, "Maka semua makna yang terkandung dalam sifat-sifat yang telah kami sebutkan bersumber dari khabar (hadits) dan Al-Quran, kami tetapkan sebagaimana dipahami secara akal, yaitu dengan menetapkan hakikatnya dan meniadakan keserupaan. Maka kami katakan: Allah yang maha Agung mendengar suara-suara, bukan dengan gendang telinga, atau dengan anggota tubuh seperti bani Adam. Demikian pula, Dia meihat makhluknya dengan penglihatan yang tidak menyerupai penglihatan bani Adam yang menjadi anggota tubuh mereka. Dia memiliki dua tangan dan jari jemari, akan tetapi dia bukan anggota tubuh. Dia adalah kedua tangan yang selalu terbentang dengan nikmat yang diberikan kepada makhluk-Nya, tidak digenggam untuk menahan kebaikan. Dia memiliki wajah yang tidak seperti anggota tubuh bani Adam yang terdiri dari daging dan darah. Kami katakan, Dia tertawa terhadap makhluknya yang Dia kehendaki. Tidak kita katakan bahwa tawanya seperti makhluk jahat yang bertaring. Dia turun di setiap malam ke langit dunia." (At-Tabshir fi Ma'alimiddin, hal. 141-145)
3- Imam Abu Ahmad bin Muhamad bin Ali bin Muhammad Al-Karji, lebih dikenal dengan sebutan Al-Qashshab rahimahullah (360H) berkata dalam Al-I'tiqad Al-Qadiri yang ditulis untuk Amirul Mukminin Al-Qadir bi Amrillah, tahun 433H yang direkomendasi oleh para ulama saat itu dan kemudian risalah Al-Qadiriah ini diisi ke penjuru negeri:
" لا يوصف إلا بما وصف به نفسه أو وصفه به نبيه، وكل صفة وصف بها نفسه، أو وصفه بها نبيه، فهي صفة حقيقية لا صفة مجاز ، ولو كانت صفة مجاز لتحتم تأويلها ، ولقيل : معنى البصر كذا ، ومعنى السمع كذا ، ولفسرت بغير السابق إلى الأفهام ، فلما كان مذهب السلف إقرارها بلا تأويل ، علم أنها غير محمولة على المجاز، وإنما هي حق بيّن " انتهى نقلا عن " المنتظم" لابن الجوزي في المنتظم في حوادث سنة 433هـ ، "سير أعلام النبلاء" (16/213).
"(Allah) tidak disifati kecuali dengan sifat yang telah Dia tetapkan untuk diri-Nya sendiri atau sifat yang telah ditetapkan oleh nabi-Nya. Sifat yang telah Dia tetapkan untuk diri-Nya sendiri atau yang ditetapkan oleh Rasul-Nya adalah hakikat, bukan sifat majaz. Seandainya sifat-sifat itu majaz, maka dia harus ditakwil. Maka harus dikatakan, 'Makna bashar (melihat) adalah begini, makna 'sam'u' (mendengar) adalah begitu... dan harus ditafsirkan dengan sesuatu yang terpikirkan oleh pemahaman sebelumnya. Karena mazhab salaf menetapkan sifat-sifat Allah tanpa takwil, maka dapat disimpulkan bahwa sifat-sifat tersebut tidak dapat dipahami sebagai majaz (kiasan), akan tetapi dia merupakan hakikat yang jelas." (Dikutip dari kitab Al-Muntazam, Ibnu Jauzi dalam Al-Muntazam dalam kejadian tahun 433, Siyar A'lam An-Nubala, 16/213)
4- Imam Al-Hafiz Abu Abdillah Muhamad bin Ishaq bin Mandah (395H) dalam hal menetapkan kedua tangan milik Allah Ta'ala, dia berkata,
"Bab tentang firman Allah Ta'ala, "Apa yang mencegahmu untuk sujud kepada (Adam) yang Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku" (QS. Shaad: 75), kemudian dia menyebutkan dengan dalil-dalil yang dikemukakan dari sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa Allah Azza wa Jalla menciptakan Adam alaihissalam dengan kedua tangan secara hakikat."
Dia berkata dalam hal menetapkan wajah bagi Allah Ta'ala, "Bab firman Allah Ta'ala, " Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajah Allah." (QS. Al-Qashash: 88) Beliau menyebutkan berdasarkan riwayat shahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa sifat itu adalah hakikat." (Ar-Rad alal-Jahmiyah, 68-94)
5- Imam Hafiz Al-Maghrib Abu Umar Yusuf bin Abdullah bin Abdul Barr Al-Andalusy Al-Qurthuby Al-Maliky (463 H), "Hak sebuah kalimat adalah dipahami sebagai hakikat hingga umat sepakat bahwa yang dimaksud adalah majaz. Karena tidak ada jalan untuk mengikuti apa yang diturunkan kepada kita dari Tuhan kita kecuali dengan cara seperti itu. Hanya saja, Kalamullah Azza wa Jalla dipahami dengan makna yang sudah dikenal dari berbagai sisi, selama tidak ada halangan dari hal tersebut yang menuntut adanya penyerahan diri. Seandainya pengakuan majaz dibuka kepada siapa saja, maka tidak akan ada satupun kata yang dapat ditetapkan. Allah maha Agung, Dia menyampaikan firman-Nya dengan apa yang dipahami oleh bangsa Arab dalam kebiasaan pembicaraan mereka dan maknanya dianggap benar oleh orang yang mendengarnya. Istiwa dalam sudah diketahui dan dapat dipahami maknanya dari segi bahasa, yaitu tinggi di atas sesuatu serta kokoh serta mantap padanya."
Dia berkata dengan mengutip kesepatakan (ijmak) Ahlussunnah tentang hal itu, "Ahlussunnah sepakat menetapkan seluruh sifat yang dinyatakan dalam Al-Quran dan Sunah serta mengimaninya. Kemudian memahaminya berdasarkan hakikat, bukan berdasarkan majaz. Hanya saja mereka tidak merinci bagaimananya sedikitpun serta tidak menentang sifat-sifat yang sudah tertentu. Adapun ahi bid'ah dan Jahmiyah, mu'tazilah serta khawarij, mereka seluruhnya mengingkarinya dan tidak memahaminya sebagai hakikat. Mereka menuduh bahwa siapa yang menetapkan sifat-sifat bagi Allah berarti dia menyerupai Allah dengan makhluk. Mereka menafikan sifat-sifat yang ditetapkan oleh mereka yang menetapkannya, bahwa itu ada pada dzat yang disembah. Yang benar adalah apa yang dikatakan dalam Kitabulah dan sunah rasul-Nya. Mereka adalah para imam jamaah (kaum muslimin), alhamdulillah." (Tamhid, 7/131-145)
ومن حق الكلام أن يُحمل على حقيقته ، حتى تتفق الأمة أنه أريد به المجاز؛ إذ لا سبيل إلى اتباع ما أنزل إلينا من ربنا إلا على ذلك ، وإنما يوجه كلام الله عز وجل إلى الأشهر والأظهر من وجوهه ، ما لم يمنع من ذلك ما يجب له التسليم . ولو ساغ ادعاء المجاز لكل مدع ما ثبت شيء من العبارات ، وجل الله عز وجل عن أن يخاطب إلا بما تفهمه العرب في معهود مخاطباتها مما يصح معناه عند السامعين ، والاستواء معلوم في اللغة ومفهوم ، وهو العلو والارتفاع على الشيء والاستقرار والتمكن فيه ".
وقال ناقلاً إجماع أهل السنة على ذلك : " أهل السنة مجمعون على الإقرار بالصفات الواردة كلها في القرآن والسنة والإيمان بها ، وحملها على الحقيقة لا على المجاز ، إلا أنهم لا يكيفون شيئا من ذلك ، ولا يحدون فيه صفة محصورة ، وأما أهل البدع والجهمية والمعتزلة كلها والخوارج فكلهم ينكرها ، ولا يحمل شيئا منها على الحقيقة ، ويزعمون أن من أقر بها مشبه ، وهم عند من أثبتها نافون للمعبود . والحق فيما قاله القائلون بما نطق به كتاب الله وسنة رسوله وهم أئمة الجماعة والحمد لله " انتهى من "التمهيد" (7/ 131، 145).
6. Imam Al-Hafiz Az-Zahabi, seteleh menukil ucapan Al-Qashshab sebelumnya, berkata,
ولو كانت الصفات ترد إلى المجاز ، لبطل أن تكون صفات لله ، وإنما الصفة تابعة للموصوف ، فهو موجود حقيقة لا مجازاً ، وصفاته ليست مجازاً ، فإذا كان لا مثل له ولا نظير : لزم أن تكون لا مثل لها ".
وقال في تعليقه على كلام ابن عبد البر السابق : " صدق والله ، فإن من تأول سائر الصفات ، وحمل ما ورد منها على مجاز الكلام ، أداه ذلك السلب إلى تعطيل الرب ، وأن يشابه المعدوم ، كما نقل عن حماد بن زيد أنه قال : مثل الجهمية كقوم قالوا : في دارنا نخلة . قيل: لها سعف؟ قالوا : لا. قيل: فلها كرب؟ قالوا : لا. قيل : لها رطب وقنو؟ قالوا: لا. قيل: فلها ساق؟ قالوا: لا. قيل: فما في داركم نخلة " انتهى من "العلو" ص 239، 250.
'Seandainya sifat-sifat tersebut bermakna majaz, niscaya dia akan batal sebagai sifat-sifat Allah. Akan tetapi, sesungguhnya dia adaah sifat bagi yang disifati, dia ada dan bersifat hakikat, bukan majaz. Sifat-sifat-Nya bukan majaz. Seandainya Allah tidak ada yang menyerupainya dan tidak ada yang menandinginya, maka sifat-sifat tersebut harus tidak ada yang menyerupainya dan tidak ada yang menandinginya."
Beliau juga berkata tatkala berkomentar atas ucapan Ibnu Abdul Barr sebelumnya, "Demi Allah, beliau telah benar. Karena siapa yang menta'wil seluruh sifat dan kemudian menggiringnya kepada makna majaz dalam perkataan, maka tindakan tersebut berarti menggugurkan rabb (Tuhan), atau menyerupainya dengan sesuatu yang tidak ada. Sebagaimana dinukil dari Hamad bin Zaid, bahwa dia berkata, 'Seperti Jahmiah. Seperti sebuah kaum mereka berkata, 'Di rumah kami ada pohon kurma' Lalu dikatakan kepadanya, 'Apakah ada pelepahnya?' Mereka berkata, 'Tidak' Lalu ditanyakan lagi, 'Apakah dia memiliki bunga?' Mereka berkata, 'Tidak' Lalu ditanyakan lagi, 'Apakah dia memiliki ruthab (kurma mentah)?' Mereka berkata, 'Tidak' Lalu ditanyakan lagi, 'Apakah dia memiliki batang?' Mereka berkata, 'Tidak'. Maka dikatakan kepadanya, 'Kalau begitu yang ada di rumah kalian bukanlah pohon kurma." (Al-Uluww, hal. 239)
Kutipan dalam masalah ini cukup banyak. Perhatikan kitab 'Al-Asyaa'irah fii Mizan Ahlissunnah, oleh Syekh Faishal bin Quzaz Al-Jasim. Di dalamnya terdapat kutipan yang sangat banyak dari kalangan salaf.
Syeh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan makna ayat, 'Tangan Allah di atas tangan mereka.' (QS. Al-Fath: 10)
Ayat ini juga harus dipahami sesuai zahir dan hakikatnya. Karena tangan Allah di atas seluruh tangan orang-orang yang berbai'at. Karena tangannya termasuk sifat-Nya. Dia berada di atas mereka di Arasy-Nya. Maka tangannya di atas tangan mereka. Ini merupakan zahir dan hakikat lafaz tersebut. Hal itu untuk menguatkan bahwa orang-orang yang berbaiat kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada hakikatnya dia sedang berbaiat kepada Allah Azza wa Jalla. Hal itu tidak harus berarti bahwa tangan Allah yang langsung membai'at mereka. Bukankah anda memahami jika dikatakan 'Langit di atas kami' padahal langit jauh di atas kita. Maka tangan Allah di atas tangan para shahabat yang berbaiat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, sementara kedudukannya berbeda dan lebih tinggi di atas mereka." (Al-Qawa'idul Mutsla, yang terdapat dalam kitab kumpulan fatwa beliau, 3/331)
Adapun firman Allah (فإنك بأعيينا) sebagian salaf menafsirkan dengan makna 'Sesungguhnya engkau dalam pemantauan kami.' Ini merupakan penafsiran yang telah menjadi kelaziman (tafir billazim). Maka ayat tersebut menetapkan adanya sifat melihat dan mata.
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata dalam kitab Syarh Al-Washitiyah, 'Jika ada yang berkata, 'Dengan apa engkau menafsirkan (بـ) dalam firman-Nya (بأعيننا)?
Kami katakan, 'Kami menafsirkannya (huruf بـ) sebagai mushahabah (mendampingi). Jika anda mengatakan (أنت بعيني) maksudnya adalah bahwa mataku selau mendampingimu dan melihatmu, tidak pernah luput. Maka makna ayat tersebut artinya, 'Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berkata kepada Nabi-Nya, 'Bersabarlah menyampaikan hukum Allah, karena Kami selalu meliputi engkau dengan perhatian dan pengihatan Kami kepadamu dengan mata, agar engkau tidak mendapatkan celaka dari seseorang."
Dan tidak mungkin (بـ) dalam kalimat ini diberi makna 'kata tempat' (ظرفية), karena jika demikian, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berada 'di mata Allah'. Itu mustahil.
Begitu juga, sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, disampaikan demikian tatkala beliau berada di muka bumi. Jika kalian mengatakan bahwa beliau berada di mata Allah, maka berarti petunjuk Al-Quran itu dusta. Sebelum itu beliau berkata, 'Jika ada yang mengatakan, 'Di antara salaf ada yang menafsirkan firman Allah Ta'ala (بأعيننا) dengan ucapan, 'berdasarkan penglihatan kami.' Penafsiran seperti itu dilakukan oleh para imam salaf yang terkenal, sedangkan kalian mengatakan bahwa merubah makna diharamkan dan dilarang. Apa jawabannya?
Jawabnya adalah bahwa mereka menafsirkannya dengan kelaziman dengan tetap mengakui asalnya, yaitu mata. Pihak yang merubah makna berkata, 'Dengan pemeliharaan Kami' tanpa mereka menetapkan mata (bagi Allah). Sedangkan Ahlussunnah wal Jamaah berkata, makna (بأعيننا) adalah 'Dengan pemeliharaan Kami' dengan tetap meyakini sifat 'mata' (bagi Allah)." (Majmu Fatawa Syekh Utsaimin, 8/264)
Syekh Shaleh Al Syekh, hafizahullah berkata, "(فإنك بأعيننا) maknanya adalah 'Sesungguhnya engkau berada dalam pemeliharaan dan pandangan Kami, dipelihara dan dilindungi."
Ini merupakan penafsiran salat tentang ayat tersebut. Hal tersebut karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam bukan berada di mata Allah yang menjadi sifat-Nya, akan tetapi dia berkata dalam pendampingan 'mata-mata' Allah, yang dia akibat dari kedua mata Allah yang menjadi sifat-Nya."
Karena itu, Ahlussunah ketika menafsirkannya dengan makna demikian, mereka menganggapnya sebagai bab 'tadhammun' (maknanya terkandung dalam sebuah kata). Tadhammun merupakan salah satu petunjuk sebuah lafaz. Karena sebuah lafaz memiki beberapa petunjuk; Dengan penyesuaian (muthabaqah), mengambil makna yang terkandung di dalamnya (tadhammun) dan kelaziman (luzuum).
Mereka berkata, 'Maknanya adalah bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam berada dalam pengihatan, penjagaan dan pemeliharaan dari Allah Azza wa Jalla. Hal tersebut karena makna itu yang terkandung dalam firman-Nya (بأعيننا).
Dengan demikian, ini bukan termasuk takwil sebagaimana tuduhan orang yang tidak mengerti. Tapi ini termasuk bab tadhamun. Tadhammun merupakan petunjuk sebuah kata dalam bahasa Arab yang jelas.
Para salaf berkata, 'Hal ini dengan tetap meyakini adanya dua mata (bagi Allah). Karena kalangan salaf, kadang menafsirkannya dengan tadhammun, atau kadang dengan kelaziman, kemudian ada yang mengira bahwa itu adalah bentuk takwil. Pendapat ini keliru. Karena tadhammun ada satu hal, sedangkan kelaziman adalah hal lain. Dan itu semua merupakan petunjuk sebuah lafaz. Adapun takwil, artinya dia menghapus petunjuk dari sebuah lafaz." (Syarh Wasithiyah).
Dari penjelasan sebelumnya, jelaslah bahwa kedua ayat tersebut bersifat hakikat. Di dalamnya terdapat penetapan 'tangan' dan 'mata'. Tidak masalah menafsirkan ayat tersebut dengan makna kelaziman dan keterkandungan (lazim dan tadhammun), tanpa menafikan sifat yang disebutkan dalam masalah tersebut. Inilah yang tampaknya anda rasakan sesuai dengan selera sastra anda, maksudnya adalah makna umum yang tak lain merupakan makna keterkandungan dan kelaziman dari lafaz tersebut. Akan tetapi merupakan kekeliruan kalau hal tersebut dikatakan sebagai majaz yang dapat berakibat menafikan sifat dari Allah Ta'ala atau menafikan petunjuk dari nash tersebut.
Wallahua'lam .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar