Sabtu, 11 April 2020

Tentang Ushul & furu' dalam aqidah & amaliyah

Ibnu Taimiyyah -rahimahullah- tidak mengingkari pembagian agama menjadi ushul dan furu'. Yang beliau ingkari adalah menjadikan aqidah sebagai ushul, dan menjadikan fiqih/amaliyah sebagai furu'.

Beliau berkata:

بل الحق أن الجليل من كل واحد من الصنفين - أي العلمي والعملي - مسائل أصول والدقيق مسائل فروع

"Pendapat yang benar adalah bahwa perkara-perkara besar dari masing-masing kelompok: baik aqidah maupun amaliyah, disebut ushul (pokok). Sedangkan yang sifatnya detail dan lebih kecil, disebut furu’ (cabang)."

[Majmu’ Al Fatawa 6/56]

Sehingga, ada ushul aqidah, ada furu' aqidah. Ada ushul dalam fiqih, dan ada yang furu' dalam fiqih.

Dalam ushul, baik aqidah maupun fiqih, tidak ada toleransi. Sedangkan dalam furu', baik aqidah maupun fiqih, perkaranya lebih longgar.

1. 'Aqidah
Contoh ushul:
Penetapan asma Allah dan sifat-Nya, iman kepada takdir, syafaat, mizan, sirath, adzab kubur,

Contoh furu':
Apakah Rasulullah melihat Allah di malam Mi'raj, Siapa yang lebih utama antara 'Ali dan 'Utsman, dll.

2. Fiqih/amaliyah
Contoh ushul:
Mengakui syariat mengusap kedua khuf (sepatu) dalam wudhu, larangan meninggalkan shalat, larangan memberontak terhadap penguasa muslim, kewajiban menutup aurat, dll.

Contoh furu':
Batasan aurat wanita (wajib cadar atau cukup jilbab), tata cara dan bacaan shalat, kaifiyah wudhu, dll.

*****

Banyaknya kekeliruan pada perkara-perkara cabang menunjukkan adanya permasalahan pada pokok yang menjadi induk dari cabang-cabang tersebut.

Misal seseorang itu berprinsip "boleh berijtihad sendiri tidak harus merujuk pada ulama", maka itu adalah pokok yang akan berpengaruh pada cabang-cabangnya, yaitu banyaknya kesalahan yang akan ditemukan dari berbagai fatwa dan penjelasannya.

Imam Ahmad sudah menasehatkan:

إياك أن تتكلم في مسألة ليس لك فيها إمام

"Berhati-hatilah engkau, jangan sampai engkau berbicara dalam suatu masalah yang engkau tidak memiliki imam pendahulu dalam hal itu"

*****

[Syubhat: Keharaman Memberontak Penguasa Zhalim adalah Khilafiyah, Bukan Ijma’]

Demikianlah yang mereka katakan. Padahal sudah menjadi hal yang diketahui bahwa penyelisihan terhadap salah satu pokok dari aqidah Ahlus Sunnah tidak diperhitungkan sebagai perbedaan pendapat. Seandainya seorang ulama atau imam menyelisihi salah satu pokok aqidah Ahlus Sunnah, maka tidaklah kemudian menjadi khilafiyah. Karena ijma' dalam perkara aqidah berbeda dengan ijma' dalam perkara fiqih.

Syaikh Shalih Alusy Syaikh menjelaskan:

"Ijma' yang disebutkan dalam perkara aqidah berbeda dengan ijma' dalam perkara fiqih. Ijma' dalam masalah aqidah artinya, tidak ditemukan seorangpun dari para imam hadits dan sunnah menyebutkan pendapat selain pendapat tersebut dan merajihkannya (memilih yang terkuat), inilah makna ijma', sehingga jika ada yang menyelisihinya maka tidaklah terhitung sebagai khilafiyah, karena hal tersebut terhitung sebagai penyelisihan terhadap ijma', maka tidaklah dianggap pendapat yang berbeda dengannya.

Sebagai contoh, bahwa para ulama ber-ijma' bahwa Allah Jalla wa 'Alaa memiliki "shurah" (bentuk), oleh sebab tidak ada perselisihan di antara mereka atas perkara tersebut, seluruhnya menyebutkan hal yang sama. Kemudian Ibnu Khuzaimah -rahimahullah ta'ala rahmatan wasi'atan- lalu menafikkan hadits tentang "shurah", dan menakwilkannya, yakni hadits "Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dengan bentuk Ar Rahman", dan membawa hadits "Allah menciptakan Adam atas bentuk-Nya", dengan penakwilan "dengan selain bentuk Ar Rahman", serta mengingkarinya. Dan ini dihitung sebagai bentuk ketergelinciran beliau, dan tidaklah dikatakan "Ini berbeda dengan ijma'", atau dikatakan "Ini adalah pendapat yang kedua".

Maka ijma' dalam perkara aqidah artinya, bahwa Ahlus Sunnah wal Jama'ah berturut-turut menyebutkan tentang hal ini tanpa perselisihan di antara mereka.

Misalnya, masalah memberontak ke penguasa zhalim yang muslim. Hal ini terdapat perselisihan di kalangan sebagian tabi'in, yang berujung pada beberapa peristiwa, dan juga tabi'ut tabi'in, sedangkan masalah ini disebutkan sebagai ijma'. Dikatakan: Ahlus Sunnah wal Jama'ah telah bersepakat bahwa wajib mendengar dan taat, serta tidak memberontak kepada penguasa zhalim, meskipun terdapat perselisihan di kalangan tabi'in dan tabi'ut tabi'in.

Meskipun demikian, perselisihan ini ada sebelum ditetapkannya hal ini sebagai aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Ketika aqidah ini dijelaskan, ditetapkan, dan diperjelas oleh para imam, dan dikuatkan pula oleh dalil-dalil, maka para imam pun mengikutinya dan juga ahlul hadits tanpa adanya perselisihan di antara mereka.

Maka dalam masalah ini, khususnya sebagai bantahan kepada mereka dari kalangan tabi'in dan tabiu'ut tabi'in yang menempuh jalan ini, karena hal ini menyelisihi dalil-dalil, dan penyelisihan mereka ini tidaklah dianggap, karena menyelisihi dalil, dan Ahlus Sunnah wal Jama'ah juga menentang pendapat ini.

Ringkasnya: Bahwa ijma' maknanya adalah berturut-turutnya para ulama menyebutkan masalah aqidah, jika mereka menyebutkannya secara berturut-turut tanpa adanya perselisihan, maka dikatakan: Ahlus Sunnah ber-ijma' atasnya.”

[Syarh Aqidah Thahawiyah 1/127]

Dikutip dari buku "Fatwa Ulama Seputar Penguasa Kontemporer" oleh Abul Fatih Ristiyan, hal 62. Atas permintaan seseorang yang bertanya via japri kepada kami mengenai video seorang ulama mesir yang mengatakan demikian, beliau meminta agar dibuatkan dalam bentuk postingan di FB. Semoga bermanfaat.

_Ristiyan Ragil_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar