Kamis, 06 Agustus 2020

An Nawawi dan Ibnu Hajar bukanlah Asya’iroh

::: Ketauhilah An Nawawi dan Ibnu Hajar bukanlah Asya’iroh (penganut Asy'ari) 

Sebab utama kenapa sebagian para ulama terjatuh kepada sebagian Aqidah Asya’iroh bahkan sebagian mereka yang dikenal beraqidah Salaf pun tidak luput dari terjatuh pada sebagian Aqidah Asya’iroh, yaitu: mendominasinya aqidah Asya’iroh di tengah kaum muslimin ketika itu, bahkan dijadikan sebagai aqidah resmi beberapa kerajaan besar Islam.

Maka wajar diikuti sebagian besar rakyat pada masanya. Lalu sekarang timbul upaya pemurnian agar kembali pada aliran yang dibawa nabi shollallohu'alaihiwasallam dan sahabatnya, meluruskan apa yang telah bengkok, karena wajar agama ini Allah dan Rosulnya, bukan milik sebagian ulama yang diklaim sebagai aliran Asya’iroh seperti An Nawawi dan Ibnu Hajar rohimahumallah yang diklaim sebagai Asya’iroh. 

Lalu Benarkah Ibnu Hajar dan Nawawi bagian dari Asya’iroh ? Ketika klaim Asya’iroh adalah satu satunya aliran yang benar sesuai ahlusunnah wal jama’ah, dimana Asya’iroh ketika zaman 3 generasi utama? Asya’iroh belum lahir, bahkan paham Asya’iroh berlawanan dengan paham 3 generasi utama salaful ummah atau aliran ahlul Hadits. 

An Nawawi dan Ibnu Hajar rohimahumallah mereka berdua adalah ulama besar dan terkemuka, karya karya mereka sangat bermanfaat bagi kaum muslimin. Ibnu Hajar muhaqqiq bidang ilmu Hadits, sedangkan an Nawawi muhaqqiq bidang ilmu Fiqh mazhab Syafi'i. Mereka bukan muhaqqiq di bidang tauhid, maka wajar jika terjatuh dalam kesalahan toh mereka manusia biasa bukan nabi. 

An Nawawi dan Ibnu Hajar lahir dan dekat dekat ketika Asya’iroh dijadikan paham resmi kekhalifahan dalam suatu masa,  sehingga wajar sebagian masyarakatnya di wilayah itu mengikuti dan terpengaruh. 

Dianutnya Aqidah Asya’iroh oleh sebagian Penguasa dan Tokoh-Tokoh besar kaum muslimin dan menjadikannya madzhab kerajaan dan memaksa kaum muslimin untuk meyakininya, bahkan sampai pada tahap menumpahkan darah kaum muslimin yang menyelisihinya.

Apakah mereka berdua tokoh dalam mendakwahkan paham Asya’iroh ? Bukan, tokoh Asya’iroh sejatinya adalah Al-Baqillani, as subki juga ar rozi dan lainnya. Bahkan ada banyak sebagian pemikiran mereka berdua berlawanan dengan Aqidah Asya’iroh . 

*****
Tentang An Nawawi rohimahullah 

➡Sebagaimana yang dituturkan oleh murid terdekat beliau Al-Hafidz Ibnul-Atthãr yang bergelar mukhtashar An-Nawawi rahimahullah (wafat:724 H): 

Al-Imam Abu Zakariya Yahya ibn Syaraf An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah (wafat: 676 H)

Beliau adalah seorang muhaqqiq (peneliti hebat) pada ilmu dan cabang-cabangnya, sangat teliti pada ilmunya dan semua masalah-masalahnya, penghafal hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan mengetahui semua jenis-jenisnya, baik yang shahih dan dhaif, lafaz-lafaznya gharib dan yang benar maknanya, dan istinbath hukum darinya. Beliau adalah penghafal madzhab Syafi’i, kaedah-kaedah, ushul-ushul dan cabang-cabangnya. Beliau juga menghafal madzhab para Sahabat dan Tabi’in, ikhtilaf ulama, kesepakatan dan ijma mereka, mana pendapat yang masyhur dan yang ditinggalkan (syadz). SEMUA ITU BELIAU MENITI JALANNYA PARA SALAF.(Tuhfatut-Thãlibîn:64-65)

Dari penuturan ini menunjukkan bahwa Al-Imam An-Nawawi rohimahullah adalah seorang Alim yang dikenal mengikuti Alquran dan Sunnah dan jalannya para Salaf, bukan pengikut hawa nafsu dan akal.

An-Nawawi adalah guru Ibnul-Atthar, dan Ibnul-Atthar adalah guru Adz-Dzahabi rahimahumullah jami’an. Dan Ibnul-Atthar ini adalah termasuk Imam Ahlussunnah yang beraqidah Salaf. Beliau memiliki kitab yang berjudul: Al-I’tiqãd Al-Khãlish Minas-Syakki wal-Intiqãd..

➡Adapun Aqidah beliau dalam masalah Sifat-sifat Allah, maka sebagaimana dijelaskan Al-Hafidz Adz-Dzahabi rahimahullah:

إن مذهبه في الصفات السمعية السكوت وإمرارها كما جاءت ،وربما تأول قليلاً في شرح مسلم

Madzhab beliau dalam masalah Shifat Sam’iyyah adalah Sukut (diam akan maknanya) dan membiayarkannya sebagaimana datangnya, dan kadang beliau menta’wil dalam kitabnya Syarh Muslim.(Tarikh Al-Islam:15/324)

*****
Tentang Ibnu Hajar rohimahullah 

Nama beliau Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad bin Hajar, tetapi lebih dikenal sebagai Ibnu Hajar al-Asqalani dikarenakan kemasyhuran nenek moyangnya yang berasal dari Ashkelon, Palestina

Al-Iraqi berkata, “Ia adalah syaikh, yang alim, yang sempurna, yang mulia, yang seorang muhhadits (ahli hadist), yang banyak memberikan manfaat, yang agung, seorang Al-Hafizh, yang sangat bertakwa, yang dhabit (dapat dipercaya perkataannya), yang tsiqah, yang amanah, Syihabudin Ahmad Abdul Fadhl bin Asy-Syaikh, Al-Imam, Al-Alim, Al-Auhad, Al-Marhum Nurudin, yang kumpul kepadanya para perawi dan syaikh-syaikh, yang pandai dalam nasikh dan mansukh, yang menguasai Al-Muwafaqat dan Al-Abdal, yang dapat membedakan antara rawi-rawi yang tsiqah dan dhaif, yang banyak menemui para ahli hadits,dan yang banyak ilmunya dalam waktu yang relatif pendek.”

Dari keahlian dalam bidang Hadits sudah dapat ditebak bagaimana kecintaan dan berpegang teguh beliau dalam manhaj salaf. Apalagi melihat karya tulis beliau yang sebagian besar dalamnya bidang Hadits yang tentulah banyak menukil atsar sahabat, tabi'in, tabi'ut tabi'in alang lebih mudah dalam menunjukkan mazhab beli apakah merujuk salaf ataukah Asya’iroh. 

****
Asya’iroh mempunyai perbedaan pandangan dengan ahlussunnah dalam 4 hal : tauhid, iman, taqdir, asma wassifat 

Dalam bab tauhid, menyatakan tauhid adalah (sekadar) menafikan berbilangnya pencipta sehingga umumnya mereka menafsirkan kalimat tauhid hanya sebatas tauhid rububiyah dan Mayoritas mereka tidak mengenal tauhid uluhiyah.

Dalam bab iman, Asya’iroh dalam masalah iman mengikuti mazhab Murji’ah Jahmiyah. Mereka menyatakan iman hanyalah tasdiq bilqalbi (pembenaran dengan hati).
Mereka menyatakan bahwa iman hanyalah membenarkan. Mereka tidak menyatakan amal termasuk dari iman dan tidak memvonis seseorang telah terjatuh dalam kekafiran dengan semata kesalahan amalan anggota badan.

Dalam bab asma wassifat, Mu’attilah (menolak sifat) dalam masalah sifat Allah.  Memiliki kebid’ahan dengan menetapkan sifat ma’ani tujuh sifat saja. Dasar mereka dalam menetapkannya adalah akal. Mereka menolak sifat Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy dan menolak sifat ketinggian bagi Allah. Mereka berpendapat bahwa Allah bukan di dalam alam, bukan di luarnya, bukan di atas, bukan di bawah. 

Dalam bab takdir
Mereka jabriyah hanya menetapkan iradah (kehendak) kauniyah dan tidak menetapkan iradah syar’iyah

*****
Aqidah dan Pemikiran An Nawawi rohimahullah yang berlawanan dengan Asya’iroh. 

Diantaranya:

➡Masalah Iman,

An Nawawi rahimahullah dalam masalah Al-Iman menukil beberapa ucapan ulama, diantaranya ucapan Al-Imam Ibnu Batthal rahimahullah:

ﻣﺬﻫﺐ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﺃﻫﻞ اﻟﺴﻨﺔ ﻣﻦ ﺳﻠﻒ اﻻﻣﺔ ﻭﺧﻠﻔﻬﺎ ﺃﻥ الإﻳﻤﺎﻥ ﻗﻮﻝ ﻭﻋﻤﻞ ﻳﺰيد وينقص.

Madzhab Ahlussunnah dari kalangan Salaf umat ini dan khalafnya bahwasanya iman itu adalah ucapan dan amalan, (bisa) bertambah dan berkurang…

Dan di akhir nukilan beliau memberikan komentar:

Jika telah tetap apa yang kami sebutkan dari madzhab Salaf dan para imam khalaf maka ketetapan tersebut adalah menunjukkan lagi sejalan (dengan keyakinan) bahwa iman itu (bisa) bertambah dan berkurang. Ini adalah madzhab Salaf, Ahli hadits, dan sejumlah kalangan dari ahli kalam.(Lihat Syarh Shahih Muslim:1/144-148). 

Kemudian setelah itu beliau sebutkan madzhab mutakallimin (Asyairoh) yang madzhab mereka adalah Tashdiq (pembenaran hati) dan perbedaan pendapat di kalangan mereka.

Dan saat membawakan hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu:

سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ إِيمَانٌ بِاللَّهِ قَالَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ حَجٌّ مَبْرُورٌ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya: “Amal apa yang paling utama? Beliau menjawab: “Iman kepada Allah.” Dia bertanya lagi: “Kemudian apa?” Beliau menjawab: “Jihad di jalan Allah.” Dia bertanya lagi: “Kemudian apa?” Beliau menjawab: “Haji yang mabrur.”

Beliau mengomentari:

ﻓﻔﻴﻪ ﺗﺼﺮﻳﺢ ﺑﺄﻥ اﻟﻌﻤﻞ ﻳﻄﻠﻖ ﻋﻠﻰاﻻﻳﻤﺎﻥ ﻭاﻟﻤﺮاﺩ ﺑﻪ ﻭاﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ اﻻﻳﻤﺎﻥ اﻟﺬﻱ ﻳﺪﺧﻞ ﺑﻪ ﻓﻰ ﻣﻠﺔ اﻻﺳﻼﻡ ﻭﻫﻮ اﻟﺘﺼﺪﻳﻖ ﺑﻘﻠﺒﻪ ﻭاﻟﻨﻄﻖ ﺑﺎﻟﺸﻬﺎﺩﺗﻴﻦ ﻓﺎﻟﺘﺼﺪﻳﻖ ﻋﻤﻞ اﻟﻘﻠﺐ ﻭاﻟﻨﻄﻖ ﻋﻤﻞ اﻟﻠﺴﺎﻥ

Dalam hadits ini terdapat penegasan bahwa amalan itu diitlakkan (disebut juga) Iman. Dan yang dimaksud iman (dalam hadits ini) yaitu iman yang karenanya seorang masuk kedalam Islam yaitu pembenaran dalam hati dan pengucapan dua kalimat syahadat. Tasdiq (pembenaran) adalah amalan hati, dan ucapan adalah amalan lisan.

ﻭﻻ ﻳﺪﺧﻞ ﻓﻰ اﻻﻳﻤﺎﻥ ﻫﺎ ﻫﻨﺎ اﻻﻋﻤﺎﻝ ﺑﺴﺎﺋﺮ اﻟﺠﻮاﺭﺡ ﻛﺎﻟﺼﻮﻡ ﻭاﻟﺼﻼﺓ ﻭاﻟﺤﺞ ﻭاﻟﺠﻬﺎﺩ ﻭﻏﻴﺮﻫﺎ ﻟﻜﻮﻧﻪ ﺟﻌﻞ ﻗﺴﻤﺎ ﻟﻠﺠﻬﺎﺩ ﻭاﻟﺤﺞ ﻭﻟﻘﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ

Dan tidak masuk dalam makna iman dalam hadits ini amalan-amalan yang dilakukan dengan semua anggota badan seperti puasa, shalat, haji, jihad, dan selainnya, karena beliau shallallahu alaihi wasallam telah memisahkan tersendiri untuk jihad dan haji.(Syarh Shahih Muslim:2/79)

Maksud beliau karena penyebutan Iman bersamaan dengan jihad dan haji yang merupakan amalan anggota badan maka yang dimaksud iman dalam hadits tersebut adalah pembenaran hati dan ucapan lisan.

Sekalipun demikian, beliau berkata:

..ﻭﻻ ﻳﻤﻨﻊ ﻫﺬا ﻣﻦ ﺗﺴﻤﻴﺔ الأﻋﻤﺎﻝ اﻟﻤﺬﻛﻮﺭﺓ إﻳﻤﺎﻧﺎ

Dan tidak mengapa menamakan amalan-amalan tersebut (yaitu haji, jihad dan lainnya) sebagai iman.(Syarh Shahih Muslim:2/79)

Ini menyelisihi aqidah Asyairoh yang menetapkan bahwa Iman itu adalah tashdiq (pembenaran hati).

➡Masalah: Pokok Kewajiban Pertama Dalam Islam

An Nawawi rahimahullah berkata:

ﻭﺃﻣﺎ ﺃﺻﻞ ﻭاﺟﺐ اﻹﺳﻼﻡ ﻭﻣﺎ ﻳﺘﻌﻠﻖ ﺑﺎﻟﻌﻘﺎﺋﺪ ﻓﻴﻜﻔﻲ ﻓﻴﻪ اﻟﺘﺼﺪﻳﻖ ﺑﻜﻞ ﻣﺎ ﺟﺎء ﺑﻪ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭاﻋﺘﻘﺎﺩﻩ اﻋﺘﻘﺎﺩا ﺟﺎﺯﻣﺎ ﺳﻠﻴﻤﺎ ﻣﻦ ﻛﻞ ﺷﻚ ﻭﻻ ﻳﺘﻌﻴﻦ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﺣﺼﻞ ﻟﻪ ﻫﺬا ﺗﻌﻠﻢ ﺃﺩﻟﺔ اﻟﻤﺘﻜﻠﻤﻴﻦ ﻫﺬا ﻫﻮ اﻟﺼﺤﻴﺢ اﻟﺬﻱ ﺃﻃﺒﻖ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺴﻠﻒ ﻭاﻟﻔﻘﻬﺎء ﻭاﻟﻤﺤﻘﻘﻮﻥ ﻣﻦ اﻟﻤﺘﻜﻠﻤﻴﻦ ﻣﻦ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ

Adapun pokok kewajiban (dalam) Islam dan yang berkaitan dengan aqidah maka cukup padanya Tasdhiq (pembenaran) terhadap semua yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan meyakininya dengan keyakinan yang pasti dan selamat dari keraguan. Dan tidak diharuskan atas orang yang telah ada pada dirinya hal ini untuk belajar dalil-dalil Mutakallimin (ahli kalam). Inilah yang benar yang telah sepakat para Salaf di atasnya, dan para Fuqaha, serta para muhaqqiq dari mutakallimin dari kalangan sahabat-sahabat kami (Syafi’iyyah) dan selain mereka.(Al-Majmu:1/24, Lihat juga Syarh Muslim:5/25)

Ini menyelisihi aqidah Asya’iroh yang menetapkan bahwa kewajiban pertama adalah An-Nazhar (mempelajari dalil) atau iradah An-Nazhar (keinginan untuk mempelajari dalil).

➡Beliau Menetapkan Bahwa Af’ãlullah (Perbuatan Allah) Memiliki Hikmah

Beliau menukil ucapan Al-Qadhi Iyãdh dan mentaqrirnya:

…ﻭاﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻳﻔﻌﻞ ﻣﺎ ﻳﺸﺎء ﻭﻳﺤﻜﻢ ﻣﺎ ﻳﺮﻳﺪ ﺣﻜﻤﺔ ﻣﻦ اﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ.

Dan Allah Ta’ala melakukan apa saja yang Dia kehendaki dan membuat hukum sesuai apa yang Dia kehendaki sesuai dengan hikmah dari Allah Ta’ala.(Syarh Shahih Muslim:2/221)

Ini bertentangan dengan aqidah Asya’iroh yang menetapkan bahwa perbuatan Allah berupa mencipta dan selainnya dari perbuatan Allah hanyalah sekedar karena Kehendak Allah saja tanpa ada alasan dan hikmah.

➡Celaan Beliau Terhadap Ilmu Kalam,

Dalam masalah ilmu Kalam beliau sesuai dengan pendapat Imamnya Imamus-Sunnah Al-Imam Asy-Syafi’i.

Beliau menukil ucapan Asy-Syafi’i tentang ilmu Kalam:

ﻭﻗﺪ ﺑﺎﻟﻎ ﺇﻣﺎﻣﻨﺎ اﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﺭﺣﻤﻪ اﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻓﻲ ﺗﺤﺮﻳﻢ اﻻﺷﺘﻐﺎﻝ ﺑﻌﻠﻢ اﻟﻜﻼﻡ ﺃﺷﺪ ﻣﺒﺎﻟﻐﺔ ﻭﺃﻃﻨﺐ ﻓﻲ ﺗﺤﺮﻳﻤﻪ ﻭﺗﻐﻠﻴﻆ اﻟﻌﻘﻮﺑﺔ ﻟﻤﺘﻌﺎﻃﻴﻪ ﻭﺗﻘﺒﻴﺢ ﻓﻌﻠﻪ ﻭﺗﻌﻈﻴﻢ اﻹﺛﻢ ﻓﻴﻪ ﻓﻘﺎﻝ: ﻷﻥ ﻳﻠﻘﻰ اﻟﻠﻪ اﻟﻌﺒﺪ ﺑﻜﻞ ﺫﻧﺐ ﻣﺎ ﺧﻼ اﻟﺸﺮﻙ ﺧﻴﺮ ﻣﻦ ﺃﻥ ﻳﻠﻘﺎﻩ ﺑﺸﺊ ﻣﻦ اﻟﻜﻼﻡ: ﻭﺃﻟﻔﺎﻇﻪ ﺑﻬﺬا اﻟﻤﻌﻨﻰ ﻛﺜﻴﺮﺓ ﻣﺸﻬﻮﺭﺓ

Sungguh Imam kami Asy-Syafi’i rahimahullah sangat keras dalam mengharamkan menyibukkan (diri) dengan ilmu kalam, beliau berbicara panjang lebar tentang haramnya dan bersikap keras mengenai hukuman bagi pelakunya, menganggap jelek perbuatannya dan menganggap besar dosanya.

Beliau berkata: “sungguh seorang hamba bertemu Allah dengan semua dosa selain syirik adalah lebih baik dari pada ia bertemu Allah dengan sedikit dari ilmu kalam.”

Ucapan-ucapan beliau yang semakna dengan ini banyak lagi masyhur.(Al-Majmu’:1/2)

Ini menyelisihi madzhab Asya’iroh yang membangun Aqidah mereka di atas Ilmu Kalam.! Dan lebih mendahulukan dalil akal dari pada dalil naqli (Alquran dan Sunnah) jika ada pertentangan.

➡ Asya’iroh tidak mengakui hadits ahad seperti halnya ahlul kalam (mu'tazilah) yang menolak hadits ahad juga mendahulukan akal, adapun An-Nawawi beliau mengikuti hadits hadits walaupun ahad. 

➡ Dalam masalah iman dalam bab asma wassifat, Asya’iroh banyak mentakwil sifat sifat allah, adapun an Nawawi tidak semua menakwil, hanya ada sebagian pendapatnya yang sama dalam sebagian kecil bab ini. 

➡ Kedua:

Risalah Juz Fihi Dzikru I’tiqãd As-Salaf fil-Hurúf wal-Ashwãt, oleh Al-Imam An-Nawawi.

Sebuah risalah kecil yang dinisbahkan kepada Al-Imam An-Nawawi rahimahullah , ditahqiq oleh Muhaqqiq Abul-Fadhl Ahmad ibn Ali Ad-Dimyati dan dicetak oleh Maktabah Al-Ansar Mesir. Isi Risalah ini adalah penetapan aqidah Salaf tentang Tauhid Asma wa Shifat secara umum, dan secara khusus adalah tentang huruf dan shauth dalam masalah Kalamullah. Penisbatan Risalah ini kepada Al-Imam An-Nawawi juga ditaqrir oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman dalam kitabnya Ad-Dala’il Al-Wafiyyah.

Diantara ucapan An-Nawawi rahimahullah, pada halaman 63 beliau berkata:

ﻓﻨﺤﻦ ﻧﺼﻒ ﻭﻻ ﻧﺸﺒﻪ. ﻭﻧﺜﺒﺖ ﻭﻻ ﻧﺠﺴﻢ، ﻭﻧﻌﺮﻑ ﻭﻻ ﻧﻜﻴﻒ. ﻣﺬﻫﺒﻨﺎ ﺑﻴﻦ ﺑﺎﻃﻠﻴﻦ، ﻭﻫﺪﻱ ﺑﻴﻦ ﺿﻼﻟﺘﻴﻦ، ﻭﺳﻨﺔ ﺑﻴﻦ ﺑﺪﻋﺘﻴﻦ ﻭﻗﺪ ﺗﻔﺮﺩ اﻟﻠﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ ﺑﺤﻘﺎﺋﻖ ﺻﻔﺎﺗﻪ ﻭﻣﻌﺎﻧﻴﻬﺎ ﻋﻦ اﻟﻌﺎﻟﻢ ﻓﻨﺤﻦ ﺑﻬﺎ ﻣﺆﻣﻨﻮﻥ، ﻭﺑﺤﻘﺎﺋﻘﻬﺎ ﻣﻮﻗﻨﻮﻥ، ﻭﺑﻤﻌﺮﻓﺔ ﻛﻴﻔﻴﺘﻬﺎ ﺟﺎﻫﻠﻮﻥ.

Kami menyifatkan (Allah) namun tidak menyerupakanNya (dengan makhluk), dan kami menetapkan (sifatNya) namun tidak mentajsim, dan kami mengetahui (sifatNya) namun tidak mentakyif. Madzhab kami berada (di tengah) antara dua kebatilan, dan petunjuk diantara dua kesesatan, dan sunnah diantara dua bid’ah. Dan Allah subhanahu wa ta’ala berkesendirian pada hakikat Sifat-sifatNya dan makna-maknanya dari alam (makhluk), dan kami beriman kepada sifat-sifatNya tersebut, meyakini hakikatnya, dan kami tidak mengetahui kaifiyatnya.

Beliau juga berkata pada halaman 67:

ﻭﻧﺤﻦ ﻣﻦ ﺩﻳﻨﻨﺎ: اﻟﺘﻤﺴﻚ ﺑﻜﺘﺎﺏ اﻟﻠﻪ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ ﻭﺳﻨﺔ ﻧﺒﻴﻨﺎ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻣﺎ ﺭﻭﻱ ﻋﻦ اﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﻭاﻟﺘﺎﺑﻌﻴﻦ ﻭﺃﺋﻤﺔ اﻟﺤﺪﻳﺚ اﻟﻤﺸﻬﻮﺭﻳﻦ ﻭﻧﺆﻣﻦ ﺑﺠﻤﻴﻊ ﺃﺣﺎﺩﻳﺚ اﻟﺼﻔﺎﺕ، ﻻ ﻧﺰﻳﺪ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﺷﻴﺌﺎ، ﻭﻻﻧﻨﻘص منه شيئا.

dan termasuk bagian dari agama kami adalah: berpegang teguh kepada Kitabullah Azza wa Jalla dan Sunnah Nabi kita shallallahu alaihi wasallam, dan apa yang diriwayatkan dari para Sahabat, Tabi’in, dan para imam Ahli Hadits yang terkenal, dan kami beriman kepada semua hadits-hadits Shifat, kami tidak menambah atau mengurangi sedikitpun darinya.

Dalam kitab ini beliau sebutkan dan tetapkan kebanyakan shifat-shifat yang ditakwil oleh Asyairoh. Dan beliau juga membantah Asyairoh.

Jika kitab ini benar, maka ini menunjuklan rujuknya Al-Imam An-Nawawi dari madzhab Asy’Ariyyah (dalam masalah shifat) menuju madzhab Salaf. Karena kitab ini selesai ditulis pada hari kamis tanggal 3 Rabiul-Awwal 676 H (sebagaimana tertulis di akhir kitab), sedangkan beliau wafat 24 Rajab 676 H (Sebagaimana dalam Tuhfatut-Thalibin). Sehingga beliau menulis kitab ini kurang lebih 5 bulan sebelum beliau wafat dan merupakan kitab terakhir beliau rahimahullah.

(dinukil dari tulisan Muhammad Abu Muhammad Pattawe) 

*****
Pemikiran Ibnu Hajar rohimahullah yang berlawanan dengan Asya’iroh.

Diantaranya : 

- Ibnu Hajar mencela pemuka Asya’iroh yaitu fakhrur rozi, al amudi, maka bagaimana mungkin dikatakan mengikuti mazhab Asyairoh sedangkan pemukanya dicela aqidahnya. 

- Ibnu Hajar bahkan mengatakan di akhir biografi fakhrur rozi

أوصى بوصية تدل على أنه حسّن اعتقاده
لسان الميزان

Aku wasiatkan dengan wasiat itu menunjukkan aqidahnya yang membaik (dalam lisanul mizan). 

Membaik aqidahnya bisa jadi sebelumnya aqidahnya buruk. 

- dalam perkara Ushulul iman menyelisihi Asya’iroh 

- dalam perkara ash shout Ibnu Hajar berbeda bahkan mengingkari Asya’iroh 

-dalam perkara ma'rifah banyak mengkritik kewajiban pertama bagi mukallaf

-Ibnu Hajar mengkritik Syeikhnya yakni Ibnu fauroq dalam At takwil, karena penakwilannya yang dinukilkan di Syarah kitab tauhid dalam al Fathul bari, yang menyebutkan manhaj takwil dan mantiq lebih utama dari manhaj 3 generasi awal. 

- Ibnu Hajar menyelisihi Asya’iroh yang Memprotes/keberatan dalam perkara Hadits ahad, dalam perkara iman dan selain perkara iman dan hal lain, sakaligus menetapkan pendapat asy Syafi'i dalam perkara Hadits ahad. 

- tidak mengakui hadits ahad seperti halnya ahlul kalam (mu'tazilah) yang menolak hadits ahad juga mendahulukan akal, adapun Ibnu Hajar mereka mengikuti hadits hadits walaupun ahad. 

أن ابن حجر انتقد موقف أهل الكلام من خبر الواحد وأيد موقف أهل الحديث ووقف موقف الشافعي  (18) .
Bahwa Ibnu Hajar mengkritik sikap ahli kalam dari Hadits ahad dan mendukung kedudukan hadis dan menetapkan sikap Shafi'i

فقد ذكر أربعة أنواع للخبر المحتف بقرائن الصحة، وأهمها آخرها وهو التلقي الرابع:
قال "وهذا التلقي وحده أقوى من إفادته العلم من مجرد كثرة الطرق القاصرة, عن التواتر".

وقال الحافظ ".. منها ما أخرجاه في الصحيحين مما لم يبلغ حد المتواتر، فإنه احتفت به قرائن منها: جلالتهما في هذا الشأن وتقدمهما في تميز الصحيح على غيرهما، وتلقي العلماء لكتابيهما بالقبول"  (19) .
Dia menyebutkan empat jenis berita yang berisi bukti keshahihan, yang paling penting adalah talaqqi arroobi- :
"Dan pertemuan ini saja adalah lebih kuat dari Manfaat ilmu dari maksud banyak jalan pendek yang berturut turut." katanya.

Al-Hafiz mengatakan bahwa darinya apa yang dikeluarkan oleh shohihain, yang tidak mencapai batas mutawatir, tetapi mereka dirayakan oleh bukti, diantaranya : mulia mereka dalam hal ini dan kemajuan mereka dalam membedakan hak atas orang lain, dan para ulama menerima buku keduanya 


- Dalam masalah iman dalam bab asma wassifat, Asya’iroh banyak mentakwil sifat sifat Allâh, adapun keduanya tidak semua menakwil, hanya ada sebagian pendapat beliau yang sama dalam sebagian kecil bab ini. 

- Bahkan beliau Ibnu Hajar cenderung dan memiliki banyak kesamaan dengan manhaj Imam Ahmad karena kecintaannya pada atsar dan berpegang dengannya. 

- ابن حجر نقد علم الكلام نقداً شديداً, ودعا إلى تركه، ومعلوم أن المذهب الأشعري قد شيدت أركانه على علم الكلام
Ibnu Hajar mengkritik keras ilmu kalam, dan menyerukan untuk meninggalkannya, dan telah diketahui bahwa mazhab Ashhari telah membangun pilar dengan ilmu kalam. 

قال ابن حجر "ويكفي في الردع عن الخوض في طرق المتكلمين: ما ثبت عن الأئمة المتقدمين كعمر بن عبدالعزيز, ومالك, والشافعي، وقد قطع بعض الأئمة بأن الصحابة ماتوا ولم يعرفوا الجوهر ولا العرض.. وقد أفضى الكلام بكثير من أهله إلى الشك، وببعضهم إلى الإلحاد". "وصح عن السلف أنهم نهوا عن علم الكلام وعدوه ذريعة للشك والارتياب 
((فتح الباري)) (13/350-352
sudah cukup untuk menghalangi dari masuk ke dalam cara-cara ahli kalam : apa yang telah ditetapkan para imam generasi awal seperti Omar Bin Abdulaziz, Malik, dan Shafi'i, dan beberapa imam telah menjelaskan bahwa Sahaba meninggal dan mereka tidak tahu al jauhar wal ardl (ilmu kalam) 

Banyak dari perkataan para ahlinya telah menyebabkan keraguan, dan beberapa dari mereka telah menuntun pada ateisme. " Dan adalah benar dari salaf bahwa mereka melarang untuk belajar ilmu kalam dan permusuhan mereka adalah alasan untuk keraguan dan kebimbangan. 

7) أن ابن حجر نقل تشنيع أهل الحديث واللغة على قول المعتزلة استوى أي استولى  (20) . ولو كان أشعريا لوافق الأشاعرة على تأويل الاستواء بالاستيلاء الذي قلدوا فيه المعتزلة.  (22)

Bahwa beliau menukil celaan ahli hadits dan ahli bahasa pendapat mu'tazilah yang mengartikan istiwa dengan istaula, sekiranya beliau seorang pengikut Asya’iroh tentu akan menyetujui yang ditaqlid dari mu'tazilah 
*****

Adapun tuduhan pengikut salaf benci dan menyesatkan mereka berdua, ketauhilah Pembelaan para ulama salaf mutaakhirin pada Ibnu Hajar dan An Nawawi, serta berlepas diri dari sapa saja yang mencela mereka. Ini menunjukkan kesalahan tuduhan yang mengatakan penganut salafi sekarang menyesatkan Ibnu Hajar dan An Nawawi. 

Syeikh fauzan berkata tentang haddadiyah

ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻘﻮﻝ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﺣﺠﺮ ﻭﺍﻟﻨﻮﻭﻱ ﻣـﺒﺘﺪﻋﺔ؛ ﻫـﻮ ﺍﻟﻤُﺒﺘﺪِﻉ

Yang berkata ibnu hajar, an nawawi mubtadi', dialah yang mubtadi'

http://www.youtube.com/watch?v=fkfdwmBEAGQ

Adapun Pembelaan lajnah daimah, al Utsaimin, al Albani dapat baca disini https://islamqa.info/amp/id/answers/107645

فرحم الله الإمامين : النووي وابن حجر ، وغفر لهما ما أخطآ فيه .

*****

KESIMPULAN 

Maka tidaklah tepat dikatakan An Nawawi dan Ibnu Hajar  penganut Asya’iroh , karena Asya’iroh sendiri merupakan mazhab yang mandiri, mempunyai pendapat tersendiri dalam bab iman, takdir, asma dan sifat Allah. 

sebagian besar manusia tidak mengetahui mereka berdua kecuali mereka itu menyelisihi salaf dalam bab asma dan sifat, akan tetapi mereka mempunyai banyak perbedaan. Apa yang mereka berdua tulis di semua kitab kitab merujuk pada pendapat 3 generasi terbaik, sesuai petunjuk Allah dan Rosul Nya. 

Jika ada orang berkata tentang permasalahan sifat lalu menyamai pendapat mazhab Asya’iroh ini, tidaklah kita katakan mereka itu Asy'ari tulen, 

Apakah kalian lihat jika seseorang bermadzhab hambali lalu dalam suatu permasalahan menyepakati mazhab Syafi'i, lalu ia dikatakan penganut syafi'i? Maka jawabannya : tidak, ia bukan penganut syafi'i. Begitu juga mereka berdua, Ibnu Hajar dan An Nawawi, mereka berdua menganut paham ahli hadits yang merujuk pada pemahaman 3 generasi terbaik pada semua karya tulis mereka. 

Selesai ditulis 12 februari 2020
*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar